fourth note

I want to return to the days of innocence

when my backpack was heavier than my responsibilities

Though we've got lots to lose in this world,

I thank the good old days for giving me

something to lose

—Epik High—

*

Eden kira, masalahnya akan selesai begitu dia berhasil menggenapkan jumlah orang yang dia butuhkan untuk dapat terhindar dari kesialan besar—yang kata Emir bakal dia alami jika dia tidak bepergian dalam kelompok kecil yang terdiri minimal dari tiga orang—tapi ternyata dia salah. Sempat lega sejenak karena Setra bersedia ikut dan tidak menganggapnya cewek sinting kurang masuk akal, Eden harus kembali memutar otak saat dia menyadari suasana canggung yang kini sangat terasa. Mereka bertiga meninggalkan arena Timezone untuk berpindah ke bioskop yang terletak di lantai tiga mal, tetapi bukannya mengobrol atau sekedar basa-basi layaknya orang-orang yang lagi hangout bareng, ketiganya malah saling diam. Seharusnya wajar, sebab mereka baru bertemu, namun Eden merasa aneh, sebab mulut Rasi yang biasanya tidak bisa berhenti meracau seperti radio rusak tiba-tiba saja jadi setenang kuburan.

"Gimana kalau kita kenalan dulu?" Eden berusaha mencairkan situasi ketika mereka berada di eskalator yang bergerak naik menuju lantai atas.

"Gue udah tahu nama lo, Girly." Rasi menukas cepat. Suaranya terdengar halus, bikin bulu kuduk Eden langsung berdiri.

"Nggak usah sok punya tatakrama gitu, nggak cocok sama lo!" Eden mendelik, lalu beralih pada Setra dan ekspresi wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat. "Halo, Kak Gan—ung... aku belum tahu nama kakak. Namaku Eden. Maaf banget kalau aku terkesan... aneh... tapi... tapi... ramalan zodiak itu memang serius banget buat aku. Kata ramalannya, aku bakal sial kalau sepanjang siang sampai sore ini nggak jalan dalam kelompok tiga orang. Sayangnya, aku baru tahu itu waktu aku udah sampe mal dan temen-temenku yang lain pada sibuk. Jadi—"

"Kamu nggak perlu menjelaskan apa pun."

"Eh?"

"Jujur, alasan kamu terdengar aneh, apalagi buat saya yang nggak percaya takhayul dan pseudoscience kayak zodiak. Tapi saya menghargai itu." Setra tersenyum dengan sorot mata lembut yang membuat Eden hampir lupa jika kakinya masih menapak Bumi. "Nama saya Setra."

"Kak Setra?"

Setra mengangguk. "Iya."

"Nama yang bagus." Eden dibuat tersipu oleh cara Setra memandang padanya, sementara Rasi langsung buang muka, berlagak sibuk mengagumi bayangan wajahnya sendiri yang terpantul pada kaca-kaca yang memenuhi pilar raksasa bangunan mal. "Eh, lo kenalan juga, dong!"

Rasi menoleh pada Eden, melotot tidak suka. "Nggak perlu."

"Nggak boleh gitu! Udah narsis, kurang ajar pula. Hidup ini nggak bisa hanya cuma modal tampang doang. Attitude itu perlu!"

"Ya... ya... terserah lo aja..."

Rasi yang langsung mengalah pada kata-kata Eden jelas sama langkanya dengan kemunculan fenomena Supermoon, tetapi Eden memilih untuk tidak membahasnya lebih jauh. "Yaudah, kalau gitu gue aja yang wakilin! Kak Setra, namanya Rasi. Rasi ya, nggak pake 'te' di depannya, meski dia lebih pantas jadi fermentasi udang daripada jadi konstelasi bintang. Dan Rasi, gue yakin lo nggak budek, tapi kakak ganteng ini namanya Setra. Panggil dia Kak Setra sebab gue punya tebakan, dia lebih tua dari lo."

