second note
Though we complained about it all,
it was such a worthwhile waste of my time
Every day and each night a memory
Take care and please don't forget me
—Neck Deep—
*
"Kemaren kartu tanda mahasiswa kamu bukannya udah diambil sama kakak kamu?"
Ekspresi wajah Sabda langsung berubah bingung oleh jawaban Mang Encup ketika ditanya soal kartu tanda mahasiswanya yang ditahan. Beberapa hari yang lalu. Sabda berantem dengan salah seniornya—yang berlagak sok kuasa dan berpikir bahwa dia bisa bersikap seenaknya hanya karena dia lebih tua—di sana. Teman-teman Sabda takut, namun Sabda enggan menurut. Jadilah mereka ribut, yang berujung dengan pecahnya piring-gelas milik burjo hingga membuat mamang burjonya merengut.
"Kakak?"
"Ada langganan mamang, Etra si kasep eta, kemaren mamang ceritain soal kamu yang berantem sama senior kamu, terus mamang lihatin kartu tanda mahasiswa kamu. Eeeeh, ternyata dia bilang kamu tuh adiknya. Apa bukan? Tapi masa iya Etra bohong, sih? Lagian kalian juga sebelas-dua belas kitu, sama-sama kasep pisan ampun-ampunan!"
Sabda langsung paham siapa Etra yang dimaksud oleh Mang Encup. "Oh, oke. Makasih ya, Mang."
"Etra teh beneran aa kamu, kan?"
Sabda tidak menjawab, hanya memaksakan senyum sebelum berbalik dan meninggalkan burjo diikuti tatapan heran Mang Encup. Tujuannya sudah jelas, tentu saja dia harus menemui Setra sekarang. Bagaimanapun juga, Sabda masih butuh kartu tanda mahasiswanya.
Komunikasi mereka terputus sekian tahun lalu, tidak lama setelah Setra pergi dari rumah setelah bertengkar dengan Papa karena memaksa kuliah di jurusan pilihannya sendiri. Awalnya, Setra sempat berusaha menelepon Sabda, yang sayangnya, selalu diakhiri oleh tombol reject. Lalu, Setra berhenti menelepon. Nomor itu masih Sabda simpan di ponselnya, membuatnya sempat ragu sesaat.
Haruskah dia mengirim pesan?
Ide tertolol sedunia, Jenius, Sabda menjawab tanya itu dengan sarkastik dalam hati, lantas meneruskan langkah menuju departemen Setra.
Sekarang masih satu jam sebelum jam makan siang sehingga koridor kampus tidak terlalu ramai. Sabda berkeliling mencari sosok kakaknya, tapi tidak kunjung berhasil menemukan cowok itu. Beberapa mahasiswa sedepartemen Setra yang berpapasan dengannya mengangkat alis dengan heran pada Sabda. Mungkin mereka penasaran, buat apa mahasiswa asing yang jelas bukan berasal dari departemen mereka berkeliaran di sana.
Beberapa lama kemudian, ketika lelah berkeliling, Sabda memutuskan duduk sejenak di bangku koridor. Tangannya merogoh saku, kembali mengeluarkan ponsel dan membuka daftar kontak. Nomor ponsel Setra masih tersimpan apik di sana.
Gue di gedung lo. Mau ambil KTM. Lo di mana?
Tanpa sadar, Sabda mengetikkan sebaris pesan itu untuk Setra. Lalu jarinya melayang di atas opsi send. Dia hanya perlu mengetuk pelan sekali dan pesan itu bakal terkirim pada nomor tujuan, tetapi pada detik berikutnya, Sabda justru memilih menghapus semua kata yang telah dia ketik.
"Hah, bisa gila gue lama-lama!" Sabda berseru pada dirinya sendiri sambil bangkit dari bangku dengan kesal, memilih berjalan cepat meninggalkan tempat itu menuju kios jajanan yang berada di ujung koridor. Letak kios jajanan itu berada diantara bangunan-bangunan departemen yang saling bersisian, agak terpisah dari kantin. Dari barang-barang yang dijual di sana, tepat menyebutnya warung serba ada.
Seorang perempuan setengah baya yang menjaga kios itu tersenyum ramah waktu Sabda masuk untuk mendekati pendingin berisi aneka es krim di sudut ruangan.
"Yah... yang rasa mangganya nggak ada..." Sabda mengeluh refleks setelah dia menggeser penutup di bagian atas pendingin dan gagal menemukan varian es krim yang dia cari. "Bu, es krimnya yang rasa mangga nggak ada ya?"
"Tadi tinggal satu, keburu dibeli orang. Pas banget, sebelum kamu sampai ke sini. Tapi yang rasa stroberi masih banyak, kok. Atau yang cokelat, tuh."
Sabda merengut tanpa sadar, bikin bibirnya mengerucut macam anak TK yang sedang cemberut. "Saya sukanya rasa mangga."
"Ini buat lo."
