seventeenth note
It hurts to love someone and not be loved in return,
but it's the most painful to love someone and never find
the courage to let the person know
how you feel.
—Anonymous—
*
Setra terhenyak sejenak setelah mendengar jawaban Sabda. Cowok itu memandang adiknya, berusaha mencari keraguan tapi yang ditemuinya di mata Sabda malah sebentuk keteguhan. Sabda bergeming, tak mengatakan apa-apa dan balik memandang kakaknya, menyiratkan bahwa apa pun yang Setra katakan tidak akan bisa mengubah jawabannya. Setra menghela napas, bertepatan dengan pintu kamar mereka yang diketuk, lalu dikuak dan wajah penuh ingin tahu Rasi menyembul dari celah pintu yang terbuka.
"Waktunya udah habis."
Setra menatap Sabda lagi, lalu beralih pada Rasi yang kelihatan memegang sebuah kotak mungil berwarna merah-hitam di tangannya. Itu warna favorit Sabda. Jelas, Sabda adalah manitonya.
"Oke." Setra menyerah, beranjak setelah sebelumnya tersenyum tipis nan muram pada Sabda dan berjalan menuju pintu keluar. Hadir dalam kamar digantikan oleh Rasi sesaat kemudian. Cowok jangkung itu melangkah masuk dengan santai, mengenggam kotak di tangannya penuh percaya diri. Dia mengabaikan alis Sabda yang berkerut, dengan mata menyorotkan tatapan menyelidik. Bukan apa-apa, tapi Rasi selalu punya cara bikin orang garuk-garuk kepala setiap kali dia dihadapkan pada situasi tukar-menukar kado. Singkatnya, bisa dibilang Rasi itu tidak becus mencari hadiah untuk seseorang.
Sabda masih ingat dulu, di hari ulang tahunnya yang kesepuluh, Mama mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah. Sebetulnya, itu bukan mau Sabda, tapi mau Rasi. Dalam perjalanan pulang sekolah, Rasi melewati sebuah bakery dan tercengang pada desain salah satu kue ulang tahun yang terpajang di etalase depan. Kue itu kue cokelat berdekorasi rumit dan cantik dengan bonus mainan robot-robotan. Rasi penasaran seperti apa rasanya, juga ingin memiliki bonus mainan robot-robotan yang dijanjikan, namun hari ulang tahunnya masih lama. Dia merengek pada orang-orang rumah, pada Setra, pada Papa-Mama, pada Sabda, supaya hari ulang tahun Sabda dirayakan sejak sebulan sebelumnya.
Awalnya, Sabda enggan mengikuti permintaan Rasi. Berbeda dengan kebanyakan anak seusianya, dia tidak suka acara ulang tahun. Dia suka cokelat, tapi enek dengan krim kue yang menurutnya kelewat manis dan berminyak. Dia suka diberi hadiah, tapi benci dengan tamu-tamu asing yang datang, karena tidak semua dari mereka betul-betul dia anggap teman. Meski begitu, bukan Rasi namanya jika tidak jago bikin orang luluh dengan 1001 macam cara merajuknya. Di akhir, mereka semua setuju untuk mengadakan perayaan ulang tahun buat Sabda.
Bisa ditebak, Rasi yang paling excited menyambut hari ulang tahun adiknya. Dia rempong memberitahu Mama soal warna dekorasi apa yang pas buat Sabda—atau sesuai keinginannya, lebih tepatnya—bawel tentang dresscode dan ngotot menemani Mama ke bakery untuk membeli kue cokelat cantik berbonus mainan robot-robotan. Sabda dongkol bukan kepalang, salty setengah mati karena entah kenapa rasannya malah seperti mereka mau membikin acara perayaan ulang tahun buat Rasi, bukan untuknya. Setra tertawa seperti biasa, berusaha membesarkan hati Sabda dan selalu tersenyum melihat antusiasme Rasi.
Tapi di hari ulang tahun Sabda, Rasi malah panik maksimal.
Cowok itu mondar-mandir di ruang tengah sejak pagi, sibuk menatap telepon rumah sampai lupa membantu Setra dan Sabda menggantung hiasan dari kertas krep dan meniup balon. Rasi memang sempat berteriak heboh waktu kue ulang tahunnya dikeluarkan dari lemari pendingin, namun itu tidak bertahan lama. Dia tampak gelisah, tapi tak menjelaskan apa-apa ketika ditanya. Setra dan Sabda jadi bingung, meski mereka memutuskan untuk tak mengorek informasi lebih jauh. Jam demi jam berlalu, terasa amat singkat seperti pasir pantai yang berdesir diantara jemari kaki kala ditarik ombak. Rasi kian gusar saat tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Lama, dia termenung di dalam kamar.
