sixteenth note

That's the funny thing about love.

It doesn't wait for perfection.

The heart loves who it loves,

exactly as they are, faults and all.

—Amanda Hocking—

*

Pada awalnya, Setra berniat mengajak kedua adiknya dan Eden makan siang bersama di sebuah restoran yang sudah direkomendasikan Lucio—begitu tahu kalau Setra bakal pergi ke Bandung, Lucio langsung menuliskan daftar tempat yang harus Setra kunjungi, restoran mana saja yang makanannya harus dicicipi serta tips-tips teranyar untuk meningkatkan efektivitas memburu diskonan—tapi itu malah memicu perdebatan tanpa ujung antara Sabda dan Rasi. Setelah dibikin lelah menyaksikan cekcok diantara dua bersaudara yang kayaknya baru akan selesai menjelang berakhirnya dunia, Eden mengusulkan sesuatu yang menurut Setra sangat bagus.

Mereka akan membagi diri ke dalam dua tim. Masing-masing bertugas memasak satu jenis hidangan yang juga akan diundi supaya adil. Tim yang menang akan mendapatkan keistimewaan untuk menentukan tempat makan siang mereka, juga uang saku yang bisa digunakan untuk membeli hadiah buat manito masing-masing. Sabda tidak langsung setuju pada usul itu, menganggapnya konyol tapi berhenti protes saat Eden melotot padanya. Sementara mata Rasi kontan berbinar senang. Dia hampir lupa pada eksistensi manito game yang mereka mulai mainkan sebelum pergi ke Bandung. Dia masih ingat siapa manitonya, tentu saja, namun dia lupa menunjukkan perhatian pada manito tersebut secara rahasia sesuai petunjuk game. Cowok itu jadi semangat memenangkan kontes dadakan ini, setidaknya dia bisa membayar kurangnya perhatian yang dia berikan dengan membelikan hadiah yang bernilai.

Dikarenakan sangat tidak mungkin menempatkan Sabda dan Rasi ke dalam satu kelompok, Eden dan Setra melakukan suit untuk menentukan mana yang akan masuk ke tim Sabda dan mana yang akan masuk ke tim Rasi. Situasi menegang sejenak, yang ditutup dengan sorak gembira Rasi ketika Eden masuk ke timnya, sementara Sabda diam-diam memberengut. Tentu bukan karena dia tidak senang setim dengan Setra, namun karena diam-diam, hatinya melakukan sesuatu yang aneh setiap kali dia melihat Rasi dan Eden terlalu akrab.

"Don't worry." Setra yang seakan-akan bisa membaca pikiran Sabda langsung menepuk bahunya, tidak kelihatan sakit hati sama sekali. "Kita kan bakal masak di dapur yang sama."

"Bukan gitu." Sabda mencoba berkilah.

"Terus kalau nggak gitu, gimana?"

Sabda membuang napas pelan, meniup sejumput rambut hitam yang jatuh di keningnya. Dia tidak bicara lagi, berbanding terbalik dengan Rasi yang kian cerewet. Rasi jarang bad mood, namun karena berhasil mendapatkan Eden sebagai rekan timnya, mood cowok itu jadi benar-benar bagus. Dia tidak berhenti tertawa, bercanda, menggoda Eden, kepo pada merek lip gloss yang gadis itu pakai sambil terus menggiling snack dalam mulut. Apa yang membuatnya tidak kelihatan baik-baik saja mungkin hanya kassa dan plester di matanya, yang bikin dia kelihatan seperti bajak laut.

Guna menghindari insiden cabe dan mata gatal yang terjadi pada Rasi terulang (walau sepertinya itu mustahil bisa terjadi pada Eden, Sabda atau Setra) mereka sepakat membuat hidangan dessert. Tim Rasi-Eden akan membuat fruit skewers berbalut cokelat cair, yoghurt dan cream cheese, sedangkan tim Sabda-Setra kebagian memasak pancake. Sabda, seperti yang bisa ditebak, mulanya tidak setuju karena menurutnya fruit skewers tidak bisa disebut masakan. Cara membuatnya kelewat mudah, hanya perlu menempatkan irisan buah ke dalam satu tusuk seperti sate dan mencelupkannya ke dalam cairan cokelat, yoghurt atau cream cheese. Namun Setra tidak mau mengambil risiko, sebab membiarkan Rasi bekerja di belakang kompor bisa saja membahayakan nyawa semua orang yang ada di guesthouse.