Rasi mendelik pada Eden, lantas berpura-pura merapikan sejumput rambut yang jatuh di keningnya. Eden kerap dibuat sebal oleh sikap over percaya diri Rasi, tetapi dia harus mengakui, cowok itu kelihatan keren saat menyisir rambutnya pakai jari. Dia memang punya tampang yang mendukung dan cukup beralasan kalau dua abege berambut keriting sosis ala-ala anak gaul kekinian di belakang mereka langsung mengeluarkan jerit tertahan.

"Intinya sekarang kita udah kenalan." Eden berujar buru-buru saat dilihatnya Setra tampak bingung bereaksi. "Nice to meet you, Kak Setra. Dan buat lo, not very nice to meet you here tapi berhubung gue butuh lo buat menggenapi jumlah minimal tiga orang, gue terpaksa bilang bahwa meski gue nggak senang, gue bersyukur lo ada di sini."

"That's all I need to hear from ya, Girly." Rasi cengengesan, diikuti decak dan kedipan genit sementara tangannya menunjuk pada Eden dengan gaya super playful. Eden, tentu saja, menanggapinya dengan memberi ekspresi layaknya sedang menahan muntah.

Sayangnya, kesialan Eden seperti belum sepenuhnya habis karena begitu tiba di bioskop mal, mereka disambut oleh antrean super panjang dari orang-orang yang juga bermaksud menonton film. Barisannya mengular seperti permainan ular naga yang kelebihan peserta, membuat Eden diserang sakit kepala yang tiba-tiba. Biasanya, kalau sudah begini dia bakal malas dan memilih batal menonton. Namun situasinya berada sekarang. Menonton film adalah alasan paling masuk akal bagi Eden untuk menahan dua cowok itu tetap berada di dekatnya selama beberapa jam.

"Gue aja deh yang ngantri!" Eden memantapkan hati, tersenyum miris ketika diam-diam, Emir mengacungkan kepalan tangannya ke udara dan berbisik "semangat!".

"Gue bakal nemenin lo baris, seenggaknya, capeknya ngantri jadi nggak kerasa kalau ada orang kayak gue di sebelah lo."

"Kalau gitu... saya beli popcorn aja, deh."

"Ide yang bagus, Kak Setra!" Eden mengacungkan jempol.

"Kamu mau rasa apa?"

"Karamel."

Setra mengangguk, lalu matanya berpindah pada Rasi yang malah bersiul seakan-akan dia paham apa maksud di balik tatapan cowok di depannya. "Hng..."

"Lo mau rasa apa?! Atau nggak usah beli popcorn sekalian?!"

"Nonton film tanpa popcorn tuh ibarat film Titanic tanpa Kate Winstlet, Heaven. Of course, gue butuh popcorn!"

"Mau rasa apa? Itu Kak Setra nungguin!"

"Rasa yang sesuai sama gue."

"They don't sell ugly popcorn." Eden memutar bola matanya. "Beliin aja dia yang rasa karamel juga, Kak. Atau yang rasanya pedas luar biasa aja sekalian. Tapi jangan bilang-bilang. Kesel lama-lama ngadepin ni anak. Anaknya siapa kali ya bentukannya bisa begini banget?"

Setra menahan tawa gelinya, kemudian mengangguk dan berjalan menjauhi antrean tiket untuk membeli popcorn yang dimaksud. Rasi setia berdiri di samping Eden, walau sebetulnya dia bisa saja menunggu di kursi kosong yang tersedia. Eden tidak tahu harus terharu atau kesal. Jelas, Rasi tidak membiarkannya mengantre sendirian dan tindakan cowok itu patut diapresiasi. Namun pada saat yang bersamaan, badan jangkungnya bikin Eden terlihat begitu mungil, seperti setangkai bunga yang tumbuh di samping pohon beringin.

"Lo kelihatan nggak nyaman. Kenapa, Girly? Tali bra lo copot lagi?"