Mama yang khawatir menyuruh Setra menyambangi kamarnya. Setra menurut, naik ke lantai dua dan baru bermaksud mengetuk pintu kamar Rasi ketika dia dikejutkan oleh pekik girang cowok itu. Rasi bersikap seolah-olah dia adalah Archimedes yang baru menemukan teori sains baru tentang massa jenis air. Pekikannya terdengar sampai lantai bawah, membuat anak-anak seusia Sabda melongo. Sabda, bermuka bosan seperti biasanya, hanya berujar lugas,
"Maaf, itu kayaknya suara tapir Madura piaraan aku. Emang kalau belum dikasih makan suka gitu."
Di atas, Setra memandang pintu dengan wajah terperangah, hingga pintu itu terbuka dan membuatnya tersentak. "Aci,"
"Everything is okay, Kak! Don't worry!" Rasi berteriak lagi, kelewat senang dan menuruni tangga. Dia nyaris terpeleset, yang untungnya tidak karena dia pasti bakal jadi bahan tontonan seru kalau sampai menggelinding di tangga. Rasi masuk ke dapur, menyembunyikan sesuatu di bagian dalam kausnya dan kembali mengurung diri di kamar. Cowok itu menolak keluar saat Mama dan Setra bergantian memanggilnya, beralasan dia sedang sibuk. Sabda sudah kelewat lelah menghadapi tingkah kakaknya, memilih tetap di bawah sekaligus menyambut teman-temannya dengan wajah datar tanpa kesan.
Rasi baru muncul menjelang acara dimulai, dengan benda persegi dibungkus kertas kado di tangan. Dia cengengesan, malah memancing kecurigaan Sabda. Pesta perayaan ulang tahun itu diawali dengan salam pembuka dan ucapan selamat datang dari Setra yang didaulat menjadi master of ceremonies. Sepuluh menit awal dihabiskan Sabda dengan memutar bola mata seraya bergumam sarkastik kala melihat bagaimana teman-teman sekelasnya yang perempuan memandang Setra tanpa berkedip. Lalu seperti template default kebanyakan acara sejenis, dilanjut dengan tiup lilin dan potong kue.
Seharusnya semua berjalan normal, hingga Sabda yang penasaran tiba-tiba bilang, "Sori, ini kan hari ulang tahun aku, ya. Aku boleh punya request nggak?"
"Request apa?"
"Aku mau Kak Setra sama Aci ngasih aku hadiah yang masing-masing udah kalian siapin. Gimana?"
"Ah, itu." Setra manggut-manggut, melirik pada Mama yang langsung mengiakan, kemudian undur-diri sejenak untuk mengambil hadiah ulang tahun yang telah dia persiapkan buat Sabda. Ukurannya besar, lebih besar daripada bungkusan persegi mencurigakan milik Rasi. "Ini dari aku buat kamu. Happy birthday, Sabda!"
Sabda tersenyum—untuk yang pertama kalinya sejak acara perayaan ulang tahun itu dimulai—sembari memeluk Setra. Dekapan itu erat, hangat dan berlangsung tidak hanya sesaat. Sabda membenamkan wajah di bahu Setra yang balik tertawa seraya mencium rambut di sisi telinga adiknya. Papa tidak tinggal diam, mengabadikan momen itu menggunakan kamera yang beliau pegang. Ketika pelukan itu terlepas, Mama tersenyum senang sambil diam-diam menghapus sedikit air mata yang membayang di pelupuk matanya.
"Sekarang giliran aku." Rasi berkata penuh percaya diri seraya maju lebih dekat. Matanya berbinar senang waktu dia memandang pada kue cokelat yang telah lama dia idam-idamkan. "Nih. Hadiah dari aku nih istimewa. Sarannya sih jangan dibuka sekarang, nanti yang lain pada minder. Aku nggak tega."
"Ini apa?"
