nineteenth note

When I black out, that's when I can

at least breathe.

Just cut me out or kill me out.

I don't care about a happy ending.

Don't let me fade out.

—Epik High—

*

Saat senyap tak kunjung lenyap hingga mobil yang mereka kendarai menyusuri jalan menuju rumah Rasi, Eden tahu dia sudah melakukan tindakan yang salah. Sejujurnya, dia tidak berniat membuat Rasi dan Sabda terkejut dengan jawabannya, atau lebih buruknya, bikin dua anak itu membenci kakak tertua mereka sendiri. Namun dia terlalu lelah untuk berpikir lebih jauh. Ditambah lagi, dia juga tengah didera patah hati. Eden selalu berpikir bahwa menyayangi seseorang yang tidak balik menyayanginya adalah jenis sayang yang paling menyakitkan. Tapi sekarang tidak lagi, karena Setra telah membuatnya merasakan yang lebih dari itu.

Sayang tersakit adalah ketika dia menyayangi seseorang, dan orang itu balik menyayanginya, namun mereka tidak punya kesempatan bersama karena harus mempertimbangkan perasaan orang lain. Dipikir lagi, sepertinya Eden bakal lebih memilih Setra tidak punya perasaan serupa kepadanya daripada mereka berakhir seperti ini. Kondisinya semacam ilusi, seakan-akan orang yang disayanginya tergapai olehnya, begitu dekat untuknya, akan tetapi mereka tak pernah bisa jadi nyata.

Eden tidak tahu apa Setra punya alasan khusus meminta Pak Wawan mengantar Rasi dan Sabda lebih dulu, atau memang hanya kebetulan karena rumah mereka lebih dekat. Mobil berhenti cukup lama di depan pagar rumah karena barang bawaan Sabda-Rasi cukup banyak. Tadinya, Eden berniat ikut membantu menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi ke teras, tapi Setra menyuruhnya tetap diam dalam mobil karena menganggapnya kurang sehat. Eden menurut, walau diam-diam dia merasa ada perubahan sikap yang Rasi dan Sabda tunjukkan pada Setra.

Mereka... jadi mendingin.

"Lo baru saja melakukan kesalahan." Emir berbisik tiba-tiba seraya melayang santai dari bagasi yang baru dibuka dan duduk di samping Eden.

Eden menoleh padanya, memutar bola mata diikuti bisik pelan—yang untungnya tak membuat cewek itu kelihatan seperti orang sinting karena Pak Wawan turut turun dari mobil. "Apaan?"

"Jawaban yang lo kasih ke Rasi dan Sabda. Itu salah."

"Lo bersikap seakan-akan itu ujian." Eden berdecak. "Gue capek dengar perdebatan mereka. Mereka nggak berhenti berantem, tanpa sekalipun bertanya gimana perasaan gue."

"Tadi mereka nanya."

"Iya, dan gue kasih jawaban jujur."

"Kisa—"

"Lo sendiri yang bilang kalau gue suka seseorang, gue harus ngomong. Gue udah ngomong, kenapa sekarang lo menyalahkan gue? Ah ya, mau tahu satu rahasia yang berhubungan dengan itu? Dulu, gue pernah suka banget sama seseorang, teman sekelas gue sendiri. Bedanya, dia pintar dan gue nggak. Dia punya banyak teman dan gue nggak. Gue nggak berani menyatakan perasaan gue ke dia, merasa gue nggak pantas dan nggak mungkin dia suka sama dia."

"Kisa—"

"Kabar bagusnya? Orangnya ada di sini, di depan gue, dalam bentuk yang sayangnya nggak lagi sama. Kabar buruknya? Gue menyesal nggak pernah mengungkapkan rasa sayang gue ke dia. Dipikir lagi, mending ditolak daripada menerka-nerka, terus di akhir, berharap waktu bisa diputar lagi."

Emir terdiam, membuang pandang ke luar jendela. Ekspresi wajahnya berubah muram kala tanpa sengaja, Sabda menolak tawaran Setra untuk membawakan ranselnya. Padahal dia sudah cukup kerepotan menggeret kopernya yang sarat muatan. Setra tersentak sedikit, terperangah di tempat hingga Rasi datang mendekat. Sabda memanggilnya, memintanya membawakan ranselnya. Adegan itu hanya berlangsung sebentar, namun cukup untuk membuat Emir tahu pasti reaksi Sabda terhadap jawaban Eden tentang siapa yang cewek itu suka.

"Kenapa diam?"