"Nggak!" Eden menghardik kesal. "Tali bra gue baik-baik aja. Cuma heran aja, lo tinggi banget. Bikin gue kelihatan cebol dan gue nggak suka itu."

"Loh, perbedaan tinggi kita malah bikin kita kelihatan adorable, in my opinion. Like literally, pernah nggak lo nonton film-film cinta-cintaan anak-anak muda itu? Cowoknya tinggi banget, terus ganteng, ya kayak gue. Ceweknya biasa aja, pendek macam Hobbits terus lebih bodoh dari cowoknya, ya kayak—argh, Heaven, it hurts!"

"Jangan jejeritan. Malu dilihatin orang."

"Kaki gue sakit gara-gara lo injak." Rasi melipat tangannya di dada, cemberut mewarnai wajahnya. "Dan itu nggak ngaruh. Saat gue diam pun, gue bakal selalu dilihatin orang. Kenapa?"

"Karena lo ganteng?" Eden menukas masam, bisa menebak apa yang akan Rasi katakan.

"Itu salah satunya, tapi tambahan lainnya adalah karena, gue memang menarik perhatian... maksud gue... lo nggak ketemu orang yang muka dan perawakannya macam model seperti gue ini setiap hari."

"Daripada model, lo lebih mirip kingkong Wakanda."

Rasi malah tergelak keras pada cercaan Eden, kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada. Airmukanya berubah serius, seakan-akan dia baru saja kesurupan karakter Raja T'challa dari film Black Panther diikuti seruan mantap dalam suara keras. "WAKANDA FOREVER!"

Dia yang begitu, gue yang malu, Eden berbisik dalam hati sambil menutupi muka dengan telapak tangannya sendiri, sementara Emir yang berada di sebelahnya lagi-lagi hanya bisa memandang iba seperti biasa.

Kamu bisa, Eden! Kamu kuat! Kamu pasti bisa!

Setelah menit demi menit yang dipenuhi seruan dalam hati untuk menguatkan dirinya sendiri, antrean makin memendek. Eden menahan diri supaya tidak bersorak begitu dia tiba di depan counter penjualan tiket. Akan tetapi, senyumnya perlahan lenyap tanpa bekas ketika petugas bersanggul di balik counter itu meringis padanya, disusul dengan serentetan kalimat yang tidak akan mau didengar oleh siapapun yang sudah mengantre lebih dari setengah jam.

"Mohon maaf, Kak, tapi untuk film ini tiketnya sudah habis. Adanya tiket untuk slot midnight aja."

Eden meniup sejumput rambut yang jatuh di poninya dengan lelah. Kedua tangannya terkepal sebagai bentuk pertahanan diri agar dia tidak melakukan tindakan sinting seperti mengobrak-abrik isi meja counter atau meraih kerah baju petugas dan mengguncang-guncang bahu petugas tersebut seraya memekik frustrasi. Dia tidak bisa berlaku semacam itu, terutama saat dia ingat Setra yang berada di ujung lain ruangan dan mungkin, sedang menatapnya sekarang.

Lagipula, kayaknya itu juga tidak mungkin karena Eden tidak tinggi semampai seperti petugas bioskop di depannya, jadi mustahil sekali dia bisa meraih kerah baju petugas tersebut.

"Kayaknya kesialan lo memang separah itu..." Emir berujar sembari mengekori Eden yang pasrah keluar dari antrean—yang sekarang sudah bubar-jalan, kecuali untuk mereka yang bersedia kebagian jatah nonton di jam tengah malam.

"Sekarang gue harus gimana?" Eden balik berbisik.

"Ganti kegiatan nonton dengan kegiatan yang lain. Apa kek. Makan kek."

"Gue belum lapar."

"Mending menderita karena kekenyangan atau menderita karena kesialan?"

"Dua-duanya nggak ada yang mending!" Eden melotot pada Emir yang dibuat kicep. Malaikat pelindung berwajah polos itu hanya mampu menatap punggung Eden yang berlalu menjauhinya untuk memimpin jalan turun ke lantai dua mal dengan mata berkaca-kaca.