"Kan udah dibilang, hadiah teristimewa. Saking istimewanya, jangan dibuk—" Sabda menimang-nimang hadiah berlapis kertas kado itu di tangannya, lantas tanpa mempedulikan ocehan Rasi yang lebih ceriwis dari spesies beo paling bawel, cowok itu merobek ujung kertas pembungkusnya. Wajahnya santai saja, berbanding terbalik dengan Rasi yang tersekat, lalu melotot. Mukanya pias, sepucat tembok.
"Sapi, kan tadi aku bilang jangan dibuka sekar—"
Terlambat, Sabda malah merobek sisa kertas pembungkus yang masih tertempel apik dengan ganas, membuat Setra meringis, sedangkan Rasi tercengang. Rahangnya mungkin bisa jatuh ke lantai sewaktu-waktu. Sabda mengernyit kala dia tahu apa yang berada di balik lapisan kertas pembungkus.
Dua buah mi instan goreng yang jelas baru dicuri Rasi dari dapur dan dijadikan kado dadakan. Ruangan langsung senyap, sepi dari suara. Setra tercengang. Mama terdiam. Papa terperangah sampai lupa menekan shutter kamera. Rasi memasang ekspresi wajah tanpa dosa.
"Aci... ini kamu... alih profesi jadi perompak indomi?"
"Sapi, aku bisa jelasin—"
"Aci—"
"AKU NGGAK MAKSUD, SUMPAH, SUER!" Rasi jelas panik, memotong ucapan Sabda sembari mengacungkan dua jari tangannya tinggi-tinggi ke udara. "Sebenarnya aku udah nabung buat beliin kamu hadiah. Tanyain aja ke Mama. Aku udah bantuin Mama kemana-mana, bantuin Mama bersih-bersih, aku langsung ngerjain PR-ku setiap habis makan malam, aku dapet nilai 80 di ulangan matematika minggu kemarin, aku juga diem-diem rapiin meja belajar kamu walau akhirnya nggak sengaja nyenggol wadah pulpen kamu yang ada di atas meja terus wadah pulpennya jatuh dan pecah—"
"—JADI YANG MECAHIN WADAH PULPEN AKU TUH KAMU?!"
"Iya. Tapi itu nggak penting sekarang. Tolong marah untuk wadah yang pecah ditunda dulu." Rasi mengabaikan perubahan airmuka Sabda yang kini berang. "Aku udah nitip minta dibeliin plushies Micky Mouse ke temenku. Kamu suka Micky Mouse kan? Aku titip ke Acha, dia sekelas sama aku, nama lengkapnya Talisha Ayana Putri, kamu bisa cek aja, di kelas aku kalau nggak percaya. Kemarin dia ke Disneyland, terus aku titip, tapi dia lupa. Baru kabarin aku hari ini. Terus aku bingung karena pasti udah nggak sempet lagi keluar buat cari kado kan, lagian aku juga takut kalau naik taksi sendiri bakal diculik mamang taksi sedangkan Papa sibuk, Mama masih ngehias dekorasi dan Kak Setra lagi siap-siap jadi MC. Tapi aku nggak mau dateng ke ulang tahun kamu nggak bawa kado, jadi maaf, terima dulu ya mi gorengnya? Nanti pasti aku beliin hadiah yang sesuai. Jangan marah buat kado. Tapi kalau marah buat wadah pulpen, tolong kadarnya dikurangi dulu sebelum dilampiasin ke aku soalnya beneran nggak sengaja. Hehe."
Sabda mengerjap, sedangkan Mama dan Papa berpandangan, mungkin tidak mengira kalau anak kedua mereka punya bakat menumbangkan tahta Eminem.
"Aci..."
"Iya?"
"Udah ngerapnya?"
"Hng... udah..." Rasi menggaruk lehernya, canggung dan entah kenapa, merasa perlu menambahkan salam penutup. "Sekian dan terimakasih, dari Rasi mengabarkan."
"Kamu kira kamu Jeremy Teti?" Sabda memutar bola matanya sembari meletakkan dua bungkus mi instan di atas meja, tepat di sebelah kue tart cokelat yang baru dipotong sedikit. Cowok itu mendekati Rasi yang memejamkan mata, siap menerima cubitan atau makian. Namun ternyata dugaan Rasi salah. Alih-alih mencubitnya, Sabda malah meraihnya dalam dekapan.
Rasi bingung, walau hanya sebentar karena tak lama, dia balik memeluk Sabda.
"Makasih." Sabda berbisik dalam pelukan mereka. "Aku suka. Ini betulan hadiah terbaik."
