outro

To have been loved so deeply, even though the person who loved us is gone,

will give us some protection forever.

—JK Rowling—

*

Beberapa bulan sebelumnya.

It's better to burn out than to fade away.

Usai hari-hari melelahkan yang dihabiskan di rumah sakit, Emir mulai mengerti makna dari kata-kata itu. Dia rasa kata-kata itu benar. Baginya, yang telah kelewat akrab dengan bau antiseptik rumah sakit, tembok pucat dan dokter-suster berwajah serius dengan pakaian putih lalu-lalang di koridor, melewati hari demi hari tanpa jaminan dia bisa bangun keesokan pagi adalah siksaan. Kalaupun dia harus mati, sepertinya lebih baik mata dalam satu waktu singkat. Cara yang paling bagus mungkin pergi dalam tidur. Begitu tenang, begitu lepas, tanpa keluh-kesah. Hanya pergi, meninggalkan orang-orang yang disayanginya, yang mungkin bakal menangis di sisi kasurnya begitu sadar denyut telah lenyap dari nadinya.

Semalam, sebelum tidur, Emir sempat berdoa pada mereka yang tinggal di Langit untuk menjemputnya dalam tidur. Pagi ini, dia bingung harus bersyukur atau kecewa karena dia masih bisa terbangun. Jendela kamar perawatannya masih tertutup rapat, terlapisi oleh gorden berwarna putih tulang. Ada sticky notes warna merah dan hijau tertempel di meja samping tempat tidurnya, berisi tulisan tangan kakak perempuannya. Ah ya, Shrea memang nyaris menghabiskan setiap malamnya di rumah sakit, menjaga adiknya, sementara kedua orang tua mereka sibuk mengurusi bisnis dan kakak laki-laki mereka tengah tinggal di luar negeri.

Aku ada perlu di studio sebentar. Nanti kalau udah selesai aku ke sini lagi. Don't do anything stupid, little brother. —Sre

Emir tersenyum muram, mencabut sticky notes itu dan mengamatinya sejenak. Merah dan hijau, kakaknya pasti sengaja memilih warna itu, karena warnanya mirip dengan warna buah semangka. Sudah jadi rahasia umum bahwa sejak dulu, tidak ada buah yang Emir cintai sebesar dia mencintai semangka.

Cowok itu mengalihkan pandang pada jam di dinding, melihat sekarang baru pukul lima pagi. Perlahan, dia menyingkap selimut yang melapisi tubuhnya sampai leher, lalu menurunkan kaki. Lantai terasa dingin begitu menyentuh kulitnya, membuat Emir nyaris terlonjak. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju jendela sembari mendorong stand infus berodanya, kemudian menyingkap gorden dan membuka jendela.

Angin pagi yang membawa aroma berembus, menyapa wajah Emir lembut. Cowok itu memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan dalam gelap, wajah-wajah mereka yang dirindukannya tiba-tiba saja muncul bergantian, serupa tayangan slideshow dalam sebuah presentasi. Pertama, wajah kedua orang tuanya. Disusul wajah kakak laki-laki yang tidak seberapa akrab dengannya. Sebetulnya, Emir hanya punya sedikit memori dengan kakak laki-lakinya itu, namun memori itu sangat berkesan. Kakaknya adalah orang yang pertama kali mengajarinya naik sepeda, juga memperkenalkannya pada semangka. Berikutnya adalah, secara tidak terduga, wajah sahabat lama yang tak diajaknya bicara selama bertahun-tahun.

Sabda.

Emir menggelengkan kepala, menolak rasa bersalah yang terbangun dalam dirinya. Angin pagi bertiup lagi, ada jejak hujan semalam membekas dalam setiap terpanya. Sosok Sabda terlupa, namun malah terganti oleh sebaris nama yang bikin hati Emir digerogoti nyeri tak kasat mata.

Kisa Eden Philomena.

Nama yang buat sebagian orang, dianggap sebagai nama anak perempuan yang sangat cantik. Nama yang juga bisa dibilang unik. Tapi bagi Emir, nama itu bukan sembarang nama, melainkan nama yang disandang oleh cinta pertamanya—dan jujur saja, bisa jadi satu-satunya gadis yang pernah Emir cintai seumur hidupnya.

