interlude

Through life, people will make you mad,

disrespect you and treat you bad.

Let God deal with the things they do,

cause hate in your heart will consume you too.

—Will Smith—

*

Laki-laki itu kelihatan tidak baik-baik saja. Bajunya kusut dengan banyak jejak lipatan disana-sini, tanda jika baju itu tidak pernah tersentuh setrika. Garis wajahnya serupa dengan Setra, hanya saja dia hadir dalam sosok yang lebih berumur. Ada jejak kehijauan di rahangnya, menunjukkan laki-laki itu tidak bercukur selama setidaknya seminggu belakangan. Gestur tubuhnya kikuk dan gugup, jelas tidak nyaman akan reaksi Sabda, walau sepertinya, dia telah menebak kalau hadirnya tidak akan disambut hangat.

"Papa mau ngapain ke sini?"

"Kakak kamu." Suaranya pecah dan serak. Dia berdeham supaya sambungan ucapannya terdengar lebih jelas. "Papa dengar dia kecelakaan."

Eden mengerjap, tidak mengerti kenapa hubungan antara Sabda dengan ayahnya bisa seburuk itu, namun dia menyadari bagaimana kedua tangan Sabda spontan terkepal kuat. Kepalan itu sarat emosi, amat kokoh hingga buku jarinya memutih. Eden kira, Sabda akan menyuruh ayahnya pergi, tapi ternyata tidak. Cowok itu malah berbalik padanya, sambil menarik napas tajam diikuti bisik yang terdengar memohon.

"Please, hold my hand."

"Kenapa?"

"Supaya gue bisa mengontrol diri gue untuk nggak melakukan sesuatu yang bisa jadi nantinya bakal gue sesali."

Eden langsung mengerti, menuruti kemauan Sabda dan meraih tangan cowok itu untuk mengisi sela-sela kosong diantara jemarinya. Alis ayah Sabda terangkat, tapi tak diikuti kata-kata. Dia tetap diam, mengekor ketika Sabda memimpin jalan melintasi koridor rumah sakit yang lengang. Tangan Sabda sekaku batang bambu dalam genggaman Eden, namun sejauh ini, setidaknya dia masih bisa mengendalikan diri.

Rasi sedang duduk di kursi samping ranjang tempat Setra terbaring waktu pintu dibuka. Cowok itu tengah main game di ponselnya, sambil memeluk wadah besar berisi potongan melon. Sepanjang petang hingga malam, bahkan sebelum Setra tersadar, Eden sudah kenyang menonton Rasi terus-menerus memotong buah melon hingga banyaknya bisa mengisi tiga wadah tupperware berukuran besar sekaligus. Kala Eden protes, Rasi membela diri, bilang kalau Setra sangat menyukai melon, bikin Eden mengkeret walau cewek itu masih sepenuhnya yakin pasti ada maksud terselubung di balik tindakan Rasi.

"Dih, beneran ada udang di balik bakwan ternyata!"

Rasi mengangkat wajah dari ponsel dengan mulut menggembung, penuh terisi potongan melon yang belum habis dia kunyah. "Hoh?!"

"Pantesan rajin banget motongin melon dari sore, ternyata buat diembat sendiri."

Rasi menggelengkan kepala berkali-kali, berusaha membantah namun malah hampir tersedak. Cowok itu batuk-batuk, meraih botol minum dari atas nakas metal di sisi kasur. Suara berisiknya membangunkan Setra dari tidurnya yang tidak nyenyak. Sabda berdecak, menggelengkan kepala beberapa kali, lelah menyaksikan kebodohan kakak keduanya, sedangkan Rasi malah nyengir meminta maaf—tapi drama tersedak jilid dua kembali terjadi tatkala Papa masuk ke dalam ruangan. Kehadirannya membuat mata Rasi melotot sampai bukaan maksimal.

"Pa—pa?!"

Setra sama terkejutnya, sejenak cowok itu tersentak, lalu ekspresi wajahnya berubah dingin. Eden terkesima dibuatnya, tidak mengira kalau Setra, salah satu sosok terhangat dan terlembut yang pernah dia kenal, bisa terlihat sebegitu mengintimidai dan berbahaya hanya dengan satu ekspresi. "Ngapain Papa ke sini?"

"Kita harus bicara." Papa beralih pada dua anaknya yang lain. "Kalian berdua juga, tetap di ruangan ini."

Eden mengerti apa maksud kata-kata lelaki itu. Tanpa bicara lebih lanjut, cewek itu berbalik meninggalkan ruangan dan menutup pintu perlahan, tak menimbulkan suara. Emir mengekorinya, juga tidak mengatakan apa-apa. Airmukanya sulit dibaca, entah apa yang tengah dipikirkan oleh cowok itu sekarang, Eden tidak bisa menduga.

Senyap mengendap, mengungkung mereka dalam sepi yang berangsur berubah menjadi sesak.

