prelude: sabda dan samyang

You disappeared but the history is still here

It's why I try not to cry over spilt beer

I can't even get mad that you're gone

Leavin' me was probably the best thing

you ever taught me

—Atmosphere—

*

prelude: sabda aksara

"Lo diem aja dari tadi. Kenapa?"

Tanya tiba-tiba seseorang membuat Sabda terseret keluar dari lamunan. Cowok itu tersentak sedikit, kemudian menoleh dan napas pelannya terembus saat menyadari lebih dari separuh rekan setimnya yang mengelilingi meja kini sedang memandangnya dengan dahi berlipat. Sore ini, pelatih tim futsal Sabda—dia biasa dipanggil Kak Rudi—mengajak seluruh anggota tim untuk merayakan kemenangan mereka di sebuah restoran piza. Seluruh anggota tim senang karena ditraktir, tetapi ekspresi riang yang sama tidak tampak di wajah Sabda, bahkan sejak pertama mereka tiba di sana.

"Nggak suka piza ya, Sab?"

Sabda paling benci kalau namanya dipotong setengah-setengah begitu. Sab bisa berarti nyambung dengan banyak kata yang tidak sesuai nama aslinya. Siapa yang tahu kalau itu potongan dari kata Sabda? Orang bisa saja menebaknya potongan kata sabun, sabut kelapa hingga sapi dan jelas-jelas, Sabda nggak ada mirip-miripnya dengan sabun, sabut kelapa atau sapi.

"Suka."

"Atau kamu sakit?"

Sabda menggeleng, lalu menarik senyum yang jelas-jelas palsu ketika dia bicara lagi. "Baru ingat kalau ada titipan barang orang rumah yang harus dibeli."

"Beli aja sekarang, mumpung lagi ada di mal. Emang barang titipannya apa?"

"Ada deh. Iya, dari tadi juga kepikirannya gitu, mau sekalian beli di sini, tapi nggak enak sama lo-lo pada, juga sama Kak Rudi."

"Santai aja. Lo bisa beli sekarang sih kalau mau, mumpung pesenan kita belum dianterin ke meja. Atau mau nanti aja, habis makan?"

"Sekarang aja, deh." Sabda akhirnya berdiri dari duduknya. Sekilas, setelah melewati pintu, dia sempat menoleh lagi dan melihat teman-teman setimnya. Mereka kembali mengobrol. Bagus, karena itu artinya mereka tidak mendeteksi kebohongan Sabda.

Sabda bukannya tidak suka berada di sekitar mereka. Mayoritas anggota tim futsal memang seniornya, namun mereka sangat baik. Tidak ada perpeloncoan yang kerap dikaitkan dengan hubungan senior-junior anak teknik. Mereka bahkan menganggap Sabda itu bocah cute sok galak yang wajib dilindungi di setiap situasi, kecuali di lapangan futsal karena kemampuannya yang mumpuni. Tetapi hari ini, Sabda tidak punya energi lebih untuk pura-pura gembira.

Tidak perlu ditanya lagi, alasannya tentu karena Rasi dan Setra.

Awalnya, Sabda sempat lega karena dua kakaknya bersikap seakan-akan tidak mengenalnya di kampus, namun kelihatannya pertandingan futsal hari ini mengubah segalanya. Tanpa aba-aba, dua orang yang Sabda benci setengah mati itu muncul di tribun supporter dengan jaket varsity mereka.

Langkah kaki Sabda yang tanpa arah membawanya ke lantai terbawah tanpa dia sadari, di mana bahan makanan segar, produk instan dan peralatan rumah tangga dipajang jenjang-jenjang rak yang tinggi menjulang. Cowok itu bingung sejenak, tapi memilih terus berjalan. Dia menyusuri rak, memandang teflon yang tergantung rapi, gelas-gelas kaca yang berbaris dan gantungan jemuran beragam rupa.