Mama, lagi-lagi dibuat terharu di tempatnya berdiri.
Seharusnya semua berakhir dengan bahagia, jika saja malamnya, Rasi tidak bertandang tiba-tiba ke kamar Sabda. Kado-kado yang Sabda terima tertumpuk di sudut kamar. Cowok itu sendiri sedang memberi makan tamagotchi peliharaannya waktu Rasi masuk.
"Ih, kalau masuk tuh ketuk dulu!" Sabda menegur. "Coco paling nggak suka kalau lagi makan ada orang asing yang datang."
"Coco?"
"Tamagotchi peliharaan aku."
"Manja banget." Rasi manyun.
"Coco tuh introvert."
"Introvert itu apa?"
"Ada deh. Mau aku terangin juga kamu nggak bakal ngerti." Sabda mengalihkan pandang dari tamagotchinya. "Kamu mau ngapain ke sini? Mau ngasih mi sekardus?"
Rasi nyengir, jadi lucu karena ada noda cokelat dari potongan kue tart yang baru dia makan melekat di giginya, menciptakan ilusi seolah-olah dia ompong mendadak. Sabda tidak tertawa, malah berdecak dan melemparkan sebungkus tisu basah yang ada di atas nakas sisi tempat tidurnya. "Bersihin tuh noda cokelat di gigi kamu! Geli lihatnya!"
Rasi tertawa malu, menurut dan membersihkan noda cokelat dari giginya. "Aku ke sini mau nanya. Tapi jawab yang jujur ya? Aku janji nggak bakal bilang siapa-siapa."
"Mau nanya apa?"
"Janji dulu jawab jujur. Aku bakal jaga rahasia kamu. Tenang aja."
"Iya. Sekarang mau nanya apa?" Sabda mulai kehilangan kesabaran.
"Kamu nggak lagi ikut aliran sesat kan?"
"Aliran sesat ape?!"
"Misalnya, sekte pemuja indomi goreng." Rasi berspekulasi, membuat Sabda ingin meneriakkan kata 'tolol' keras-keras di depan wajahnya. "Atau kamu nggak lagi kepikiran buat jadi umat agama indomi kan, Sapi?! Plis, jangan! Aku nggak mau nanti kamu masuk neraka, direbus dalam panci penuh potongan cabe rawit dan sawi!"
"Kamu nih gila ya?"
"Sapi, kamu udah janji mau jawab jujur. Aku nggak akan bilang Papa, Mama atau Kak Setra, tapi—"
Sabda mendengus, beranjak dari kasur untuk meraih dua bungkus mi instan yang tadi Rasi beri, lalu melemparnya sekeras-kerasnya pada kakak keduanya.
"KELUAAAAARRRR!!!"
"Tenang aja, kali ini hadiahnya bukan mi instan, kok."
Seperti mengerti arah pikiran Sabda, Rasi bilang begitu ketika jarak mereka sudah cukup dekat. Mereka duduk berhadapan di atas karpet pelapis lantai kamar. Sabda memandang serius, sementara Rasi membuka kotaknya dan memberikan tiga tumpuk sticky notes unik yang terkesan vintage. Ukurannya besar, hampir mirip seperti notes mini.
"Ini... apa?"
"Untuk manito aku yang paling menyebalkan sekaligus paling aku sayang," Rasi nyengir malu-malu. "Wishing papers. Buat kamu. Ada 120 lembar. Kamu bisa nulis apa pun keinginan kamu di sana dan aku bakal mengabulkannya."
"Kalau aku tulis Honda Jazz?"
Rasi berdecak. "Kira-kira juga dong, Sapi! Kamu mau aku ngebobol bank?"
"Yaudah. Sana bobol bank."
"Aku serius, Sabda."
"Oke." Sabda meraih kotak itu dari tangan Rasi, menarik lepas selembar kertas dan mengembalikan sisanya. Rasi mengernyit.
"Kenapa dibalikin? Semuanya punya kamu."
"Aku nggak butuh 120 kertas harapan. Aku cuma butuh satu."
"Oh, bagus deh kalau gitu."
"Bisa aku minta sekarang?"
Rasi kelihatan ragu. "Sekarang banget?"
"Iya."
"Boleh, sih."