"Dengar, Papa mau minta maaf sama kamu. Buat semuanya."

Setra tidak mau repot-repot memandang ayahnya, hanya menatap beku pada tembok rumah sakit yang pucat. "Aku sudah maafin."

"Papa mau kamu pulang."

"Nggak."

"Setra,"

"Empat tahun lalu, sebelum aku keluar dari rumah, aku masih ingat apa yang Papa bilang. Nggak tahu juga sih kalau Papa sudah nggak ingat. Tapi mungkin Papa betulan udah nggak ingat, jadi akan aku ingatkan lagi," Setra menyambar sinis, membuat kedua adiknya terperanjat kaget—yang berusaha keras mereka tutupi. Selama mereka mengenal Setra, belum pernah keduanya melihat Setra bersikap seperti ini. Setra yang mereka kenal adalah kakak penyabar yang hampir tidak pernah. Memang, beberapa kali, pasca kepergian Mama, Setra terlihat lebih emosional dari biasanya, namun duka, sama seperti rasa sakit, punya kemampuan mengubah seseorang menjadi orang lain, walau hanya sementara. "Papa bilang, pada langkah pertama aku keluar dari rumah, itu berarti aku dianggap sudah mati. Menurut Papa, ada orang mati yang bisa balik lagi ke rumah? Nggak. Mereka yang mati, nggak pernah kembali."

"Oke, Papa salah ketika itu. Papa minta maaf. Seandainya kamu nggak bisa pulang karena Papa, tolong, pulang buat adik-adikmu." Papa menghela napas, kelihatan lelah. "Adik-adikmu mau kamu pulang."

"Mereka berdua sudah dewasa, sudah mengerti situasi dan paham apa yang terjadi. Mereka nggak butuh Papa sebagai juru bicara. Jika mereka mau aku pulang, mereka bisa bilang sendiri."

"Setranala Dirgantara," Tampaknya Papa bukan tipe orang yang gampang menyerah. "Kalau kamu masih marah soal pilihan kuliahmu yang nggak Papa setujui dan—"

Setra memotong ketus, jelas marah. "Jadi selama ini, Papa masih ngerasa kalau itu semua karena perbedaan pendapat aku dan Papa soal jurusan kuliah yang mau aku ambil?"

"Setra,"

"Malam itu, aku tahu apa yang terjadi sehari sebelum Mama kecelakaan."

"Setra!" Papa membentak, membuat Rasi dan Sabda tersentak. Awalnya, Setra sudah emosi, siap menumpahkan semua yang membebaninya bertahun-tahun belakangan tanpa sisa seperti air bah dari bendungan jebol. Namun ketika melihat Rasi dan Sabda, emosi cowok itu menyurut. Dia tidak bisa bicara semaunya, terutama jika itu berkaitan dengan Mama dan apa yang terjadi sebelum kepergiannya. Masa-masa sepi dan rumah yang membeku setelah Mama tidak ada sudah cukup menyakitkan buat Rasi dan Sabda. Setra tidak bisa melukai mereka lebih dari itu.

Tetapi Papa jelas tahu makna dari ucapannya.

Tengah malam itu, sehari sebelum kecelakaan yang merenggut Mama dari tengah-tengah mereka terjadi, Setra terbangun karena suara piano yang dimainkan dari lantai bawah. Dia tahu, Mama punya kebiasaan memainkan piano setiap kali hujan turun, atau menjelang petang. Mama akan duduk menghadapi piano, membuka jendela lebar-lebar dan membiarkan harum petrikor atau temaram cahaya jingga senja menyorot padanya, menemaninya menarikan jemari di atas tuts, memainkan melodi yang akan mengubah rumah mereka jadi panggung konser mini. Namun saat itu tidak sedang turun hujan dan bukan petang. Keganjilan lainnya, Mama memainkan lagu sedih dengan wajah yang sarat oleh kesenduan.

"Mama?" Setra memanggil dari ambang pintu ruangan yang sengaja dibiarkan terbuka setelah Mama selesai dengan permainan pianonya. Wanita itu kaget, awalnya, tapi kemudian dia melambai, memberi kode pada Setra untuk mendekat. Setra menurut, berjalan menghampiri Mama yang langsung meraih cowok itu agar duduk di pangkuannya. Setra baru enam belas tahun kala itu, namun sudah cukup tinggi dan berada di pangkuan ibunya membuat wajahnya sempat merona.

"Maaf, kamu pasti kebangun karena suara pianonya."

Setra mengangguk, lalu bertanya hati-hati. "Mama... kenapa?"

"Mama lagi sedih."

"Gara-gara Papa?"

Mama mengangguk, memandang muram pada anak tertuanya, lalu mengulurkan tangan untuk merapikan sejumput rambut yang berantakan di kening Setra.