"Gue tuh dari awal jadi guardian angel lo selalu salah ya..."

Namun, suaranya terlalu lirih untuk bisa didengar sempurna oleh Eden.

"Kita nggak jadi nonton?"

"Menurut anda sendiri gimana, Bapak Rasi?"

"Sayang banget, padahal udah ngantri." Rasi mengedikkan bahu sebelum sibuk mengobok-obok isi wadah popcorn di tangannya. "Tapi nggak apa-apa, deh. Popcornnya enak. Udah lama banget sejak terakhir kali gue makan popcorn."

"Lebay."

"Beneran!" Rasi berseru, sejenak lupa pada kehadiran Setra yang mengikuti dengan sabar di belakang mereka sementara eskalator membawa mereka turun. "Gue nggak pernah makan popcorn kecuali kalau ada yang bikin di rumah, atau saat gue nonton film di bioskop. Waktu masih di New York, gue sering nonton sama Trevor. Di Jakarta gue nggak punya teman nonton, jadi hampir nggak pernah nonton."

"Terus lo tahu soal wakanda-wakanda-an dari mana kalau nggak pernah nonton di bioskop selama ada di Jakarta?"

"Nonton online."

"Dih, bilang aja nggak modal. Dasar pecinta bajakan!"

"Nggak gitu!" Rasi membela diri, jelas tidak terima dibilang pecinta bajakan. "Gue nggak suka nonton sendirian, apalagi kalau studionya udah digelapin. Hari ini tuh hari pertama gue bakal nonton lagi, yah meskipun nggak jadi. Tapi seenggaknya gue bisa makan popcorn."

"Bikin sendiri di rumah, kek. Kayak bikin popcorn sesusah apa aja."

"Popcorn gue nggak seenak buatan Kak—" Rasi tiba-tiba diam, refleks menoleh ke belakang dan wajahnya memerah ketika dia mendapati Setra tengah menatap lurus padanya sambil memegang wadah popcorn miliknya sendiri yang belum tersentuh. Setra kelihatan sama terkejutnya. Kedua cowok itu sama-sama buang muka ke arah yang berbeda. Gerakan mereka sangat cepat, membuat Eden tidak menyadarinya.

"Seenak buatan siapa?"

"Kakak gue."

"Oh. Lo punya kakak cewek?"

"Itu nggak penting."

"Yah, nggak kepingin tahu juga sebenarnya." Eden mengedikkan bahu. "Gue kepingin makan sambil ngemil. Gimana kalau kita ke Istana Mie dan Es aja?"

Rasi dan Setra tidak berkomentar, tetapi mereka tak protes kala Eden benar-benar membawa mereka ke restoran yang dia maksud. Sekarang sudah lewat jam makan siang dan terlalu dini untuk makan malam, jadi restorannya tidak terlalu ramai sehingga mereka tidak perlu menunggu terlalu lama hingga pesanan mereka diantarkan ke meja. Eden hanya memesan es kelapa muda karena belum lapar, berbeda dengan Setra dan Rasi yang ternyata memesan hidangan yang sama; bakso sapi kuah.

"Baksonya salah tempat." Eden baru mencicip sedikit es di mangkuknya ketika Setra bicara sembari menukar mangkuknya dengan mangkuk yang berada di depan Rasi. "Sekarang baru benar."

"Apa bedanya?"

"Punya saya yang ada daun bawangnya."

"Hng... bukannya semua bakso biasanya dikasih daun bawang?"

"Rasi nggak suka daun—ah, nevermind." Setra melirik pada wajah Rasi yang berganti ekspresi sebelum dia berpaling pada Eden diikuti senyum. "Nggak apa-apa. Kamu nggak pesan makanan?"

"Belum lapar. Tapi daripada kita ngalor-ngidul nggak jelas, mending duduk di sini, kan? Tapi dari mana kakak tahu kalau ni bocah nggak suka daun bawang? Kalian kan baru ketemu hari ini."