Mereka mampir sebentar di supermarket saat perjalanan pulang dari makam untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan, lalu minta izin Bu Asih untuk meminjam dapurnya. Untunglah, usai insiden mengejutkan yang terjadi tadi pagi, Bu Asih masih berbaik hati membiarkan mereka menggunakan dapur serta segala macam perkakas yang ada di dalamnya.

Pada 15 menit awal, mudah mengatakan jika tim Sabda-Setra lebih unggul. Setra rapi dan sangat terorganisir, paling tidak bisa melihat meja konter berantakan atau dipenuhi oleh alat masak yang baru selesai dipakai, membuat ruang di sisi kompornya nihil dari sampah. Sabda, walau tidak secekatan kakaknya, pandai menggunakan logika. Berbanding terbalik dengan meja konter tim Rasi-Eden. Sampah kulit buah berserakan di mana-mana, bijinya tersebar seperti konstelasi alam semesta—dan kelihatannya itu cukup menganggu buat Setra, karena cowok itu langsung membantu merapikannya tanpa diminta.

"Aci," Eden sedang menusukkan potongan buah ke sebatang lidi saat dia memanggil Rasi yang tengah berkonsentrasi melepaskan daun dari stroberi. "Ini buahnya udah dicuci belum ya?"

Rasi terperangah, matanya membulat syok. "Oh my God, harus dicuci?"

Sabda yang tengah sibuk mengaduk adonan pancake menoleh pada Rasi, lalu katanya dengan sepenuh rasa, "Yeu si goblok!"

"Sabda, bahasanya nggak boleh gitu!" Setra menegur.

Sabda meringis, kemudian meralat cercaannya untuk Rasi. "Yeuuu, si dodol!"

"Tadi lupa dicuci." Rasi panik sejenak, tapi tak lama, senyum leganya tertarik. "Tapi tenang, sebelum megang buahnya, gue udah cuci tangan kok!"

"Kagak ngaruh, Aci!" Eden menukas dongkol, lalu mengembuskan napas pelan. "Hhh... yaudah lah. Udah terlanjur ditusukkin juga. Anggap aja tambahan vitamin buat kita semua."

"Tolong diciriin mana sate buah yang belum dicuci, biar si Aci aja yang makan." Sabda menimpali, sesinis biasanya.

"Nggak apa-apa. Enak, kok. Udah gue makanin juga dari tadi." Rasi menyahut santai.

"PANTESAN DARI TADI BUAHNYA KAGAK NAMBAH-NAMBAH!" Eden yang malah bereaksi keras, refleks menggeplak bahu Rasi keras-keras.

"Ouch, it hurts, Heaven!"

"Biarin!"

Rasi malah terkekeh, mendadak membungkukkan badannya ke arah Eden hingga tinggi mereka sejajar. Eden tidak menebak Rasi bakal melakukan itu, jelas terkejut hingga nyaris terlonjak dan menabrak Sabda yang berada tepat di belakangnya. Pipi Eden serasa terbakar saat menyadari betapa dekat wajah Rasi dengan wajahnya. Wangi khas cowok itu kembali menyapa hidungnya, parfum lembut berpadu dengan bau bedak bayi. Sejenak, Eden merasa perlu menahan napas atau jika tidak, lututnya akan lepas.

"Lo—lo ngapain?!"

"Aw, you're blushing. Sooooo cute..."

"Jangan deket-deket!" Eden mendorong bahu Rasi menjauh, bikin tawa cowok itu meledak. Setra dan Sabda kompak melirik, sebelum akhirnya Sabda mendengus sembari kembali berlagak sibuk dengan adonan yang dia aduk. Setra mampu membaca situasi, perlahan mengambil alih wadah berisi adonan dari tangan Sabda.