Berjalan sendirian dan mengamati sekeliling tidak pernah gagal membuat Sabda lebih relaks, atau yah, setidaknya sampai sebuah kardus besar di tingkat rak paling atas menarik perhatiannya secara mendadak, sekaligus menciptakan sensasi tercubit dalam dadanya.

Itu bukan apa-apa, sebetulnya, hanya kardus besar kemasan kolam plastik yang bisa ditiup dan kerap dijadikan wahana mandi mengasyikkan buat anak-anak.

Namun hanya dengan sekali memandangnya tanpa sengaja, ada gelombang memori yang entah datang dari mana membanjiri benak Sabda.

Dulu, waktu Sabda masih kecil, dia sering protes pada Mama karena menurutnya, Mama pilih kasih pada Rasi, sebab Rasi selalu diberi izin mandi menggunakan kolam tiup di halaman belakang hampir setiap hari, sedangkan dirinya tidak. Padahal kan, Sabda juga suka berendam dan main air, terutama kalau pakai kolam tiup berwarna-warni.

"Kamu kan bisa mandi di kamar mandi, Sabda. Di kamar mandi ada bathtub. Sama aja, kan berendam juga."

"Tapi rasanya tuh beda, Ma!"

"Sama aja, Sabda."

"Aku lebih suka mandi di kolam tiup!"

"Iya, cuma Mama nggak bisa kasih kamu sering mandi di halaman belakang. Kamu tuh beda sama kakak kamu. Rasi anaknya nggak gampang masuk angin. Kamu kehujanan sekali aja bisa masuk angin. Kemarin juga habis mandi di halaman belakang lama-lama, kamu langsung pilek, kan?"

"Itu gara-gara aku kebanyakan minum es, Ma. Bukan karena mandi di kolam-kolaman."

"Pokoknya nggak, Sabda. Kamu mandi di kamar mandi."

"Ih, Mama pilih kasih sama Rasi! Mama ngaku deh, Mama lebih sayang dia kan daripada Mama sayang sama aku?" Sabda merengut, memajukan bibirnya hingga monyong lima senti sambil melipat tangan di dada. Bocah itu membuang muka ketika Mama berhenti mengetik, lalu melepas kaca mata bacanya dan memandang anak bungsunya lekat-lekat.

"Kamu pasti diem-diem nonton sinetron lagi ya?"

"Nggak sengaja lihat. Tapi bener, kan?! Mama pilih kasih!"

"Bukan gitu. Seandainya bisa, Mama juga lebih suka kalau Rasi mandi di kamar mandi. Sayangnya, Rasi masih belum biasa mandi di kamar mandi, seenggaknya sampai nanti dia punya kamar mandi yang lebih luas di kamarnya sendiri dan itu masih beberapa bulan lagi."

"Kenapa begitu?"

"Rasi itu beda sama kamu, atau sama Kak Setra. Dia nggak suka ada di dalam ruangan yang sempit lama-lama. Inget nggak dari dulu Mama harus selalu nemenin Rasi tiap dia lagi di toilet?"

Sabda mengernyit sebentar, lalu mengangguk. "Inget."

"Itu karena Rasi nggak mau Mama tinggal. Dia takut sendirian di kamar mandi, karena dulu nggak sengaja pernah kekunci terus rumah kita mati lampu. Kamu mungkin nggak inget itu, soalnya kamu masih kecil."

"Gitu ya, Ma?"

"Iya."

Sabda belum cukup puas dengan penjelasan Mama, jadi begitu Setra pulang dari sekolah, dia langsung memborbardir kakak sulungnya dengan pertanyaan soal keistimewaan yang Rasi punya hingga bocah itu bisa memiliki hak khusus mandi pakai kolam tiup kapanpun dia mau.

"Aku juga mau bisa kayak gitu. Ada cara khususnya nggak, Kak?"

Setra tersenyum pada adik bungsunya. "Nggak bisa, dan sebenarnya Rasi juga pasti nggak sesenang itu, karena dia jadi nggak nyaman berada di ruang sempit, terutama kalau sendirian. Itu gangguan karena rasa takut yang berlebihan, Sabda."