Rengutan Sabda langsung berganti jadi airmuka tegang ketika sebuah suara yang tidak asing tiba-tiba terdengar. Cowok itu menelan ludah, merasa seperti seekor tikus tak berdaya yang terjebak di sudut ruangan. Dia menghela napas, sengaja menyiapkan ekspresi wajah paling menyebalkan yang dia punya sebelum menoleh ke pintu, tempat di mana Setra berdiri sambil mengulurkan sebungkus es krim rasa mangga di tangan kanannya.
"Gue nggak tahu gue harus senang atau kesal karena ketemu lo di sini."
"Apa pun itu, jelas lo nggak akan ada di sini karena nyasar atau lupa jalan ke kampus." Setra menjawab tangkas, lalu menyambung dengan nada suara yang paling Sabda benci. Cowok itu terdengar peduli, seperti kakak yang ingin tahu kabar adik yang lama tidak dia temui. "Ada apa? Jangan bilang kalau lo kena masalah baru lagi."
"Gue mau ambil KTM gue."
"Ah, itu." Setra menyahut paham seraya mengeluarkan dompet dan mencabut sebuah kartu dari salah satu selipannya, kemudian tatapannya jatuh pada luka di wajah Sabda. "Luka lo sudah kering. Soal lo sama senior itu, masalahnya nggak berlanjut, kan?"
Ucapan Setra membuat tangan Sabda terkepal. Jujur saja, semuanya bakal lebih mudah jika Setra tidak bersikap sok peduli seperti itu padanya. Kenapa Sabda bilang sok peduli? Jika cowok itu betulan peduli, dia tidak akan meninggalkan Sabda seperti yang telah Rasi lakukan.
Sabda menghindari tatapan mata Setra, bermaksud berjalan pergi begitu saja usai mengambil kartu tanda mahasiswanya, namun sayangnya, Setra tidak membiarkannya pergi semudah itu. Dia menahan langkah Sabda dengan tangannya yang masih memegang es krim. "Buat lo."
"Gue nggak butuh itu."
"Lo suka es krim mangga dari dulu." Setra berusaha tersenyum, sebelum menyambung dengan suara yang lebih kecil. "Kayak gue."
"Gue udah nggak pengen makan es krim."
"Sabda," Setra memanggil, menahannya lagi hingga dia tidak bisa benar-benar segera pergi. "Gue minta maaf."
"Apa?"
"Gue minta maaf, buat semuanya. Tapi tolong, jangan begini."
Sabda tersenyum pahit, sengaja tidak menoleh karena dia takut dia akan menangis kalau dia menatap Setra sekarang. "Gue nggak tahu apakah ada yang pernah bilang ini ke lo sebelumnya, tapi Kak, kalau semua masalah bisa terselesaikan segampang lo bilang maaf, nggak akan ada yang namanya hakim, pengacara, jaksa dan polisi di dunia."
"Sabda, gue tahu kalau lo merasa—"
"Nggak. Lo nggak tahu!" Sabda masih memunggungi Setra saat dia memotong. Kedua tangannya menggantung di sisi tubuhnya, terkepal amat kuat hingga buku jarinya memutih. "Kita itu seperti mangkuk kaca yang sudah pecah. Nggak peduli sekeras apa pun lo mencoba memperbaikinya, mangkuk itu nggak akan bisa kembali ke bentuknya semula."
Jawaban Sabda membuat Setra kehilangan kata-kata. Dia tidak lagi menahan Sabda untuk nggak pergi dari sana. Cowok itu terdiam, menatap gamang pada punggung adiknya yang kian menjauh hingga ditelan oleh belokan koridor. Dia tidak pernah tahu bagaimana setelahnya, Sabda berhenti sejenak dan bersandar ke tembok sambil berusaha meredakan napasnya yang memburu dengan mata yang memanas, sesuatu yang selalu Sabda rasakan setiap kali dia hampir menangis.
Maaf.
Sabda benci merasa seperti ini.
Dia masih menyandarkan punggungnya ke dinding pucat ketika ponselnya bergetar tiba-tiba karena notifikasi dari salah satu grup LINE di ponselnya. Sabda mengeceknya, langsung dibikin heran, sebab grup itu sudah mati sejak lama. Tidak ada lagi postingan baru selain pesan broadcast dari beberapa anggota—yang belum tentu sehari sekali ada. Namun hari ini berbeda. Itu bukan iklan atau postingan promosi acara, melainkan sebuah kabar berita.
Sabda membacanya dengan hati-hati dan berakhir hampir tercekik oleh napasnya sendiri.
Berita itu sangat mengejutkan, membuatnya merasa harus memastikan ulang dan ternyata, berita itu memang bukan berita khayalan. Butuh beberapa saat baginya untuk bisa mencerna informasi yang baru dia terima, tapi perlahan, Sabda memahami jika kabar itu memang benar adanya.
Semengejutkan apa pun itu, jelas bukan sesuatu yang mustahil seperti berita tentang Kim Jong-un yang tiba-tiba muncul di televisi dengan rok tutu merah jambu. Hanya saja, kemunculannya yang terlalu mendadak bukan hanya membuat Sabda terkejut, tapi juga membuatnya teringat pada memori lama sekaligus pemahaman sempurna bahwa di dunia ini, memang tidak ada yang selamanya.
*
"Gue merasa bego sekarang."