"Itu..."

"Atau kalian sebenarnya udah saling kenal?"

"Es lo mulai meleleh." Rasi berujar mendadak sambil menunjuk es di depan Eden, membuat cewek itu otomatis merengut, sadar kalau Rasi tengah mencoba mengganti topik pembicaraan. Tadinya, Eden berniat ngotot mengorek informasi soal tebakannya soal Rasi dan Setra yang sebetulnya sudah saling kenal, tapi begitu menyadari bagaimana Setra malah merespon kata-katanya dengan diam, Eden rasa, itu bukan ide yang bagus.

"Tapi ternyata lo picky banget ya soal makanan? Daun bawang aja nggak suka."

"Daun bawang itu nggak enak."

"Whatever." Eden menjawab seenaknya, mencoba untuk bersikap biasa saja, namun gagal telak karena suasana antara Rasi dan Setra tidak kunjung mencair. Cewek itu makin bingung, hingga akhirnya memutuskan untuk pamit pergi ke toilet sebentar supaya bisa bicara empat mata dengan Emir.

"Dua orang itu, lo tahu sesuatu tentang mereka?" Eden bertanya setelah dia masuk ke salah satu kubikel toilet dan menguncinya dari dalam seraya memandang pada Emir yang duduk di bagian atas pintu kaca kubikel toilet tersebut.

"Tahu."

"Mereka itu... sebenarnya sudah saling kenal, kan?"

"Mungkin."

"Itu jelas." Eden mendengus. "Orang yang baru ketemu biasanya memang butuh waktu buat nggak merasa awkward dengan kehadiran satu sama lain, tapi Rasi dan Kak Setra terlihat seaneh itu. Apa yang lo tahu tentang mereka, karena entah kenapa gue punya teori jika apa yang terjadi hari ini, mulai dari lo yang nyuruh gue cabut ke mal, ketemu Rasi dan instruksi baru buat bepergian dalam satu kelompok minimal tiga orang itu bukan kebetulan."

"Nggak pernah ada kebetulan di dunia ini, Kisa. Itu yang gue pelajari setelah gue nggak lagi berada di dunia ini sebagai manusia."

"Lalu ini semua, apa maksudnya?"

Bukannya menjawab, Emir justru mengeluarkan gulungan dari sakunya yang Eden kenali sebagai surat kontrak yang mereka tanda tangani di awal. "Dalam Pasal 1 Ayat 27A menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Pelindung tidak berhak membocorkan informasi apa pun kepada Terlindung selain instruksi untuk mengurangi dampak negatif yang timbul dari kesialan."

Eden memutar bola matanya. "Jadi lo mau gue mengikuti instruksi-instruksi lo yang seringkali nggak masuk akal dengan buta?"

"Memang terdengar nggak meyakinkan." Emir sependapat sambil kembali memasukkan gulungan ke saku celananya. "Namun ada beberapa hal yang baru bisa lo ketahui apa maksudnya setelah lo selesai menjalaninya. Apa gue sok berahasia dengan lo? Nggak juga. Gue mungkin memang tahu lebih banyak dari lo, namun bukan berarti gue tahu segalanya. Segalanya adalah milik mereka yang berwenang, bukan gue."

"Kalau gue menolak mengikuti instruksi lo?"

"Bebas aja. Nggak ada paksaan. Tapi lo harus bisa menanggung konsekuensi dari setiap keputusan yang lo ambil itu, dengan mengikuti atau tidak mengikuti saran dan instruksi lo dari gue."

Eden mengembuskan napas lelah, sudah menyerah untuk mendebat Emir lebih jauh. "Fine. Gue rasa gue nggak punya pilihan lain."

Emir manggut-manggut, tetap mengekori Eden ketika cewek itu memilih balik ke dalam restoran. Esnya sudah mencair setengahnya ketika dia tiba. Bakso di mangkuk Rasi dan Setra sudah tandas entah sejak kapan. Kedua cowok itu tengah saling diam dengan gaya super canggung ketika Eden tiba. Kelegaan tergambar jelas di wajah mereka tatkala cewek itu kembali duduk.

