prelude: setra dan es teh
I wish we could go back to when we played as kids
but things change, and that's the way it is.
—Tupac Shakur—
*
prelude: setranala dirgantara
Namanya Setranala Dirgantara.
Sebagian besar orang menganggap kalau dia punya nama yang nggak hanya unik, tapi juga terkesan feminin. Sedikit rahasia kecil, sebenarnya nama depannya memang nama perempuan yang dimodifikasi. Setra anak pertama dari tiga bersaudara dan ketika dia masih dalam perut, orang tuanya menebak anak pertama mereka itu perempuan. Tebakan yang lalu terbukti salah, tapi Mama Setra sudah terlanjur naksir pada nama yang sudah disiapkan.
Citronella, itu nama yang diniatkan akan jadi namanya, tadinya.
Berbeda dengan mawar yang bunganya terkenal dijadikan tanda cinta atau tomat yang buahnya hampir selalu dibutuhkan dalam setiap masakan, citronella bisa dibilang under-rated. Citronella adalah sereh wangi, biasa dipakai buat dijadikan parfum, kosmetik juga bahan makanan dan minuman. Menurut Mama, citronella tidak hanya berbau harum, tapi juga punya filosofi tersendiri. Tanaman itu tergolong bangsa rumput-rumputan, sehingga mudah hidup di mana saja.
Mama ingin anak pertamanya bisa setangguh rumput—nggak peduli sekeras apa pun cuaca, tanah dan kondisi di sekitarnya, dia akan selalu menemukan cara buat tumbuh.
Memang tidak ada aturan khusus kalau hanya anak perempuan yang boleh pakai nama citronella, tapi mengingat belum tentu Setra bakal dapat teman-teman sekelas yang baik dan nggak akan memotong namanya jadi Nella saat sekolah nanti, akhirnya kata itu diplesetin sedikit jadi Setranala. Mama tetap ngotot, jika arti nama Setranala itu sama dengan Citronella. Katanya, citronella bisa jadi nama Italia Setra dan Setranala itu versi lokalnya yang lebih merakyat.
Setra sih senang-senang saja dikasih nama dengan arti yang bagus. Mau dipanggil Setra, dipanggil Nala atau dipanggil Dirga juga tidak masalah. Sayangnya, dugaan kedua orang tuanya dulu benar. Setra yang malang selalu dikelilingi teman-teman yang nggak bertanggung jawab, sejak jaman SD sampai dia kuliah sekarang. Cowok itu harus parah mendengar namanya dipelintir jadi berbagai macam kata lain yang jelas, mereduksi makna dalam nan puitis dari namanya yang sesungguhnya. Tapi enaknya, gara-gara itu juga, Setra jadi bisa langsung tahu siapa orang yang memanggilnya tanpa harus menoleh.
Jika ada yang memanggilnya 'Dirga' atau 'Kak Dirga', mereka pasti orang yang dia kenal dari himpunan jurusan kampus (Setra sempat jadi pengurus selama setahun, di awal masa kuliahnya) atau juniornya. Aa-aa warteg tempatnya biasa nongkrong hampir setiap siang buat minum es teh biasa memanggilnya Etra, bentuk simpel efek penyesuaian lidah sekumpulan lelaki Sunda yang merasa ribet kalau harus manggil 'Setra'. Kadang malah suka 'Tra' saja. Walau itu kedengaran seperti nickname manja cewek abege yang bisa histeris tiap melihat oppa, Setra nggak protes. Dianggapnya itu tanda cinta dari para aa-aa.
Tapi ada juga yang membelokkan namanya jadi panggilan super kurang ajar, seperti misalnya...
"Widih, Setan, jam segini udah nyuci aja! Rajin bener lo!"
Setra yang sedang berjongkok di kamar mandi sambil menghadapi seember kecil cucian langsung mengembuskan napas pelan. Lagi-lagi, tanpa perlu menoleh, dia sudah tahu siapa yang bicara itu. Pasti Jo.
"Besok harus dipake."
Jo mengangkat alis, mengintip ke balik pundak Setra yang lebar dan malah mengernyit heran waktu tahu apa yang sedang Setra cuci. Itu jaket varsity kampus Setra—yang juga jadi kampus Jo sampai setahun lalu, dia dinyatakan lulus usai menjalani serangkaian sidang penuh drama. "Lo mau supporter-an? Tumben."
