ninth note
You and I must make a pact.
We must bring salvation back.
I'll reach out my hand to you.
Just call my name, and I'll be there.
—Jackson 5—
*
Dulu, Eden punya kebiasaan menulis diary. Dia melakukannya sejak SD, saat salah satu tante menghadiahinya buku diary lucu pada hari ulang tahunnya yang kesembilan. Hidup sebagai anak tunggal dengan kedua orang tua yang lebih sering berada di kantor daripada di rumah juga kecenderungannya menyindiri bikin Eden tidak punya teman bercerita. Dia menulis apa pun yang ingin dia tulis, mulai dari dia yang diam-diam membagi isi kotak bekal makanannya dengan kucing kampung peliharaan penjaga sekolah, badut pasar malam yang membuatnya takut hingga guru baik yang memberinya sebatang cokelat pada suatu siang. Kebiasaan itu terhenti saat Eden SMP, karena sebuah peristiwa yang tidak ingin dia ingat lagi.
Namun malam ini, usai menonton punggung Setra yang menjauhi pagar depan rumahnya sebelum sempurna ditelan gelap malam, setelah menjawab pertanyaan menyelidik Mama tentang siapa cowok yang mengantarnya pulang, ada sejuta rasa yang menyesaki dada Eden. Dia tidak bisa menahannya sendiri, tapi bercerita pada Yasmine bukan sesuatu yang Eden rasa bisa dia lakukan. Cewek itu sangat memuja Setra. Jika dia tahu, situasi bakal bertambah runyam dan boleh jadi, Yasmine malah kesal karena Eden tidak pernah bercerita padanya soal Setra, Rasi atau Sabda.
Jadi, Eden memutuskan mengeluarkan diary berdebu dari dasar laci meja belajarnya, lantas mulai menulisi satu bagian dengan tulisannya yang tidak rapi.
"Dear Diary,
Hari ini, aku diantar pulang Kak Setra. Aku belum pernah cerita tentang Kak Setra, ya? Ya iyalah, ini juga pertama kali aku nulis diary lagi setelah berabad-abad. Maaf ya. Kalau semuanya diceritain, bakal kepanjangan. Intinya Kak Setra tuh ganteng. Dia nganter aku pulang malam ini.
Soal Kak Setra ganteng sih udah biasa. Mau tahu yang nggak biasa? Ternyata eh ternyata nih, Kak Setra tuh kakaknya Rasi sama Sabda!!
Di, mungkin kamu nggak ngerti karena aku juga belum cerita soal siapa Rasi (pengennya manggil dia Sableng aja sih tapi nggak deh, namanya dia kan doa dari mamanya) atau Sabda. Rasi tuh cowok yang otaknya setengah waras. Sabda beda lagi, dia mah mulutnya yang setengah waras.
Oke, balik lagi soal Kak Setra yang ternyata kakaknya Rasi sama Sabda.
Reaksi pertama aku? Rasanya pengen joget Yamko Rambe Yamko. Hehe nggak, deng. Cuma edan banget aja, sih. Aku tahu, mereka bertiga emang ganteng (yah meski Rasi tetap kurang waras dan Sabda terlalu hobi ngegas) tapi setan-setan cilik kayak mereka punya kakak macam Kak Setra yang buset daaaaaaaaaah... aku kira cowok kayak Kak Setra tuh cuma ada di novel doang. Nih ya, udah ganteng kebangetan, baik, jiwa sosialnya tinggi, nggak pernah ngomong kasar (di depan aku sih gitu), terus kayaknya nggak ngerokok karena bibirnya pinkish natural, bisa banget ngalahin Nikita Willy buat jadi brand ambassador lip ice.
Bukan berarti aku selalu fokus ke bibirnya Kak Setra ya.
Aku ini masih lugu.
Mama bilang Kak Setra sopan. Kayaknya Mama naksir, soalnya mukanya ngegoda banget pas nanya itu gebetan aku atau bukan.
Yah, sayangnya kenyataan nggak semudah pertanyaanmu, Ferguso—eh, maksudnya, Mama. (bisa durhaka aku kalau nyebut Mama pake Frerguso, walau cuma kamu yang tahu, Di. Nanti aku dikutuk jadi spanduk JPO Semanggi gimana?).
Tapi Mama ngimpi ketinggian banget kalau mau punya mantu kayak Kak Setra. Da aku mah apa atuh, hanya butiran crumble Oreo yang meski enak... ya cuma sebatas crumble Oreo.
Orang kayak Kak Setra tuh cocoknya ama yang model-model mirip Liza Soberano. Aku? Hanya sebatas Liza Sobeksobek..."
"Masih jaman nulis diary?"
Refleks, Eden berhenti menulis—yah juga gara-gara tangannya udah pegel juga, sih. Saking asyiknya, dia sampai lupa kalau ada Emir di sana. Cowok itu lagi duduk di tepi kasurnya, memandang dengan tangan terlipat. Pertanyaan Emir itu wajar, tapi justru membangkitkan ingatan yang tidak mau Eden kenang, membikin wajahnya memerah.
"Masih jaman ngeledekin orang yang lagi nulis diary?"
Emir diam sebentar, lalu katanya. "By the way, gue ingat dulu gue nemuin diary lo di kolong meja."
Pipi Eden kian merona. "Setop."
Emir malah tertawa, lantas menjentikkan jari dan memunculkan proyektor transparan yang Eden lihat pertama kali saat Emir menjelaskan tentang alasan kenapa malaikat pelindung Eden yang lama meminta dimutasi dan dia ditempatkan sebagai pengganti sementara. Eden mengerjap, sejenak serasa masuk ke dalam adegan film-film dengan teknologi mutakhir seperti Iron Man, tapi ekspresi cengonya berganti jadi kesal ketika dia sadar jika apa yang sedang Emir tampilkan adalah sampul diarynya yang lama.
Sampul diary yang sudah dia bakar habis bertahun-tahun lalu.
"EMIR—"
Emir seperti tak peduli dan membalik halaman buku diary dalam slideshow dengan satu gerakan tangan sederhana.
entry pertama: dear diary, saras bilang aku tepos banget. padahal nggak kan ya? i really am developing breasts. it's just... no one can see them yet. tapi gara-gara saras ngomong gitu, anak-anak cewek di kelas jadi ikut ngetawain aku :(
entry kedua: dear diary, ini random, tapi zayn malik ganteng banget...
entry ketiga: huaaaa... zayn malik keluar dari one direction :( :( aku sedih #haripatahhatidirectioners
entry keempat: halo, diary. maaf lama nggak nongol. ini masih random, tapi kali ini bukan tentang zayn. tahu nggak temen sekelasku yang jago matematika? namanya... emir. he's so smart and his smile is so cute. aku suka dia. tapi gimana ya, aku nggak selevel untuk bisa ngobrol ama dia—"
"SETOP!"
Emir mengangguk setuju, lantas menjentikkan jarinya dan proyektor transparan itu pun menghilang. "Oke, gue setuju."