"Lama banget. Buang air besar ya?"

"Nggak."

"Oh, kalau gitu apply ulang lip gloss kayak kemarin?"

"Bukan urusan lo." Eden berujar jutek, terdiam sejenak sebelum teringat pada sesuatu yang membuatnya meraih tasnya untuk mengeluarkan kamera polaroid dari sana. "Kebetulan, salah satu niat gue jalan ke mal adalah untuk nyari gambar buat tugas grup penggemar fotografi dan film kampus. Gue baru join sih, tapi buset, udah dikasih tugas pake kata kunci aneh-aneh. Berhubung tugasnya kudu dikumpul minggu besok dan gue belum ada ide, mungkin lo punya ide?"

"Tunggu, grup penggemar fotografi dan film? Berarti lo segrup sama Sab—ah, nggak penting. Emang lo butuh ide yang seperti apa?"

"Gambar apa yang harus gue ambil. Kata kuncinya ephemeral."

"Foto aja jarum suntik atau ibu hamil."

"Hah?"

"Ephemeral tuh suntikan bius dokter kan maksudnya? Gue pernah tuh nonton series Western soal dokter-dokteran dan ada istilah ephemeral pas adegan pasien ibu-ibu mau lahiran."

"Itu epidural, Rasi." Setra mengoreksi. "Ephemeral itu artinya nggak kekal atau hanya berlangsung sebentar aja."

"Hah, masa?!"

"Iya."

"Aduh, nggak guna juga kayaknya gue nanya ke lo. Secara, dari berbagai aspek, lo ini lebih bego dari gue." Eden berdecak sebal.

"Eits, gue belum menyerah. Ah ya, foto aja tuh es lo."

"Apa hubungannya?!"

"Es lo bentar lagi mencair sepenuhnya jadi air. Tanda dia nggak kekal alias dia cuma bisa bentar doang bertahan jadi es kalau udah dikeluarin dari kulkas."

"Jenius... tapi norak banget kalau gue bawa foto es kelapa muda yang udah dimakan setengah. Gue bisa malu sampe ke ubun-ubun kalau anak-anak lain fotonya bagus-bagus, apalagi partner gue rada-rada kampret, jadi no, gue nggak mungkin moto es kelapa muda ini."

"Hng... mungkin senja?"

Eden menoleh pada Setra. "Senja?"

"Senja hanya berlangsung sebentar aja. Waktunya singkat dan dalam masa yang begitu pendek, segalanya bisa berubah drastis. Dalam hitungan menit, malah."

Eden terperangah, kemudian bertepuk tangan dengan wajah takjub. Jika saja dia tidak sedang berada di dalam restoran di sebuah mal besar, mungkin dia sudah melompat-lompat seperti Archimedes yang baru saja mendapat pencerahan. "Benar juga! Senja kedengeran keren."

"Dan untungnya, kita lagi ada di sini sekarang. Kamu bisa coba ambil gambar dari rooftop mal. Semuanya kelihatan lebih bagus dari sana."

Eden merasa, bukan hanya tampangnya yang jenius, tapi Setra jelas memiliki kecerdasan yang berkali-kali lipat di atas Rasi.

Akhirnya, ada bagian baik dari harinya yang sial ini.

*

Sabda meluruskan kedua kaki dan tangannya sejenak setelah dia menamatkan buku komik ketiga yang dia baca hari ini. Sebetulnya, saat akhir pekan begini, Sabda lebih suka nongkrong di kamarnya dan memutar ulang stok film-film kartun masa kecil yang dia simpan dalam direktori penyimpanan laptopnya. Namun gara-gara apa yang Papa bilang dalam makan malam mereka yang berakhir buruk tempo hari, tentu Sabda tidak bisa tetap tinggal di rumah. Dia pergi di pagi hari, menjelang pukul delapan ketika Rasi masih ngorok di atas ranjang. Setahunya, Rasi punya kebiasaan meninggalkan rumah menjelang siang di akhir pekan, jadi dia tidak mengkhawatirkan cowok itu.