"Nggak apa-apa." Emir menyahut pendek, tidak bicara lebih jauh, bertepatan dengan Sabda mendekat ke mobil dan mengetuk jendelanya. Eden menurunkan kaca yang tertutup.

"Jangan sampe sakit."

Eden pura-pura batuk. "Tumben perhatian."

"Ingat, kita masih punya project bikin film pendek bareng." Sabda memutar bola matanya. "Nanti kalau udah sampe di rumah, kasih tahu gue."

"Mesti banget?"

"Kalau nggak mau juga nggak apa-apa."

Eden terkekeh. "Iya, nanti gue kasih tahu. Jangan ngambek gitu dong, Sabby!"

Airmuka Sabda berubah jadi lebih santai. "Senang mendengar lo memanggil gue seperti itu lagi."

"Hm, maksudnya?"

"Nggak apa-apa." Sabda enggan membahas lebih jauh. Dia masih berdiri di sana ketika Setra mendekat ke sebelahnya.

"Nanti makan siang kamu sama Rasi gimana? Atau mau aku mampir bentar buat masak—"

Setra tidak sempat menyudahi ucapannya karena Sabda sudah lebih dulu memotong. "Nggak usah. Aku dan Aci bisa masak sendiri."

"Nggak apa-apa, Sabda. Biar sekalian aku—"

"Hampir empat tahun sejak aku tinggal sendiri di rumah. Sudah dua tahun sejak Aci pulang. Selama itu juga, nggak pernah ada yang masakin kita di rumah dan kita masih baik-baik aja sampai sekarang."

Balasan Sabda bukan hanya bikin Eden merasa tidak enak hati, tapi juga berhasil membuat Setra tertohok. Cowok itu diam sejenak, menghela napas panjang sebelum kemudian menarik senyum yang terkesan penuh rasa bersalah. Tangannya terulur, menepuk pelan pundak Sabda dengan agak ragu.

"Take care, okay?"

Sabda mengangguk sekenanya, lantas berlalu pergi. Di teras rumah, Rasi yang baru selesai meletakkan barang-barangnya kelihatan sempat berniat untuk menghampiri Setra, tapi Sabda mengatakan sesuatu yang membuat cowok itu mengurungkan niatnya. Walau ekspresinya tampak tidak yakin, namun Rasi menurut, malah berbalik arah dan bersama Sabda masuk ke dalam rumah.

"Kak Setra—"

Setra menoleh pada Eden sambil tersenyum lebar, dengan sendirinya membuat Eden kehilangan kemampuan meneruskan ucapannya. "Nggak apa-apa. Itu bukan salah kamu."

Perjalanan dari rumah Rasi-Sabda ke tempat Eden terasa menyiksa. Bukan hanya karena kesunyian yang kian purna—Pak Wawan bahkan ikut tidak bersuara—tapi juga karena Eden merasa tidak enak hati pada Setra. Ada sebagian dari dirinya yang merasa kalau Emir benar. Mungkin dia tidak seharusnya bicara dengan perasaannya. Bisa jadi, situasi akan lebih baik dari sekarang seandainya Eden pura-pura tidur saja.

Tidak butuh waktu terlalu lama untuk tiba di depan rumah Eden. Setra membantunya menurunkan barang-barangnya yang tidak seberapa banyak dari bagasi.

"Makasih, Kak Setra." Eden bicara, butuh usaha keras supaya dia kedengaran baik-baik saja. "Maaf juga kalau apa yang aku lakukan... bikin situasinya memburuk."

"Jangan minta maaf. Kamu nggak salah apa-apa."

"Kakak bilang begitu karena kakak orang baik."

"Saya bilang begitu karena kamu memang nggak punya salah apa-apa." Setra membantah, kemudian mengulurkan paper bag mungil di tangan kanannya. "Sedikit hadiah buat Mama kamu. Salam buat beliau ya."

"Kak Setra nggak usah repot-repot—"

Setra tertawa kecil. "Saya nggak merasa repot. Sampai kapanpun, rasa terimakasih saya buat kamu nggak akan pernah cukup. Setelah bertahun-tahun mengunjungi Mama saya sendirian, tahun ini saya bisa dateng bareng adik-adik saya. Selain itu, saya juga kangen beliin kado untuk Mama. Tapi Mama saya sudah nggak bisa nerima kado selain bunga dan doa, jadi kado itu buat Mama kamu aja."

"Makasih."

Setra mengangguk, memandang Eden sebentar, kemudian begitu saja, refleks tanpa bisa ditahan tangannya terulur. Jelas sekali, awalnya dia bermaksud menyentuh helai rambut di tepi wajah Eden, mungkin berniat menyelipkannya ke belakang telinga. Sayangnya, Setra terlalu ragu untuk benar-benar melakukannya. Malah, tangan cowok itu jatuh pada bagian bahu jaket Eden yang agak merosot, menaikkannya kembali hingga kelihatan rapi.