Eden menghela napas, menggigit bibirnya seraya mati-matian berusaha menghindari tatapan Emir. Cewek itu tidak tahu teknologi macam apa yang dipunya oleh dedengkot akhirat atau petinggi dunia permalaikatan, tapi dia sudah membakar buku harian itu bertahun-tahun lalu. Dia tidak mengerti bagaimana bisa buku itu muncul, meski hanya dalam proyektor transparan yang terkesan futuristik.
Dia membakarnya karena suatu ketika, buku diary itu tertinggal di kolong meja kelasnya... dan orang yang mengembalikan buku itu padanya adalah Emir. Kebetulan, cowok itu sedang ada jadwal piket. Eden malu luar biasa, walau Emir tidak bilang apa-apa soal isi buku tersebut. Lantas, sejak hari itu, Emir tiba-tiba saja menjauhinya, bikin Eden patah hati bahkan sebelum dia paham patah hati itu apa.
Pada akhirnya, Eden tidak pernah menulis diary lagi—meski tantenya masih rajin menghadiahinya buku diary setiap dia berulang tahun.
"Itu isi buku yang—ah, oke, gue akan bilang langsung aja. Gue nggak pernah membacanya. Gue baru tahu itu sekarang. Soal entry yang terakhir..."
"Bohong!" Eden melotot.
Emir terbungkam dan mereka terjebak dalam kesenyapan super awkward.
"Lupain soal diary." Eden akhirnya tidak tahan terus-terusan diam. "Gue mau nanya sesuatu. Boleh?"
"Tanya apa?"
"Gue nggak menyadari ini awalnya, tapi kenapa lo selalu sediam itu setiap gue lagi sama Kak Setra, Rasi atau terutama... Sabda? Itu bukan lo banget. Biasanya lo super cerewet. Dikit-dikit ngasih instruksi dan peringatan, ngalah-ngalahin nyokap gue. 'Kisa, rambutnya diikat aja hari ini!', 'Kisa, nanti bakal hujan, jangan lupa bawa jaket!', 'Kisa, jangan pake sepatu putih!' dan Kisa ini-Kisa itu lainnya. Namun berbeda kalau ada mereka. Lo diam, bikin gue hampir lupa kalau lo ada."
"Jawabannya simpel."
"Apa?"
"Lo aman ketika lo bersama mereka bertiga."
"Hah, gimana bisa?!"
"Intinya gitu."
Eden kini sibuk bergumam sendiri. "Apa mereka penawar kesialan gue ya?"
"Bisa jadi iya, bisa jadi kebetulan."
"Atau gue pacarin aja salah satunya biar gue nggak sial-sial amat? Ah, tapi mustahil banget! Kak Setra kebagusan buat gue. Kalau Rasi sama Sabda, guenya yang kewarasan buat mereka." Eden berdecak. "Tapi kenapa lo kayak nggak kaget waktu tahu mereka bertiga saudaraan? Atau jangan-jangan lo udah tahu?!"
"Hng... itu..."
"Oh, lo udah tahu."
"Kisa—"
"Tapi kenapa lo merahasiakannya dari gue?"
Emir kelihatan bingung, lalu terdiam sejenak sebelum akhirnya dia kembali menatap Eden lagi. "Gue memang sudah kenal sama mereka. Terutama Sabda. Jadi tentu aja, gue tahu mereka bertiga bersaudara."
"Udah kenal—maksudnya pas lo masih... masih... manusia?"
Emir mengangguk. "Sabda itu satu kelas di tempat les dengan gue, ketika kita SMP. Bisa dibilang kita teman akrab. Di mana ada Sabda, di sana ada gue. Lalu semuanya berubah karena... karena sesuatu. Gue nggak bisa bilang itu ke lo sekarang karena ada batasan informasi yang bisa gue kasih."
"Lalu kenapa tiba-tiba mereka bertiga bisa mendadak masuk bareng-bareng dalam hidup gue?"
"Gue nggak tahu, tapi gue rasa, bisa jadi mereka berpikir sesuatu yang sama."
"Hah, maksudnya?"
"Kenapa tiba-tiba lo bisa mendadak masuk ke dalam hidup mereka bertiga?"
"Aduh, pusing!" Eden menutup buku hariannya kasar. "Eh, tapi gue jadi terpikir sesuatu deh. Kalau mereka bertiga saudaraan, kenapa mereka secanggung itu ya?"
Emir kelihatan ragu, namun dia tetap meneruskan walau terdengar agak tidak yakin. "Saat pertama kali ketemu Sabda di tempat les... dia itu anak murung. Cerdas, bahkan jauh lebih cerdas daripada gue. Jadi jika dia menyombongkan diri dengan bilang dirinya jenius, itu memang nggak salah. Ketika anak-anak kelas yang lain harus berusaha mati-matian untuk dapat setidaknya nilai 80 dalam ujian setiap dua minggu sekali, Sabda bisa dapat 100 tanpa mesti belajar. Sayangnya, dia malah terlihat nggak bahagia. Dan itu karena setahun sebelumnya, waktu dia masih 12 tahun, nyokapnya meninggal karena kecelakaan."
"Ah... I see..." Eden bingung harus bereaksi apa.
"Gue nggak tahu banyak, tapi hubungannya sama dua saudaranya renggang sejak saat itu. Bisa jadi salah paham. Dia nggak lagi bicara dengan kakak pertamanya. Dia beberapa kali bilang ke gue kalau dia marah karena Rasi egois dan ninggalin dia. Rumit. Hanya gue yang dia punya. Sampai... hari itu..." Emir tersekat, mengalihkan pembicaraan pada sesuatu yang lain. "Setahu gue, Kak Setra sudah nggak tinggal serumah lagi sama Rasi dan Sabda. Itu kenapa lo nggak ketemu dia waktu ke rumah Sabda kemarin-kemarin. Sampai di sini, lo paham kan apa maksud gue?"
Eden menelan ludah. Dia bisa membayangkan situasinya, dan itu membuatnya merasa sesak. Sekarang, Eden penasaran, dengan keadaan yang seperti itu, bagaimana bisa mereka bertiga meneruskan hidup seolah-olah segalanya baik-baik saja?
"Lalu... apa yang harus gue lakukan?"
"Apa yang harus lo lakukan?"
"Seharusnya lo tahu apa maksud gue, Emir!"
"Gue nggak tahu." Emir mengedikkan bahu. "Gue guardian angel, bukan pengontrol hidup lo. Gue hanya memberi saran, atau instruksi. Sisanya? Ini hidup lo, Kisa. Lo masih berhak menentukan keputusan apa yang mau lo ambil, atau apa yang mau lo lakukan."
"Oke."
"Oke?"
"Gue rasa... gue punya ide."