"Bukannya udah dari dulu?"
"Ih, bukan gitu maksud gue!"
"Dulu tuh lo satu-satunya anak di kelas yang dapet nilai 10 dari nilai maksimal 100 di pelajaran Bahasa Indonesia." Emir membalas polos, tapi wajahnya langsung berubah takut ketika Eden yang berjalan di depannya berhenti melangkah, lalu menoleh sambil melayangkan death glare padanya. "Um... oke... seenggaknya dulu lo masih dapet nilai. Jadi nggak melas-melas amat kayak Nobita."
"Gue nggak bisa membedakan apa lo lagi mencoba menghibur gue atau mengejek gue lebih jauh sekarang, tapi yaudalah lah!"
Eden mendengus sebelum memutuskan untuk duduk di bangku pinggir jalan yang berada tidak jauh dari tempat mereka berada. Ini menjelang jam 12 siang dan matahari terasa kejam menyengat kepalanya. Gara-gara instruksi dari guardian angel pemula yang ternyata sarannya sangat meragukan untuk dipertimbangkan, Eden telah berkeliling ke tiga departemen sekaligus yang berada di sekitar departemennya. Tapi tidak peduli sebanyak apa pun orang yang mereka tanyai, hasilnya tetap nihil.
"Gue kan udah bilang, di kampus tuh nggak ada grup kayak gituan!"
Emir ikut duduk di samping Eden, walau teknisnya, tidak ada yang bisa melihatnya selain Eden. "Gue nggak tahu. Tertulisnya begitu."
"Lo nih guardian angel apa bukan sih sebenarnya?"
"Kan gue bilang, gue masih newbie. Ibarat kata atlet, gue masih kelas amatir."
"Terus kalau gitu kenapa lo kudu ditugaskan untuk orang yang super sial kayak gue ketika guardian angel gue yang lama aja minta di mutasi?" Eden jadi sewot, lantas buru-buru menyambung saat dilihatnya Emir bermaksud menjawab. Cowok itu benar-benar tidak bisa membedakan mana gerutuan sarkastik dan mana pertanyaan beneran. "Nggak usah dijawab! Jawaban lo juga nggak bakal membantu, malah bikin gue tambah pusing!"
"Oke."
"Tapi duduk di sini salah nggak, sih?"
"Maksudnya?"
"Gue bakal sial nggak kalau kelamaan duduk di sini? Misalnya kejatohan ee burung atau ketiban ranting pohon yang tiba-tiba patah gitu?"
"Um... sebentar..." Emir kelihatan ragu dan jadi super rempong saat dia mulai merogoh saku celananya. Beraneka benda-benda tidak masuk akal seperti bon kusam, tajos karatan, kartu Digimon dan relik lainnya yang Eden curigai berasal dari jaman Mesozoikum kembali tampil, berjatuhan di dekat kaki Emir sementara cowok itu masih mencari-cari sesuatu—yang kalau Eden harus tebak, pasti kartu instruksi atau semacamnya.
Cewek itu menatap Emir dengan kening berlipat, tidak melihat sebuah Kopaja yang muncul dari ujung jalan. Waktu dia menyadarinya, segalanya sudah terlambat. Kopaja itu telah lewat tanpa permisi di depannya, membatukkan asap super-hitam dari knalpotnya seperti kakek-kakek yang tengah terkena serangan asma sebelum kemudian secara tidak bertanggung jawab, pergi begitu saja. Eden mengerjapkan matanya yang pedih oleh asap beberapa kali, makin dibikin jengkel oleh seruan girang Emir yang terdengar tidak lama kemudian.
"Dapat! Nah, menurut instruksi di sini, lo nggak bisa duduk lama-lama karena bakal ada Kopaja bermesin bobrok yang lewat dan—"
"Emir—"
"Tunggu, Kis. Ini penjelasannya belum selesai—"
"KOPAJANYA UDAH LEWAT, YA LORD!"
Emir terbengong sejenak, lalu menoleh pada Eden sambil mengerjap bingung beberapa kali. "Kopajanya... udah lewat?"
"Lo nggak lihat apa tadi asep sehitam dosa yang dari knalpot Kopaja yang lewat?!" Eden bertanya sengit, lalu mengangkat kedua tangannya ke udara seperti narapidana yang menyerah di bawah todongan pistol polisi. "Oke. Setop. Ngomelin lo kayaknya nggak bakal ada gunanya."
"Kisa, lo mau ke mana?!" Emir kontan berseru ketika Eden bangkit dari duduknya dan berjalan cepat dalam langkah-langkah lebar penuh kekesalan.
"Gue perlu mencari sesuatu untuk ngebenerin mood gue yang udah ancur nggak karuan gara-gara Kopaja barusan!"
"Iya, tapi mau ke mana?"
"Lihat aja. Toh sebagai guardian angel, lo wajib mengikuti gue kemana-mana. Iya, kan?!"
Emir menelan ludah. "Iya, sih."
"Yaudah. Diem dan ikutin."
"O... ke."