"Kak Setra,"

"Iya?"

"Pulangnya... hati-hati ya?"

Tawa lepas Setra kembali pecah saat dia mengangguk, masih tetap terdengar seteduh itu walau matanya digelayuti oleh lelah.

*

(mas jo model oskadon)

Begitu sampai di rumah, Setra disambut oleh Jo yang sedang sibuk berbenah. Ini adalah fenomena yang sama langkanya dengan menyaksikan bintang jatuh di kala badai, jadi Setra dibikin kaget terheran-heran. Cowok itu nyaris lupa menurunkan barang-barangnya dari bagasi mobil Pak Wawan. Jo sendiri merespon reaksi Setra dengan cengiran. Masih berlagak santai, cowok jangkung itu mengepak barang-barang pribadinya ke dalam kardus-kardus yang sudah ditulisi kategori barang, alamat dan namanya serta tertempeli sticker merah bertuliskan FRAGILE dalam huruf kapital untuk kardus yang memuat barang mudah pecah.

"Ini... apa apa ya?"

"Gue mau pindah dari sini."

Setra mengerjap, seakan-akan Jo baru saja bicara dalam bahasa alien. "Pindah?"

"Iya, Setan. Pe i pi en de a da ha. Pindah. Gue nggak akan tinggal di sini lagi mulai... minggu depan, I guess."

"Kenapa?"

"Gue sudah cukup bisa mandiri secara finansial dan mampu rent apartemen sendiri. Selain itu, lokasi apartemen baru gue juga nggak terlalu jauh dari tempat kerja gue dan ada ruang khusus yang bisa jadi studio mini."

Ekspresi wajah Setra berubah muram. Ini bukan kali pertama, sebetulnya. Di awal kedatangannya ke rumah ini, ada beberapa orang lainnya yang ikut tinggal bersama mereka. Salah satu bahkan lebih tua dari Lucio. Mereka semua senasib, entah kabur dari rumah, tidak punya orang tua yang bisa mendukung, terlalu kere buat bayar kamar kost sendiri, dan dipersatukan dalam rumah milik Lucio si murah hati. Tinggal bersama bertahun-tahun, saling berbagi keluh-kesah dan menertawakan kesialan teman yang lagi apes terkena semprotan dosen di hari-hari mereka sebagai mahasiswa serba salah yang jarang mandi membuat hubungan mereka lebih dari hanya sekedar rekan serumah.

Setra sudah menganggap mereka yang tinggal di sana seperti kakak-kakaknya sendiri, tapi yah, dia paham jika pertemuan selalu ditutup dengan perpisahan. Well, melihat dari karakter Jo, jelas bukan perpisahan sungguhan yang untuk selamanya. Namun tetap saja, Setra merasa akan ada yang hilang.

"Nggak usah sedih gitu. Ari masih bakal tinggal di sini. Lucio juga. Lagian, sebentar lagi juga lo lulus. Sabi lah kabar-kabari kalau udah wisuda, siapa tahu lo bisa sekantor ama gue dan Arka. KKN dikit nggak dosa lah ya haha lagian mana bisa Bu Bos nolak kalau yang ngelamar kerja punya muka macem lo. Nama boleh setan, untung wajahnya nggak kayak wewe gombel."

Setra berdecak. "Lo packing sendiri?"

"Kalau mau bantu, boleh banget loh."

"Arkais ke mana?"

"Lagi sibuk jadi stalker."

"Stalker?"

"Minggu kemarin Arkais pergi ke acara kumpul-kumpul tahunan angkatannya. Dia nggak pernah dateng tadinya, takut ketemu mantan, malu kan tampang udah kayak Pangeran Disney, tapi ketahuan belum move on." Jo jadi terpicu untuk mulai bergosip dan memulai sesi perlambean terkait masa lalu Arkais. "Kata temen-temennya sih, mbak mantan ini nggak pernah datang. Jadi Arkais berani dateng tahun ini. Guess what? Ternyata mantannya juga mikir gitu. Dia dateng tahun ini. Mereka ketemu. Terus ya, Arkais jadi bucin lagi dah. Biasa, CLBL. Cinta Lama Belom Lunas."

"Arkais punya mantan yang satu SMA ama dia?"

"Iya. Dulu pas pacaran backstreet, makanya nggak ada yang tahu. Lo kenal nggak? Namanya Shrea."