*
Hujan turun lagi menjelang jam sembilan malam. Rumah hening, karena Rasi belum pulang. Papa? Sabda sudah terbiasa pada ketiadaan hadir laki-laki itu. Entah di mana Papa berada sekarang, Sabda tidak terlalu peduli. Sebetulnya, Sabda agak khawatir sebab tidak biasanya Rasi belum pulang di jam-jam segini. Tapi cowok itu selalu naik taksi online, jadi seharusnya dia baik-baik saja. Jarang ada yang berniat jahat pada Rasi, pertama karena badannya yang super jangkung, kedua karena muka polosnya bikin orang lain tidak tega. Yah, walau diam-diam Sabda mengingatkan diri sendiri buat menghubungi Rasi pakai private number jika cowok itu tidak kunjung pulang hingga pukul sepuluh.
Sekarang, ada sesuatu yang mengganggunya lebih dari fakta soal Rasi yang belum pulang dan sesuatu itu adalah kesunyian di kala hujan.
Sabda sempat berpikir sejenak, lalu mencoba memaksa diri untuk tidur lebih awal, namun gagal. Malah, dia turun dari kasur dan menapaki tangga menuju lantai bawah. Hujan berderai deras, titik-titik airnya mengempas atap, menciptakan konser instrumental yang sesekali ditingkahi bunyi petir di kejauhan. Sabda berhenti saat dia tiba di depan pintu ruangan tempat satu-satunya piano di rumah mereka tersimpan. Dia menghela napas panjang, lalu membuka pintu itu, disambut oleh piano yang masih secemerlang ketika Mama masih ada.
Jika hujan turun dan Mama kebetulan sedang berada di rumah, perempuan itu selalu bermain piano. Itu juga yang jadi alasan kenapa Rasi mengikuti kebiasaannya. Rumah tidak pernah sepi dari denting piano saat hujan. Dulu, waktu Rasi masih di New York, Sabda rajin memainkan piano tersebut ketika hujan turun. Atau jika Setra sedang ingin, dia yang akan bermain. Mereka bertiga bisa bermain piano, meski jelas tak ada yang menandingi Rasi.
Sekarang hujan, namun tak ada Rasi atau Setra di sana.
Akhirnya, Sabda memberanikan diri mendekati piano tersebut, lalu duduk di bangkunya, diikuti meletakkan kesepuluh jemarinya di atas tuts hitam-putih. Rasanya, benda mati itu seperti bertransformasi jadi mesin waktu yang meyedot Sabda ke masa lampau pada detik pertama Sabda menyentuhnya. Dia teringat Mama. Dia terkenang pada senyum perempuan itu, permainan pianonya yang hampir selalu diiringi hujan juga lagu-lagu Michael Jackson dan Jackson Five yang sering beliau mainkan—sampai-sampai gara-gara itu, Sabda jadi ikut menyukai lagu-lagu Michael Jackson dan Jackson Five. Dia menghela napas dan dalam hitungan detik, denting piano yang lama tak dia mainkan terdengar.
https://youtu.be/W1xYjzmx6Ok
You and I must make a pact
We must bring salvation back
Where there's love, I'll be there
"Kenapa Mama suka main piano waktu hujan?" Sabda ingat, dia pernah bertanya seperti itu pada Mama suatu kali. Rasi dan Setra masih di sekolah, jadi Sabda punya seluruh perhatian Mama. Dia masih begitu kecil, masih muat duduk di pangkuan Mama.
"Sebab hujan itu suram, jadi Mama rasa Mama perlu main piano, supaya suasananya nggak terlalu suram lagi."
"Kenapa bisa gitu?"
"Buat sebagian orang, hujan itu kesannya sedih, Sabda. Hujan mewakili dan memicu emosi dalam otak kita. ketika hujan, bagian emosional dari otak kita bikin kita merasakan emosi yang meluap-luap. Buat Mama sendiri, Mama jadi terpicu merindukan banyak orang gara-gara hujan. Sebagian bisa Mama temui. Sebagian lagi nggak, karena Mama dan orang yang Mama rindukan sudah beda dimensi." Mama tersenyum, mengacak rambut Sabda lembut. "Saat kata-kata nggak bisa lagi mewakili besarnya rasa kangen kita pada sesuatu... atau seseorang, biarkan musik yang bicara."
Saat kata-kata nggak bisa lagi mewakili besarnya rasa kangen kita pada sesuatu atau seseorang, biarkan musik yang bicara.
I'll reach out my hand to you
I'll have faith in all you do
Just call my name and I'll be there
Hela napas tertahan milik seseorang adalah apa yang membuat Sabda refleks menoleh sesaat setelah menyelesaikan permainan pianonya. Dia tersekat tatkala mendapati Rasi berdiri tercengang di ambang pintu yang separuh terbuka. Rambutnya agak basah, begitupun bagian bahu baju yang dia kenakan. Entah kapan dia masuk, tapi pasti Sabda gagal mendengar suara pintu dibuka karena teredam oleh gemuruh hujan.
"Sejak kapan lo ada di sana?"
Rasi malah memiringkan wajah dan bicara soal sesuatu yang lain. "I didn't expect this, but you still have that skill, apparently."
Sabda berdecak seraya bangkit dari duduknya.
"Lagu itu indah—hatsyi!" kata-kata Rasi berikutnya diputus oleh bersinnya sendiri.
Sabda mendelik, berjalan melewati Rasi tanpa menatapnya, tapi masih menyempatkan diri untuk bicara. "Ganti baju, sana. Gue baru sembuh, jadi gue nggak mau ketularan dan kena flu lagi."
Rasi terperangah, tapi hanya sesaat karena detik selanjutnya, dia malah cengengesan, berbeda dengan Sabda yang melengos sembari meneruskan langkah menuju tangga.
Mereka tengah saling memunggungi saat mendadak, ponsel keduanya bergetar pelan. Refleks, baik Sabda maupun Rasi merogoh saku dan mengeluarkan ponsel, mengecek pesan yang masuk. Ternyata dari Eden. Pesan itu sukses bikin mereka berdua sama-sama melongo, disusul senyum yang merekah tanpa bisa dikendalikan.
Iya, keduanya tersenyum tanpa tahu jika sebab mereka tersenyum adalah sesuatu yang sama.
*
Sebetulnya, pengalaman Rasi pergi ke tempat sejenis amusement park tidak pernah bagus. Waktu pergi ke Dufan bersama keluarganya ketika dia masih SD, Rasi selalu jadi target kejahilan Sabda. Cowok itu bahkan pernah mengerjainya dengan membuat minum terlalu banyak es susu cokelat hingga hampir kembung, lalu menantangnya naik wahana cangkir yang diputar secara tidak normal dalam kecepatan super memusingkan. Ujungnya sudah bisa diduga, Rasi hampir kehilangan separuh nyawanya begitu turun, memuntahkan semua es susu cokelat yang telah dia minum sampai matanya berair. Sabda ngakak, walau pada akhirnya minta maaf setelah Mama mengomelinya. Pengalamannya jalan-jalan ke Disneyland bersama Trevor dan Tiberius juga jauh dari kesan menyenangkan. Mungkin karena tampangnya terlalu menarik perhatian atau apa, mereka bertiga berakhir dikejar-kejar sekelompok cewek Asia sinting yang ingin mendapatkan nomor ponsel Rasi—cewek-cewek itu bahkan tidak percaya saat Tiberius bilang jika Rasi masih anak sekolah.