"Udah cukup, Sabda. Adonannya udah bisa dipake."

"Oke." Sabda mengiakan, membiarkan Setra meraih wadah itu dari tangannya dan menuang dua-tiga sendok besar adonan ke atas teflon berlumur mentega yang sudah mencair. Bunyi desis khas terdengar, diikuti oleh aroma manis menyenangkan menguar di udara.

"Baunya enak." Eden berkomentar sambil menarik napas dalam-dalam. "Lo jago juga ternyata bikin adonannya!" dia menyambung, memuji Sabda.

"Alah, paling juga Kak Setra yang ngasih takarannya!" Rasi menyergah, dongkol maksimal.

"Nggak usah banyak omong, bersihin aja tuh buah-buah! Dari tadi masih aja nggak nambah-nambah! Pasti lo makanin lagi ya—kan!" Eden mendelik gusar tatkala dia beralih pada Rasi dan mendapati cowok itu telah memasukkan sebutir stroberi ke mulut. Rasi refleks mingkem, memasang wajah polos layaknya orang tidak bersalah, namun itu jelas percuma kalau ada jendolan seukuran stroberi di salah satu pipinya. "Nggak usah sok polos! Lo kira jendolan di pipi lo itu apa?! Kutil yang tumbuh dadakan?!"

Rasi mengunyah stroberinya cepat-cepat, lalu menelannya. "—lima ratusan anget-anget gurih-gurih enyoy!"

"Nggak lucu!" satu gaplokan baru mendarat di punggung Rasi. Setra hanya melirik sekilas, kemudian kembali berkonsentrasi pada adonan pancake di atas teflon sembari tertawa kecil. Cowok itu mengangkat sedikit teflonnya, membalik pancake dalam teflon dengan sekali goyang tanpa menggunakan sodet. Rasi yang menyaksikan itu dibikin terperangah. Matanya melotot seolah-olah mau loncat dari tempatnya.

"WHOA! SO COOL! DO IT AGAIN! DO IT AGAIN!"

"Shit, my ear," Eden memutar bola matanya, responnya berbanding terbalik dengan senyum Setra yang malah bertambah lebar. Dia membiarkan Rasi mendekat padanya, berdiri di sampingnya sementara mereka menunggu adonan yang baru dimasukkan siap untuk dibalik. Sabda lain lagi, cowok itu mendekati Eden tanpa suara, meraih botol berisi cream cheese. Dia berbalik, memunggungi Rasi, Eden dan Setra untuk menuang isi botol itu ke dalam mulutnya. Gayanya sok cool, cukup berhasil karena tak ada seorangpun yang menyadarinya.

Yah, pada awalnya, karena di kali ketiga Sabda memakan isi botol cream cheese di tangannya, Rasi berbalik buat kembali membantu Eden dan tentu saja, Sabda langsung tertangkap basah.

"MAKANIN AJA TEROS TUH CREAM CHEESE!"

Sabda tersedak sampai terbatuk-batuk. Setra berbalik ke arahnya, tertawa keras hingga membuat Eden terpana (karena dia belum pernah melihat Setra tergelak sampai seperti itu sebelumnya) lantas meraih sebotol air minum dan memberikannya pada Sabda. Wajah cowok itu merona, namun dia menerima botol air minum dari Setra dan menenggak isinya banyak-banyak sampai kerongkongannya lega. Setelahnya, dia memandang sengit pada Rasi yang sibuk menaik-turunkan alis, mengejeknya.

"Udah-udah, jangan berantem," Setra menengahi. "Sabda, tolong dihiasin ya pancakenya. Bisa dikasih buah, madu atau cokelat."