Eden menggelengkan kepalanya sambil berdecak. Sumpah, kenapa dia malah merasa hidupnya justru makin sial semenjak kemunculan Emir yang mendadak di kamar tidurnya ya? Apa dia memang selalu sesial ini bahkan sebelum kehadiran Emir? Jika iya, ingin rasanya Eden membuat petisi untuk menambah tunjangan hari tua buat guardian angelnya yang lama. Selama sekian tahun belakangan, guardian angel itu pasti sudah berusaha super keras menjaganya dari beragam marabahaya.
Ternyata, tempat yang dituju Eden adalah sebuah gerai thai tea pinggir jalan yang berada tidak jauh dari kampus. Eden telah sering nongkrong di sana sejak hari-hari awalnya jadi mahasiswa di kampus ini dan tidak pernah lupa mengunjungi tempat itu minimal seminggu sekali. Terkadang bareng Yasmine, tapi lebih sering sendirian karena Yasmine tidak terlalu suka thai tea.
"Bang, thai teanya yang ori—" kata-kata Eden tidak terlesaikan saat satu-satunya pengunjung yang ada di sana selain dirinya menoleh.
"Heaven?! Wow, it's nice to meet you here!"
Eden langsung menoleh pada Emir yang berada di sebelahnya lalu berbisik galak dengan suara yang tidak cukup keras buat Rasi dengar. "Lo ini guardian angel apa bukan?!"
"Tadi katanya gue disuruh ngikutin aja."
Eden menarik napas dan mengembuskannya dengan ekspresi lelah yang kentara. "Gue mau beli thai tea. Mana abangnya?"
"Abangnya kehabisan es batu. Lagi ngambil. Paling bentar lagi muncul." Rasi menyahut enteng sambil menyedot thai teanya yang masih penuh, jelas sekali baru dibuat. "Duduk aja di mana, kek. Ada banyak kursi kosong. Atau mau duduk di pangkuan gue?"
"Gue lagi haus dan gue galak kalau lagi haus, jadi mending lo diam."
"Lo haus?"
"Menurut ngana?!" Eden jadi emosi.
Rasi malah manggut-manggut. "Wait, let me get another straw."
Eden mengangkat alis, langsung menyambar ketika dia sadar maksud dari ucapan Rasi. "Nggak usah repot-repot, walau sebenarnya gue—"
Rasi mengabaikannya, tetap bergerak meraih sedotan tambahan. Orang waras kebanyakan pasti berpikir, dia berniat membagi thai teanya dengan Eden, namun tebakan itu jelas salah. Alih-alih berbagi minumannya, Rasi justru menempatkan kedua sedotan di mulutnya sendiri, sebelum berujar dengan seringai puas yang masih tetap sok kegantengan. "Lihat seberapa cepat gue bisa ngabisin thai tea gue."
Eden menatap Rasi, lagi-lagi dibikin gagal paham.
"Kalau aja gue punya guardian angel," Eden berujar, sengaja bilang begitu agar tidak memancing kecurigaan Rasi. "Bisa nggak ya gue minta orang kayak lo dilenyapin aja dari hidup gue?"
"Jangan. Nanti pemandangan ganteng dalam hidup lo berkurang drastis."
Emir yang jadi target utama pertanyaan Eden justru terdiam dengan alis terangkat.
"Aduh, nasib gue punya guardian angel lemot banget."
"OOHHH, BARUSAN LO TUH NANYA KE GUE?" Emir akhirnya tersadar.
Eden memutar bola matanya, sementara Emir meringis sambil merogoh saku celananya. Benda-benda peninggalan jaman purba yang sudah busuk dimakan waktu kembali berebut keluar dari sana, hingga Emir berhasil menemukan gulungan kontrak yang kemarin telah dia dan Eden tanda tangani. Dengan gerak super kikuk, cowok itu membolak-balik lembar demi lembar surat kontrak hingga berhenti pada salah satu lembar—yang kelihatannya memuat informasi yang dia cari.
"Berdasarkan Pasal 4 ayat 1a terkait Pembatasan Hak Terlindung, mengeliminasi eksistensi seseorang dari hidup Terlindung bukan hak Pelindung. Jadi jawabannya tetot! Nggak bisa."
"Kok gitu?!" Eden membalas refleks, tidak peduli pada Rasi yang kini mengerutkan kening pada tingkah anehnya.
"Sebab siapapun yang ada dalam hidup lo, dia pasti punya peran penting. Gue nggak bisa mengeliminasinya semau gue, atau semua lo, karena itu bisa berpengaruh pada hidup lo nanti ke depannya."
"Seandainya sumber kesialan terbesar gue tuh dia gimana, hayo?!"
"Maka jadilah dia sebagai sumber kesialan terbesar dalam hidup lo."
"Anjir! Sebel!"
"Girly," Rasi menyela, jelas sudah benar-benar berhenti menyedot thai tea meski dua sedotan itu masih nangkring santai di bibirnya. "Gue nggak tahu kalau kehausan bisa bikin orang berhalusinasi dan ngomong sendiri... tapi... ngelihat lo kayak gini... gue jadi sedih. Please, jangan begini. Sebentar lagi abang thai teanya balik lagi, kok. Jadi bertahan ya?"