"Oke, tunggu bentar." Sabda bangkit hanya untuk mengambil pulpen dari laci nakas. Rasi diam saja, menontonnya kembali untuk memungut kertas di atas karpet dan menulisinya. Tidak butuh waktu lama buat Sabda menyelesaikan apa yang dia tulis. Ketika dia menunjukkannya pada Rasi, jantung cowok itu serasa jatuh ke perut. Hanya ada empat huruf tertera di kertas itu;
E – D – E – N
"Aku nggak butuh banyak. Aku cuma butuh satu aja. Kembaliin dia."
"Sabda Aksara—"
"Aku suka dia. Aku mau dia."
"Sabda—"
"Kasih dia ke aku."
Rasi menghela napas. Keras dan tajam. Lalu katanya dengan penuh keyakinan, "It's impossible."
"Maksud kamu?"
"It's a wish I can never grant. Sorry."
Sabda menatap dingin. "As expected. Then you better don't make promises you can never keep."
"Sabda,"
Sabda tidak merasa perlu mendengar penjelasan Rasi. Dia melangkah menuju pintu, membukanya dan berjalan keluar dari kamar.
*
"Sabda?"
Setra adalah yang pertama bereaksi ketika Sabda muncul dari balik pintu yang dibuka. Wajah cowok itu pahit. Saat Setra memandang ke dalam dan sadar airmuka Rasi sama tidak enaknya, dia tahu sesuatu pasti sudah terjadi. Sabda sendiri enggan menjelaskan, hanya mengatakan sebaris kalimat dalam nada yang tajam.
"Malam ini, aku nggak mau tidur sekamar sama dia." Katanya, lalu dia berlalu pergi begitu saja.
Rasi terperangah, lantas tertunduk muram.
"Rasi?"
Rasi berdeham, berusaha supaya suaranya tidak pecah. "Untuk malam ini, aku juga nggak mau tidur sekamar sama dia."
Ucapannya kontan membuat Setra menghela napas panjang, jauh berbeda dengan Eden yang justru bingung. Cewek itu terhenyak sesaat, sempat bimbang harus berbuat apa hingga dia mendengus sendiri sebelum berjalan menuju pintu keluar guesthouse untuk mengejar Sabda.
Ditinggal hanya berdua, Setra dan Rasi saling menatap. Cuma sebentar, sebab tidak lama, Setra berjalan masuk ke dalam kamar, menghampiri Rasi dan tanpa aba-aba, menariknya mendekat untuk memeluknya. Napas Rasi tertahan, disusul oleh bisik pelan.
"Aku nggak mau marahan sama Sabda." Rasi menggigit bibir, lalu meneruskan dengan parau. "Nggak mau lagi."
Setra tidak menjawab, hanya menepuk punggung Rasi dengan cara yang menenangkan.
"Aku suka ada Sabda."
"Aku tahu."
"Tapi aku nggak bisa ngasih apa yang dia minta." Muka Rasi terbenam kian dalam di bahu Setra yang masih terus menepuk punggungnya pelan.
"Aku tahu."
*
Sabda tidak bisa mendefinisikan apa yang sekarang bergejolak dalam dadanya dengan kata. Apakah dia marah? Jelas. Tapi marah kepada siapa? Dia tidak tahu. Marah pada dirinya sendiri terkesan konyol. Marah pada Rasi adalah sebentuk ketidak-adilan. Hanya saja, dadanya betul-betul sesak. Dia tidak bisa tetap diam dalam kamar itu karena jika dia menghabiskan semenit lebih lama, dia akan tercekik. Jalanan yang sepi dan lembab oleh sisa derai hujan menyambutnya. Matahari bersembunyi di balik awan, seakan merayakan kesedihannya. Sabda menyeberangi jalan, melangkah dalam kubangan emosi yang menggenang dan memilih untuk berhenti, duduk di bangku logam yang berada di depan minimarket. Sayangnya, dia agak kurang hati-hati. Saat duduk, ujung tajam dari bangku logam yang sudah berkarat menggores telapak tangannya, membuatnya tersentak. Luka tipis muncul di sana, disusul oleh rembesan darah merah.
"Shit. Shit. Shit." Sabda memaki berulang kali, sampai dia melihat Eden muncul dari pintu masuk guesthouse, menoleh kesana-kemari hingga cewek itu menemukannya dan berjalan ke arahnya. "Fuck."
Kabur sudah percuma, karena pada titik ini, Eden jelas bakal mengejarnya sampai ke ujung dunia.
"Sabby, lo kenapa?"
Sabda melotot, galak. "Ngapain lo di sini?!"