Setra merasa pernah mendengar nama itu, tapi lupa di mana. "Nggak kenal."

"Bagusnya juga jangan, sih. Takutnya Arkais insecure aja, soalnya lo kegantengan buat kenal sama mantannya yang masih dia taksir gila-gilaan." Jo terkekeh, bergurau. "Dia lagi jadi stalker, berusaha bikin mbak pacar mau balikan. Sinting, memang."

Setra manggut-manggut. "Anyway, soal pindah, lo udah bilang ke Bang Cio?"

"Udah." Jo menyahut sekenanya. "Lo sendiri, ada kabar apa dari Bandung? Gimana dengan adik-adik lo?"

"Baik-baik aja."

Jo memiringkan wajah, meneliti Setra layaknya pengamat sejati. "Muka lo menunjukkan sebaliknya."

"Sumpah, semuanya baik-baik aja—"

Jo mengangkat tangannya dengan dramatis, membuat Setra mau tidak mau berhenti bicara. Cowok itu berhenti menyusun barang-barang dalam kardus, lalu berujar dengan wajah yang sok dibuat-buat supaya kelihatan berwibawa. "Tunggu sebentar di sini." Katanya, membuat Setra hanya bisa diam. Dia lelah menerka tingkah absurd macam apa yang bakal Jo lakukan.

Jo kembali ke ruang tengah tidak sampai lima menit kemudian, dengan sehelai selimut tebal dan susu hangat yang jelas baru dibuat di tangannya. Dia meraih bahu Setra dengan penuh perhatian, membimbingnya untuk duduk. Lantas, Jo menyampirkan selimut itu di bahu Setra, mengaturnya sedemikian rupa hingga selimut itu menyelubungi Setra dengan sempurna hingga dia kelihatan seperti burito. Bukan hanya itu, Jo juga memberi Setra segelas susu hangat yang dia bawa.

Setra mengerjap. "Ini... kenapa?"

"Lo kelihatan syok dan nggak baik-baik aja, jadi gue selimutin dan gue kasih susu."

"Gue bukan anak umur 5 tahun yang rumahnya baru kebakaran..."

"Memang." Jo sependapat. "Lo adalah laki-laki dewasa yang bakal lulus tahun ini dan entah apa yang terjadi di Bandung antara lo dengan kedua adik lo—walau gue menebak ada keterlibatan cewek bernama Eden itu di sini—tapi yang jelas lo terkejut, bingung dan tampak agak sedih. Gue harap selimut, susu dan puk-puk dari gue bisa bikin perasaan lo lebih baik."

"Gue—"

"Sstt..." Jo menempatkan jari telunjuknya di depan bibir Setra sambil memasang ekspresi wajah serupa aktor sinetron veteran. "Sekarang, cerita ke gue."

Setra menghela napas, memilih mengikuti instruksi Jo dan menyeruput sedikit susu hangat dalam gelas di tangannya sebelum menjawab. "Gue... nggak tahu."

"Lo lupa ingatan?"

"Nggak gitu!" Setra berdecak. "Maksud gue... awalnya semua berjalan baik-baik aja. Kita ke makam nyokap gue, bawa bunga, merayakan ulang tahunnya, main game. Hingga gue tahu kalau ternyata kedua adik gue suka sama orang yang sama."

"Eden?"

Setra mengangguk, menyeruput susunya sekali lagi. Itu membuatnya kelihatan cute, dengan mata yang berkaca-kaca dan selimut yang melilitnya serupa burito, dia jadi tampak seperti anak kecil.

"Omo-omo!" Jo berseru, masih dramatis. "Terus gimana?"

"Itu yang bikin gue bingung. Gue nggak mau adik-adik gue berantem."

"Kenapa nggak tanya Eden aja dia suka sama siapa."

"Udah. Dan dia udah jawab dia suka sama siapa di depan Rasi dan Sabda."

"Terus apa masalahnya?"

Setra tidak menjawab, justru menarik napas panjang. Tindakannya mencipta kerutan di dahi Jo. Cowok itu memandang Setra sejenak, lalu larut dalam pikirannya. "Jangan bilang kalau... dia suka sama lo dan lo juga sama dia?"

Setra berdiri dari kursi, tersenyum sedih pada Jo seraya berkata sekenanya. "Gue masuk dulu ya."

Itu sudah cukup bagi Jo untuk paham jika spekulasinya benar. Cowok itu tidak menahan Setra. Dia membiarkan Setra berlalu, kemudian tenggelam dalam renungan. Hening menyelimuti sebentar, sampai akhirnya lampu ide dalam kepala Jo menyala. Tergesa, cowok itu meraih ponselnya dari atas meja. Dia membuka sebuah aplikasi, men-scroll layar beberapa kali, lantas berhenti.