Bisa dibilang, Rasi agak trauma dengan amusement park.
Namun ketika Eden mengajaknya jalan-jalan ke Dufan beberapa hari yang lalu, dia tidak berpikir ulang untuk bilang 'iya'. Jalan-jalan di Dufan bersama Eden terdengar menyenangkan. Dan lagi, Eden mengajaknya jalan duluan itu bisa jadi sama langkanya dengan kemunculan Komet Halley—selangka itu, sampai-sampai cuma nongol setiap 70 tahun sekali.
Karenanya, sangat wajar kalau Rasi sudah siap-siap pergi ke Dufan sejak pagi-pagi buta. Mereka memang janjian bertemu di sana. Walau sempat heran, namun Rasi tidak bertanya lebih jauh dan mengiakan kemauan Eden. Cowok itu sengaja berpenampilan super niat dan menggunakan hampir segalon parfum, layaknya abege yang mau dijemput oleh gebetan buat kencan malam minggu. Mereka berjanji bertemu di satu titik sekitar jam 10 pagi, tapi Rasi sudah sampai di sana lima belas menit sebelumnya. Sebuah prestasi, mengingat Rasi paling hobi datang dalam janji pada menit-menit terakhir.
Dia sengaja menunggu di depan warung tenda yang menjual kacamata dan pistol gelembung sabun mainan anak-anak. Kacamata hitam bertengger di batang hidungnya, berpadu dengan setelan serba hitam dan jaket kulit yang dia pakai, mencipta kesan macho sekaligus cool. Namun di saat yang sama, Rasi juga terlihat cute gara-gara sebatang lolipop yang tengah dia kulum.
Beberapa kali, cowok itu melirik arloji di pergelangan tangannya sebelum suara pekik seorang gadis terdengar, membuatnya refleks menoleh sambil mengeluarkan lolipop dari mulutnya.
"Oiya, kita beli kacamata atau bando lucu dulu yuk—loh, Rasi?! Kok lo bisa ada di sini?!"
Rasi melotot, saking kagetnya, dia sampai melepaskan sunglassesnya. Pada saat bersamaan, Sabda yang datang bersama Eden juga terkejut, meski tidak lama dan cowok itu kembali memasang ekspresi datar-tidak-terkesan. "Loh, Heaven, kok—"
"HAHAHA KEBETULAN BANGET KITA BISA KETEMU DI SINI!" Eden menyela dengan suara kelewat antusias, bikin Rasi dan Sabda berpandangan sebentar. Akting cewek itu buruk sekali, lebih jelek dari akting artis-artis karbitan acara opera sabun satu episode yang sering wara-wiri di televisi. Tapi Rasi dan Sabda seakan-akan bersepakat pura-pura tidka tahu, walau tampak jelas Eden pasti telah mengatur pertemuan tak-sengaja mereka pagi ini. "Karena udah ketemu—loh, hoki banget kita, ternyata kita ketemu Kak Setra juga di sini!!"
Sabda dan Rasi kompak menoleh pada satu arah, tersekat hingga hampir lupa bernapas saat dari sana, Setra berjalan mendekat diantara kerumunan orang-orang—yang sebagian melirik padanya dengan pandangan kagum. Yah, dengan wajah seperti itu, sulit sekali tidak jadi pusat perhatian di tengah keramaian. Setra juga kaget, tapi dengan cepat, cowok itu menguasai dirinya.
"Ini kebetulan yang bagus banget!" Eden berseru antusias, masih dengan aktingnya yang bikin Sabda malu sendiri. "Gimana kalau kita jalan berempat aja mumpung lagi sama-sama ketemu di sini?! Kapan lagi kan—"
"Eden, gue harap lo nggak ada impian jadi artis FTV atau main di film layar lebar karena sumpah, akting lo lebih ancur dari aktingnya artis-artis karbitan di televisi." Sabda menukas pedas. "Ini semua pasti siasat lo, kan? Ngaku!"
Wajah Eden memucat. "Ngg—nggak gitu!"
"Ngaku aja, deh!" Sabda masih terus mendesak.
"Beneran nggak sengaja ketem—ah, oke. Kalian bertiga kayaknya memang nggak bisa dibohongi."
"Bukan gitu." Rasi menyela. "Tapi akting lo emang sejelek itu, Heaven."
Pipi Eden merona merah. "Intinya gini... tadinya gue memang mau jalan sama Sabda aja ke Dufan, buat kepentingan tugas project kita untuk kepentingan pekan festival nanti. Yah, sebenarnya nggak terduga sih karena ini bukan sesuatu yang ingin gue lakukan saat gue masuk ke grup pengg—oh, oke, gue mulai ngelantur. Jadi... jadi..."
Ketiga cowok di dekat Eden saling berpandangan dengan ekspresi wajah yang... sulit Eden gambarkan dengan kata-kata.
Itu membuatnya panik.
"JADI SAMA KAYAK WAKTU DI MAL WAKTU ITU—Kak Setra sama lo... ingat kan apa maksud gue?! Iya, kan!? Jadi menurut ramalan zodiak, gue harus bepergian dalam kelompok yang jumlahnya... hng..." Eden diam sejenak, otaknya bekerja terlalu lambat sampai-sampai dia harus menghitung dirinya dan tiga cowok di depannya. "... empat! Iya! Empat orang! Tadinya gue mau ngajak Yasmine, tapi dia lagi sakit perut! Biasalah, PMS—" ucapan Eden tersendat lagi. "... intinya gitu! Pokoknya gitu! Gue harus bepergian dalam kelompok empat orang... jadi maaf... kalau... kalau... kalian... nggak suka? Tapi gue pikir kalian saudaraan, jadi seharusnya nggak apa-apa kita jalan... bareng-bareng?" Eden memandang Setra, Rasi dan Sabda bergantian dengan tatapan minta dikasihani seperti anak anjing terdampar.
"Hng... ya nggak apa-apa, sih." Setra jadi yang pertama bicara dengan wajah tidak yakin.
Rasi manggut-manggut. "Kebetulan gue juga nggak ada kerjaan apa-apa di rumah."
"Cewek bego," Sabda berdecak, memandang Eden dengan tatapan menghakimi yang membuat cewek itu meringis malu. "Tapi yaudahlah. Kita sudah di sini dan gue rasa, gue nggak punya pilihan lain."
Eden harus menahan diri buat tidak bersorak sambil melompat kegirangan. Dia bisa saja kelihatan tolol, tapi setidaknya apa yang dia rencanakan berjalan lancar. Hari ini harus jadi hari yang hebat buat mereka semua.