"Dih, sensi banget!" Eden berseru seraya duduk di samping Sabda—yang diam-diam menutupi sisi tajam bangku dengan tangannya yang lain, mencegah Eden menyentuhnya. "Lo sama Rasi kenapa, deh?!"
Sabda buang muka. "Nggak apa-apa."
"Kalian berantem kenapa lagi? Lo nggak suka sama hadiah dari Rasi?"
"Bukan gitu."
"Terus apa?"
Dia menolak memberi apa yang gue mau.
"Sabby, gue ngomong sama lo!"
"Lupain aja."
"Oke. Gue lupain. Tapi mukanya jangan kusut gitu, dong! Muka lo kusut. Langitnya mendung. Jelek banget vibesnya. Senyum dikit coba."
"Nggak mau."
"Terus maunya apa?"
"I wanna go home." Eden tidak menjawab, namun merentangkan kedua tangannya dan itu membuat dahi Sabda berlipat. "What are you doing?"
"I can be your home. Come here."
Sabda tersekat, walau ragu-ragu pada awalnya, tetapi dia menyerah dan memeluk Eden. Eden membiarkan cowok itu mendekapnya. Hangat. Ada gemuruh yang berbeda, jantung Sabda berdetak lebih kencang dari biasanya. Atau mungkin itu hanya perasaan Eden saja.
Yah, itu pasti hanya perasaannya saja. Sesuatu yang tidak beralasan. Kenapa juga jantung Sabda bisa berdebar lebih cepat hanya karena sebuah pelukan darinya?
"Tangan lo berdarah." Eden tiba-tiba berkata usai pelukan mereka terlepas.
Sabda cepat menyembunyikan ibu jarinya yang luka. "Cuma luka kecil."
"Luka kecil, tapi tetap berdarah!" Eden berseru tegas. "Ini harus diobatin. Dibersihin. Tuh, ada bekas karatnya. Kalau sampai tetanus gimana, hayo?"
Sabda tidak bisa membantah karena Eden langsung menarik tangannya, memaksanya kembali ke guesthouse. Setra dan Rasi masih berada di kamar, duduk diam tanpa saling bicara. Muka Rasi kelihatan tidak karuan, namun cowok itu tetap berdiri dengan penuh penasaran waktu Eden kembali bersama Sabda.
"Sabda luka. Ada kotak obat nggak?"
"Ah, kotak obat? Kayaknya gue bawa."
"SANGAT TIDAK TERDUGA." Eden terhenyak, masih berdiri tidak percaya kala Rasi berjalan menuju kopernya di sudut kamar dan mengeluarkan kotak putih berukuran mini dengan simbol palang berwarna merah di bagian depannya. Tidak serupa dengan Eden dan Setra yang jelas takjub karena mendapati Rasi mau repot-repot menyiapkan kotak obat itu bisa masuk keajaiban dunia nomor sekian, Sabda malah pucat.
Ternyata, itu bukan tanpa alasan, sebab Rasi hampir tersedak ketika dia membawa kotak obat itu pada Eden dan membukanya hanya untuk mendapati seluruh kotak terisi penuh oleh kepingan cheetos.
"HAH—KOK ISINYA CHEETOS?!" Eden ternganga.
"Iya juga." Rasi mengusap rahangnya ketika masa kagetnya sudah lewat. "Kenapa nggak Pringles aja ya?"
"Ngaco!" Eden menggeplak bahu Rasi sampai yang punya bahu meraung-raung heboh, bersikap dramatis seakan-akan dia baru dicambuk puluhan kali. "Lo yang ngisi ini pake cheetos ya?!"
"Bukan gue!"
"Terus siapa?!"
"... gue." Sabda menyahut, akhirnya mengaku dengan wajah yang sudah merah padam.
Eden berpaling padanya, sudah naik darah maksimal. "Why the hell would you fill this with cheetos!?"
"... biar lucu."
"Kadang lo bisa lebih nggak ngotak dari Aci ya?!"
"Aku bawa kotak obat juga, kok." Setra mengambil posisi sebagai penengah seperti biasa. Cowok itu mengambil kotak obat dari kopernya, membukanya dan menunjukkannya pada Eden sambil tersenyum. "Dan untungnya, nggak ada yang iseng ngeganti isinya dengan cheetos."
Sabda meringis, Eden memutar bola matanya dan Rasi... tak seperti biasanya, cowok itu justru diam seribu bahasa.