"Voila."

Jo tersenyum puas ketika dia menemukan apa yang dia cari. Jarinya cepat menari, mengetikkan pesan yang hanya punya satu tujuan pasti.

*

"Dulu gue suka bertanya-tanya, kapan ya gue jatuh cinta sama orang yang balik cinta ke gue? Terus, apakah bakal semenyenangkan itu? Lo tahu, kalau ngelihat film-film tentang kisah cinta remaja, mereka tuh kayaknya bahagia banget. Dunia serasa milik berdua, yang lain ngungsi ke Neptunus. Tapi sekarang... saat gue jatuh cinta sama orang yang balik cinta ke gue... kenapa situasinya serumit ini?"

Emir yang tengah melamun di depan jendela kamar Eden tersentak kaget oleh kata-kata cewek itu. Bukan apa-apa. Mereka menghabiskan setengah jam dalam keheningan dan Eden tiba-tiba saja bicara begitu. Mau tidak mau, Emir menoleh pada Eden dengan wajah yang dimiringkan. Matanya mengamati cewek itu lekat-lekat, pada wajahnya yang pucat, juga pada plester kompres demam yang menempel di dahinya. Cewek itu demam dan Mama belum pulang—seperti biasa, lembur di kala weekend. Untungnya, kotak obat di rumah Eden selalu terisi lengkap dan tidak ada yang tertarik mengganti isinya dengan cheetos.

"Lo... sehat?"

Eden kesal oleh jawaban Emir. "Lo tuh nggak peka ya! Gue sehat, cuma lagi kepengen curhat aja!"

"Nggak usah nge-gas juga, dong."

"Tapi lo bingung nggak, sih? Katanya cinta itu hadiah. Hadiah itu kan harusnya disyukuri, karena dia sesuatu yang baik. Kenapa malah jadi kayak gini?"

"Cinta, kalau datangnya di waktu yang salah, bukan bikin bahagia, malah memberi luka."

"Wow, puitis banget."

"Kisa—"

"Menurut lo, cinta itu gimana?"

"Gue—"

"Ah ya, lupain aja." Eden memotong cepat. "Lagian, lo juga nggak pernah benar-benar jatuh cinta selain sama benda yang namanya semangka. Iya, kan?"

Emir berdeham. "Gue rasa gue sudah pernah bilang sama lo, tapi yah, entah lo beneran bodoh atau pura-pura bodoh untuk mengerti."

"Maksudnya?"

"Gue pernah jatuh cinta, sama orang beneran. Bukan semangka."

"Siapa? Temen sekelas kita yang menang lomba story-telling tingkat kota atau—"

"Lo."

Eden tercengang, meski sebetulnya dia sudah bisa menerka-nerka gara-gara ucapan penuh makna Emir waktu itu. Hanya saja, mendengar Emir mengatakannya terang-terangan, tanpa bahasa kiasan, masih mampu bikin Eden kaget bukan kepalang.

"Gue suka sama lo."

Eden tertawa diikuti embusan napas frustrasi. "Ada apa dengan semua orang dan kenapa semuanya pada demen ama gue? Goddamnit, gue cuma butuh Kak Setra aja yang demen ama gue. Apa sesusah itu y?"

"Kisa—"

"Gue bisa gila kalau gini."

"Soal yang waktu itu," Emir menukas cepat. "Tentang gue yang menjauhi lo, sori kalau lo tersinggung, tapi gue nggak memaksudkannya seperti itu."

"Terus maksudnya apa?"

"Gue nggak pernah suka sama orang sebelumnya. Gue nggak pernah peduli sama cewek selain kakak perempuan gue. Lalu suatu hari lo muncul, dengan semua keanehan lo, hobi lo ngobrol sama ikan koi, kebiasaan lo menyendiri di belakang kelas, gimana flatnya muka lo setiap kali lo dapat nilai jelek... gue nggak ngerti gimana seseorang bisa baik-baik aja hidup dengan semua keanehan itu. Lantas, nggak tahu sejak kapan, gue mulai suka memperhatikan lo dan suka sama lo." Emir menjelaskan. "Gue belum pernah suka sama seseorang sebelumnya. Gue juga nggak ngerti apa gue boleh punya perasaan seperti itu. I was completely clueless. We were too young back then. Gue malu. Gue nggak mau lo tahu. Karena itu, gue memilih menjauh."