"Ya Lord, udah punya guardian angel gadungan, sekarang pun gue harus dinasehati oleh orang yang lebih sinting dari gue. Kenapa hidup gue tuh jadi begini banget yah?!"
Emir dan Rasi sama-sama menatap Eden dengan pandangan iba.
Untungnya, situasi tersebut tidak berlangsung lama karena ponsel Rasi berbunyi tiba-tiba. Sepertinya ada notifikasi dari aplikasi LINE. Rasi membukanya, lalu bangkit dari duduk seraya menyandang tasnya di bahu. Bisa dibilang, Rasi itu adalah salah satu cowok paling tinggi yang Eden tahu. Perbedaan tinggi badan mereka kelihatan imut saat mereka berdiri bersebelahan, namun saat Eden sedang duduk sekarang, Rasi yang berdiri di depannya membuat Eden merasa tengah berhadapan dengan Slender Man.
"Gue ada kelas habis ini, jadi gue harus pergi sekarang. See you later, Heaven."
"Goodbye. Moga aja untuk yang seterusnya." Eden menyahut ketus tanpa berpikir.
"Gue nggak tahu apa gue pernah bilang begini ke lo, tapi gue lebih memilih bilang 'see you later' daripada 'goodbye'." Rasi nyengir. "Because I don't want to say goodbye. Goodbye means something is over forever. I prefer see you later, cause 'later' is a much shorter than forever."
"Tapi kalau gue nggak kepingin ketemu lo lagi gimana?"
"Kenapa begitu?"
"Soalnya gue nggak suka sama lo."
"Gue juga nggak suka sama lo, tapi bukan berarti gue nggak mau ketemu lo lagi."
"Gue sih suka banget malah kalau nggak ketemu lo lagi."
"Be careful with your words, Heaven. Terlalu benci bisa jadi suka."
"Gue nggak bakal suka sama—"
"Udah kebanyakan orang suka sama gue." Rasi menyahut, masih kepedean seperti biasa. "Kalau kudu ditambah sama lo, gue malah kasihan ke lo-nya. Untuk sekarang, gue lagi mau free dan nggak kepingin pacaran. Lagian, tipe cewek ideal gue tuh bukan yang kayak lo."
Eden mengembuskan napas keras, tapi memutuskan untuk tidak membantah. Dia tetap diam, tidak bereaksi pada ucapan Rasi juga kedipannya di akhir, sebelum cowok itu betul-betul melangkah pergi. Dipikir lagi, sepertinya memang itu cara paling tepat untuk menangani Rasi; dengan mengabaikannya.
Bagaimana pun juga, orang waras tidak akan pernah menang berdebat dengan orang sinting, kan?
*
Siang hari selepas jam makan siang dan matahari masih bersinar terik, membuat Bumi jadi serasa seperti dunia dalam oven raksasa. Sabda ada kelas saat ini dan seharusnya, dia sedang duduk di tengah-tengah mahasiswa lain sambil mendengarkan penjelasan dosen yang bikin ngantuk—atau sesekali mencatat sebaris-dua baris informasi penting ke lembar buku catatannya. Tetapi tidak, dia malah berada di bawah naungan dahan kamboja, menatap pada batu persegi berwarna kelabu yang berada beberapa meter di depannya.
Cowok itu diam sejenak, mencoba menemukan kata-kata untuk diucapkan, yang pada akhirnya berujung kegagalan. Sabda menghela napas, memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun pada akhirnya. Dia berjalan mendekati batu persegi itu, lantas merunduk dan meletakkan sekeping benda di atasnya. Sekali lagi, napas panjangnya tertarik sebelum akhirnya dia berbalik dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
The song is ended, but the melody lingers on.
Sabda telah berkenalan dengan kematian bertahun lalu, saat usianya baru saja menginjak ke angka 12 dan itu karena salah satu dari sedikit orang yang mana untuknya, Sabda bersedia memberikan nyawanya. Lucu sekali, dia sempat mengira, kematian seseorang tidak akan pernah bisa menghancurkannya lebih purna dari pengalaman pertama itu, tapi ternyata dia salah. Hari ini, dia kembali hancur, secara tidak terduga, lebih dari yang dia kira.
Death leaves a heartache no one can heal. Love leaves a memory no one can steal.
Betapa mengerikan bagaimana kematian bisa mengubah kenangan-kenangan indah jadi pahit, seperti gelap yang menyapu bersih semburat senja hingga jejaknya tidak lagi tersisa hanya dalam waktu sekian menit.
Apa yang bisa lebih mengerikan dari kematian?
Mencintai sesuatu yang dapat disentuh oleh kematian.
Goodbye, Sabda berbisik dalam hati.
Wherever you are, I hope it's a great place. Wherever you are, I want you to know you're loved. Wherever you are, I wish we had more times.
Wherever you are, see you again, one day.