Sabda masih bersungut-sungut, tetapi dia menurut. Cowok itu mulai memotong buah untuk ditata di atas piring dan di atas pancake yang sudah matang. Awalnya dia sempat kesulitan, karena pancake itu baru diangkat dari teflon dan masih panas. Eden melihatnya, berinisiatif membantunya. Hanya saja, 'kemesraan' diantara mereka berdua tidak berlangsung lebih dari dua menit, sebab mendadak Rasi menyalak.

"Heaven, what the hell are you doing with other group?"

"Gue bantuin Sabby dikit doang, kok." Eden membela diri.

"Ini buah kita masih banyak, belum ditusukkin ke lidinya, lo malah sibuk bantuin tim lain yang jelas-jelas udah mau selesai."

Eden cemberut, meninggalkan sisi Sabda dan kembali ke tempatnya. "Iya nih! Gue lanjutin!"

"Hehehe. Gitu dong."

"Dasar rese!"

"Cemburu, bukan rese."

Eden terbatuk. "Apa?"

"Gue cemburu, bukan rese. Jadi jangan bantu-bantu tim lain, oke? You're in my team. You're my person. Understand that?"

"Iya."

"Tumben nurut."

"Biar cepet."

"Udah terbiasa ya?"

"Apa banget."

"Better get used to it, Heaven. Cause from now on, I claim you as my person."

Eden mengabaikan kata-kata Rasi yang menurutnya tidak penting, namun kelihatannya Sabda tidak sependapat soal itu. Ada sesuatu yang menusuk jauh di dalam hatinya ketika dia mendengar ucapan Rasi, dan bagaimana tangannya terkepal begitu kuat untuk menahan diri supaya dia tak langsung membantah kata-kata Rasi dalam seruan keras.

Tidak ada yang menyadarinya, kecuali Setra.

*

Seperti yang sudah bisa ditebak, hasil akhir menunjukkan kalau tim Sabda-Setra adalah pemenangnya. Tampilan pancake mereka bukan hanya cantik, tetapi juga punya rasa yang enak. Bu Asih bahkan sampai bilang kalau pancake buatan Sabda dan Setra sekelas dengan pancake restoran mahal. Fruit skewers milik tim Rasi-Eden rasanya enak (karena tentu saja, mustahil makanan berupa buah yang dicelup cokelat atau cream cheese bisa gagal) namun penampilannya sangat kacau. Ada lidi yang patah karena disesaki terlalu banyak potongan buah, hasil karya Rasi yang turut membantu menusukkan potongan buah ke lidi pada detik-detik terakhir. Meja konter mereka juga berantakan, penuh sampah kulit dan biji buah.

Sesuai rencana awal, selepas makan siang, mereka berangkat ke sebuah pusat oleh-oleh untuk mencari hadiah buat manito masing-masing. Eden mengusulkan untuk pergi ke sana menggunakan BRT (bus rapid transit) biar terkesan lebih menantang. Rasi mengerang tidak setuju, langsung melancarkan sejuta protes, tapi berkat bujukan Setra yang begitu sabar seakan tidak mengenal lelah, cowok itu akhirnya bersedia ikut, dengan berat hati.

Mereka pergi menjelang sore, jadi jalan sudah ramai. Keempatnya menghabiskan waktu hingga 10 menit menunggu bus datang di halte terdekat dari guesthouse. Setra sudah menebak, bus pasti akan padat disesaki orang. Betul saja. Hampir tidak ada kursi kosong yang tersisa waktu mereka berjalan melewati pintu. Rasi tersekat di tempat sejenak, mengedarkan pandang ke sekelilingnya dengan gugup, namun ekspresi wajahnya berubah relaks ketika Eden meraih sebelah tangannya, menggandengnya tanpa mengatakan apa-apa.

Tapi yah, tidak akan ada pernah damai selama Rasi dan Sabda berdekatan. Pintu bus baru menutup saat dua cowok itu mulai ribut berebut kursi kosong terakhir yang belum duduki. Setra sempat ingin mengalah memberikan kursinya, namun baik Rasi maupun Sabda kompak menolak. Keduanya cekcok lagi, ditonton oleh penumpang bus yang lain. Perdebatan mereka mirip seperti adu mulut anak kecil, bikin wajah Eden yang juga tidak kebagian kursi ikut memerah.