"Seandainya kematian bisa diserupakan dengan pelakon yang meninggalkan panggung untuk berganti kostum sebelum akhirnya kembali sebagai tokoh yang baru, akankah kamu berganti dengan lambat, atau justru berganti dengan tergesa-gesa?"

Suara seseorang yang mendadak terdengar membuat Emir tersekat, lantas dia berbalik hanya untuk mendapati sesosok wanita setengah baya berdiri di ambang pintu kamar perawatannya yang entah sejak kapan sudah terbuka. Wanita itu tersenyum. Rambutnya hitam, lurus dan dipotong sebahu. Dia mengenakan setelan putih dan kardigan. Wajahnya terlihat damai dan menyenangkan. Akan tetapi, ada sesuatu dalam senyumnya yang mengingatkan Emir pada seseorang.

"Ibu... siapa?"

"Seseorang yang bisa jadi pernah sangat ingin kamu temui di masa lalu." Wanita itu berjalan masuk ke kamar dengan santai. Matanya memandang sejenak pada sticky notes di atas meja, yang bersebelahan dengan sekeping tajos berkarat. Tajos itu tampak seperti telah sering dibawa kemana-mana, terlihat dari gambarnya yang mengelupas. Walau demikian, warna kuningnya dan sedikit bagian mata Spongebob masih tampak. "Ah, anak bungsu saya juga sangat menyukai Spongebob Squarepants."

Emir tidak menjawab, hanya memandang wanita itu penuh tanya.

"Kamu anak yang baik. Saya tidak mau membebani kamu dengan banyak pertanyaan, tapi kamu harus menjawabnya." Wanita itu tersenyum lagi. "Seandainya kematian bisa diserupakan dengan pelakon yang meninggalkan panggung untuk berganti kostum sebelum akhirnya kembali sebagai tokoh yang baru, akankah kamu berganti dengan lambat, atau justru berganti dengan tergesa-gesa?"

"Saya... nggak ngerti."

Wanita itu memiringkan wajah, memandang Emir lekat dan perlahan-lahan, tatapannya melembut. Dia bicara lagi, disusul jentikan jari. "Maka, saya akan coba membuatmu mengerti."

Seberkas cahaya terang yang datang entah dari mana muncul, menusuk mata Emir. Cowok itu mengerjap, refleks memejamkan mata namun layaknya blackhole, cahaya itu justru menghisapnya, membawanya melintasi labirin yang seolah-olah tanpa ujung sebelum menjebaknya dalam sebuah ruang yang seperti tidak memiliki batas. Wanita aneh berbaju putih itu tidak tampak di mana pun. Emir sendirian, memandang bingung pada sekelilingnya sebelum dinding-dinding pucat muncul secara misterius. Dinding itu putih terang, mengedip dan dengan cara yang magis, menayangkan kilas-balik peristiwa-peristiwa terpenting yang pernah Emir lewati dalam hidupnya.

Sebagian besar peristiwa itu terjadi di sekolah. Momen saat dia pertama kali memecahkan soal Matematika tersulit yang berbuah tepuk tangan gurunya serta decak kagum teman sekelas. Piala pertamanya dalam ajang lomba MIPA antar-kelas. Olimpiade Matematika pertama. Senyum bangga Shrea. Pelukan kakak laki-lakinya. Semangka. Makanan enak. Semuanya berjalan kian cepat sampai-sampai Emir merasa pusing, kemudian segalanya melambat kala wajah lain muncul di sana.

Wajah Sabda yang muram, yang biasa menyendiri sambil memainkan konsol gamenya. Sabda yang mengabaikannya di awal perjumpaan mereka. Senyum Sabda waktu cowok itu bilang Emir adalah Coco-nya. Ekspresi jahil di wajah Sabda setiap kali dia berhasil mengerjai Emir.

Emir merindukan sahabatnya, dan nyeri tak kasat mata itu kembali berdenyut dalam dada.