"Mama sedih karena hari ini, Papa nggak makan malam di rumah?"

Mama mengangguk lagi, dan bukannya memberi jawaban, itu malah memicu keheranan Setra.

"Kenapa... Mama merasa sedih?"

Mama tidak menjawab, malah memeluk Setra erat dan mulai terisak. Diantara sedu-sedannya, Mama membisikkan pertanyaan yang tidak akan pernah Setra lupa. "Seandainya Papa nggak ada, menurutmu, kamu bisa menjaga Rasi dan Sabda buat Mama?"

Setra malah bingung, sempat bermaksud bertanya lebih jauh akan makna ucapan Mama, tapi dia cukup peka untuk tahu bahwa itu bukan saat yang tepat, juga bukan sesuatu yang ingin Mama dengar. Maka Setra balik memeluk ibunya, diikuti sahutan penuh keyakinan. "Iya. Aku akan jaga Rasi dan Sabda buat Mama."

Mama terus memeluknya, tidak pernah seerat dan sehangat malam itu sebelumnya. Entah Mama tahu perpisahan tanpa ujung diantara mereka akan dilekaskan di hari berikutnya, atau dia ingin menitip seluruh rindu, harap dan asanya pada Setra sebelum dia benar-benar pergi. Mungkin keduanya. Momen itu sangat berkesan, sehingga sampai sekarang, Setra tidak pernah melupakannya.

Setra baru mengerti apa yang sebetulnya terjadi ketika pada hari dimana Mama dimakamkan, dia mendengar bisik-bisik salah satu tantenya, mengobrol dengan sahabat lama ibunya sejak masa remaja. Mereka menyebut tentang perselingkuhan yang Papa lakukan dengan salah satu rekan kerjanya. Setra akhirnya tahu, alasan kenapa Papa tidak makan malam bersama mereka malam itu, juga kenapa Mama memainkan piano tanpa diiringi oleh hujan dan senja, adalah karena Papa telah menghabiskan waktu bersama cintanya yang lain. Hatinya yang seharusnya tetap utuh, kini terbagi dan itu tidak adil buat Mama.

Setra terdiam, merasakan luka dari masa lalu menusuk dadanya berkali-kali, membuatnya dikuasai nyeri, ketika tiba-tiba, suara Papa menariknya kembali ke realita.

"Dengar, Papa tahu kamu marah sama Papa dan kamu sangat berhak untuk itu. Soal jurusan kuliah kamu—"

"Keluar." Setra menyahut tegas, berusaha mati-matian menahan supaya air matanya tidak jatuh. Dia tidak ingin memberi Papa kepuasan melihatnya menangis sekarang.

"Setra,"

"Keluar." Kali ini, Sabda yang mengulangi dan suaranya lebih sinis dari yang seharusnya.

Papa menoleh pada anak bungsunya. "Sabda,"

Rasi menghela napas, bangkit dari kursi dan meraih pintu. Dia beralih pada Papa sambil tetap menahan pintu itu supaya terus terbuka. "Kak Setra dan Sabda mau Papa keluar."

Wajah Papa memahit seketika. Merasa tidak punya pilihan lain, laki-laki itu beranjak dari duduk dan berjalan keluar melewati pintu yang ditahan Rasi, meninggalkan hanya Setra bersama kedua adiknya di dalam sana. Setra membisu, tidak langsung bicara hingga Sabda meraih kedua tangannya sambil menggigit bibir.

"Aku... aku... mau Kak Setra pulang."

"Aku nggak bisa."

"Sekalipun itu buat aku sama Aci?"

"Sabda, bukan begitu. Hanya saja, ada beberapa—"

"Selama ini aku tahu. Dan kemungkinan, Rasi juga tahu."

Setra mengerjap. "Maksudnya?"

"Tentang Mama, Papa dan semuanya. Tentang apa yang jadi alasan Papa nggak makan malam di rumah malam itu. Tentang alasan kenapa Kak Setra semarah itu sama Papa. Selama ini... aku tahu."

Setra tersekat, memandang pada Rasi yang kini balik menatap nanar. "Aku sama marahnya dengan Kak Setra. Semarah itu, sampai kepada titik di mana aku ngerasa nggak bisa menatap Papa tanpa merasa benci. Aku kepingin pergi, tapi aku sadar aku nggak bisa. Ketika Aci dan Kak Setra pergi dari rumah, awalnya aku marah, kenapa kalian pergi tanpa ngajak aku. Kenapa kalian membuat aku merasa ditinggalkan. Sekarang, setelah melewati semuanya dan jujur kepada diriku sendiri, aku bersyukur, karena meski sendirian, aku memutuskan tetap stay di rumah."

"Aku... minta maaf sudah bikin kamu ngerasa ditinggalkan."