"Sumpah ya, gue malu bener—"

Pada saat yang bersamaan, Sabda dan Rasi menoleh pada Eden, berseru serempak seperti dikomando. "Lo diam!"

Eden kicep, menoleh pada Setra yang hanya mampu balik menatap sambil mengangkat bahu.

"Buat gue!"

"Buat gue!"

"Buat gue!"

"Oke." Rasi lelah mendebat Sabda. "Gimana kalau suit aja?"

"Boleh. Gue masih lebih jago suit daripada lo. Gunting, batu, kertas?"

"Gunting, batu, kertas!"

Sabda dan Rasi mengeluarkan jurus pamungkas mereka untuk memenangkan tanding suit itu dan pada akhirnya, perdebatan sengit mereka diakhiri oleh kemenangan Rasi. Cowok jangkung itu nyengir penuh kemenangan, sementara Sabda memutar bola mata. Akan tetapi, dia tak lantas duduk di sana, malah menarik lengan Eden dan memaksa cewek itu duduk.

"Buat lo aja."

"Terus lo gimana?"

"Gue bisa berdiri." Rasi memamerkan deretan gigi-giginya, salah satu tangannya berpegangan pada tsurikawa. "Jangan tersanjung gitu, Heaven. Kan udah gue bilang tadi. You're my person. This is nothing, you know."

"Nggak tersanjung!" Eden membantah.

"Sabda," Setra memanggil Sabda yang sedari tadi tampak seperti penonton mengenaskan seraya menepuk pahanya. "Sini aku pangku."

Pipi Sabda merona. "Nggak."

"Aku aja kalau gitu," Rasi yang mendengar langsung menawarkan diri.

"Boleh. Sini."

"Heh, jangan!" Berbanding terbalik dengan Setra yang kelihatan santai, Eden malah panik. "LO JUGA, KINGKONG! TEGA BENER! NYADAR BADAN DONG! LO MAU KAKAK LO PENYET GARA-GARA MANGKU LO?!"

"Ih... jahat..."

Setra tertawa, tampan seperti biasanya. "Eden benar juga. Aku lupa kalau kamu lebih tinggi dari aku. Yaudah, sini Sabda aja yang dipangku."

Sabda ragu, namun entah kenapa cowok itu menurut dan duduk di pangkuan Setra. Beberapa ibu-ibu yang duduk tidak jauh dari mereka melirik, berbisik-bisik sambil menahan senyum. Sekelompok cewek abege yang paling banter baru masuk SMA di sisi lain bus beda lagi. Mereka tersekat dengan wajah seperti tengah menahan jerit. Eden mendengar ada gumaman seperti 'ih, cute banget' atau 'iiiih... ganteng' mampir di telinganya. Setra malah senang. Senyumnya terkembang tanpa bisa dikendalikan.

"Heaven," Rasi memanggil sambil mencondongkan badan. Cengiran lebar masih mewarnai wajahnya. "Lo nggak mau kayak gitu juga?"

"Mangku lo? Bisa-bisa jadi keripik deh gue!"

"Bukan."

"Terus apa?"

"Gue yang mangku lo."

"Ngimpi aja terus." Eden menukas sadis, bertepatan dengan bus berhenti di halte berikutnya. Pintu terbuka dan sesosok nenek-nenek masuk.

Refleks, Eden bangkit dari tempat duduknya, tersenyum ramah pada nenek-nenek itu dan mempersilakkannya duduk di tempatnya. Nenek itu tersenyum, memuji Eden karena kebaikan hatinya, juga parasnya yang cantik dan berkomentar tentang bagaimana Eden dan Rasi adalah sepasang kekasih yang sangat serasi. Rasi langsung senyam-senyum senang, sedangkan Eden mati-matian membantah. Sabda? Buang muka, ogah menyaksikan adegan telenovela yang terpampang nyata di depan matanya.