Sabda menghela napas, melirik pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya dan berdecak saat menyadari sekarang sudah pukul tiga sore.

Seperti biasa, menghabiskan waktu di sana memang tidak terasa. Tempat itu adalah perpustakaan komik yang terletak tidak jauh dari sekolah lama Sabda, berupa rumah tiga kamar dengan halaman dirindangi aneka pohon buah yang disulap menjadi perpustakaan komik. Sabda sudah jadi anggota tetap dan terhitung sebagai orang yang paling banyak menyumbang komik untuk tempat itu. Dulu, waktu Bang Farid—pencetus perpustakaan komik itu—masih ada, Sabda pernah beberapa kali ditemani mengobrol. Sekarang tidak lagi, sebab Bang Farid sudah meninggal sekitar dua tahun lalu karena sakit. Perpustakaan tersebut masih tetap ada, diteruskan oleh istrinya, namun sosoknya jarang tampak di sana. Jadilah, Sabda tidak lagi punya teman bicara dan hanya membuang waktunya membaca komik-komik yang sebagian besar isinya sudah dia hapal di luar kepala.

Sore telah menjemput, semilir anginnya membawa sejuk yang menyapa lembut wajah Sabda. Samar, dari luar terdengar suara gong mungil khas yang hanya bisa ditemukan pada gerobak penjual es tung-tung. Sabda berpikir sejenak sebelum memutuskan beranjak keluar perpustakaan.

Sudah ada beberapa anak kecil yang mengerubuti gerobak dorong penjual es tung-tung di halaman perpustakaan ketika Sabda keluar. Terlihat mirip seperti sebongkah gula yang dirubung semut. Sabda mendekat, menunggu dengan sabar hingga gilirannya tiba. Begitu es tung-tung dari tangan pedagang berkulit legam itu berpindah ke tangannya, dia merogoh saku dan mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribuan.

"Wah, nggak ada uang kecil, Dek? Saya nggak punya kembalian."

"Emang harga es-nya berapa, Bang?"

"Dua ribu."

"Hng... tunggu sebentar." Sabda membalas, lalu berbalik untuk membuka tas punggungnya yang dia tinggalkan di dalam perpustakaan. Cowok itu membuka kantung-kantung kecil pada tasnya, merogoh dalam-dalam dengan harapan menemukan uang recehan. Pada akhirnya, dia memang berhasil menemukan apa yang dia cari, tetapi apa yang dia temukan lebih dari hanya sekedar recehan.

Bersama enam keping koin pecahan lima ratus rupiah, Sabda mendapati dua tajos dingin bergambar karakter Spongebob dan Patrick dari seri kartun Spongebob Squarepants tergenggam di tangannya. Ada bagian lengket di belakang tajos itu, menandakan bahwa sebelumnya, tajos itu sempat tertempel di suatu benda. Sabda mengernyit, kemudian deru napasnya memberat. Tapi dia masih bisa berpikir cepat dan memilih membayar es yang dia beli lebih dulu.

Pasca urusannya dengan pedagang es tung-tung di depan perpustakaan komik selesai, Sabda masuk kembali dengan es tung-tung di tangan dan kepala yang memutar kenangan.

Sebelumnya, dua tajos itu pernah ditempelkan pada selembar kertas menggunakan double tape.

Sabda ragu sebentar sebelum merogoh kantung tasnya lebih dalam dan menarik keluar secarik kertas buram penuh tulisan acak-acakan. Tas itu adalah tas lama. Tas yang dia gunakan sepanjang masa SMP dan awal SMA-nya. Tas yang hanya dikeluarkan dari lemari untuk dia gunakan pergi les. Jadi tajos itu juga secarik kertas buram yang kini berada di tangannya berasal dari era yang berlangsung sekian tahun lalu.