Sabda menggeleng. "Nggak. Aku justru senang, saat kalian pergi, kalian nggak ngajak aku ikut. Kalau bukan salah satu dari kita, siapa yang bakal ngejaga kenangan tentang Mama di rumah itu."

Rasi berdeham, ikut bicara. "Aku juga minta maaf, karena bikin kamu ngerasa sendirian."

Sabda mendelik. "Aku udah bilang, nggak ada yang harus minta maaf atau dimaafkan. Aku cuma mau Kak Setra pulang. Piano Mama pasti kangen Kak Setra. Selama ini, piano itu selalu dimainkan setiap turun hujan. Sebelum Aci pulang, aku yang main."

"Tapi soal Papa..."

"Aku nggak akan memaksa Kak Setra maafin Papa, karena aku juga nggak yakin aku bisa. Tapi kesepian dan apa yang terjadi bertahun-tahun ini, juga apa yang terjadi kemarin-kemarin, bikin aku belajar sesuatu. Selama kita hidup, orang bakal bikin kita marah, merasa tersinggung atau menyakiti kita. Tapi membalas mereka bukan tugas kita, karena kita nggak seperti orang-orang itu. Memendam benci... juga pilihan. Itu bakal menghancurkan kita, juga... bikin kita menyesal. Jujur, sampai sekarang aku belum bisa maafin Papa. Mungkin nggak akan pernah."

Setra kehilangan kata-kata, bertanya-tanya apa saja yang telah dia lewatkan dan peristiwa apa saja yang sudah Sabda lewati. Adiknya bukan lagi anak kecil yang kerap menjahili Rasi atau mencampurkan garam ke dalam soda kakaknya. Dia masih remaja, namun pikirannya... telah begitu dewasa.

"Memaafkan Papa dan tinggal serumah dengannya itu bukan sesuatu yang sama. Kak Setra bisa menolak memaafkan Papa. Tapi seenggaknya... tolong pulang..."

Setra masih tidak menjawab, tetap membisu, hingga Sabda mengeratkan genggamannya di tangan kakaknya.

"Pulang... buat aku sama Aci?"

Cukup sudah. Pertahanan Setra runtuh sepenuhnya. Cowok itu tertunduk, bersamaan dengan air mata jatuh berkejaran di wajahnya yang pucat.

"Aku kangen Kak Setra. Kamar Kak Setra juga kangen Kak Setra." Rasi berkata, membuat Setra menoleh padanya dengan mata dan pipi basah. "Aku juga kangen tidur dipeluk Kak Setra. Jadi... pulang ya? Please."

Tetes air mata diikuti oleh isak dan diantara sedu-sedan yang membuat bahunya terguncang, Setra mengiakan permintaan adik-adiknya.

*

"Duduk di dekat pohon malam-malam itu nggak bagus."

Eden sedang duduk di bangku tepi koridor rumah sakit sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya ketika sebuah suara terdengar, membuat terkejut setengah mati. Dia menoleh ke asal suara, mendapati Setra sedang tersenyum. Cowok itu kelihatan pucat, masih punya kassa dan plester tertempel di bagian kepalanya yang telah dijahit serta dilekati infus. Eden langsung terlompat saat dilihatnya Setra melangkah mendekat seraya menggeser tiang infusnya.

"Kak Setra, ini udah malam."

"Iya. Kalau udah pagi, pasti ada matahari di langitnya."

"Maksudku, ini udah dinihari, harusnya Kak Setra istirahat."

Setra mengabaikan kata-kata Eden, dengan santai malah duduk di sebelah cewek itu. "Kamu kelihatan ngantuk dan capek. Kenapa nggak pulang?"

"Udah bilang Mama kalau Kak Setra masuk rumah sakit. Tadinya, Mama sama Papa malah mau ke sini, tapi aku bilang nanti aja, sekalian kalau Kak Setra udah pulang. Bentar lagi juga Kak Jo bakal antar aku pulang, kok. Jadi mending Kak Setra istirahat."

"Saya nggak bisa tidur."

"Apa lukanya sesakit itu?"

"Oh, nggak. Bukan karena luka di kepala, tapi karena tempat tidur saya sudah dikuasai sama Rasi dan Sabda."

Eden menggeram. "Apa perlu aku bangunin mereka terus paksa mereka pulang sama aku? Kak Setra kan butuh istirahat cukup."

"No, nggak apa-apa. Saya cuma bercanda." Setra tergelak geli karena perubahan ekspresi Eden, yang entah bagaimana mengingatkannya pada mendiang Mama. Mungkin, semua perempuan memang punya bakat itu jika sudah berhubungan dengan laki-laki yang mereka sayangi. Mama bisa sangat lembut, lucu, kikuk atau perhatian, tapi juga bisa galak ketika diperlukan. "Sudah lama sejak saya lihat adik-adik saya kayak gitu. Terakhir mereka tidur bareng waktu mereka masih TK."