*
Pencarian Eden akan grup penggemar fotografi dan film kampus yang semula menemui jalan buntu tiba-tiba saja mendapat titik terang ketika dua hari kemudian, pengumuman baru dipasang di majalah dinding departemennya. Isinya adalah informasi tentang tiga grup baru yang dibentuk oleh pihak kampus, untuk mewadahi kegiatan dan minat mahasiswa secara inklusif. Sesuatu yang membuat kampus tempat Eden kuliah jadi kampus favorit meski statusnya yang kampus swasta adalah karena bukan hanya mereka memiliki kurikulum dan gaya sendiri yang dipandang keren oleh kebanyakan kampus tetangga, tapi juga karena visi dan misi para petinggi kampus yang menginginkan lembaga pendidikan mereka jadi pilihan bagi anak-anak dengan minat yang tidak bisa diwadahi oleh lembaga pendidikan di Indonesia secara umum. Jadi jelas, kehadiran grup-grup minat semacam itu adalah sesuatu yang seharusnya sudah bisa diduga.
"Sebenarnya gue nggak suka-suka amat sama fotografi, meski gue suka nonton film." Eden berkata pada Emir saat mereka berjalan menuju tempat pendaftaran sekaligus pertemuan pertama untuk anggota-anggota yang bergabung.
"Lo suka film apa?"
"Mean Girls?"
Emir berdecak. "Nggak ada yang lain gitu?"
"Hm... bentar..." Eden berpikir sebentar. "Twilight?"
"Lo nggak suka nonton yang kayak Dunkirk atau The King's Speech?"
"Itu apaan?"
"Dunkirk tuh salah satu film terbarunya Christoper Nolan. Ceritanya soal peristiwa evakuasi Dunkerque di Pelabuhan Dunkerque di Perancis dari akhir Mei 1940 sampai awal Juni 1940 di masa Perang Dunia II dan—"
"Setop. Gue pusing dengar yang begituan. Tapi itu tuh film yang ada Harry Styles-nya bukan?"
"Dari film se-spektakuler Dunkirk, yang lo ingat cuma Harry Styles-nya?!" Emir melotot pada Eden yang langsung meringis malu-malu.
"Gimana ya, abisnya Harry Styles ganteng, sih."
"Bener-bener capek deh gue kalau ngomong sama cewek jaman now."
"Emang lo bukan anak jaman now apa?" Eden cemberut, tapi kemudian cewek itu tertawa kecil. "Ah ya, lo bukan anak jaman now. Lo guardian angel jaman now, yang skillnya nggak cukup mampu melindungi gue."
"Gue berusaha keras untuk melindungi lo. Seandainya aja bakat sial lo nggak segede itu..."
Eden berdecak, namun tidak sempat membalas kata-kata Emir karena dia telah tiba di depan gedung teater milik kampus. Gedung itu berada diantara departemennya dan departemen musik (membuatnya sempat cemas bakal ketemu Rasi, tapi untungnya kekhawatirannya tidak terjadi). Sudah ada senior yang menunggu di depan, dengan nametag tersemat di bagian depan jaket varsity yang dia pakai.
Oleh senior itu, Eden dibantu mengisi formulir, lalu mengambil gulungan nomor dari dalam gelas dan duduk di kursi ruang teater dengan nomor sama seperti nomor dalam gulungan yang dia dapat. Dua orang yang duduk bersebelahan akan ditempatkan dalam sebuah kelompok kecil beranggotakan dua orang. Tadinya Eden bingung, buat apa juga ada kelompok kecil dalam grup minat seperti itu, tetapi seniornya menjelaskan bahwa itu perlu, sebab akan ada beberapa tugas kecil mingguan yang harus diselesaikan oleh tiap anggota. Pembentukan kelompok kecil sengaja dilakukan supaya mereka lebih akrab dan akan dirotasi menggunakan undian setiap bulan.
Eden tergolong orang yang paling akhir datang, sebab ketika dia masuk ke ruang teater, sebagian kursi yang diberi nomor sudah terisi. Mata cewek itu menyapu seisi ruangan sebelum kemudian berhenti pada satu kursi yang berada tepat di sebelah cowok berwajah tak menyenangkan. Cowok itu tengah menunduk, sedang membaca komik, tapi hanya dengan sekali lihat, Eden sudah bisa mengenalinya.
Itu cowok yang merebut komiknya di perpustakaan tempo hari!
"Ini saran lo sebenarnya bermaksud melindungi gue dari kesialan atau justru mencemplungkan gue ke dalam lautan keapesan?!" Eden berujar pada Emir lirih, tapi penuh penekanan.
"Kagak tahu. Pokoknya di instruksinya begitu."
"Kayaknya bakal lebih mending kalau gue nggak punya guardian angel sekalian."
"Oh, gitu? Yaudah kalau gitu, gue bakal coba menghubungi pihak yang berwenang dan—"
"Oke, setop. Gue cuma bercanda." Eden mendengus, tidak mengira jika Emir bakal membalas kata-katanya seperti itu dan mulai menapaki tangga ruang teater dengan pasrah, karena kursinya berada di salah satu tingkatan teratas. Cowok di sebelahnya langsung berhenti membaca komik dan menoleh saat dia duduk.
"Lo ini..."
"Selamat sore." Eden menyapa dengan senyum yang jelas-jelas palsu. "Gue nggak tahu apa-apa, tapi kayaknya kita bakal berada dalam satu kelompok kecil untuk sebulan ke depan."