Sama seperti kampus lain, kampus Setra punya tradisi khas. Jas almamater digunakan dalam acara-acara resmi, tetapi untuk acara perlombaan antar departemen atau fakultas, supporter yang datang wajib memakai jaket varsity. Aturan ini untuk mencegah adanya perbedaan warna dominan antara supporter dari dua kelompok yang berlomba sekaligus jadi pengingat bahwa tidak peduli siapa pemenangnya, mereka tetap warga kampus yang sama.
"Sabda ada lomba futsal besok."
"Oh, adek lo udah kuliah?"
"Maba tahun ini, di kampus kita."
"Cihuy juga adek lo, baru maba udah main buat lomba antar fakultas."
Ada senyum tertarik di wajah Setra. "Dia memang selalu sehebat itu. Dari dulu."
"Kalian udah baikan?" Jo langsung menyesal sudah bertanya ketika dia melihat sebersit ekspresi muram yang melintas di wajah Setra.
Seperti penghuni lain di rumah ini, Jo paham betul soal masalah keluarga yang Setra alami—juga alasan kenapa lelaki itu memilih keluar dari rumah ayahnya dan tinggal bersama mereka sejak masih mahasiswa baru. Hubungan Setra dan ayahnya jelas buruk, tetapi hubungannya dengan kedua adiknya... adalah sesuatu yang lain.
Semuanya diawali saat mamanya Setra meninggal dalam sebuah kecelakaan beberapa hari menjelang ulang tahun Setra yang ke-16. Sebagai satu-satunya perempuan dalam rumah yang penuh anak laki-laki, kepergian mamanya Setra yang berperan sebagai jembatan komunikasi diantara mereka menciptakan perubahan drastis. Lalu ayahnya mulai berkencan dengan perempuan lain, yang tidak bisa diterima oleh anak-anaknya. Perdebatan memicu pertengkaran, membuat lama-kelamaan, rumah mereka terasa seperti neraka.
Rasi, si anak tengah, terlalu lelah menghadapi pertengkaran dan perdebatan tanpa henti setiap hari, jadi dia menelepon neneknya dari pihak ibu yang tinggal di New York dan meminta pindah sekolah ke sana. Si bungsu, Sabda merasa dikhianati oleh Rasi dan ngambek dengan menghilang selama dua hari. Bocah itu bikin Setra kalang-kabut mencarinya, lalu marah besar saat menemukannya berkemah seperti anak pramuka di lapangan futsal sekolah. Sabda yang tidak pernah dimarahi balik membentak Setra. Respon adik bungsunya membuat Setra lepas kendali dan hampir main tangan dengan anak itu. Sabda sama terkejutnya, lalu sejak peristiwa tersebut, hubungan saudara diantara mereka tidak pernah sama. Setra tidak tahu cara yang tepat untuk mendekati Sabda yang selalu menghindarinya.
Komunikasi diantara mereka terputus saat Setra keluar dari rumah dan masuk universitas tanpa dukungan ayahnya yang lebih suka jika dia kuliah bisnis. Setra masih memantau Sabda dari jauh, tetapi jarak diantara mereka kian membentang lebar hingga hari ini. Hubungan Setra dengan Rasi juga tidak jauh berbeda. Rasi pulang ke Jakarta dan diterima di kampus yang sama setahun lalu, namun dia dan Setra lebih mirip orang asing daripada kakak-beradik.
"Sori. Gue nggak maksud—"
"Gue sama Sabda nggak pernah marahan." Setra memotong sembari meneruskan mengucek jaket varsitynya dalam air deterjen. "Kita cuma salah paham aja. Dia mungkin marah sama gue, tapi gue nggak pernah marah sama dia."
"Seandainya dia lihat lo di sana gimana?"
"Ya.. nggak apa-apa."
"Gue nggak ngerti. Bukannya dia menghindari lo?"
Setra tertawa kecil, mengangkat jaketnya lalu mengganti air dalam ember dengan air bersih untuk membilas sisa sabun. "Adik ngambek sama kakaknya itu wajar. Tapi kakak yang nggak dateng ngedukung adiknya waktu adiknya tanding dalam sebuah lomba saat dia bisa datang, itu nggak wajar."
Jo sudah bisa menebak Setra akan memberinya jawaban itu, sebenarnya. Setra selalu peduli dengan adik-adiknya. Masalahnya, dia terlalu canggung untuk menunjukkan kepedulian itu sementara adik-adiknya tidak sepeka itu untuk bisa memahami arti di balik semua tindakan Setra.
"Tumben juga lo udah bangun jam segini. Kesurupan apa?"
"Mau nemenin Lucio nyari kado nanti jam setengah sembilanan."
"Perasaan Bang Cio masih tidur tadi."