"Nice, Emir. Very nice." Eden membalas sarkastik.

Emir tersenyum pahit. "I was stupid, I know. Tapi gue nggak pernah berhenti melihat lo, memperhatikan lo. Gue selalu ada buat lo. Dari jauh."

Eden buka mulut, siap membantah, namun di saat yang sama, potongan kenangan dari masa silam menghantamnya. Entah mengapa, dia tiba-tiba teringat pada penghapus berbentuk semangka yang tiba-tiba saja ada di dalam kotak pensilnya setelah dia mengeluh gara-gara penghapusnya hilang. Atau pada buku matematika yang suatu kali lenyap dari loker dan kembali sehari kemudian, dalam kondisi telah tersampul rapi, dilengkapi tempelan sticker mungil berbentuk semangka tepat di dekat namanya.

Bagaimana bisa dia tidak langsung terpikir pada Emir saat melihat bentuk penghapus atau sticker itu?

"Sori, jangan anggap itu sebagai beban." Emir meringis, membuyarkan lamunan Eden. "Gue merasa perlu mengatakan itu sekarang. Nggak tahu kenapa, gue merasa seperti masa gue berada di dekat lo sudah mendekati akhir."

"Maksud lo apa?"

"Lo akan tahu nanti, tapi sebagai guardian angel lo, boleh gue memberi lo saran lain sekarang?"

"Apa?"

"Sabda dan kedua saudaranya... bisa gue minta tolong supaya lo nggak membiarkan mereka terpisah-pisah lagi?"

Bunyi getar dari ponsel Eden adalah apa yang menjawab permintaan Emir. Eden menghela napas, meraih ponselnya dari atas kasur. Ada pesan baru di inbox akun media sosialnya. Eden tidak mengenalnya, tapi ketika melihat foto profilnya, Eden langsung paham siapa dia.

sori, ini Eden?

iya.

saya jo, temannya setra yang waktu itu. bisa kita ketemu? penting.

Eden menatap Emir sebentar. Emir balik memandangnya. Makna sorot matanya jelas, dia membebaskan Eden melakukan apa yang diinginkan cewek itu, selama permintaannya dipertimbangkan. Maka, Eden mengetikkan balasan singkat, hanya empat huruf.

bisa.

*

Hujan deras berangin mengguyur ibukota menjelang petang. Hadirnya begitu tiba-tiba. Untungnya, Sabda berinisiatif menggunakan jasa delivery makanan sebelum badai mini merobek langit, menyingkirkan semua orang dari jalanan dan mengubah seisi kota jadi panggung untuk petir yang tak henti bersahutan macam musik orkestra. Rasi sibuk dalam kamarnya sejak mereka tiba, entah melakukan apa. Sabda tidak mengecek, walau dia bisa menebak, Rasi pasti sedang menyibukkan diri dengan sapi-sapi peliharaannya.

Hujan baru dimulai ketika Sabda membawa plastik berisi kotak-kotak makanan ke meja makan. Dia membukanya, mengecek apakah setiap porsi (iya, Sabda sendiri terkejut karena dia ikut memesankan makanan buat Rasi, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama mereka tinggal serumah beberapa tahun ini) sesuai dengan catatan yang dia berikan. Punyanya sempurna, namun punya Rasi tidak. Ada daun bawang dalam supnya dan semua orang dalam keluarga mereka tahu seberapa tidak sukanya Rasi pada daun bawang.

Sabda menghela napas panjang, sempat kelihatan kesal, tapi akhirnya malah dengan sabar memindahkan daun bawang dari dalam sup Rasi ke wadah kecil dengan sendok. Butuh waktu yang tidak sebentar karena daun bawang yang ada dalam sup itu cukup banyak, namun Sabda tetap melakukannya hingga sup tersebut betul-betul bersih dari daun bawang. Setelahnya, dia baru memanggil Rasi untuk turun ke ruang makan. Dugaannya benar, cowok itu memang sedang mengasuh sapi-sapi peliharaan dalam game Harvest Moonnya.

Apa yang Sabda lakukan membuat Rasi salah tingkah, awalnya. "Kamu nyuruh aku turun ke ruang makan buat apa?"

"Cuci baju." Sabda menyahut sarkastik seraya menata mangkuk dan wadah sendok di atas meja, juga dua gelas susu hangat yang baru dia buat. "Makan. Apa lagi?"

"Kamu juga pesenin makanan buat aku?"

"Menurut kamu?"