Ternyata, apa yang harus Emir lihat tidak cukup sampai di sana. Sosok Sabda terganti oleh sosok lainnya. Kali ini, wajah itu milik gadis yang pernah sangat disukainya di masa SMP—oh ralat, jika ditanya, bahkan mungkin sampai saat ini, Emir masih menyukai. Gadis itu tersenyum, memandang pada Emir dan terasa begitu nyata, seakan-akan gadis itu betulan ada di depannya. Kilasan berganti lagi, membawanya ke ruang kelas di masa silam. Waktu itu pelajaran bahasa Inggris. Emir sedang serius memperhatikan penjelasan guru yang mengajar, sementara diam-diam, tidak jauh dari tempatnya duduk, Eden memandangnya dengan sinar kekaguman. Pada satu titik, karena merasa ditatap, Emir memandang ke arah Eden yang kontan buru-buru buang muka, berlagak sibuk dengan pensil merah mudanya. Emir tidak langsung mengalihkan tatap. Cowok itu melihat pada Eden beberapa lama, bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang terlihat sangat cute dengan aneka jepit warna-warni tersemat di rambutnya. Pikiran itu lantas menonjok perasaan Emir, membuat pipinya merona dan dia malu sendiri.

He stares everytime she looks away.

Tapi Dewi Fortuna terlalu sibuk berdansa, tidak ada seorangpun dari mereka yang sadar keduanya saling menatap diam-diam dalam kelas... hingga sekarang.

Ketika Emir sadari, semuanya sudah terlambat.

"Seandainya kematian bisa diserupakan dengan pelakon yang meninggalkan panggung untuk berganti kostum sebelum akhirnya kembali sebagai tokoh yang baru, akankah kamu berganti dengan lambat, atau justru berganti dengan tergesa-gesa?"

Kilas balik itu terselesaikan bersamaan dengan kemunculan wanita berbaju putih tadi, yang masih datang dengan cara mengejutkan.

"Saya... masih nggak ngerti."

"Jika saya bilang kamu akan mati dalam tiga hari, apa yang akan kamu lakukan?"

Emir tersentak, lalu senyum pahitnya tertarik. "Apakah mungkin bagi saya menawar... untuk diberi sedikit waktu tambahan?"

"Anggaplah, permintaanmu dikabulkan. Apa yang mau kamu lakukan dengan sedikit waktu tambahan itu?"

"Apa yang baru saja saya saksikan... membuat saya menyadari sesuatu." Emir menghela napas, mengepalkan tangannya kuat-kuat sampai buku jarinya memutih. Apa yang terjadi diantara dia dan Sabda telah membuatnya dihantui penyesalan selama bertahun-tahun. Namun kemunculan sosok Eden yang tiba-tiba, yang seperti baru saja ditarik paksa dari ingatannya untuk dipertontonkan di depan matanya membuatnya menyadari sesuatu yang lain.

"Sesuatu?"

"Sesuatu." Emir memandang wanita itu, terlihat sedih. "Ada beberapa orang yang perlu diberitahu tentang rasa. Ada beberapa orang yang perlu diberitahu tentang sesal. Ada yang perlu memahami keduanya."

"Jika apa yang kamu beritahu tidak lantas membuat mereka lebih bahagia dari sebelumnya, apa kamu tetap akan meminta waktu tambahan?"

"Apa saya punya pilihan lain?"

"Sesalmu terlampau besar. Saya memahami itu, karena saya juga merasakan sesal yang sama. Bedanya, saya tidak punya kesempatan seperti kamu." Wanita itu tersenyum. "Lebih baik lenyap dalam satu dentuman daripada memudar perlahan-lahan. Kamu mungkin berpikir bahwa mati dalam tidur, secara tiba-tiba, jauh lebih baik daripada menghitung berapa sisa waktu yang kamu miliki. Saya merasa sebaliknya. Jika kamu tahu kapan kamu mati, kamu bisa mempersiapkan kepergianmu dengan sebaik-baiknya. Atau menyelesaikan sesuatu, memastikan orang-orang yang kamu tinggalkan bisa melanjutkan hidup mereka dengan bahagia."

"Maaf, tapi saya—"

"Saya pergi dalam satu dentuman. Lebih lekas dari menunggu fajar. Dan itu menciptakan lubang di hati tiga orang yang sangat saya cintai melebihi apa pun yang ada di dunia."