*
Awalnya, Sabda kira hari ini bakal berjalan lancar meski ada dua peserta tidak terduga dalam agenda jalan-jalan mereka di Dufan. Sekarang, tepatnya hampir sejam setengah setelah dia dan Eden bertemu dengan Setra dan Rasi di area parkir, Sabda mulai mempertanyakan keputusannya. Mereka tidak butuh waktu antre terlalu lama untuk masuk, sebab keempatnya datang di awal waktu, tepat sesaat setelah amusement park dibuka. Eden, dengan wangsit cemerlang yang didapatkannya dari bertapa tiga hari tiga malam di Gunung Kawi, mengusulkan untuk membagi mereka ke dalam dua kelompok. Satu akan pergi ke ferris wheel dan satu lainnya ke roller coaster. Ini bertujuan buat menghemat waktu, terutama karena Dufan sangat padat di akhir pekan seperti sekarang. Jadi, tugas mereka bisa segera selesai dan mereka bisa menggunakan sisi waktu yang ada buat menikmati wahana lain atau duduk makan bersama di salah satu restoran.
Sabda tidak terpikir jika hasil undian anggota kelompok akan menempatkannya dalam satu kapsul ferris wheel bersama seseorang tak terduga seperti sekarang.
Orang itu adalah Setra.
Semenit telah berlalu sejak mereka duduk berhadapan dalam kapsul ferris wheel tanpa saling bicara. Setra tampak bingung harus memulai percakapan dengan cara yang bagaimana, sementara Sabda pura-pura sibuk menatap langit. Namun ketika ketinggian makin bertambah, deru napas cowok itu memberat. Dia tidak pernah suka mengendarai ferris wheel, sebetulnya, walau dikatakan wahana sejenis ini terhitung yang paling aman dari semua wahana yang ada di amusement park. Rasanya menakutkan mendapati dirinya dibawa makin tinggi dari titik terendah. Segalanya memang terlihat cantik dari atas, tapi di saat yang sama mampu membuatnya gemetar.
"Masih takut kayak dulu?" tanya Setra tiba-tiba memecah keheningan.
Sabda hampir tersedak, lalu membalas galak. "Nggak!"
"Muka lo—ah, nggak—muka kamu kelihatan pucat." Sabda terdiam oleh perubahan dalam cara Setra memanggilnya. Mereka selalu menggunakan aku-kamu sejak kecil. Mama yang mengajarkan. Panggilan itu berubah setelah Sabda dan Setra bertengkar, disusul beberapa kali cekcok untuk masalah sepele, seperti Sabda yang memaksa diri pergi ke sekolah dengan kaus kaki basah dan Setra yang berusaha melarang karena tahu persis adiknya bukan hanya mudah kedinginan, tapi juga mudah masuk angin. Sekarang, mendengar Setra memanggilnya lagi dengan sebutan seperti itu setelah sekian tahun berlalu membuat Sabda ingin menangis.
"Pokoknya aku nggak takut!"
Setra tertawa kecil. "Easy. Ini cuma bianglala biasa."
"Kata siapa juga ini bukan bianglala?" Sabda membalas, masih sangat ketus dan itu justru membuat Setra merasa geli.
"Semua orang punya ketakutannya sendiri. Sama kayak Rasi yang takut dikunci di lemari, wajar kalau kamu nggak suka berada di tempat tinggi. Tapi yah, ferris wheel masih lebih mending daripada roller coaster, kan?"
Sabda menahan napas, menatap ke luar kapsul ferris wheel tempatnya berada sekarang. Matahari bersinar redup, masih mendung seperti kemarin-kemarin. Angin bertiup dan makin mereka dibawa ke atas, embusnya kian kencang dan dingin.
"Doesn't it feel like... we're going to fall?" Sabda bergumam samar sejenak sebelum mereka mencapai puncak ketinggian.
Setra mengedikkan bahu, mulai melakukan gerakan ke kiri dan ke kanan yang terlalu ekstra. "Well, if you shake it like this—"
"WHAT THE HELL—STOP IT!" Sabda berseru paranoid sembari melotot ngeri pada Setra yang langsung dibuat terdiam. Cowok itu terlihat polos, mengerjapkan matanya seperti bocah tanpa dosa yang baru saja dibentak orang dewasa, tidak menduga jika adiknya setakut itu berada di ketinggian seolah-olah sesuatu yang salah bisa terjadi sewaktu-waktu dan riwayat mereka tamat di sana.
"Kamu masih setakut itu."
Wajah Sabda merah padam, membuatnya buang muka untuk menyembunyikan gengsi. "Yang penting aku nggak takut dikunci di lemari dan bisa naik kendaraan umum."
"Di saat yang sama, Rasi juga bisa bilang, yang penting dia nggak takut naik wahana amusement park, entah itu ferris wheel atau roller coaster."
Sabda cemberut, memajukan bibir sekaligus menggembungkan pipi secara dramatis, lagi-lagi memicu gelak Setra untuk pecah.
"Masih takut?"
Sabda diam, masih tetap melipat tangan di dada dengan wajah merengut saat Setra mulai mengetuk-ngetuk tempatnya duduk dengan jari, lalu menyanyikan sebuah lagu yang membuat punggungnya menegang.
"Seluruh kota... merupakan tempat bermain yang asyik... oh, senangnya... aku senang sekali..."
Refleks, Sabda menggigit bibir kala mendapati kakaknya sedang menatapnya sambil bernyanyi sekaligus menahan senyum. Itu kebiasaan kecil yang tidak diketahui siapapun, selain anggota keluarga mereka. Ketika Sabda merasa takut atau khawatir, dia akan mulai mengisi keheningan dengan menyanyikan lagu soundtrack opening serial kartun Crayon Sinchan yang dulu tayang mingguan di televisi. Konyol, memang, tapi itu membuatnya tenang karena kekhawatirannya terdistraksi dengan bernyanyi. Kenapa harus lagu Crayon Sinchan? Sabda tidak tahu. Mungkin karena dia menyukai karakter kartun itu karena Rasi selalu bilang, Sabda sama nakalnya seperti Sinchan.
Setra masih tersenyum, lalu melanjutkan nyanyiannya sementara ferris wheel terus bergerak naik, makin melambat saat mereka ada di puncak—dengan maksud supaya pengendaranya bisa menikmati pemandangan indah lebih lama.
"Kalau begini, akupun jadi sibuk... berusaha, mengejar-ngejar dia... matahari menyinari... semua perasaan cinta... tapi mengapa, hanya aku yang dimarahi..."
Sabda menghela napas, membiarkan ketukan musik dari jemari Setra yang beradu dengan tempat duduk mengarahkan beat lagu, lantas ikut bernyanyi pada bait berikutnya. Suara mereka berpadu, disusul oleh mata keduanya yang bertemu, mencipta senyum lebar pada waktu yang bersamaan.
"Di musim panas... merupakan hari bermain gembira... selalu saja terkena flu... pilek tiada henti-hentinya..."
"Sang beruang tidur... dan tak ada yang berani ganggu dia... oh sibuknya, aku sibuk sekali..."