Rasi mengerjap tidak percaya, sebelum kemudian cengiran khas kanak-kanaknya tertarik. Sabda tidak mengatakan apa-apa, berlagak sibuk menekuri makanan dalam piringnya. Mereka makan dalam hening, hingga mendadak terdengar suara mobil berhenti dan pintu garasi yang dibuka. Sabda dan Rasi kompak berhenti menyuap makanan mereka, saling berpandangan dengan bahu menegang.

Itu pasti Papa.

Insting keduanya terbukti benar. Itu memang betul ayah mereka. Beliau masuk, langsung berjalan ke ruang makan dengan wajah tidak menyenangkan. Kemejanya berantakan. Lelaki itu pasti tidak bercukur selama setidaknya tiga hari belakangan. Penampilan kacau, serupa dengan berandalan.

"Dari mana aja kalian?!"

Rasi tertunduk, menatap pada sendok di tangannya dengan takut. Sabda beda lagi. Anak itu jauh lebih tenang. Dia tak menghasilkan suara ketika meletakkan sendoknya di atas meja.

"Kita pergi ke luar kota sama Kak Setra. Ke tempat Mama."

"Selancang itu sampai nggak merasa perlu minta izin sama Papa?! Siapa yang ngajarin kalian buat jadi anak kurang ajar yang nggak paham aturan?!" ayah mereka malah kian murka saat mendengar nama Setra disebut. "Dan ngapain juga kalian pergi dengan anak nggak tahu diuntung itu?! Atau jangan-jangan karena dia juga, kalian berani melawan Papa akhir-akhir ini?!"

"Papa sebuta itu sampai nggak sadar kalau kita memang udah begini dari dulu?" Rasi melotot pada Sabda, memperingatkannya, namun Sabda tidak lagi peduli. Ucapannya keluar tanpa bisa dikontrol. "Lagian, ada atau nggak ada kita di rumah ini juga apa ngaruhnya buat Papa yang hampir nggak pernah pulang?"

Sahutan Sabda membuat emosi ayah mereka meluap. Lelaki setengah baya itu mendekat dengan wajah berang. Tangannya terangkat, siap menampar Sabda. Akan tetapi, Rasi tidak membiarkannya. Cowok itu berdiri dari kursinya, menahan tangan ayahnya sambil menatap tegas, seolah-olah menekankan bahwa tidak akan ada seorangpun yang bisa memukul Sabda selama dia ada di ruangan itu.

Sabda hanya memandang dingin, masih tetap duduk di kursinya. Dia tidak goyah, walau jelas ada keterkejutan yang sempat lewat di matanya. Pertama, dia tidak menduga Papa akan semarah itu sampai berniat menamparnya. Kedua, dia juga tak menebak jika Rasi akan berdiri dan melawan Papa hanya untuk melindunginya.

"Papa bisa tampar aku sekarang dan mulai besok, kamarku akan bernasib sama kayak kamar Kak Setra."

Helaan napas ayah mereka menajam oleh kata-kata Sabda. Lelaki itu menarik tangannya dari cengkeraman Rasi dengan kasar, mengusap wajahnya sendiri. Dia kelihatan frustrasi, memandang bergantian pada dua anak laki-lakinya dengan sorot yang sukar didefinisikan, lalu berbalik dan pergi begitu saja. Deru mesin mobil adalah apa yang terakhir kali Rasi dan Sabda dengar sebelum bunyi keras derai hujan mengubur jejak kemunculan ayah mereka.

"Aku udah kenyang." Sabda berujar begitu sembari bangkit dari duduk. Dia naik ke lantai dua, meninggalkan Rasi sendirian di ruang makan. Sabda tak pernah suka hujan. Air, mendung dan angin adalah kombinasi sempurna untuk membuat segalanya jadi lebih muram. Cowok itu tidak suka merasa sedih.

Sayangnya, sekarang sedih berhasil menusuknya dengan sempurna.

Cowok itu sedang sibuk menatap kosong pada pigura yang memuat foto keluarga di atas meja belajarnya ketika dia mendengar suara langkah kaki Rasi di tangga, disusul bunyi pintu kamar yang dibuka lalu ditutup. Pigura itu menghabiskan tahun demi tahun yang dingin dalam kardus di kolong ranjang hingga dia mengeluarkannya dan kembali memajangnya baru-baru ini, memutuskan untuk mencuci bersih luka masa lalu dan menyambut masa kini untuk memulai semuanya dari awal. Dengan memaafkan.

Tapi kini, Sabda tidak mengerti apa yang dia rasakan. Dia marah. Dia rindu pada banyak orang. Dia bingung harus berbuat apa. Dia cemas. Dia tidak tahu jika menyukai seseorang bisa memuatnya tenggelam dalam lautan perasaan yang tidak bisa dia pahami.