"Saya masih nggak—"'

"Waktumu tiga hari lagi. Kamu meminta waktu tambahan. Mungkin itu dikabulkan. Mungkin juga tidak. Apa yang jadi pertanyaan adalah, jika kamu diberi pilihan, dengan caramu sendiri, untuk memastikan hidup orang-orang yang kamu tinggalkan lebih bahagia dari sebelumnya, apa kamu akan melakukannya?" Wanita itu bertanya, serius namun tenang. "Ingat baik-baik, kebahagiaan mereka berarti tanpa kehadiranmu."

Emir tidak tahu kenapa sosok pertama yang muncul dalam benaknya adalah Sabda dan... Eden. "Saya rasa saya akan melakukannya."

"Walau bahagia mereka tanpa kehadiranmu?"

Emir mengangguk, lalu katanya. "Bahagia tetap bahagia. Dengan atau tanpa saya. Jika orang-orang yang saya tinggalkan bahagia, maka saya akan ikut bahagia untuk merayakan kebahagiaan mereka."

Wanita itu tersenyum, lembut. "Sangat disesalkan, Sabda tidak bisa memiliki sahabat seperti kamu untuk menemaninya sepanjang hidup."

"Tapi, apa ini semua nyata?"

"Bisa jadi." Wanita itu terkekeh, terlihat jenaka sekaligus menggoda. "Atau ini semua hanya bunga tidur yang melintas dalam kepalamu. Kita tidak pernah tahu apa isi pikiran orang yang sakit, kan?"

Emir tersekat dan tak lama kemudian, dia mendapati dirinya terbangun di atas kasur dengan peluh membanjiri sekujur badan. Napasnya terengah dan dadanya sakit. Kala dia memandang pada jam dinding, jam menunjukkan pukul lima pagi dan jendela ruangan masih tertutup rapat, terselubung oleh gorden putih tulang.

*

Masa sekarang, dua minggu setelah festival.

"Mama nggak bisa jemput kamu. Kamu naik taksi aja ya?"

"Kenapa nggak bisa?"

"Lagi ada meeting sama klien di kantor. Nanti malam Mama bawain Big Box Pizza deh. Tapi kamu pulangnya naik taksi, oke?"

Eden mendengkus, kesal tapi tidak bisa membantah. Dia menyahut pendek, sebelum mematikan telepon. "Yaudah."

Sekolahnya berada tidak jauh dari jalan besar, jadi bukan perkara sulit menemukan taksi. Dia hanya perlu menunggu sebentar dan sebuah taksi biru tanpa penumpang tampak di ujung jalan. Eden melambai, memberi kode pada pengemudi dan taksi itu pun melambat, menepi mendekatinya.

Perjalanan menuju rumah diwarnai oleh keheningan. Pengemudi taksi tidak bicara. Eden juga terlalu malas untuk membuka obrolan. Cewek itu memandang ke luar jendela, pada langit sore kota Jakarta. Sebentar lagi, jam-jam puncak orang pulang kerja akan dimulai. Sepertinya, pengemudi taksinya punya pikiran sama. Jam puncak berarti macet, oleh sebab itu, supaya tidak menghabiskan waktu terlalu lama di jalan, perlu bagi mereka buat tiba di tujuan sesegera mungkin. Maka tidak heran kalau supir taksinya memacu kendaraan sekencang yang diperlukan.

Lalu, segalanya berubah jadi mimpi buruk dengan cepat. Di sebuah perempatan, entah bagaimana kronologinya, taksi yang ditumpangi Eden bertabrakan dengan sebuah mobil. Rentetan peristiwanya terjadi dengan sangat cepat. Eden mendengar suara benturan keras dan sesuatu menghantamnya. Kemudian mobil terguling, membuat kepala Eden menghantam jendela hingga berdarah. Denging memenuhi kuping Eden. Satu-satunya yang Eden ingat sebelum kesadarannya direnggut, terganti dengan kegelapan adalah sosok wanita di balik kursi pengemudi mobil yang terlibat kecelakaan dengan taksinya.

Wanita itu setengah baya, berambut lurus dan dipotong sebahu. Dia mengenakan setelan putih yang kini merah, terembesi oleh darahnya sendiri. Matanya terpejam, telah sepenuhnya tidak sadarkan diri.