Eden mengangguk, hingga tiba-tiba saja, sebentuk melankolia menghantamnya. Rasa panik yang sedari sore terpendam, belum sempat tertumpah sebagai lega mendadak membanjirinya. Cewek itu menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan perasaannya sendiri sambil meremas-remas jarinya satu ama lain. Agaknya, Setra menyadari itu, karena sesaat kemudian, dia kembali bicara.

"Kisa, terimakasih ya."

"Kak Setra terlalu banyak berterimakasih sama aku."

"Sebab sampai kapanpun, rasa terimakasih aku buat kamu nggak akan pernah cukup." Setra membuka selimut yang dibawanya dari lipatan, menyampirkannya dengan mudah ke bahu Eden walau tangannya masih disemati jarum suntik. Dalam sekejap, Eden dikungkung oleh rasa hangat, berbaur dengan paduan wangi parfum yang samar, sisa sabun mandi dan aroma Febreze. "Untuk membuat saya sebahagia ini, terimakasih, Kisa."

Eden tergugu, lalu buang muka ke arah yang berbeda untuk menyembunyikan matanya yang kini berkaca-kaca. Sesuatu yang sia-sia, karena Setra sudah terlanjur melihatnya. Cowok itu paham kenapa Eden bersikap seperti itu, malah tersenyum lembut, membuat wajahnya sesejuk telaga.

"Saya masih ingat waktu pertama kali ketemu kamu. Kalau nggak salah, di Burjo Mamang. Kamu lagi duduk sama teman kamu. Iya, kan?"

Eden kaget, tidak mengira Setra bakal mengingatnya. "Kak Setra... ingat?"

"Gimana saya bisa lupa sama anak yang pake jepit rambut warna-warni sebanyak kamu?" Setra tertawa kecil. "Lalu setelahnya, kita ketemu lagi, ketika kamu nonton Sabda main futsal, duduk sebelahan sama Rasi. Kemudian, nggak tahu bagaimana, kita jadi lebih sering ketemu, sampai akhirnya saya kenal kamu."

Eden tidak menyahut, membiarkan Setra terus bicara.

"Saya tahu ini mungkin terdengar picisan dan murahan, tapi buat saya, kamu adalah salah satu bagian terindah dari hidup saya."

Eden menghela napas dan hanya begitu saja, setetes air mata menyapa lembut pipinya. "Aku lega."

"Kalau kamu menangis karena saya, tolong jangan."

Eden menggeleng, menatap kuku jarinya sendiri. "Aku nangis karena kakak, tapi bukan dalam artian buruk. Aku lega karena Kak Setra baik-baik aja."

"Kisa,"

Eden menoleh, memandang Setra dan melebarkan senyum perlahan, kontras dengan air yang menggenang di pelupuk matanya. "Kak Setra, selamat ulang tahun."

Setra menatap cewek di depannya, lantas tanpa berpikir, dia membiarkan dirinya menutup jarak diantara mereka. Hati dan kepalanya terasa begitu ringan ketika dia mendaratkan sebuah kecupan di dahi Eden. Kecupan yang hanya singkat saja, namun sarat akan rasa. Setra tersenyum lagi. "Thankyou."

Eden mengangguk.

"And please, keep something in mind," Setra melirik ke kejauhan, dimana dia melihat Jo tengah melangkah mendekat. "I love you."

Eden tidak menjawab, malah tertawa di sela tangisnya. Untungnya, begitu dia tiba di dekat mereka, Jo tidak bertanya lebih jauh walau dia sempat mengernyit pada Setra. Cowok itu berjanji akan mengantar Eden sampai ke rumah dengan selamat. Mereka bertukar lambaian tangan dan Setra sengaja berdiri sejenak di koridor, menonton hingga punggung Eden ditelan kelokan tembok.

*

"Gue nggak tahu harus bilang apa, tapi kalau rumah ini bisa mewek, kayaknya kita udah kebanjiran."

Setra tertawa mendengar kata-kata yang Lucio ucapkan sambil merengut. Yah, wajar, karena entah bagaimana, Arkais, Jo dan Setra keluar dari rumah pada waktu yang berdekatan. Arkais sudah cukup mampu menyewa sendiri flat yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Begitu pula Jo, yang pada akhirnya mampu mewujudkan salah satu mimpi kecilnya, memiliki studio mini sendiri di tempat tinggalnya. Lucio mengoceh soal bagaimana nanti dia akan kesepian. Tidak masuk akal, sebab Lucio justru lebih jarang pulang daripada mereka semua. Cowok itu sudah cukup disibukkan dengan kegiatan di studio miliknya sendiri, juga kelakuan anehnya yang kerap membangun taman bacaan di lokasi-lokasi terpencil. Walau demikian, Setra yakin, rumah itu tidak akan pernah kosong. Ada sesuatu yang menarik di sana dan setelah episode mereka di rumah itu berakhir, bisa jadi ada anak-anak lain yang siap mengukir kisahnya sendiri, di rumah yang sama.