Saat lagu itu selesai, mereka kembali disekap oleh keheningan. Bedanya, senyap itu tidak lagi canggung-menyiksa. Ferris wheel masih terus bergerak.
"She set this up, didn't she?" Setra mendadak bertanya.
"Eden?"
Setra mengangguk, sempat berpikir sejenak dan terlihat ragu untuk meneruskan. "Dia... apa dia tahu?"
"I doubt it. Kecuali Rasi memang seember itu, tapi kayaknya, Rasi bukan jenis orang yang bakal... hng..." Sabda bingung harus menyebutnya apa. "... curhat?"
Lagi-lagi, mereka saling diam.
Setra berdeham. "Ah ya, kamu butuh ambil gambar untuk project kamu, kan? Come on, I'll take your picture."
"Nggak perlu—"
"Ini gunanya kita dipecah ke dalam dua kelompok, kan? Lagipula, kamu yakin bisa ambil fotomu sendiri ketika ngelihat ke luar aja kamu nggak berani?"
Sabda tidak sanggup menjawab, akhirnya membiarkan Setra memotretnya. Gayanya kaku. Wajahnya datar, hampir tanpa ekspresi. Tapi jika seseorang bisa membaca isi pikirannya sekarang, mereka akan tahu ada seberapa banyak emosi yang sedang bergumul dan siap meledak dalam diri Sabda sekarang.
Ini pertama kalinya mereka begitu dekat setelah bertahun-tahun berlalu. Sekaligus salah satu dari sedikit akhir pekan paling menyenangkan yang pernah Sabda alami. Kenapa?
Sebab dia menghabiskannya bersama kakaknya.
*
"Boro-boro ngambil gambar seperti yang tadi lo bilang, lo malah teriak-teriak kayak Tarzan Hutan, bikin gue hampir budek!" Eden menggerutu sesaat setelah dia dan Rasi kembali menapak tanah pasca mengendarai wahana roller coaster. Rambutnya agak berantakan karena terempas angin walau Eden sudah mengikatnya sebelum naik, tapi Rasi jelas kelihatan lebih parah. Cowok itu pucat pasi, harus bersandar pada Eden sementara mereka berjalan dan kelihatan seperti bisa semaput sewaktu-waktu.
"Oy, lo baik-baik aja, kan?!" Kekesalan Eden berganti jadi kekhawatiran saat Rasi kian bersandar padanya. Bakal jadi masalah besar jika Rasi sampai pingsan sekarang. Badannya jauh lebih tinggi dari Eden, jadi tidak mungkin Eden bisa membopongnya. Tambahan lagi, kalau Rasi pingsan saat dia sedang bersandar pada Eden sekarang, bisa-bisa Eden ikut terkapar karena tertiban Rasi sama saja seperti tertimpa seekor anak gajah.
"Wait, Heaven... let me breath..."
"Jangan bikin gue panik, dong!"
"Tapi gue pusing banget," Rasi mengeluh sambil menarik Eden makin dekat dengan tangannya yang sudah terkalung di leher cewek itu. Jarak mereka yang merapat membuat Eden bisa menghirup aroma parfum yang berpadu dengan bau sabun bayi. Cewek itu tersekat, merasakan pipinya menghangat. "Kayaknya gue butuh napas buatan deh, Heaven—argh!"
Rasi mengerang kesakitan, suaranya cukup keras hingga menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka dan itu karena Eden baru saja menginjak kakinya.
"Cari kesempatan aja ya lo!"
"Hehe, iseng-iseng siapa tahu berhadiah." Rasi menjulurkan lidahnya, sengaja mengejek. "Masih ada waktu sebelum jam janjian kita sama yang lainnya. Mau naik yang lain dulu, nggak?"
"Cih, ternyata lo pura-pura lemes doang ya! Dasar, emang nggak bisa dipercaya!"
"Argh, Heaven, jangan cubit pinggang gue! Geli tahu!"
"Bodo amat! Bodo amat!" Eden berseru jengkel, malah makin gencar mendaratkan cubitan-cubitan tipis menyakitkan di pinggang Rasi.
Mereka sempat berdebat lagi seperti sepasang suami-istri yang tengah berbeda pendapat akan sesuatu, tapi akhirnya sepakat untuk mencoba satu wahana lagi. Wahana yang dipilih Rasi adalah Niagara-gara, sejenis roller coaster mini dengan bagian rel yang terendam air. Saat mereka mengantre dan Rasi berada di belakangnya, Eden baru sadar jika cowok itu punya tinggi badan di atas rata-rata. Maksudnya, dia betul-betul jadi kelihatan mungil di samping Rasi—paling hanya mencapai bahu cowok itu. Keberadaan Rasi membuatnya merasa terlindungi, mungkin karena tingginya turut berjasa menghalangi sinar matahari. Bahunya yang lebar menutupi sosok Eden sepenuhnya dari belakang, bikin Eden merasa tengah dijaga.
Antrean wahan itu tidak terlalu panjang, jadi mereka bisa mengendarainya tanpa butuh menunggu kelewat lama. Sejenak sebelum wahana bergerak, Rasi merangkul bahu Eden, membuat cewek itu bergeser lebih dekat padanya, lalu membungkuk untuk berbisik. "Don't worry, Heaven. Kalau lo takut, lo bisa pegang tangan gue."
"Buset, kardus bener ya ni anak!" Eden berseru jengah, berusaha keras untuk tidak terlihat salah tingkah.
"Loh, beneran! Tawaran gue yang kemarin juga masih berlaku, loh."
"Tawaran?"
"Gue bisa jadi super hero buat lo."
"Dih."
"Yah, kalau belum butuh sekarang nggak apa-apa." Rasi nyengir. "Yang penting lo tahu dulu."
"Ck."
"Remember that. I can be your super hero and when you need me, all you have to do is just to call me cause babe, I'm only one call away."
"IDIH."
"HAHAHAHA PASTI BAPER KAAAAAAN—OMG, HEAVEN! WAHANANYA JALAN!"
Rasi memang betul-betul berisik. Teriakannya barusan sukses membuat beberapa orang tua yang duduk di depan mereka menoleh sekilas dengan wajah super annoyed. Eden meringis, berkali-kali menggumamkan kata maaf sementara tersangkanya sendiri malah sibuk menggerakkan kaki dan tangan sambil menatap sekeliling seperti cacing kepanasan.
Bisa ditebak, Rasi adalah pengendara wahana yang hobi berkomentar saat wahana mulai menanjak dan menjerit paling keras ketika wahana meluncur turun menuju rel yang tergenang air. Air menciprati mereka, secara tidak terduga sebagian besar diantaranya menyiram kemeja yang melekat di tubuh Eden. Rasi sendiri tidak terlalu terkena guyuran air. Jaket kulitnya juga bukan jenis pakaian yang akan basah. Paling hanya celana hitamnya yang agak kuyup.
"Sehari aja di Dufan sama lo, kayaknya gue bisa budek permanen!" Eden lagi-lagi menggerutu setelah mereka turun dari sana. Cewek itu mengorek telinganya dengan jari sambil mengerutkan dahi, jelas kelihatan jengkel.