Kemudian, ledakan itu terjadi dan serupa kembang api, mobil tersebut terbakar tepat di depan mata Eden. Kengerian mengguncangnya. Air mata mengumpul di matanya. Sakit menjalari sekujur tubuhnya. Lantas, dia jatuh pingsan.

Eden menjerit keras, hanya untuk mendapati dirinya telah berpindah ke sebuah ruang kelas, di mana dia melihat dirinya sendiri sedang duduk di salah satu kursi. Dia ingat ruang kelas itu adalah ruang kelasnya ketika SMP dulu. Dia juga ingat, itu mata pelajaran Bahasa Inggris. Bukannya memperhatikan penjelasan guru, Eden malah sibuk mengamati Emir, cowok terpintar di kelas. Dia juga cute, dengan rambut hitam dan senyum manis yang bikin hati Eden terasa ringan.

Ketika pada suatu waktu, tiba-tiba Emir menoleh padanya, Eden langsung buang muka. Dia tidak menyadari bahwa ternyata, kala itu, Emir ikut menatapnya. Lama dan dalam, dengan jenis tatapan yang membuat Eden terdiam.

"He stared at you everytime you looked away."

Eden tersentak, menoleh dan sadar jika yang baru bicara itu adalah wanita berambut sebahu bersetelan putih yang dilihatnya... tertelan oleh ledakan mengerikan serupa kembang api mematikan.

"Ibu—"

Wanita itu tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan, malah berlutut dan meraihnya dalam dekapan, diikuti bisik. "Jaga mereka baik-baik untuk saya. Maaf kalau saya merepotkan, tapi diantara kita semua, hanya kamu yang akan bertahan hidup."

*

Eden terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dan napas yang memburu. Kengerian dan kesedihan berbaur di matanya, tapi itu tidak bertahan lama begitu dia sadar dia tidak sendirian dalam kamarnya. Sabda ada di sana, memandangnya khawatir.

"Lo baik-baik aja?"

Eden memilih mengatur napasnya lebih dulu sebelum menjawab, merasa lega karena itu semua hanya mimpi. Dia menatap langit-langit sejenak sebelum beranjak, menukar posisi berbaring dengan posisi duduk. Sabda masih memandangnya, lalu begitu saja, Eden merasa dia tidak punya pilihan yang lebih baik selain meraih Sabda dan memeluknya. Napasnya masih belum teratur dan seolah-olah mengerti, Sabda membiarkan Eden mendekapnya lama. Cowok itu bahkan menepuk-nepuk pundak Eden, seperti berusaha menenangkannya.

"Don't worry. You're safe here. You're safe with me."

Pelukan Sabda terasa hangat, seperti sorot matahari pagi setelah hari-hari panjang penuh badai usai. "Sori. Gue... mimpi buruk."

"Gue tahu."

"Kenapa lo ada di sini?"

"Nyokap lo tadi nelepon Kak Setra, minta tolong buat jagain lo karena lo lagi demam dan beliau ada urusan dadakan di kantor. Tadinya Kak Setra doang yang mau ke sini, tapi selesai kelas, gue sama Aci ikutan nyusul. Panas lo udah turun, tapi tetap aja, lo masih butuh makan banyak dan minum obat." Sabda bicara dengan penuh perhatian. "Mau dibikinin susu hangat?"

"Lo mau bikinin?"

Sabda memutar bola matanya. "Masih nanya?"

"Jangan dikasih garam ya. Ingat, kasihnya gula."

"Sori, jangan ge-er, susu vanilla pake garam cuma gue bikinin spesial untuk Aci seorang."

Eden tertawa, perlahan-lahan relaks kembali. Sabda menatapnya sekali lagi, menepuk bahunya sebelum kemudian bilang. "Oke, tunggu di sini. Tapi kalau lo mau ke bawah, Kak Setra ama Aci lagi main PS sih."

"PS?"

"Iya, Aci sengaja mampir ke rumah dulu, buat ambil PS."

Eden berdecak. "Harusnya sudah bisa gue duga."