Lalu tiba-tiba, bus mengerem di sebuah perempatan. Itu terjadi begitu tiba-tiba, hingga Eden tidak mengantisipasinya. Gadis itu terhuyung, kehilangan keseimbangan dan terlambat meraih tsurikawa buat berpegangan. Dia mungkin sudah tersungkur secara memalukan di lantai bus jika Rasi tak gesit meraih pinggulnya, menariknya hingga punggung Eden membentur dadanya. Adegan klise yang mudah ditemui di drama percintaan remaja kebanyakan. Seperti yang bisa diramalkan, pandangan mereka saling beradu, menciptakan medan yang disesaki oleh percik-percik sinyal asmara. Eden terperangah, nyaris merasa tengah terperangkap dalam dunia di balik layar kaca jika saja Rasi tidak merusak suasana dengan meniupkan kecupan jarak jauh padanya.

"Muach."

Eden langsung melepaskan diri dari rengkuhan Rasi, wajahnya betul-betul terbakar seperti sedang ditempeli dua setrika panas sekarang.

"IDIH!"

"I have sexy lips, Heaven. Sexy lips."

"Bodo amat."

"Bibir gue kissable loh."

"Oke, lain kali gue cium."

"HAH, BENERAN?!"

"Pake gilingan buldoser tapi."

Rasi kontan bersungut-sungut, sementara Sabda tertawa puas dalam hati.

*

Mereka sengaja berpencar saat membeli hadiah untuk manito masing-masing, untuk menjaga kerahasiaan sekaligus memastikan setiap manito dapat kejutan. Keempatnya diberi waktu sejam setengah untuk menemukan hadiah yang dianggap paling sesuai dan diizinkan menambah budget jika jumlah uang yang dimiliki dirasa kurang. Walau harus memutar otak cukup lama, Eden berhasil mendapatkan hadiah yang menurutnya tepat buat Rasi—dengan sedikit saran yang sebetulnya tidak berguna-berguna amat dari Emir. Semenjak Setra dan kedua adiknya hadir dalam hidupnya, Eden jadi bingung pada alasan di balik eksistensi Emir.

Dia merasa aneh, sebab dia tidak merasa dia sesial yang Emir gambarkan. Pada tahap ini, Eden bahkan berpikir Emir bisa saja lenyap dan dia akan tetap baik-baik saja. Meski begitu, Eden tidak berani berterus-terang pada Emir. Bukan hanya karena cewek itu tak ingin melukai hati seseorang yang pernah disukainya sedalam itu di masa SMP—bisa dikatakan, Emir itu adalah cinta pertamanya—namun juga karena ada sesuatu tentang Emir yang... susah Eden gambarkan. Ada misteri yang menyelubunginya, sesuatu yang tidak mampu Eden definisikan.

Setelah memastikan mereka mendapatkan hadiah yang mereka cari, Setra mengajak ketiganya kembali ke guesthouse. Bukan hanya karena tidak ada tempat yang tepat buat saling bertukar kado, tetapi juga karena cuaca yang kelihatan tidak bersahabat. Mendung tebal berarak di langit, menyesaki setiap sudutnya, seperti memberi peringatan sebelum badai datang. Yang lainnya setuju, dengan satu catatan dari Rasi; dia ogah naik bus lagi.

Untung saja, mereka berhasil kembali tiba di guesthouse sebelum hujan turun dengan deras.

"Ini kita langsung tuker-tukeran kado atau gimana?" Eden bertanya sesaat setelah mereka melewati pintu masuk utama guesthouse.

"Biar seru, gimana kalau giliran aja?" Sabda mengusulkan, membuat Setra langsung memandang padanya dengan tatapan penuh arti. Dia tahu persis, Sabda mengusulkan itu bukan supaya manito game mereka makin menyenangkan, tetapi karena cowok itu terlalu malu memberikan hadiah pada manitonya di depan banyak orang. Bukan berarti Setra tahu siapa manito Sabda. Dia hanya menduganya... cause it's just a very Sabda thing to do.