"Rumah ini akan baik-baik aja. Lagipula, kalau lo mau, bisa dikontrakin aja ke mahasiswa yang kuliah dekat-dekat sini, kan?" Jo berujar.

Lucio menggeleng. "Gue merasa salah mengontrakkan rumah ini. Tapi yah, pilihan itu bisa dibicarakan, kalau kepepet. Daripada rumah ini kosong dan nggak terawat."

"See? Semuanya akan baik-baik aja." Setra memeluk Lucio, menepuk punggung cowok itu pelan. "Buat semuanya, gue sangat berterimakasih, Bang."

"Take care, Setan."

"Ah, gue juga bakal kangen sama nickname itu." Setra bergurau usai pelukannya terlepas. Kemudian bergantian, dia memeluk Jo dan Arkais. "Lo juga, take care. Buruan cari pacar, nanti keburu lumutan. Kalau masih di sini sih enak, ada Arkais yang masakkin atau gue yang siap beresin baju kotor lo sebelum cucian numpuk."

"Pacar itu nggak sama dengan pengurus rumah, Setan."

"Pacar bisa diajak cuddling kalau lagi kesepian." Lucio menggoda, bikin Jo mendengus. "Atau nanti-nanti deh kalau ada pesta tahun baru, lo ngikut gue aja. Biasanya relasi orang tua gue suka bawa anak-anaknya. Macam ajang cari jodoh dadakan. Siapa tahu ada yang nyangkut ke lo. Haha."

"Nope, jadwal tahun baru gue sudah fix."

"Fix kemana?"

"Singapore. Mau hunting foto sunset yang bagus."

"Kawinin aja tuh kamera."

Jo tergelak, menoleh pada Setra. "Lo yakin nggak mau diantar?"

Setra menggeleng, bertepatan dengan sebuah mobil berjalan melambat dan berhenti tepat di depan pagar rumah. "Gue sudah order taksi online dan kayaknya itu dia. Makasih ya. Kalian bisa banget main-main ke rumah kalau mau. Bokap gue bakal jarang pulang. Firasat gue bilangnya sih gitu."

"Mau sih, kalau adik lo yang bungsu dijinakkin dulu mulutnya."

Setra tertawa, meraih gagang kopernya. "Gue jalan ya. Take care semuanya."

Diantar oleh lambaian tangan Jo, Arkais dan Lucio, taksi yang Setra tumpangi melaju, membawanya kembali ke rumah yang lama dia rindukan.

Membawanya pulang.

*

Eden tahu hari ini Setra akan kembali ke rumahnya. Dia juga tahu, jika Sabda dan Rasi sepakat bekerja sama membuat kejutan kecil-kecilan. Oleh karena itu, dia sengaja datang membawa triple box piza. Semula, Eden berpikir positif, menebak jika Sabda dan Rasi tengah saling bahu-membahu mempersiapkan dekorasi untuk menyambut Setra di ruang tengah. Namun dugaannya salah. Bukannya sedang bekerja sama, Sabda dan Rasi malah tengah berdebat seru ketika Eden datang.

"Kalian... ngapain?"

"Nah, bagus lo datang, Heaven!" Rasi berseru seraya menunjuk dua tumpuk alat dekorasi berupa banner, kertas krep warna-warni dan berbagai tempelan dengan dua warna dominan yang berbeda. Satu berwarna biru pastel dan satu yang lainnya berwarna soft pink. "Sabda ngotot, bilang kalau warna dekorasi pilihan dia paling bagus! Padahal maknanya shallow banget, nggak ada bagus-bagusnya!"

"Bagusan biru dong ya! Masa merah muda sih, emangnya Kak Setra anggota skuad Mean Girlsnya Regina George?!" Sabda menimpali, tidak mau kalah.

"Aci, kamu pilih warna dekorasi pink?"

"Iya, tapi—"

"Warna soft pink bikin acara ini terkesan kayak acara baby shower buat bayi perempuan."

"Tuh kan benar—"

"Dan warna biru pastel bikin acara ini terkesan kayak acara baby shower buat bayi laki-laki."

Sabda bungkam seketika, sementara Rasi tersenyum penuh kemenangan.

"Kenapa harus soft pink dan kenapa harus biru pastel?"

Rasi langsung menyambar sebelum Sabda sempat bicara. "KAK SETRA SUKA WARNA MERAH MUDA!"

Eden berpaling pada Sabda. "Ada alasan lain kenapa harus biru pastel?"

"... nggak."

"Oke, kalau gitu Aci menang. Sekarang, kita pake dekorasi yang warna pink."