Sabda tertawa kecil, lantas beranjak dari tepi kasur Eden. Dalam hitungan detik, cewek itu ditinggal sendirian di dalam kamar. Well, setelah festival seni dua minggu lalu—di mana penampilan Setra dan kedua adiknya berhasil jadi topik hangat di seantero kampus—segalanya berada dalam kondisi luar biasa baik. Setra kembali pulang ke rumah, punya rutinitas baru mengantar-jemput adik-adiknya sesekali, sambil terus bekerja paruh waktu dan mengurusi tugas akhir kuliahnya. Di sela waktu senggangnya, cowok itu merawat pot-pot bunga di halaman depan dan halaman belakang rumahnya, juga memasak setiap kali Eden, Sabda dan Rasi berkumpul di rumah. Jo, Lucio dan Arkais juga beberapa kali datang berkunjung. Eden senang dengan situasi sekarang, merasa dia tidak pernah sebahagia ini sebelumnya, namun tetap saja ada yang kurang.

Seandainya saja Emir ada di sini.

Eden menghela napas, berusaha mengusir pikiran itu dari benaknya karena dia tidak ingin terlihat sedih di depan Setra, Rasi dan Sabda sekarang, hingga tiba-tiba, matanya tertuju pada sehelai kertas putih terlipat yang berada di atas nakas sisi tempat tidurnya. Seingat Eden, kertas itu tidak ada di sana sebelumnya. Didorong rasa penasaran, cewek itu meraihnya, membukanya dan tulisan yang tertera membuat perutnya serasa ditunjuk.

Ini tulisan tangan Emir.

Eden tidak tahu kapan Emir menulisnya. Dia juga tidak tahu bagaimana bisa kertas itu ada di sana. Namun kertasnya sudah cukup lusuh dan garis lipatan yang tegas menandakan surat itu telah terlipat dalam waktu yang cukup lama. Ada bau obat dan antiseptik melekat pada kertas itu, bercampur dengan bau khas kertas yang lama disimpan. Pada beberapa bagian, ada tulisan yang luntur karena tertetesi oleh air mata.

Eden menggigit bibir, enggan disekap oleh sedih yang bisa jadi akan dia rasakan usai membaca surat itu, namun rasa penasarannya jauh lebih besar.

To The One and Only Girl I've Ever Loved,

Kisa, if you're reading this, then you will know that you won't see me ever again. I'm up in the stars now, looking down on you, making sure that you're safe.

I am sorry for all the times, I have been a pain, and I wish we had more good times to outweight the bad tenfold. But I'm thankful. Thankyou for being the best first love anyone could ever have wished for. You gave me butterflies and happiness to know that I love someone.

You got long lives ahead of you yet, so make sure you make use of every second you have, because sitting here writing this, now I know just how precious time is. Forgiveness is something everybody deserves because one day, it may be too late.

Remember that everytime you are thinking of me, I am thinking of you, too. Look after yourself.

All my love, Emir.

He stared at you everytime you looked away.

Dan tiada yang bisa menjelaskan perasaan Eden lebih baik daripada air mata yang kini jatuh berkejaran membasahi pipinya.

*

Suatu hari, bertahun-tahun lalu.

Anak perempuan itu berdiri bingung di tepi jalan. Dia ingin membeli es krim di minimarket yang berada di seberang sekolahnya, namun sejak tadi, dia terpaksa membatu di tempatnya berdiri karena gagal menyeberang. Jalannya terlalu ramai. Kendaraan tidak berhenti lalu-lalang dan seakan-akan enggan memberinya kesempatan buat menyeberang. Saat itulah, dari gerbang sekolah, sesosok anak laki-laki muncul.

"Kisa?"

Eden tersentak, menoleh dan gugup seketika tatkala sadar anak laki-laki itu adalah Emir, teman sekelas yang telah lama dia taksir. "E—Emir?"

"Ngapain?"

"Mau ke seberang. Mau beli es krim."

"Kenapa nggak nyeberang?"

Eden terlihat malu. "... nggak berani."

"Mau gue seberangin?"

"... boleh?"

"Boleh. Tapi pensil merah jambu yang tadi lo pinjemin di kelas buat gue ya?"

"Pensil—ah, pensil itu?" Di kelas tadi, Emir lupa membawa pensil saat pelajaran seni. Mereka belajar membuat gambar dengan teknik arsiran. Sempat bingung, Emir tiba-tiba saja menghampiri mejanya dan meminjam pensil merah muda milik Eden. "Buat apa?"