"Oke. Kalau gitu kita gambreng. Orang pertama bakal masuk, dan mereka yang mendapat orang pertama itu sebagai manito akan memberi hadiahnya. Terus nanti berotasi aja. Orang yang manitonya orang pertama bakal menyusul masuk, memberi hadiah dan berlanjut sampai giliran orang pertama yang memberi hadiah. Ngerti?"

"Nggak, tapi kalau dilihat kayaknya nanti ngerti." Rasi terkekeh.

"Bagus kalau gitu." Setra manggut-manggut.

Mereka gambreng dan Eden keluar sebagai pemenangnya. Maka cewek itu masuk ke kamar mereka, duduk diam menunggu di atas karpet hingga pemberi hadiahnya datang. Awalnya, Eden menduga orang yang mendapatkannya sebagai manito adalah Sabda. Namun tebakannya salah. Begitu pintu dikuak, yang muncul adalah wajah Setra. Eden tersekat, tergugu di tempat, bingung harus mengatakan apa sementara Setra melangkah kian mendekat.

"Unexpected, right?"

"Aku agak sedikit... kaget."

"You're flustered." Setra tertawa, ada sebuah kotak cantik di tangannya, berwarna ungu pastel dengan pita dan manik-manik indah. "For my dearest manito, Kisa Eden Philomena."

Ragu, Eden menerima kotak itu. "Ini... boleh aku buka sekarang?"

"Saya bakal lebih senang kalau kamu membukanya sekarang."

Eden tidak menjawab, membuka perlahan tutup kotak itu dan mendapati sebuah kotak musik. Bentuknya sederhana, hanya kristal transparan dengan bulan purnama di bagian dalamnya. Benda itu sangat cantik, membuat Eden kehilangan kata-kata.

"Kak Setra—"

"Music box itu untuk didengar, Kisa. Bukan cuma dilihat." Setra berkata lembut dan ketika Eden menoleh padanya, cewek itu merasa tulang-tulangnya bertransformasi jadi jelly. Cara Setra memandangnya... terkesan dreamy... teduh dan sejuk, seperti cuaca yang sekarang terlihat di luar jendela. Lelaki itu menatapnya seolah-olah dia adalah keajaiban dunia terindah yang pernah ada. Perlahan, jemarinya memutar tuas pada music box tersebut. Dalam hitungan detik, musik indah mengalun.

Inochi no Namae.

"Kak Setra, ini—"

"My gift for you."

"A music box... that is very pretty. Thankyou."

"Not the ordinary one." Setra tersenyum tipis, membuatnya lebih terkesan seperti seringai. "It's my happiness stored in little box, waiting to be opened. And from now on, you're the owner of this little box."

Eden tidak mampu bicara lagi, hanya bisa mengangguk dengan wajah merah padam. Mereka tidak punya waktu lama tinggal berdua dalam kamar itu, sebab orang berikutnya sudah mengetuk. Setra mengangguk ketika Eden memandangnya sekali lagi sebelum cewek itu berjalan menuju pintu. Dia duduk diam menunggu selama sejenak hingga pintu kembali terbuka dan Sabda muncul dari baliknya.

"Ah, so you're my manito?"

Sabda mengangguk, berusaha kelihatan baik-baik saja, tetapi dari sorot matanya, Setra tahu cowok itu sedang menahan tangis. Ah, Sabda masih Sabda yang dulu. Sosok yang kelihatan tidak sopan, sarkastik dan tidak menyukai banyak hal, tetapi sebetulnya punya hati yang lembut dan mudah terharu oleh perhatian sekecil apa pun. Setra menunggunya, membiarkan Sabda menghampirinya dengan kotak cokelat terang di tangan.

"Boleh aku buka sekarang?" Setra bertanya setelah menerima kotak itu.

Sabda mengangguk lagi, masih tidak mengatakan apa-apa. Setra tidak butuh konfirmasi ulang. Dia membukanya, mendapati sebuah mangkuk kelabu dengan retakan berwarna keemasan di dalamnya.