Sabda cemberut, bibirnya mengerucut hingga lebih maju beberapa sentimeter. Eden memandangnya geli, namun berusaha keras menahan tawa karena Sabda pasti bakal ngambek habis-habisan jika dia sampai tertawa. Walau jelas kelihatan tidak rela, Sabda menurut, membantu kakaknya dan Eden menghias ruang tengah sedemikian rupa dengan menempelkan kertas krep merah muda, banner dan gambar wajah Setra yang telah diedit dengan beragam filter lucu dari aplikasi foto.

Butuh waktu sejam bagi mereka untuk menyiapkan semuanya. Rasi sedang duduk memotong-motong buah melon—sekali lagi, karena katanya Setra suka buah melon—dan Eden tengah menata isi triple box piza ke dalam piring-piring lebar waktu bel pintu depan ditekan. Sabda langsung beranjak, bergerak menuju pintu depan setengah berlari dan membuka pintunya.

"Kak Setra?!"

Eden tidak perlu melihat untuk tahu seperti apa wajah Sabda sekarang. Cowok itu pasti tengah berusaha keras untuk tidak tampak terlalu senang. Tapi tentu saja, binar di matanya tidak akan bisa ditutupi. Tidak lama kemudian, dia muncul ke ruang tengah bersama Setra mengikuti di belakangnya, sementara salah satu tangan Sabda menarik koper kakaknya.

"Selamat kembali ke rumah, Kak Setra!" Rasi berseru, nyaris bertepuk tangan sambil masih memegang pisau buah, bikin Eden dan Setra kompak memekik kaget, menyuruhnya untuk berhati-hati, khawatir mata pisau yang tajam akan menggores telapak tangannya.

Mereka menghabiskan dua jam berikutnya saling melempar lelucon dan canda berkedok cela. Lalu tiba-tiba, Setra yang iseng membongkar koleksi DVD animasi lamanya yang telah berdebu di laci meja tak sengaja menemukan DVD animasi Spirited Away keluaran Studio Ghibli. Itu film lama, berhasil membawa mereka kepada ruang nostalgia hanya dengan memandang gambar sampulnya. Setra menyetelnya dan acara house-welcoming pun berubah jadi acara nonton bersama. Awalnya, mereka duduk di tempat masing-masing, hingga di pertengahan film, ketika Eden beranjak untuk mengambil dan memotong sisa semangka dalam kulkas dapur rumah, dia tersadar Sabda dan Rasi telah bergeser jauh dari posisi awal mereka.

Setra masih duduk santai, bersandar pada tembok dengan punggung terganjal bantal. Kakinya diluruskan, dan Rasi menjadikan pahanya sebagai bantal. Sabda tidak jauh berbeda, dia merebahkan kepalanya di perut Rasi. Mereka semua serius menatap pada layar kaca, sesekali Rasi meraup segenggam popcorn, menyuapkannya bergantian pada Setra atau Sabda.

Wonderful, Eden bergumam seraya menahan senyum dan meneruskan langkah menuju dapur.

"Semangka lagi."

Dia sedang mengeluarkan semangka dari dalam kulkas tatkala Emir tiba-tiba bicara, membuatnya terlonjak kaget sekaligus teringat pada eksistensi cowok itu. Kian lama, Emir kian jarang bicara. Cowok itu lebih banyak diam dan mengamati. Harus diakui, Eden merindukan saran ngaconya tentang tindakan yang mesti dia lakukan dan tempat apa yang wajib dia jauhi. Rasanya sudah lama sekali dia mendengar Emir memberikan instruksi.

Eden berdeham. "Mau diwakilkan makan semangkanya?"

"Yes, please."

Eden berbalik, enggan memandang langsung pada Emir dan pura-pura sibuk memotong semangka. "Lo banyak diam, belakangan ini. Sudah lama banget kayaknya sejak terakhir kali lo secerewet itu mengatur gue."

"Kangen?"

"Iya."

"My bad." Emir tertawa, lirih dan terkesan muram. "Sebentar lagi, lo akan harus terbiasa dengan ketiadaan gue, Kisa."

Eden berhenti memotong semangka di tangannya, berbalik dan menatap tajam pada Emir. "Apa maksud lo? Bukannya lo guardian angel gue? Lo seharusnya bersama gue selamanya."

"Hanya guardian angel sementara dan well, mari kita katakan kalau apa yang gue ceritakan pada lo di awal itu bisa jadi nggak sepenuhnya benar."

"Jangan bercanda."

"Seperti yang pernah gue bilang, lo akan tahu segalanya. Nanti. Sekarang, waktu nanti yang gue janjikan itu hampir tiba."

"Gue lelah bermain teka-teki dengan lo, tapi apa pun itu, gue nggak mau lo pergi."

"Pada akhirnya, gue tetap harus pergi. Apa alasannya, lo akan mengerti. Nanti." Emir kembali mengulang kata yang sama.

"Kapan?"