Sekelilingnya tiba-tiba gelap gulita, bersamaan dengan bunyi gemuruh keras dari petir yang membelah langit. Getarnya terasa sampai ke tanah.

Mulanya, Sabda kira respon pertama Rasi terhadap petir dan listrik yang padam adalah pekik ketakutan. Tapi ternyata tidak. Rasi tidak bersuara. Senyap menyelinap, sebelum akhirnya terusir oleh suara harmonika yang mendadak dimainkan. Sabda mengenali lagu itu, sebuah soundtrack opening serial animasi tentang lebah sebatang kara bernama Hachi yang pergi mengembara mencari ibunya.

Hachi anak yang sebatang kara

Pergi mencari ibunya

Di malam yang sangat dingin

Teringat Mama

Lagu itu sedih, membuat Sabda makin ingin menangis.

Mama... Mama...

Di mana kau berada?

Namun Sabda tahu, sekarang bukan waktunya untuk menangis. Cowok itu beranjak dari tepi kasur, melangkah keluar dari kamar. Sempat ragu sebentar, Sabda mengetuk pintu kamar Rasi perlahan.

Mama... Mama...

Aku ingin bertemu

Suara harmonika itu berhenti sebentar, terganti oleh jawaban samar Rasi. "Masuk aja."

Sabda menurut, membuka pintu dan melihat Rasi sedang duduk di depan jendela yang terbuka. Seisi kamar dipenuhi oleh bau hujan. Rasi memutar arah kursinya, menghadap pada Sabda. Masih dengan harmonika di tangannya, cowok itu mengangkat alis, menatap heran pada Sabda yang tumben-tumbenan mengunjungi kamarnya. "Kenapa?"

"Untuk yang tadi, makasih."

"Buat apa?"

"Nahan tangan Papa."

"Kamu adik aku. Gimanapun juga, aku memang harusnya begitu."

Sabda berdeham, berusaha melegakan tenggorokannya. "Oke."

"Makasih juga, by the way."

"Untuk?"

"Ngeluarin semua daun bawang dari sup aku."

Sabda mengangguk terpatah, lalu berbalik, bermaksud kembali ke kamarnya. Namun Rasi kembali bicara, mau tidak mau membikin langkah kakinya batal terteruskan.

"Bisa nggak—" Sabda menoleh. "—bisa nggak buat malam ini... kita tidur bareng? Aku... aku... nggak suka tidur dalam gelap sendirian."

Sabda tak menjawab, malah melanjutkan kembali ke kamarnya begitu saja, membuat wajah Rasi berubah murung. Untungnya tidak lama kemudian, dia kembali ke kamar Rasi bersama selimut, bantal dan guling.

Mereka tidur bersama malam itu, untuk pertama kalinya, berada begitu dekat setelah tahun-tahun sepi yang dipenuhi kesalahpahaman. Di bawah satu selimut, seperti saling berusaha melindungi satu sama lain.

Seakan tengah berbagi luka yang sama dan mencoba menyembuhkannya. 





bersambung ke twentieth note

***

Catatan dari Renita 

kayaknya author notesnya nggak bisa panjang-panjang karena ini lagi mati lampu dan batre laptop gue maupun hape sekarat jadi yhaaa, saya akan langsung ke intinya. 

mohon maap gajadi update kemaren karena ada rapat dadakan yang baru kelar jam 2 pagi. gue harap chapter ini bisa jadi pengobat rindu aci sabby kak setra buat kalian. 

kedua, makasih banget buat yang udah vote, comment huhu seneng deh kalau respon kalian greget gitu, kan aku jadi semangat melanjutkan di tengah badai kkn dan pengabdian masyarakat ini :333 

ketiga, buat yang nanyain pre-order noceur kapan, gue nggak tau. dunno (ini gue berterus terang aja gue kesel karena untuk revisi itu gue mengeluarkan effort dan waktu yang nggak sedikit, bahkan sampe ngorbanin waktu tidur yeu) (dan pembaca lama mungkin inget kan dulu ada novel gue yang manaaaa gitu yang terbitnya diundur-undur mulu ampe gumoh gue ngurusinnya wkwk) (renita sudah tidak peduli lagi) 

jadi silakan ditanya ke penerbitnya, pastinya kapan. sebagai penulis, gue sudah mengusahakan yang terbaik. 

untuk book 2 mulai lagi 1 februari. 

dah. 

sekian dan terimakasih, kukasih bonus foto aci-sabby

Pemalang, January 22nd 2019 

16.57

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top