"It's okay."
"Maksud lo?"
"Sebagai orang yang terlahir jenius dari lahir, gue sudah terbiasa terjebak dengan orang-orang yang lebih bodoh dari gue." Sabda menutup komik yang sedang dia baca, lalu menatap Eden dengan ekspresi wajah yang bikin Eden harus mati-matian menahan diri supaya tidak mencakar wajah cowok itu layaknya kucing garong lagi sensi. "Jadi ini bukan yang pertama. It's okay."
Tuhan, setelah bule gila itu, terbitlah anak ini. Apa salah dan dosa gue di masa lalu sampai-sampai gue harus berakhir dalam situasi kayak gini?
"Awal gue membaca profil lo, gue sudah kasihan karena tingkat kesialan lo segitu tingginya. Tapi ngelihat lo gini sekarang, gue makin kasihan lagi. Level kesialan lo lebih mematikan daripada seblak jeletet murni level 5 ternyata."
Eden mendelik pada Emir. "Thanks."
Sekitar sepuluh menit kemudian, dua senior masuk dari arah pintu dan langsung membuka pertemuan perdana mereka hari itu. Mereka menjelaskan tentang grup yang baru dibentuk, tujuannya, dukungan dari pihak kampus dan kegiatan apa yang akan mereka lakukan setiap minggu bersama kelompok kecil. Penjelasan diakhiri dengan instruksi agar masing-masing anggota kelompok kecil saling berkenalan dan berdiskusi singkat untuk tugas kecil yang harus mereka penuhi di minggu berikutnya.
"Penjelasan klasik dan seharusnya bisa lebih singkat dari itu," Eden bergumam lirih. "Tapi untung kakak yang neranginnya cantik dan ganteng. Apalagi Kak Tisya, kayak boneka banget tampangnya. Iya nggak?"
"Nggak usah iri sampai segitunya. Buat gue, semua cewek itu punya tampang kayak boneka."
Eden mengangkat alis. "Termasuk gue dong kalau gitu?"
Sabda mengangguk. "Iya."
"Aw, mak—"
"Bedanya, kalau Kak Tisya itu boneka Barbie, kalau lo boneka Annabelle."
Senyum malu-malu Eden langsung berubah jadi rengutan jengkel. "Makasih."
"Sama-sama." Sabda justru tersenyum sok manis. "Nama gue Sabda Aksara. Maba Teknik Kimia. Umur gue 17 tahun. Gue nggak senang-senang amat ketemu lo, kalau bisa milih gue lebih suka sekelompok sama orang yang lebih pinter dikit, tapi yah, dalam hidup kita nggak bisa mendapatkan semua yang kita mau. Sekian, gue harap lo bisa menyelesaikan tugas lo dengan baik dan satu bulan yang melelahkan ini bisa segera berakhir."
Eden melotot, jelas kesal. "Nama gue Eden."
"Udah tahu. Tertulis gede banget di buku catatan lo."
"Kalau gitu ngapa kita kudu pake kenalan?"
"Emangnya tadi gue ngajakin lo kenalan?" Sabda memiringkan wajah. "Gue hanya memberitahu lo nama gue, jurusan gue, umur gue dan kesan gue terhadap pertemuan kita hari ini. Apa gue balik nanya nama lo, jurusan lo, umur lo dan kesan lo? Seingat gue sih nggak."
Eden betulan kehabisan kata-kata dan responnya malah berbelok ke sesuatu yang lain. "Tunggu. Tadi lo bilang umur lo 17 tahun? Berarti lo lebih muda dari gue, dong?!"
"Yap. Dan jelas lebih pintar."
"Dih, pede banget!"
"Gue nggak pede tanpa alasan. Gue selalu ditawari loncat kelas sejak masih SD, hanya saja gue menolak. Gue mengambil kelas akselerasi saat SMP dan berhasil masuk tiga besar lulusan terbaik dari sekolah gue. Ah ya, satu lagi, gue masuk ke kampus ini lewat jalur khusus anak berprestasi which means, gue masuk tanpa tes, tanpa syarat dan ketentuan berlaku serta tanpa harus melewati prosedur ribet. Mau tahu satu fakta lagi biar makin sebel? Tim dari kampus yang dateng ke rumah gue buat ngambil berkas untuk verifikasi data, bukan gue yang kudu dateng dan ngantri ke kampus bareng mahasiswa baru lainnya."
Eden makin cemberut, tapi tidak punya argumen yang bisa dipakai melawan Sabda, jadi dia hanya bisa melipat tangannya di dada sambil menyipitkan mata.
"Pasti pengen balik ngomong tapi bingung harus ngomong apa. Nggak apa-apa. Itu sering terjadi di kota besar, terutama pada orang-orang yang nggak seberapa pintar."
"Makin nyesal deh gue ikut grup ginian."
"Bagus. Belum telat buat batal join. Sana bilang ke salah satu pengurusnya. Dengan begitu kan siapa tahu gue bisa dapet teman sekelompok baru atau sendirian sekalian juga nggak apa-apa."
"Seseorang yang nggak akan pernah lo tahu nyuruh gue join."
"Seseorang?"