"Proyek film lo dengan Sabda. Lo masih ingat, kan? Lo harus menyelesaikan itu. Setelahnya, gue akan memberitahu lo semua yang perlu lo ketahui, juga kenapa kita... harus begini."

Eden menggigit bagian dalam bibirnya keras-keras, tidak mau melakukan sesuatu yang bodoh seperti menangis. Dia berbalik, memotong semangkanya dengan gerak kasar yang kentara.

"Kisa."

"Apa lagi?"

"Gue mau minta maaf."

"Keseringan."

"Maaf, dulu gue terlalu malu buat mencintai lo selayaknya bagaimana seharusnya lo dicintai."

Eden tidak menyahut, sebab sedih yang menusuknya membuatnya khawatir air matanya bakal tumpah di kata pertama yang coba dia ucap.

"Apa pun yang terjadi nanti, gue harap lo selalu bahagia."

"Cukup." Eden berbalik, matanya berkaca-kaca saat dia memandang lurus pada Emir. "Jangan bicara seolah-olah ini semua itu akhir! Gue nggak mau ada yang berakhir."

Emir malah tersenyum lembut, wajahnya terkesan sejuk dan penuh pengertian. "Hidup-mati. Siang-malam. Gelap-terang. Apa persamaan mereka? Satu adalah awal, dan yang lainnya adalah akhir. Mereka terpisah oleh jeda, tapi bukan berarti mereka saling nggak suka. Faktanya, mereka justru bentuk dari cinta tanpa syarat. Mereka ada di dua sisi yang berbeda, tapi selalu bersama. Terpaut oleh ruang dan masa, namun selalu menjaga."

"Gue nggak butuh analogi lo."

"Hidup-mati. Siang-malam. Gelap-terang. Manapun yang lo pilih, gue akan menjadi sisi lainnya. Kita akan selalu bersama seterusnya. Saling menjaga."

Kesunyian mengiringi setetes-dua tetes air mata yang menuruni pipi Eden.

"Lo bisa marah sama gue. Lo boleh membenci gue. Lo dipersilakkan melupakan gue. Tapi ada sesuatu yang seandainya gue bisa memaksa, gue harap akan selalu lo ingat."

Eden menggelengkan kepalanya, menolak mendengar kata-kata Emir berikutnya, namun cowok itu tetap mengucapkannya.

"I'll continue to love you, from a place, where there's no time and space.





bersambung ke final verse

***

Catatan dari Renita: 

akhirnya kita bertemu di chapter interlude. 

dalam lagu sendiri, interlude diartikan sebagai jeda, jadi ini semacam jeda sebelum kita berpisah dengan *sadly* emir. seperti yang emir bilang, awal dan akhir selalu berdampingan. akhir dari sesuatu adalah awal untuk sesuatu yang lain. begitu seterusnya. kalau nggak, hidup kita akan stagnan dan berkutat disitu-situ aja. ceileh. 

setelah ini, sebelum kita mulai masuk ke kehidupan jeno-injun-nana dan pak tetet, kita bakal sedikit kenalan dengan arkais dan seseorang yang dia cintai, shrea. arkais itu orangnya pendiam, jarang ngomong dan ketika nongol di sini pun dia hampir nggak pernah ngomong. but they say quietest people have the loudest minds, so... mungkin arkais punya lebih dari yang dia tunjukkan haha. 

cerita arkais akan berjudul 16.25 dan diposting di works ini. selain itu, gue berencana memberi sedikit 'hadiah' untuk pembaca guardiationship di akhir maret, jadi gue harap kalian nggak langsung menghapus cerita ini dari library setelah outro. 

hadiahnya... ada deh haha tapi kalau kalian suka cerita ini, gue yakin kalian bakal suka hadiahnya. tenang, ini nggak akan terkait dengan info penerbitan wkwk (meski mungkin nanti bakal ada info penerbitan kalau emang bakal diterbitin lol). selain itu, nggak menutup kemungkinan gue bakal posting extra chapters disini, atau sedikit titik terang soal kehidupan mereka ke depannya gimana pasca outro. 

terus apalagi ya, 

ah ya, happy birthday johnny suh. semoga bahagia selalu. semoga sehat, baik secara fisik maupun mental. semoga lebih baik lagi ke depannya. 

buat kalian yang juga berulang tahun hari ini, happy birthday. 

nggak kerasa, kkn gue tinggal seminggu lagi. terimakasih sudah menyemangati gue sejak awal kkn sampai sekarang. semoga kalian juga semangat selalu. 

and as usual, i just wanna say that in case you're having a bad day, dont worry. life gets better. i've been there before. terus bertahan, sampai semuanya baik-baik saja. hidup selalu membaik, dan lo selalu menguat *ecie* 

sampai ketemu lagi di chapter berikutnya.

ciao. 

Pemalang, February, 9th 2019 

18.25

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top