"Iya, tapi dia kan beda ama gue. Gue bukan jenis orang yang bisa ninggalin rumah hanya berbekal cuci muka, cuci ketek pake dua jari dan kemeja belel yang baru diambil dari jemuran."
Setra menanggapi ucapan Jo dengan gelak, lalu membiarkan lelaki jangkung itu berlalu menuju dapur.
***
Siang di kampus terasa panas seperti kemarin-kemarin. Matahari bersinar terik sejak pagi, memanggang apapun yang ada di bawahnya tanpa ampun. Usai keluar dari kelas pertama sekaligus terakhirnya hari itu, Setra langsung bergegas ke warteg tempatnya biasa nongkrong. Orang-orang menyebut tempat itu warteg, tapi secara spesifik, nama resminya adalah Burjo Mamang. Burjo adalah singkatan dari bubur kacang ijo dan mamang itu sebutan buat salah satu aa senior diantara aa-aa yang ada di sana. Saking udah seniornya, dia nggak lagi bisa disebut aa—maka dari itu, dia disebut mamang. Namanya Yusuf, tapi biasa dipanggil Encup. Julukannya macam-macam, mulai dari mamang-sunbaenim (dari mahasiswa bahasa dan kebudayaan Korea yang sering makan di situ), Encup-senpai (ini dari kalangan penggemar anime dan perserikatan wibu) sampai Akhi Yusuf (kalau ini khusus dari anak-anak masjid kampus). Tapi Setra sendiri lebih suka menyebutnya Mamang saja, biar matching sama nama wartegnya.
Burjo Mamang hari ini nggak terlalu ramai. Hanya ada sepasang cewek yang lagi duduk berhadapan di meja yang berada di pojok ruangan. Hanya dengan sekali lihat, Setra tahu kalau dua cewek itu pasti masih mahasiswa baru. Satu berambut pendek dan berponi ala Yumna Kemal, memandangnya dengan mata membesar sampai bukaan maksimal. Satunya lagi berambut panjang, kelihatan polos dan cute karena baju warna-warni dan jepit rambut senada yang tersemat di salah satu sisi kepalanya.
Rasanya menyenangkan melihat mahasiswa baru. Bukan karena mereka masih imut-imut dan belum terpapar kerasnya dunia perkuliahan, tapi juga karena tatapan polos penuh antusias itu tidak pernah gagal mengingatkan Setra pada adik-adiknya, terutama pada Sabda yang jadi mahasiswa baru tahun ini.
"Es teh yang biasa ya, Mang."
Setra selalu memesan minuman yang sama setiap dia berkunjung ke Burjo Mamang. Segelas es teh. Makanannya selalu berganti, tapi minumannya tetap. Bahkan saat harus begadang untuk mengerjakan tugas, Setra tidak pernah mengganti es tehnya dengan kopi. Jo bilang dia maniak es teh yang radikal, karena sampai anti pada kopi. Namun sebetulnya Setra memang tidak pernah suka kopi. Kopi pahit, es teh manis. Hidup ini sendiri sudah pahit dan Setra lebih suka es teh manis untuk menetralkannya.
"Nggak sekalian makan, Tra?"
"Nggak. Hari ini saya kerja, Mang, jadi nanti dikasih makanan." Setra nyengir, lalu duduk di meja yang berada di sebelah meja cewek-cewek maba gemes tadi sembari memasang earphone ke telinganya. Waktu masih mahasiswa baru, Setra sempat bingung harus mencari uang saku tambahan dari mana. Biaya kuliahnya memang ditanggung oleh tante dari keluarga ibunya (setelah beliau memahami situasi antara Setra dan ayahnya) tapi dia merasa tidak enak jika harus merepotkan lebih jauh. Untungnya, Setra hidup di jaman modern, di mana online mall sudah menjamur. Atas bantuan Lucio, dia memperoleh kerja part-time sebagai model lepas di salah satu situs web online mall terbesar di Indonesia dan tidak perlu terlalu berpikir keras soal uang saku atau biaya hidup.
"Kis—kis, lihat deh, kakak sebelah meja kita... ya amploppppp... ganteng banget!" Setra belum menyalakan musik di ponselnya, jadi meski telinganya sudah tersumbat earphone, dia masih bisa mendengar ketika cewek berambut pendek ala Yumna Kemal di meja sebelahnya berbisik keras pada temannya yang berambut panjang.
"Yaelah, Yas, harus berapa kali gue bilang panggil gue dengan nama tengah gue, bukan nama depan gue. E de e de e en. Eden. Sesusah apa, sih?"