"Gangguan?"

"Iya. Namanya fobia, walau di kasus Rasi sih masih fobia ringan."

"Fobia?"

Setra mengangguk sabar. "Nama kerennya klaustrofobia."

"Jadi Rasi punya klaustrofobia?"

"Iya."

Meski akhirnya semua penjelasan hari itu terlupakan oleh Sabda, dia berhenti bilang Mama pilih kasih.

Hingga suatu hari, Sabda dan Rasi bertengkar gara-gara cokelat yang hilang secara misterius dari kulkas. Saking hebohnya kasus itu, Mama sampai menginterogasi mereka bertiga. Walau kemudian Papa mengaku kalau beliau yang mengambil cokelat itu tanpa kabar-berita, segalanya sudah terlambat karena Sabda dan Rasi telah terlanjur marahan. Sabda kesal, lalu di tengah usahanya memutar otak buat menyusun rencana balas dendam pada Rasi, kata itu meletup dalam kepalanya.

Klaustrofobia.

Mesin pencari belum ada ketika Sabda masih SD, jadi tentu dia tidak bisa ingat betul apa itu klaustrofobia. Bertanya pada Mama atau Setra terlalu berisiko, membuatnya memutuskan bertanya pada Arin, teman sekelasnya yang selalu rangking dua di kelas.

"Klaustrofobia tuh apa sih?"

"Hng... fobia artinya ketakutan, iya nggak?"

"Iya. Aku juga ingetnya gitu. Tapi klaustrofobia tuh ketakutan sama apa?"

"Coba aku pikir bentar..." Arin mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan pensil. "Kayaknya klaustrofobia tuh ketakutan pada Santa Klaus! Kan ada klaus-klausnya!"

Sabda harus mengakui kalau hari itu, Arin jauh lebih jenius darinya.

Rencana balas dendamnya berlanjut, meski insiden cokelat yang raib mendadak sudah terlupakan seperti bangunan mangkrak. Dia membuat banyak gambar Santa Klaus, kemudian menempelkannya di seluruh bagian tembok kamar Rasi yang bisa dia jangkau. Sabda merasa siasatnya sudah berjalan sempurna ketika Rasi pulang dan bocah itu langsung berteriak memanggil Mama.

"Maaaaaaaa! Mamaaaaa! Sini deh, Ma!"

Tidak butuh waktu lama buat Mama untuk tiba di kamar Rasi, sementara dalang dari kehadiran para santa di kamar Rasi menguping dari kamar sebelah. "Kenapa, Rasi?"

"Ini kenapa ada gambar-gambar jelek di kamar aku? Apalagi yang ini, sawan semua kali Ma anak orang dikasih gambar ginian—ah, aku tahu—" Rasi tiba-tiba berseru. "Ini pasti ulah anak telur cicak dari kamar sebelah!"

"Dih, bukan aku yaaaaa! Asal nuduh aja!" Sabda spontan menyambar dari kamarnya.

"Tuh, ketahuan, kan! Padahal aku belum sebut merek loh!"

"Sabda, ke sini!" seruan Mama jadi aba-aba yang tidak bisa diabaikan, jadi Sabda bergerak malas meninggalkan kamarnya menuju kamar Rasi.

"Ini pasti gambar kamu. Mama tahu."

Sabda cemberut, sementara Rasi melipat tangan dan melotot padanya dengan gaya sok cool.

"Sabda, Mama ngomong sama kamu, loh."

"Iya, Ma."

"Kenapa kamu tempelin gambar sebanyak ini di kamar Rasi?"

"Biar dia takut."

"Takut?" alis Rasi berkerut.

"Iya, Ma. Rasi kan punya klaustrofobia. Klaustrofobia tuh sama aja kayak takut sama Santa Klaus, kan?"

Rasi dan Mama berpandangan, lalu hening sejenak. Rasi bukan anak yang rajin sejak kecil, jadi dia tidak paham apa yang dimaksud klaustrofobia, sementara Mama hanya mengembuskan napas pelan.