"Heaven!" Rasi berseru memanggil namanya, namun Eden tetap terus berjalan tanpa menoleh.
"Heaven!" Rasi mengulang, mau tidak mau bikin Eden berhenti karena dia tidak mau jadi bahan tontonan orang yang mengira mereka sedang syuting adegan sinetron remaja sekarang.
"Apa si—" Eden tidak mampu melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja, Rasi sudah membungkuk ke arahnya sembari memakaikan jaket kulit di bahunya. Jaket itu kebesaran, membuat Eden tampak tenggelam dalam balutannya. Aroma parfum Rasi melekat kuat di sana, bikin Eden serasa seperti dipeluk oleh yang punya. "Lo ngapain, deh?"
"Bagian belakang baju lo basah dan lo pake baju putih. Kecuali lo mau rakyat se-Dufan tahu lo pake bra warna ungu, kayaknya mending lo pake jaket gue."
Eden melotot, sudah siap untuk mengomel tapi dibuat kicep total tatkala dia melihat bagaimana bentuk penampilan Rasi sekarang. Dia tidak tahu jika di balik jaket kulit hitam itu, Rasi hanya mengenakan tank top polos yang menunjukkan tubuh atasnya dengan sempurna. Oke, kelakuannya mungkin kekanak-kanakan, namun badannya jelas bukan badan anak-anak. Jika saja ini potongan adegan dalam komik Jepang, Eden pasti sudah mimisan maksimal sekarang.
"Heaven, you okay?"
"Gu... gue..."
Rasi menyeringai, seperti tahu arti di balik perubahan sikap Eden. "I know it. I'm sexy, right?"
"Ahelah, bodo amat!" Eden menghentakkan kaki, berjalan menjauhi Rasi. Rasi bermaksud langsung menyusul, namun tiba-tiba, langkahnya ditahan oleh segerombol cewek-cewek yang tiba-tiba mendekatinya. Dari penampilan dan gaya bicara mereka, mudah menebak mereka masih SMA. Cewek-cewek itu bertanya apakah Rasi artis atau bukan dengan suara tinggi super mengganggu. Beberapa bahkan berani meminta nomor ponsel, ID LINE atau bertanya tentang akun media sosial Rasi.
"Heaven—um... I'm sorry... but I have to go... hng..."
Eden menghentikkan langkah, menoleh dan meski kesal, dia jadi kasihan bercampur gondok melihat Rasi dikerumuni oleh cewek-cewek abege seperti gula dirubungi semut.
Ni orang-orang norak, baru juga liat yang modelnya gitu udah ganas aje, gimana liat yang bentuknya kayak Kak Setra!
Akhirnya, karena berpikir dia masih punya hati, Eden mendekati Rasi, lalu menariknya keluar dari kerumunan cewek-cewek ganjen yang kontan memasang ekpsresi muka minta ditabok.
"Tolong ya adek-adek, jangan ganjen gitu sama pacar saya! Dia juga bukan artis! Jangan dikira semua yang ganteng itu artis! Dah, hush-hush, pergi sana!"
"Idih, songong banget. Putus baru tahu rasa!" salah satu dari cewek-cewek itu berbisik pelan, tapi masih cukup keras untuk bisa terdengar oleh Eden.
"Eh, sori ya, adek-adek, tapi saya nggak akan pernah putus sama ni orang! Mau Bumi berhenti berputar pun saya dan dia nggak akan pernah pegat! Anak-anak sekarang tuh bukannya belajar yang bener malah ganggu cowok orang!"
Para cewek-cewek SMA itu bereaksi masam pada ucapan Eden, tapi tak bisa melakukan apa-apa selain menjauh sambil bisik-bisik mengomentari penampilan Eden dan bagaimana Rasi kebagusan buat jadi pacar cewek galak macam Eden. Eden membiarkannya, hingga suara tawa Rasi menarik perhatiannya.
"Apa lo ketawa-ketawa gitu?!"
"Cie... hehe nggak akan pernah putus sampai Bumi berputar ya, Heaven?"
"Iya. Gimana mau putus? Mulai pacaran aja nggak pernah! Jadi nggak usah ngimpi!"
Dalam sekejap, senyum Rasi berganti jadi cemberut.
*
"Really, Heaven? Pacar? Ganteng? Really?"
"Diam atau kusodok mukamu dengan sendok es krim ini!" Eden berseru galak, membuat Rasi justru tertawa puas. Sudah lewat dua puluh menit sejak insiden dengan cewek-cewek abege di depan wahana Niagara-gara dan cowok itu masih terus mengejeknya. "Lo ini udah dibela, bukannya terimakasih malah bales ngeledek!"
"Dih, siapa yang ngeledek? Ini gue justru lagi mengapresiasi pembelaan lo!" Rasi nyengir, lantas menggigit es krimnya. "Tapi lo lucu deh pake jaket gue. Kayak singa bermuka Hello Kitty."
"Dan lo kayak bapak-bapak baru balik nge-gym."
"Gue nggak mengira lo berpikir badan gue sebagus itu. Tapi makasih, seenggaknya, pengorbanan gue menyempatkan diri ke gym tiap minggu nggak sia-sia."
"Dih, kepedean."
Perdebatan mereka tidak berlanjut karena detik berikutnya, perhatian Eden teralih pada sosok Sabda dan Setra yang berjalan dari kejauhan. Mereka berjalan bersebelahan, masih berjarak dan tak mengobrol, tapi setidaknya cukup bikin Eden lega sebab keduanya tidak terlihat setegang dan seawkward tadi pagi. Sabda masih memegang kamera polaroidnya, juga beberapa lembar foto yang telah dia potret. Tidak butuh waktu lama buat kedua cowok itu untuk bergabung dengan Eden dan Rasi.
"Udah lama?" Setra bertanya.
"Barusan aja kok, Kak. Mau es krim juga? Kebetulan pedagangnya ada di depan sana. Nggak jauh kan dari sini?"
"Ah ya, boleh." Setra mengangguk, lalu melirik pada Setra. "Kamu mau—"
"Mau."
"Oke."
Sabda mengernyit. "Gue—aku belum bilang mau rasa apa."
"Vanilla. Masih belum berubah, kan?"
Sabda terdiam, yang dibalas Setra dengan senyum tipis sebelum dia berlalu menuju pedagang es krim yang Eden maksud. Sabda sendiri sempat tampak salah tingkah, menarik kursi dengan kaku dan duduk di depan Eden. Setra bergabung kembali dengan mereka tidak lama kemudian, duduk di dekat Rasi usai meletakkan cup es krim vanilla tak jauh dari siku Sabda di atas meja.
"Jadi, gimana?"
"Gimana apanya?"
"Kesan apa yang lo dapet selama lo di ferris wheel, Sabby!" Eden mendelik. "Foto-fotonya sih udah bagus. Cuma lo kaku banget posenya di sini, udah kayak manekin aja. Tapi nggak apa-apa, nggak semua orang terlahir buat berpose di depan kamera. Jadi gimana, kesannya?"