"Nama lo aneh. Eden. Ngeden. Nggak kedengeran keren. Tapi yalord coba lo lihat itu kakak yang di sebelah. Cakep banget... huhu... akhirnya setelah sebulan setengah yang kering, ada juga pemandangan yang menyejukkan mata gue!"
"Gede banget suara lo. Malu gue dengernya."
"Yang penting kakaknya nggak dengar. Kan pake headset."
"Iya sih," Cewek—yang Setra sekarang tahu namanya Eden—itu manggut-manggut. "Ganteng banget, sih."
"Demen juga kan lo?"
"Siapa coba cewek yang nggak demen cowok ganteng?"
"Coba pepet tuh kakak. Pake alasan apa kek. Jepit jatuh kek. Kali aja dia balik naksir lo. Lo kan cakep juga."
"Idih, dikiranya sinetron apa ya ni? Nggak ah."
"Kenapa?"
"Kakak yang modelannya begini mah enaknya dilihatin doang, bukan dimiliki."
"Lah, kok gitu?"
Jujur, Setra juga jadi penasaran pada jawaban cewek bernama Eden itu. Bukan menyombong atau apa, tapi dari jaman Setra masih TK sampai sekarang, satu fitur yang langsung terlihat darinya oleh kebanyakan orang adalah parasnya. Itu juga yang jadi penyebab kenapa Setra bisa bekerja part-time sebagai model lepas tanpa banyak aturan. Semua karena fisiknya yang mendukung.
"Gue nggak mau naksir sama cowok yang lebih cakep dari gue. Sakit hati doang ntarnya."
Balasannya bikin Setra melongo, sebab dia tidak mengerti apa maksud kata-kata Eden. Dia dibikin berpikir keras sampai Mamang mendekat dengan segelas es teh di tangan.
"Ngelamun ya kamu!"
Setra tersentak, langsung nyengir sambil melepas earphone dari telinganya, spontan bikin Eden dan temen rambut pendek-berponinya berhenti bisik-bisik. "Lagi kepikiran sesuatu aja, Mang."
"Widih, banyak pikiran gitu. Jangan banyak pikiran atuh, kasep. Nanti kolot sebelum waktunya kamu. Lagian anak masih kuliah apa sih yang dipikirin? Kalau nggak tugas ya paling perempuan. Nggak kayak Mamang nih. Baru kemarin beli piring sama gelas baru, eh... hari ini udah dua piring sama tiga gelas pecah."
"Loh, kenapa emangnya, Mang?"
"Tadi ada maba berantem ama seniornya. Mabanya lagi makan sama temennya, seniornya dateng terus ngelaga-lagain kitu, minta dibayarin lah apa lah khas senioritas. Mabanya nggak kalah sangar ternyata. Ribut mereka. Jotos-jotosan heboh, meuni ngeri pisan ampe piring-gelas Mamang pecah. Udah diganti sih, tapi Mamang mau tahan Kartu Tanda Mahasiswa mereka selama tiga hari. Biar nyaho anak-anak jaman sekarang!"
"Maba mana emang, Mang?"
"Teknik Kimia apa yah. Mana tuh KTM-nya—" Mamang merogoh saku celananya, mengeluarkan dua kartu tanda pengenal mahasiswa dan meletakkannya di atas meja. "—ini nih. Kamu kenal teu?"
Setra langsung berhenti menyedot es tehnya saat dia melihat foto dan identitas pada salah satu kartu. Tidak salah lagi, itu kartu mahasiswa milik Sabda. Jadi, maba yang dimaksud Mamang tadi pasti Sabda.
"Tadi kata Mamang... mereka jotos-jotosan?"
"Sempat tonjok-tonjokan gitu."
Setra mengembuskan napas, menyedot es tehnya banyak-banyak dan beranjak dari duduk sambil meraih kartu mahasiswa Sabda. "Ini saya bawa ya, Mang. Kebetulan ni anak adik saya. Biar saya sekalian marahin dia."
"Oh, adiknya kamu tah?"
"Iya."
"Pantesan ganteng."
Setra memaksakan senyum untuk menutupi kecemasan yang sekarang mewarnai wajahnya, mengeluarkan selembar uang untuk membayar es teh yang tadi dia pesan dan berjalan keluar dari Burjo Mamang. Tujuannya sudah jelas, menuju departemen Sabda. Untungnya, departemen bocah itu tidak terlalu jauh dari Burjo Mamang, jadi tidak butuh waktu lama bagi Setra untuk tiba di sana.