"Gue suka warna pensilnya."

"Kamu suka warna pink?"

"Iya. Lo juga suka, kan?"

Eden mengangguk. "Tapi biasanya cowok nggak suka warna pink."

"Nggak berlaku buat gue." Emir tertawa tapi terlihat malu di saat yang bersamaan. Dia menggaruk belakang lehernya salah tingkah. "Minggu depan gue ikut olimpiade Matematika. Pensilnya mau gue bawa, buat jadi jimat keberuntungan. Jadi, buat gue aja ya?"

Eden mengangguk. "Yaudah."

"Oke, sini gue seberangin."

Eden mengangguk lagi, namun kemudian mengernyit heran, menatap tak mengerti pada tangan Emir yang terulur. "Maksudnya... apa?"

"Buat nyeberang bareng, harus gandengan, kan?"

"Ah... i—iya!" Wajah Eden bersemu merah, serasa terbakar. Ragu, dia meraih tangan Emir. Tangan cowok itu hangat dan dalam genggamannya, Eden merasa hangat.

The day we first held hands, I was thankful that my hand that built up and tore down countless things landed in yours.

"Udah sampe."

"Ah iya! Ma—makasih!" Eden makin gugup saat pegangan tangan mereka akhirnya terlepas. Emir tertawa, lalu bilang pada Eden jika dia masih ada urusan lain. Cewek itu mengangguk, tapi tidak langsung masuk ke dalam minimarket. Dia malah memperhatikan punggung Emir yang menyeberang jalan. Ketika Emir sudah tiba di seberang, barulah Eden berbalik, bermaksud melangkah menuju pintu minimarket. Itu membuatnya tidak menyadari bahwa diam-diam, Emir berhenti di seberang hanya untuk memandang punggungnya beberapa lama.

He stared at you everytime you looked away. 





Guardiationship — Selesai

***

Catatan dari Renita: 

halo. 

nggak kerasa, karya ini akhirnya selesai juga dan jadi karya pertama yang tamat di 2019. terimakasih untuk kebersamaan kita sejak akhir oktober sampai sekarang, tanpa kalian, gue mungkin nggak akan pernah bisa menyelesaikan cerita ini. terimakasih untuk semua vote, comment dan kalian yang merekomendasikan cerita ini untuk teman-teman kalian. makasih banget. 

terimakasih juga untuk nct, terutama mereka yang menginspirasi gue untuk menulis ini, semoga selalu sehat, bahagia dan berkembang menjadi lebih baik. terimakasih juga buat nctzen, exo-l, iconic, army, wannable, pokoknya kalian semua yang sudah mendukung tulisan ini. 

gue banyak belajar saat menulis guardiationship, untuk lebih dewasa dan gue senang pembaca juga merasakan sesuatu yang sama. 

gue bakal kangen menulis tentang setra, rasi dan sabda, tapi ini bukan perpisahan lol masih ada extra chapters. untuk kehidupan selanjutnya dari tiga bersaudara dan eden bisa jadi bakal kelihatan sedikit-sedikit dari cerita orang-orang lain seperti arkais (iya, arka dan mbak shrea), jo (and his moon), kak doy dan arin, even pak citapon aka lucio dan mbak asistennya. cerita mereka semua akan debut di wattpad, tapi bertahap ya. 

seperti yang gue bilang, di akhir maret akan ada kejutan. bukan info penerbitan kok, tapi giveaway buat para pembaca guardiationship dan mereka yang sayang kak setra, rasi dan sabda. hadiahnya akan bersifat personal dan 'dekat' dengan guardiationship haha jadi jangan hapus cerita ini dari library. untuk info lebih lanjut, kalian bisa cek instagram (at)retrorias. nggak usah difollow juga nggak apa-apa soalnya nggak digembok. 

jadi gimana kesan kalian untuk cerita ini? 

siapa tokoh yang bakal paling kalian kangenin? 

karena udah kemaleman, kayaknya segitu dulu. sampai ketemu di Dream Launch Project.

semoga kalian selalu bahagia selalu dan bersemangat menjalani aktivitas. 

ciao. 

Semarang, February 21st 2019 

20.42

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top