Eden melirik pada Emir yang langsung melotot galak. "Berdasarkan surat kontrak kita, Terlindung harus menjaga kerahasiaan eksistensi Pelindung."
Eden memutar bola mata. "Seseorang yang pokoknya nggak bakal lo tahu."
"Yaudah. Bodo. Nggak kepo juga." Sabda mengangkat bahu, lalu meraih komiknya dan menyandang tasnya di bahu. "Lo udah tahu deskripsi untuk tugas pertama, kan? Potret sebuah foto dengan konsep satu kata kunci. Inget kata kuncinya apa?"
"Ephemeral?"
Sabda mengangguk. "Dua hari sebelum hari ini di minggu depan, temui gue jam 3 sore di kantin departemen teknik kimia. Nggak pake telat. Bawa gambar yang udah lo potret."
"Tunggu, kenapa kudu di departemen lo?"
"Sebab gue yang bikin aturan duluan. Lo yang nggak punya inisiatif berarti pasrah jadi pengikut." Sabda membalas pongah. "Jangan sampai telat."
Eden tidak membalas, hanya bersungut-sungut dengan muka masam bercampur jengkel. Dia terlalu dalam tenggelam dalam kekesalannya, sehingga tidak menyadari bagaimana Emir memandang bergantian padanya, juga pada sosok Sabda yang menuruni tangga ruang teater sebelum bergerak menuju pintu.
"Saran lo ini nggak salah kan?!"
"Apa yang tertulis di kartu instruksi nggak pernah salah."
"Tapi kenapa gue kudu ketemu sama orang kayak dia?!"
Emir mengedikkan bahu. "Gue nggak tahu. Bukan gue yang menentukan."
"Dia lebih pantes dibilang jadi sumber kesialan gue daripada sumber keberuntungan." Eden masih saja merengek.
"Kita nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi ke depannya, Kisa. Satu-satunya yang bisa lo dan gue lakukan adalah menunggu dan menjalaninya, melihat kemana ini semua bakal membawa kita pada akhirnya."
bersambung ke third note
***
Catatan dari Renita:
tadinya gue sempat ragu bakal ngeposting sesuatu saat weekend atau nggak, tapi ternyata sempat.
jadi, sekedar kabar-kabari aja untuk kelen semua, saat ini ku memang terlihat gabut tapi gaes, gue lagi proses penyusunan proposal untuk tugas akhir (yang sangat diharapkan selesai sebelum desember sementara sekarang w masih mandek aja di strukturisasi kajian literatur jadi yha) dan entah kenapa gebleknya penelitian yang gue ambil itu kualitatif sooo i think i have to work harder cause i dont have any exact variables to begin with
jadi sekiranya gue memposting sesuatu, harap nikmati apa yang ada dulu. oceanite lagi tahap inti dan gue butuh mengumpulkan tekad dan pemikiran untuk menulisnya (lo taulah ya) berbeda dengan cerita ini yang kayak lagi mengalir aja. atau ada saatnya gue lebih mood pada satu cerita dan mendahulukan cerita itu.
dikarenakan aku bukan agensi yang bisa didemo untuk mengatur jadwal comeback artisnya dan akupun bukan stasiun televisi yang bisa memberikan update-update tertentu secara berkala, mohon dinikmati aja dahulu apa yang lagi bisa kuberikan.
nanti w hiatus lo pada mewek lagi.
wkwk, terus makasih banget buat semua yang udah komen, vote, intinya meninggalkan jejak di chapter-chapter sebelumnya. terkadang aku tuh suka rada gimana gitu kalau liat jumlah silent readersnya membanyak huhu :( tapi makasih buat yang selalu komen.
gue jadi kepikiran untuk membuat giveaway apa kek gitu buat kelen yang rajin komen (soalnya gue suka merhatiin tuh ada yang selalu nongol di comment section tiap cerita gue huhu jadi terharu)
mungkin ntaran kali yak kalau ceritanya udah selesai *ea
hng... terus apa lagi ya?
ah ya, suka ada yang nanya sebelum-sebelumnya, kenapa cast yang gue pake di cerita gue selalu exo melulu. itu dikarenakan aku hanya stan satu boygroup sis. sekarang dua seh, sama dedeknya si nct. jadi bisa dibilang, pemahaman gue terkait boygroup sangat-sangat kurang.
makanya w suka gatau kalau kalian nyebut anggota boygroup lain kayak ?????? itu beneran gaes kayak stray kids, ikon, winner, pentagon, monsta x, btob, gue paling cuma tahu nama sebiji-dua biji membernya
tapi kalau menurut kelen ada kayak mv atau lagu yang patut banget w cek boleh aja kabar-kabari aku di inline comment ini.
wkwk oya, teruntuk kelen yang ikut po dmumt, kalian pilih versi apa? kayaknya mayoritas gue liat kok allegro ya, tapi kenapa buat poster, bagusan yang versi moderato why why why
oke, sekian dulu.
setra, rasi dan sabda mengucapkan segenap terimakasih beserta lope lope yang banyak buat yang udah ngevote dan komen.
salam dari emir.
Semarang, October 27th 2018
18.12
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top