Sekarang sudah menjelang jam makan siang, jadi kampus tidak terlalu ramai. Sempat mencari sejenak, Setra akhirnya menemukan adiknya di tempat yang sudah bisa dia tebak; lapangan futsal di belakang komplek bangunan Departemen Teknik Kimia. Dia duduk sendirian di bawah pohon rindang dengan kaki terlipat. Setra mengernyit, menatapnya sejenak dan sadar ada lebam pucat di pipinya.
Lelaki itu mengepalkan tangan, lalu menarik napas dengan tajam, bingung apakah dia harus menghampiri Sabda dan memaksanya mengobati lebam di wajahnya atau mencari siapapun senior yang sudah bikin Sabda terluka—meskipun sedikit—seperti itu.
Pada akhirnya, walau sempat ragu sejenak, Setra memilih opsi pertama. Dia mendekati Sabda yang kelihatannya tidak merasa perlu menoleh. Anak itu masih memandang pada tiang gawang di kejauhan ketika suara Setra membuatnya tersentak.
"Lo... luka?"
Pelan-pelan, keterkejutan di wajah Sabda terganti oleh rengutan masam. "Ngapain lo di sini?"
"Kenapa bisa sampai berantem?"
"Bukan urusan lo."
"Lo luka."
"Semua yang punya mata juga tahu." Sabda menjawab sinis. "Nanti juga sembuh sendiri. Nggak parah. Berdarah juga nggak. Gue bukan anak cengeng."
"Gue nggak bilang lo cengeng."
"Memang. Gue hanya menegaskan, kalau gue nggak butuh kepedulian lo."
"Nggak akan ada kakak yang bisa bersikap cuek saat adiknya terluka kayak sekarang."
"Mungkin ada?" Sabda bangkit dari rerumputan, lalu tersenyum meremehkan. "Nggak semua kakak seperti itu, memang. Tapi nggak semua kakak juga cukup egois untuk ninggalin adiknya sendirian dan hanya menyelamatkan dirinya sendiri."
"Sabda Aksara—"
"Lo sama Rasi sama aja." Sabda berhenti sejenak untuk berbisik sebelum berjalan melewatinya. "Lo berdua sama-sama bikin gue muak."
Dan hanya dengan begitu saja, Sabda mengabaikan kehadiran Setra. Dia berjalan pergi tanpa menoleh, membuat Setra hanya mampu berdiri di sana dengan tangan terkepal kuat. Sejak masih kecil, Sabda bukan anak yang ramah. Terkadang caranya bercanda juga agak keterlaluan dan belum tentu bisa diterima semua orang. Namun sekarang, melihat sikap Sabda yang seperti ini pada pertemuan perdana mereka setelah laki-laki itu berganti status jadi mahasiswa, ada yang menusuk dada Setra.
I wish we could go back to when we played as kids, but things change and that's the way it is.
Dia merindukan masa lalu.
Waktu ketika segalanya masih baik-baik saja.
bersambung ke prelude: rasi gemintang
***
Notes dari Renita:
Gue tadinya berniat posting ini tanggal 20 but well, tanggal 19 aja juga nggak apa-apa karena gue sesenang itu nulis cerita ini. cerita ini akan dibuka oleh sedikit introduction dari tiga bersaudara setra, rasi dan sabda. untuk eden dan emir bakal muncul mulai prolog (meski eden sudah muncul di atas) hahaha
karakter dari ketiga bersaudaranya memang berbeda-beda dan gue menyesuaikannya dengan karakter masing-masing face claim yang digunakan, meski nggak sampe 100% so yah, sabda mungkin akan kelihatan agak rude tapi sebenarnya dia nggak sesadis itu juga hahaha
cerita ini nggak akan ada role playernya, cuma sesekali karakternya mungkin akan bajak akun instagram retrorias. pusing coy manage kebanyakan akun role player haha
terus apalagi ya? ah ya, kalau kalian suka cerita ini, bisa divote dan dikomen! wkwk atau dishare kepada sesama nctzen cause i'd like to have more nctzen here! gue nggak pernah benar-benar se-devoted ini ke boygroup selain exo sebelumnya (doesn't mean i'm no longer stanning exo, tapi sekarang yang lagi aktif ngasih bahan buat fangirlingan tuh nct gaes gimana ya i'm sowrey :( wkwk tapi as usual udah PO DMUMT kok aku :( jadi jangan dibully gara-gara demen nct)
honestly, suka rada nyes gimana gitu kalau jumlah vote sama comment ngejomplang kayak huhu kok banyak banget silent readersnya :(
oke. sekian deh. sampai ketemu di prelude-nya rasi si bule nyc nyasar.
ciaooo
Semarang, October 19th 2018
17.34
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top