*
Eden kira, situasinya akan kembali normal, akan tetapi dia salah tebak. Apa pun yang terjadi dalam kamar guesthouse tadi, itu pasti cukup serius karena Sabda dan Rasi sama-sama kompak mengibarkan bendera perang. Bakal lebih baik jika perang itu melibatkan cekcok seperti biasanya, bukan perang dingin di mana dua cowok itu bersikap seolah-olah mereka tidak saling ada. Rasi enggan masuk ke kamar, memilih duduk di ruang tunggu guesthouse sampai Setra membook satu kamar baru untuknya. Sabda juga begitu. Dia bilang dia tidak ingin diganggu. Tingkah-laku dua anak itu bikin Eden bingung sekaligus canggung. Pertama, karena dia jadi hanya berdua saja dalam kamar dengan Setra. Kedua, dia jadi tak paham bagaimana caranya bersikap normal.
Agaknya, Setra menyadari ketidaknyamanan Eden, sebab menjelang sore, cowok itu mengajak Eden menemaninya pergi membeli sesuatu. Rasi dan Sabda sama-sama menolak ikut, lebih suka mengunci diri di kamar masing-masing. Merasa tidak bisa memaksa, akhirnya Eden pergi berdua saja dengan Setra.
Mereka memang pergi membeli sesuatu, tapi setelahnya tidak langsung kembali ke guesthouse. Setra malah mengajak Eden ke salah satu kafe dan sebuah galeri seni. Tempat itu tidak seluas kebanyakan galeri seni di luar negeri, namun koleksinya tetap indah dan ditata dengan sangat artistik. Eden jarang mengunjungi galeri seni dan punya kesempatan menyambangi tempat sejenis itu bersama Setra... entahlah... rasanya menyenangkan? Apalagi, Setra itu cowok yang sangat gentleman. Dia selalu berjalan di samping Eden, atau di belakangnya. Tidak pernah sekalipun memimpin jalan di depan. Saat Eden pergi ke toilet, cowok itu menunggui dengan sabar. Ketika Eden tidak melihat, Setra mengambil beberapa foto candid yang bisa Eden bilang, dapat didaulat sebagai foto candid terbaiknya. Belum lagi pengetahuan Setra yang cukup banyak terkait aliran lukisan dan seni.
Bersama Setra... Eden sejenak lupa segalanya.
Bukan karena Setra punya tampang bak malaikat yang bisa bikin siapapun berhenti sejenak hanya untuk melihatnya lebih lekat. Bukan karena Setra punya senyum yang mampu membuat Eden terpana. Bukan karena sikap penuh perhatian Setra yang berhasil membuat Eden merasa dijaga. Hanya nyaman.
Cowok itu punya caranya sendiri untuk membuat orang di dekatnya merasa nyaman, bahkan tanpa mengucapkan apa-apa.
Dalam perjalanan pulang, Setra mengajaknya mampir di sebuah toko perhiasan etnik kecil dengan bentuk bangunan yang menarik. Tempatnya tak besar, membuatnya kurang mencolok diantara ruko-ruko lain yang lebih luas. Setra bilang, tempat itu direkomendasikan oleh Lucio, salah satu teman serumahnya yang punya banyak tindik di telinga.
Tempat itu cantik, unik, jelas bukan tempat yang bisa Eden lihat setiap hari. Benda yang dijual bervariasi, mulai dari giwang, anting-anting bertema futuristik, gelang beraneka bahan yang disemati beragam batu-batuan, kalung, kacamata, tas slempang, dompet dan entah apa lagi. Eden menyusuri bagian dalam toko untuk melihat-lihat, hingga Setra memanggilnya mendekat.
"Kamu lahir bulan Januari, kan?"
"Kak Setra tahu?"
Setra tertawa, lalu tatapannya melembut. "I know everything about you. Well, that sounds creepy. I'm sorry."
"No need to say sorry, Kak." Eden membantah. "Kak Setra baik, kok."
"Kalau saya beliin ini buat kamu, kamu mau terima?"
Napas Eden tertahan dan pipinya menghangat. "Kak Setra... mau beliin itu buat aku?"
"Ini batu garnet." Setra tersenyum, menunjuk pada batuan yang terselip diantara rantai gelang. "Batu garnet itu batu kelahiran untuk bulan Januari."
"Wow, aku baru tahu!"