Belakangan, Sabda merasa super bodoh saat dia tahu jika klaustrofobia itu adalah ketakutan pada ruang sempit. Tetapi bukan berarti itu kali terakhir dia mencoba mengerjai Rasi. Pada suatu kesempatan, setelah menonton film Narnia, Sabda punya ide baru menjahili kakak keduanya.

"Nggak cuma Pevensie Bersaudara, aku juga punya dunia kayak Narnia dalam lemari di kamarku." Film Narnia itu berkisah tentang empat bersaudara dari Keluarga Pevensie yang menemukan dunia fantasi bernama Narnia dalam lemari pakaian mereka.

Rasi lebih tua dari Sabda, tapi kelakuannya sering bikin orang bertanya-tanya mana yang sebetulnya bungsu antara dia dan Sabda. "Woah, beneran?!"

Sabda menyeringai jahat setelah melihat bagaimana mata Rasi terbuka lebar karena kata-katanya. "Iya. Tapi ini rahasia."

"Kamu udah pernah masuk ke sana?"

"Pernah."

"Ada ratu jahatnya?"

"Nggak."

"Ada singanya?"

"Nggak. Tapi di sana banyak kelinci."

"Woah, ajak aku, dong!" Rasi mulai merengek, memakan sempurna umpan dusta yang diberikan Sabda.

"Kamu beneran mau?"

Rasi mengangguk kuat-kuat sampai kepalanya nyaris copot. "Mau banget!"

"Tapi... harus masuk lewat lemari."

"Iya. Terus kenapa?"

"Kamu kan nggak suka ada di ruangan sempit."

"Oh iya juga ya," Rasi mulai ragu, namun langsung mengepalkan tangan dan memasang ekspresi wajah kelewat bersemangat. "Nggak apa-apa, deh! Pokoknya demi ketemu kelinci-kelinci, aku bisa sempit-sempitan sebentar!"

"Oh ya satu lagi, kamu nggak boleh bilang apa-apa ke Mama, Papa atau Kak Setra."

"Itu sih gampang!"

Dua kakak-beradik itu pun pergi ke kamar Sabda, di mana lemari besar berisi pakaian yang dimaksud berada. Sabda membuka pintu lemarinya, lalu mempersilakkan Rasi buat masuk lebih dulu. "Kamu boleh masuk duluan."

Rasi menghela napas seperti seseorang yang bakal melakukan sesi bungee jumping pertama dalam hidupnya, lalu memantapkan tekad dan melangkah masuk ke dalam lemari. Dia langsung disambut oleh baju-baju wangi pelembut pakaian yang tergantung. "Abis dari ini aku harus kem—"

Ucapannya belum lagi terselesaikan ketika Sabda menutup pintu lemari, kemudian menguncinya rapat-rapat. Spontan, Rasi memekik keras, sadar jika dia baru saja dijebak. Cowok itu berteriak panik seraya memukul-mukul pintu lemari dari dalam, sementara Sabda ngakak sampai sesak napas.

Untungnya, Rasi berhasil diselamatkan kurang dari dua menit kemudian oleh Setra. Sabda jadi sasaran omelan kakak tertuanya sekaligus dapat hukuman berat dari Mama, tapi dia tidak menyesal. Dia puas sudah berhasil mengerjai Rasi, walau kepuasannya berubah jadi kepanikan ketika hari berlalu dan Rasi masih tetap marah padanya. Bocah itu mencoba meminta maaf, namun Rasi malah mengabaikannya seperti kerikil. Bingung, Sabda curhat ke Arin, Setra juga Mama—yang lantas memberi solusi sekaligus aturan baru diantara mereka bertiga;

Jika mereka marahan, siapapun yang disakiti harus memaafkan kalau diberi es gabus warna-warni.

Es gabus warna-warni adalah jajanan SD favorit ketiganya, jadi aturan itu langsung diterima. Sabda membelikan Rasi banyak sekali es gabus warna-warni lengkap dengan saus cokelatnya. Lalu hanya begitu saja, mereka menganggap peristiwa lemari dan kebohongan Sabda tidak pernah ada.