"Kintsugi." Sabda menerangkan sebelum Setra bertanya. "Seni dari Jepang... yang memperbaiki benda porselen rusak dengan tambalan emas, perak atau platina."

"Cantik. Dari mana kamu dapat ini?"

"Dari toko bahan antik." Suara Sabda pecah. Cowok itu butuh berdeham sebelum menyambung. "Kintsugi menentang segala sesuatu tentang simetri dan kesempurnaan. Dia menggambarkan metode rekonsiliasi untuk sesuatu di luar kendali kita. kayak... penerimaan luka psikologis dan janji untuk bangkit lalu menghadapi transformasi. Untuk jadi sesuatu yang lebih indah, keramik itu harus jatuh, retak, pecah dan makin berharga setelah diperbaiki dengan emas."

Setra masih memperhatikan Sabda, mendengarkan penjelasannya dengan mata yang memandung penuh pengertian.

"Aku cuma berpikir... itu kayak... kita—maksudku, aku, Aci dan... Kak Setra. Baru-baru ini aku belajar... dan sadar kalau retakan di keramik bukan akhir dari kegunaan keramik itu, tapi bagian dari sejarahnya. Kita semua nggak sempurna. Kita semua punya kesalahan... punya luka masing-masing yang walau sulit, harus diterima. Karena cuma dengan begitu, kita bisa jadi lebih berharga."

"Beautiful. Strong people never have easy pasts." Setra meletakkan kotak itu di dekat lututnya, lantas meraih Sabda dalam pelukan secara tidak terduga. Dekapan itu hangat, melelehkan sesuatu dalam dada Sabda. "Sama seperti retakan di keramik itu, aku mau kamu tahu sesuatu."

"A—apa?"

"Aku tahu kamu suka Eden." Setra berbisik di telinga adiknya. "Sayangnya aku rasa, Rasi juga begitu."

Tenggorokan Sabda serasa disumbat setumpuk batu.

"Janjikan sesuatu sama aku?" Setra melepaskan pelukannya, ganti memegangi kedua bahu Sabda sembari menatap ke kedalaman mata adiknya. "Jangan berantem sama Rasi karena Eden?"

Sabda tidak langsung menjawab, malah menghindari tatapan Setra.

"Sabda Aksara?"

"Kak Setra—"

"Iya?"

"Maaf, tapi aku rasa untuk yang itu, aku... aku nggak bisa janji." 





bersambung ke seventeenth note 

***

rasi be like: 

Catatan dari Renita: 

halo. 

sebelumnya sori banget karena kemaleman haha tapi gue butuh mencari waktu untuk mengetik ini dan waktunya baru ada sekarang. 

sebelumnya, terimakasih buat kalian yang selalu setia menunggu guardiationship dilanjut. thankyou yaa. makasih juga untuk semua komentar, vote, wall messages, lol makasih udah spam comment di chapter sebelumnya. kalau baca komen kalian tuh kayak pegel nggak berasa lagi haha (acie bisa aja si renita) 

buat yang nanya manito game apa, coba cek ulang chapter 13. makasih. 

terus apa ya? yaudahlah gue bebaskan aja kalian untuk berspekulasi. 

btw, semoga di tahun baru, awal yang baru, kalian bisa semangat dan beraktivitas dengan baik. hope your wishes for 2019 will come true! 

buat yang nanya apakah gue bakal bikin cerita tentang anggota baru wayv (yangyang, hendery, xiaojun) mungkin iya, tapi gue mau menyelesaikan cerita ot18 dulu, terutama arkais, boyfriend johnny dan kak doyoung yang sangat menggoda haha (i'll make norenmin story titled TJRJ 2019 too haha so please just wait) 

terus apalagi ya... hm mungkin segitu aja dulu karena besok jam 8 gue udah harus survei dan pergi ke kelurahan. namanya juga #kknlyfe 

sekian dan terimakasih, selamat malam. 

ciao. 

Pemalang, January 8th 2019 

23.37

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top