"Seru, tapi serem."
"Terus?"
Sabda menelan es krimnya, menoleh sebentar pada Setra dan buru-buru buang muka ketika Setra balik menatap padanya. "Gue selalu takut naik ferris wheel. Awalnya, gue ada di bawah, lalu dengan cepat, gue dibawa ke atas. Pemandangannya indah, tapi mengerikan. Saat gue ada di bawah, gue nggak takut jatuh. Tapi ketika gue ada di atas, bahkan untuk bergerak pun gue jadi sangat hati-hati, karena sewaktu-waktu, sesuatu yang salah bisa terjadi dan gue jatuh. Gue rasa... hidup pun seperti itu."
"Hidup?"
"Saat lo berada di bawah, lo bertanya-tanya, seperti apa semuanya terlihat ketika lo ada di atas. Ketika lo ada di atas, segalanya terlalu asing, terlalu indah, terlalu penuh risiko, hingga lo terlalu bersikap hati-hati sebab lo takut terjatuh. Lupa untuk menikmati momen-momen saat lo berada di atas ferris wheel. Hidup juga seperti itu." Sabda menghela napas. "Waktu lo nggak punya apa-apa, lo penasaran, seperti apa rasanya punya apa-apa. Pas lo punya apa-apa, lo terlalu takut kehilangan apa-apa itu, sehingga lo lupa menikmati momen-momen dalam hidup lo."
"Interesting." Eden mengerjap. "Lalu?"
"Ini random, tapi gue merasa, segalanya bakal dua kali lipat lebih menakutkan jika gue naik wahana itu sendirian. So... I guess it's not the ride that matters, but who you're riding with?"
"Sugooooooi!" Eden mengerjap kagum, mengacungkan jempolnya. "Bisa dalem juga ternyata ya omongan lo! Laut Jawa aja kalah kayaknya!"
"Nggak usah bawel, sekarang kasih tahu soal kesan lo sendiri. Apa yang lo dapat di roller coaster?"
"Hng... gue..."
"Sama seperti lo, gue rasa. Roller coaster juga seperti hidup itu sendiri." Rasi menukas mendadak. "Ada banyak lika-liku. Naik turun. Lo bisa memilih, apakah berteriak ketakutan dan ingin wahananya cepat-cepat berhenti, atau malah menikmatinya. Dan yang terpenting... lo nggak mengendarainya sendirian. Lo bersama dengan orang lain. Mungkin orang yang berarti buat lo. Karena itu, lo bisa bertahan sampai akhir."
"Rasi!" Eden menempelkan tangannya di dahi Rasi, tidak menyadari perubahan ekspresi di wajah Sabda dan Setra. "Lo nggak demam atau habis kebentur sesuatu, kan?!"
"Lo tuh sebenarnya mau gue waras atau sinting sih, Heaven?"
"Hehe. Tumben." Eden nyengir.
Mereka meneruskan hari itu dengan makan siang bersama, setelah sebelumnya Setra menuliskan kesan yang didapatkan pada kedua wahana pada bagian belakang masing-masing foto polaroid.
about ferris wheel
for a moment, I'm on top of the world,
then the next I'm at rock-bottom.
life is like that too.
and sometimes, it's not the ride that matters,
but who you're riding with.
about roller coaster
you can either scream in every bump,
or you can close your eyes and enjoy the ride
life is like that too.
life is a crazy tumultuous roller coaster.
but you're not on it alone.
and that's why you'll get through
"Tulisan Kak Setra rapi." Eden memuji, namun tidak ada yang menjawab dan itu membuat Eden refleks mengangkat wajah. Ketiga cowok itu tengah menatapnya, membuatnya tersekat seketika. Ada sesuatu yang berbeda dalam setiap tatapan itu.
Sesuatu yang tak mampu dia definisikan.
bersambung ke tenth note
***
Catatan dari Renita:
halo, akhirnya kita bertemu lagi dalam fast update yang nggak fast-fast banget.
sebelumnya, mari kita buka ini dengan sesi curhat renita.
jadi minggu kemaren, dalam satu minggu yang sama, gue dua kali kehilangan uang dan posisi kehilangannya tuh di kantong jaket wkwk mana masing-masing sama-sama 50k alias gocap. gue sempet bete, karena gue nggak merasa gue menjatuhkan apa pun atau gue mengeluarkan apa pun dari kantong. kayak raib aja gitu???
tapi kemudian gue mikir, mungkin apa yang hilang dari gue bukan sesuatu yang emang milik gue? kayak, sesuatu yang udah ada dalam kantong, sedekat itu, nggak pernah dikeluarin, nggak jatoh (karena uang lainnya dalam kantong nggak ada yang jatuh) bisa hilang entah kemana gitu aja.
sementara di saat yang sama, sebaliknya, sesuatu yang emang milik gue, mau itu sejauh apa pun, tetep bakal nemuin jalannya ke gue.
jadi akhirnya gue pikir lagi, sebenarnya nggak ada yang benar-benar hilang. gue nggak bener-bener kehilangan sesuatu, karena apa yang gue pikir milik gue pun belom tentu milik gue wkwk
dan dengan berpikir begitu, surprisingly, jadi kayak oh yaudah gitu.
lagian, dengan kehilangan sesuatu, biasanya lo bakal mendapatkan sesuatu dan seringnya, sesuatu itu lebih besar dari apa yang sudah diambil dari lo.
acie.
atau mungkin simply, gue lagi kurang beramal aja haha
jadi begitulah. terimakasih buat kalian semua yang setia menunggu cerita ini, mencintai karakter-karakter dalam cerita ini dan bersemangat merespon setiap update yang gue berikan.
i didnt expect to get like almost 3k comments in next chapter. you did well. so here it is, your reward.
untuk pembaca cerita lainnya yang terpaksa gue hiatuskan sejenak, i am really sorry. tapi gue mencoba bersikap fair. kasih gue alasan, kenapa gue harus memprioritaskan update yang lain ketika pembaca update yang lain itu nggak bersemangat merespon apa yang gue update? gue nggak ngambek kok, cuma untuk sekarang, waktu dan kemampuan gue terbatas.
jadi daripada bersikap cemburu, gue merasa ada baiknya kita sama-sama ngerti. ketika gue punya waktu, yang lain juga bakal di update. begitu shay. tidak perlu mengomeli aku karena kalau diomeli, renita makin mager.
gue nggak pernah memasang target, tapi gue bisa melihat mana pembaca yang memberikan effort lebih besar untuk mengapresiasi sebuah cerita. begitu.
jadi, sampai ketemu di chapter berikutnya.
BTW SIMON SAYS ENAK BENER YA LORD PAKDE TAEIL DAN HIGH NOTE NYA WARBYASAH
mantapla.
selamat hari minggu dan sampai ketemu lagi.
ciao.
Semarang, November 25th 2018
17.23
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top