"Ma, beli kolam renang-kolam renangan dong!" seorang gadis kecil berponi dengan rambut dikepang dua muncul dari balik salah satu rak dan langsung menunjuk kotak kolam tiup yang sempat ditatap Sabda beberapa lama, otomatis menariknya keluar dari ruang renung. Sabda menghela napas, melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah sepuluh menit dia berdiri diam di sana seperti orang bodoh.

Tapi mau bagaimana lagi?

Ada yang bilang, kenangan adalah palung terdalam yang bisa ditemukan dalam ingatan seseorang. Sedalam apa pun Sabda mencoba membenci dan berusaha menganggap dua saudaranya tidak lagi ada, perasaan itu tidak pernah betul-betul terhapus. Selalu ada ceruk yang abai tersentuh, membuat memori-memori usang yang sakit dikenang kembali menyeruak tanpa permisi lalu puas karena berhasil menjebaknya dalam hampa.

Sabda mengeluarkan ponsel, mengetikkan satu pesan di groupchat rekan setim futsal departemennya.

Gue balik duluan ya. Ada urusan mendadak di rumah. Maaf. Salamin ke Kak Rudi.

*

Rumah yang kosong menyambut Sabda begitu dia pulang. Papa selalu sibuk dengan pekerjaan, membuat Sabda berpikir bahwa entah sejak kapan, rumah sebagai tempatnya beristirahat telah tergantikan. Rasi juga belum kembali, itu sudah pasti karena tidak ada suara musik yang mengganggu dari kamarnya. Sabda beranjak masuk, meletakkan tasnya sembarangan di sofa ruang tamu sebelum berpindah ke dapur.

Sabda tidak sejago Setra dalam masalah memasak, namun dia sangat kreatif dan telah mencipta berbagai kreasi masakan dengan bahan dasar mi instan. Seblak Samyang yang akan dia buat ini adalah salah satunya. Ibarat kata kalau Sabda itu chef kelas dunia, maka Seblak Samyang adalah signature dishnya.

Well, setidaknya selama beberapa tahun belakangan, sejak Samyang booming gara-gara challenge yang dilakoni para remaja generasi milennial. Tadinya, menu andalan Sabda adalah martabak mi instan. Memang, kedengarannya sepele dan siapapun bisa membuatnya, tapi jangan salah, reputasi martabak mi instan karya Sabda sudah terbukti karena telah diuji oleh Setra.

Iya, Setra adalah yang pertama mencicipi masakan Sabda selain Mama.

Semuanya bermula dari keisengan Sabda di suatu sore. Papa dan Mama lagi pergi kondangan, menghadiri pernikahan salah satu sepupu jauh mereka yang nggak Sabda kenal. Rasi masih molor di kamarnya, biasa deh, anak perawan memang butuh dosis tidur siang harian sementara Setra sibuk main game. Sabda yang tadinya duduk membaca buku tiba-tiba merasa lapar, memutuskan untuk memasak tanpa bilang-bilang pada Setra. Dalam kulkas, dia hanya menemukan mi instan, telur serta sayuran seperti kol dan wortel, tapi itu cukup baginya untuk mulai berkreasi.

Setra baru sadar Sabda tidak lagi duduk di sebelahnya ketika dia mendengar suara kompor yang dihidupkan. Cowok itu langsung berjalan buru-buru dengan wajah panik ke dapur, di mana dia justru disambut oleh cengiran Sabda yang sedang membalik martabak mi instan di atas teflon.

"Kamu ngapain?"

"Masak."

"Bisa?"

"Kak Setra lihat aja nanti."

Setra manggut-manggut, membiarkan Sabda bekerja di balik kompor yang tingginya saingan dengan tinggi badannya, lalu diam-diam tersenyum bangga saat Sabda mematikan kompor, lalu mengambil piring dari rak pengering di sisi wastafel.