"It aids circulation and all blood related issues. It's a stone of physical love and relationship. A spritual stone of psychic protection. Mitosnya begitu, tapi saya harap ini beneran bisa melindungi kamu." Setra meraih lengan Eden, menyentuhnya dengan lembut seperti dia sedang menyentuh sayap kupu-kupu. Eden tidak mampu berkata-kata, merasa dia bisa meleleh sewaktu-waktu di bawah sentuhan Setra.
Physical love...
"Ini batu keberuntungan, Kisa."
Setra mengangkat wajah, memandangnya dan selama sebentar, Eden merasa dia bisa lebur dalam lensa mata itu. Setra tidak pernah banyak bicara. Dia lebih sering diam tanpa suara. Namun ketika dia mencintai seseorang, orang itu bisa merasakannya lewat semua yang dia lakukan. Dari caranya menyentuh. Dari caranya memandang. Setra bersikap seolah-olah orang itu adalah keajaiban terbesar yang pernah menghampirinya dalam hidup.
I wish I had the courage to say I like you.
Perhatian mereka terpecah oleh suara ponsel yang bergetar tiba-tiba. Setra mengeluarkan ponselnya, begitu pula Eden. Ternyata notifikasi itu datang dari grup LINE beranggotakan mereka berempat.
buat foto (4)
rasi gemintang: aku nggak mau segrup ama sapi. aku leave
sabda left the group
rasi gemintang: dih nyuri start!
rasi gemintang left the group
"Lah?"
Setra tidak mampu berkata-kata.
"Aku... bingung."
Setra berdeham, kembali berusaha menenangkan. "Nggak usah terlalu dipikirkan."
"Kak Setra... nggak leave juga?"
"Kalau saya leave, nanti kamu sendirian di grup itu."
Eden tertunduk, wajahnya merona, tetapi dia tak bisa larut dalam perasaan itu lebih lama karena Emir telah lebih dulu melayang mendekatinya, lantas berbisik samar.
Pelanggaran. Lo nggak seharusnya jatuh untuknya.
Eden tersekat, balik memandang Emir dan berusaha membantah, namun Emir telah lebih dulu menyambung.
Terlambat. Sekarang lo sudah jatuh untuknya. Serelanya. Sepenuhnya.
Falling for someone is like pulling a loose thread. It happens stitch by stitch. Only afterward do you glance down at the tangle of string around your feet that used to be a person who was whole and self-contained and realize that love is not a thing that we create. It's an undoing.
bersambung ke eighteenth note
***
Catatan dari Renita:
halo.
akhirnya kita ketemu lagi di chapter kedua yang renita tulis selama masa kkn
mungkin kalian sudah tahu balada dramatis kkn renita di pemalang. aku ga cocok sama air sini. nggak tahu kenapa langsung jerawatan kecil-kecil yang bruntusan putih gitu dan gatel banget huhu jelek bat dah muka gue jadinya.
ngerusaknya cepet, ngebalikinnya lama.
jadi kemaren renita sempet cabut bentar ke jakarta dan sehari pake air jakarta wow langsung mendingan dong muka gue.
akhirnya gue menyerah dan memilih untuk ke dokter kulit senin nanti. tapi kalo kalian ada saran, atau rekomendasi dokter kulit di pemalang boleh banget ya. sekalian sama estimasi harga kalo bisa, karena gue nggak pegang cash banyak.
sedih banget sih.
dan berhubung gue ini introvert yang susah dipahami dan hobi menyendiri, agaknya gue dipandang aneh.
tapi yaudalaya.
nggak ada kewajiban buat semua orang untuk baik sama kita.
EA
doakan aku bisa survive ke depannya.
terus apa ya?
hm, kalau kalian follow instagram gue, mungkin kalian udah familier dengan imagine gue yang kak doy, boyfriend johnny, arkais (terus kemaren sempet bikin jeno dan kucingnya haha) ceritanya belum akan debut. arkais nanti, abis guardiationship dan paling cuma 10 chapters sih. jadi yang di ig itu anggaplah teaser doang gaes. haha tapi dari semuanya, yang paling lo tunggu yang mana sih?
kayaknya udah itu aja ya. happy kaisoo day and happy belated birthday kyungsoo.
selamat hari minggu, semoga hari ini happy.
makasih juga buat yang sudah setia menunggu, setia vote dan setia kasih comment. love<33333
see ya
ciao
Pemalang, January 13th 2019
14.40
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top