"Kak Setra cobain duluan, deh." Sabda berujar setelah menyajikan martabak mi instannya di atas piring.

"Ini kamu beneran masak?"

"Iya, Kak. Beneran. Dan aku yakin, bisa di makan!"

"Baguslah, soalnya kalau aku sampai keracunan, bisa berabe nih karena lagi nggak ada siapa-siapa di rumah selain kita bertiga."

"Aku pastiin Kak Setra nggak bakal keracunan!"

Setra tertawa sebelum mulai memotong martabak mi instan itu dengan garpu, kemudian melahap suapan pertama. Keningnya berkerut sebentar, sementara di depannya, Sabda menatap penuh harap. "Gimana, Kak? Enak, kan?"

Setra mengunyah beberapa kali, ada kerut di keningnya.

"Gimana?" Sabda mulai tidak sabar.

"Kayaknya... aku butuh satu suapan lagi."

Sabda berdecak, tapi senyum senangnya tertarik ketika Setra mengambil suapan keduanya diikuti jempol yang terangkat naik. "Enak banget! Lebih enak dari buatan Mama."

"Beneran?!"

"Beneran!"

Rasi terbangun tidak lama kemudian, langsung turun ke lantai bawah dan berjalan menuju dapur dengan hidung mengendus-endus. "Hm... bau wangi apa ini... oh-em-ji, jangan bilang kalian makan-makan nggak ngajak aku!? Jahat ya kalian?! Sengaja ya makannya nunggu aku tidur dulu?!"

"Iya, emang."

"Nggak. Ini barusan, kok." Setra menenangkan. "Tadi Sabda masak martabak mi instan. Ternyata enak, bahkan lebih enak dari buatan Mama."

"Woah, beneran?!" mata Rasi melotot heboh, seperti mau loncat keluar dari tempatnya.

"Iya. Tapi udah habis. Tadi suapan terakhir aku makan."

"Dih, jahat! Bikin lagi, dong..."

"Males ah."

"Jahat! Jahat! Jahat!"

Setra bangkit dari duduk dan membuka kulkas. "Bahannya masih ada, sih. Aku aja yang bikinin buat kamu, mau nggak?"

Rasi langsung nyengir. "Mau."

"Eits, tunggu, Kak!" ide jahat lain tiba-tiba terlintas dalam kepala Sabda. "Aku aja deh yang bikinin. Nggak apa-apa, kasihan daripada bayi kuda nil ini ngamuk-ngamuk terus nangis terus ngadu sok memelas ke Mama."

"Bener nggak apa-apa?"

"Bener!" Sabda menoleh pada Rasi. "Kamu tunggu aja di ruang tamu sama Kak Setra!"

"Yaaay, makasih loh, Sapi!"

Sabda mendelik mendengar ejekan yang Rasi lontarkan padanya, tapi menyeringai puas sambil menonton Rasi dan Setra meninggalkan dapur. Dia kembali beraksi untuk memasak makanan yang sama, namun menggunakan formulasi bahan-bahan yang berbeda. Percampuran bahan yang sekarang jauh lebih eksotis, karena Sabda tidak hanya menambahkan garam sesendok makan lebih banyak, tapi juga melipatgandakan jumlah cabe yang dia pakai. Bisa dipastikan, Rasi bakal dapat kejutan mulai dari gigitan pertama.

Rasi yang polos menunggu di ruang tamu dengan berbaik sangka dibikin hampir terloncat dari sofa karena kebahagiaan paripurna ketika Sabda muncul bersama martabak mi instan dan segelas Sprite—yang sudah diberi garam—di kedua tangannya.

"Tumben banget kamu sebaik ini."

"Mau nggak, nih? Kalau nggak mau mending buat aku aja."

"Enak aja! Mau lah!" Rasi merebut garpu dari tangan Sabda, lalu mulai memotong martabak mi instan yang masih panas. Dia terlalu antusias, tidak sadar pada bagaimana Sabda memandangnya sambil menahan tawa jahat layaknya karakter antagonis di sinetron layar kaca. Prediksi Sabda jadi nyata beberapa detik kemudian. Tepat di kunyahan pertama, wajah Rasi mengerut seakan-akan dia baru saja menggigit sepotong besar lemon super asam. Gesit, tangannya meraih gelas berisi Sprite hanya untuk kembali dapat kejutan babak dua.

Sabda tertawa sambil berguling-guling hingga perutnya mulas, sementara Setra menatap Rasi dengan prihatin.

Strange things my imagination might do

Take a breath reflect on what we've been through

Or am I just going crazy cause I miss you

Sabda menggeleng kuat-kuat, mencoba mengusir pergi semua memori yang mampir tanpa permisi. Dia meraih panci, mulai merebus air dan memasukkan bahan-bahan yang diperlukan. Lalu teflon untuk menumis bumbu, menambahkan ekstra bawang juga ekstra cabe hingga kuah seblak itu jadi luar biasa merah. Semuanya terselesaikan dalam waktu singkat, tertuang dalam mangkuk besar dalam bentuk mi instan dan kerupuk basah yang tergenang kuah. Sabda membawanya ke meja makan, lalu mencicip sesendok.

Pedas, tapi itu yang dia perlukan, terutama pada saat-saat seperti sekarang.

Hanya sedikit yang tahu alasan pasti kenapa Sabda selalu punya stok cabe dan mi instan Samyang dalam lemari juga kulkas di rumahnya ketika sebetulnya, dia tidak sekuat itu makan makanan pedas.

Sebab saat makan makanan pedas, dia bisa menangis tanpa harus repot-repot memberi alasan.

Seperti sekarang, ketika Sabda tiba-tiba saja ingin menangis. Namun dia tidak bisa menangis begitu saja, kan? Dia anak laki-laki dan konon laki-laki itu harus sekuat Superman. Dia bakal tampak konyol kalau dia mulai menangis heboh seperti anak perempuan.

Tetapi semuanya jadi terlihat normal saat dia menangis karena memakan semangkuk Seblak Samyang.

Kenapa tiba-tiba saja dia ingin menangis sekarang?

Sabda tidak tahu. Mungkin karena rindu. Atau marah. Atau kecewa. Atau sedih.

I didn't mean to be distant

Make a visit

I'll wait up and keep the coffee brewin' in the kitchen

But who am I jokin' with?

There's no way that you and I will ever get to re-open it

Atau bisa jadi, campuran dari semua emosi yang telah dia sebutkan sebelumnya.

Jika Sabda dipaksa untuk jujur, dia akan bilang dia membenci Setra dan Rasi lebih dari apa pun di dunia ini, namun pada saat yang sama, dia juga menginginkan kehadiran mereka di dekatnya lebih dari apa pun yang bisa diinginkan seseorang di dunia ini.

Sabda tumbuh besar dengan mengagumi Setra, merasa kalau kakak tertuanya adalah sosok yang sangat bertanggung jawab, pintar, rendah hati dan selalu bisa memahami perasaan orang lain. Sabda ingin seperti dia ketika besar nanti. Rasi, meski sering dia jahili hingga ngambek berhari-hari, jelas termasuk ke dalam sedikit orang yang dia sayang setengah mati di dunia ini. Sabda rindu nyanyian ngaconya di tengah malam, atau permainan gitarnya yang sesejuk hari berhujan.

Namun mereka meninggalkannya sendiri.

Apa susahnya sih mengajaknya turut pergi?

Saat Rasi pindah ke Amerika untuk tinggal bersama nenek mereka, kenapa dia tidak mengajak Sabda ikut serta?

Ketika Setra pergi dari rumah setelah bertengkar dengan Papa, kenapa dia tidak membawa Sabda bersamanya?

Katanya, mereka bersaudara.

Tetapi kenapa mereka meninggalkannya?

Sabda menggigit bibir, lalu meletakkan sendoknya dalam mangkuk yang masih terisi setengah dan beranjak dari kursi untuk kembali ke kamarnya. Tasnya masih teronggok di sofa, dibiarkannya begitu saja. Tidak jauh berbeda dengan malam-malam kemarin, sambil duduk sendirian, Sabda menatap ke luar jendela. Bintang di langit tidak bersinar. Keberadaan mereka terusir oleh kehadiran mendung kelam yang lantas dengan cepat terganti oleh turunnya hujan.

Sabda membuka jendela lebar-lebar, membiarkan aroma tanah basah menyerbu masuk ke kamarnya.

Samar, dia mendengar suara piano dimainkan di lantai bawah.

https://youtu.be/R9Y3-PxiD7s

Lucu sekali, karena setahu Sabda, bermain piano ketika hujan turun adalah kebiasaan yang hanya akan dilakukan oleh Mama. Cowok itu menajamkan telinganya dan ketika denting piano masih terdengar, Sabda tahu dia tidak sedang berhalusinasi. Itu memang suara betulan, bukan bagian dari khayal dalam kepalanya, meski lagu itu jelas adalah lagu yang seingatnya, paling sering dimainkan Mama.

Hujan masih turun dengan deras, sesekali diselingi oleh bunyi petir yang terdengar di kejauhan, seperti orkestra yang dimainkan oleh semesta.

Sabda tetap diam, tidak bergerak dari tempatnya biasa duduk untuk memandang malam. Dia tidak akan repot-repot turun untuk mengecek siapa yang bermain piano, meski tentu ada sepercik rasa penasaran.

The song is indeed beautiful, Sabda membatin.

But I knew it wasn't you.

Cause you passed away, Mom. 





bersambung ke chapter satu 

***

Catatan dari Renita: 

Well, we meet again haha daily update untuk prelude dan kita akan mulai chapter satu dari  cerita ini tanggal 27 oktober 2018 

normalnya, nggak akan update daily ya, ini hanya untuk project aja. wkwk. 

thanks banget buat kalian semua yang udah komen di chapter sebelumnya, aku jadi terharu. i'm so sorry tho kalau kesannya gue banyak menuntut, sebenernya nggak maksud kayak gitu (and i know that sometimes, some of you dont have nothing to say about the story) but it will be better if you leave your votes or your comments if you like the story

karena terkadang, respon yang minim membuat gue merasa sudah melakukan kesalahan di chapter suatu cerita wkwk 

and i'm so sorry to hear that some of you don't have good relationship with your siblings. sebenarnya gue juga nggak sedekat itu kok sama adik gue, kita masih suka berantem, tapi pada akhirnya yang patut disadari yah kita nggak punya siapa-siapa lagi selain saudara. 

dan cerita ini nggak akan semellow itu juga wkwkw because we'll have emir and eden in the house. 

ah ya, kenapa gue punya kecenderungan mengeliminasi karakter 'ibu' bahkan sebelum cerita dimulai? 

because i think, its hard to have a messy life when your mom is around. 

dan gue nggak bisa menciptakan apa-apa dari hidup yang baik-baik saja, ecie. 

oke deh, kita lihat nanti, apa sebenarnya motif emir jadi guardian angel, gimana peran eden dan apakah hubungan persaudaran ini masih bisa diselamatkan atau tidak 

dan apakah akan ada cinta segi banyak wkwk 

((but come to think of it, gue agak skeptis setra-rasi-sabda bakal bisa rebutan cewek yang sama. deep down inside, mereka itu saling peduli. ujung-ujungnya pada kalah duluan sebelum bertempur, e terus tau-tau eden jomblo karena nggak ada yang mau berjuang buat dia wkwkw)) 

entah deh. 

sampai ketemu nanti. 

btw untuk cerita lainnya, lucid dream akan tetap update mingguan, sementara oceanite off dulu untuk minggu ini (gue merasa harus membaca sebuah buku sebelum melanjutkan menulis dan karena keterlambatan pengiriman, possibly bukunya baru nyampe minggu-minggu ini huf kesal) 

i'll see you in next chapter and 

ciao! 

Semarang, October 21st 2018 

18.51

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top