Di atas kertas buram itu, meski tulisannya berantakan dalam tinta yang nyaris memudar, Sabda masih bisa membaca kalimat yangtertera.

Knowledge can't replace friendship. I'd rather be an idiot than to lose you —P to S (or E to S?)

Sabda menghela napas panjang, lalu ketika dia rasa matanya mulai memanas, cepat-cepat dia kembali masukkan kertas buram beserta tajos yang baru dia temukan kembali ke dalam tas.

*

Beberapa jam berikutnya di mal dihabiskan oleh Eden bersama Setra dan Rasi untuk memutari tiap lantai, mengunjungi tiap toko dan kembali bermain games di arena Timezone. Awalnya memang Rasi dan Setra tetap saling canggung, tetapi lama-kelamaan, mereka kelihatan terbiasa dengan kehadiran satu sama lain di sana. Keduanya tidak mengobrol atau bicara langsung seperti yang Eden harapkan (sebab cewek itu benci terjebak diantara orang-orang awkward) tapi setidaknya, atmosfernya jauh lebih baik daripada waktu mereka pertama kali bertemu.

Menjelang petang, barulah ketiganya naik ke rooftop mal. Mereka memutuskan menggunakan lift berupa tabung kaca, tidak tangga manual. Eden terlalu malas menapaki tangga dan lift itu kebetulan sedang tidak digunakan siapapun.

Eden masuk ke dalam lift lebih dulu—bersama Emir yang selalu setia berada di sebelahnya—dilanjut Setra dan Rasi yang terakhir.

Pintu lift perlahan menutup, tetapi lift tidak kunjung berjalan meski sekian detik telah berlalu.

"Wait." Rasi mengernyit, menatap pada pintu lift yang terkatup rapat. "Wait. Kenapa lift-nya nggak jalan?"

"Rasi,"

"OMG!! Apa ini artinya kita terjebak?!"

Eden menarik napas super panjang, kelihatan lelah sekaligus frustrasi dengan respon Rasi, sementara Emir memandang prihatin dan Setra hanya mampu meringis.

"JANGAN CUMA DIEM AJA, HEAVEN! KITA TERJEBAK DI LIFT! OMG, WHAT ARE WE GONNA DO?!"

"KITA BELUM TEKAN TOMBOL LANTAI YANG KITA TUJU. YAEYALAH NGGAK JALAN!" Eden menghardik jengkel, membuat Rasi spontan menatap pada deretan tombol pada panel sebelah kiri pintu lift dan cowok itu langsung nyengir sesaat setelahnya.

"Oh. Hehe." Rasi terkekeh sambil menekan tombol lantai teratas. "Kita beruntung."

"Atau memang sebenarnya segala sesuatu bisa jadi sial untuk orang yang kapasitas berpikirnya berada di bawah rata-rata." Eden menukas, melipat tangan di dada dengan kesal sambil menunggu beberapa detik yang serasa seperti beberapa abad. Lift bergerak naik, kemudian terhenti di lantai paling atas mal. Di sana sepi, hanya ada satu-dua anak kecil yang sedang berlarian diantara mainan mobil-mobilan bertenaga batere.

"Lewat sini." Setra berkata, sengaja memimpin jalan menuju pintu kaca tertutup di salah satu sisi tembok. Dari kaca bening, mereka bisa melihat langit sore di luar. Setra meraih kenop, menariknya, namun pintu itu tidak mau terbuka. "Loh, kok nggak mau kebuka?"

"Kenapa, Kak?"

"Pintunya nggak mau kebuka." Setra berujar, kali ini sambil berusaha keras membuka pintu dengan tenaga ekstra dan lagak dramatis. "Kayaknya dikunci deh, ini. Wah, sayang banget. Padahal langit di luar lagi bagus-bagusnya."

"Bukan gitu, Kak."

"Hah, maksud kamu?"

Eden harus menahan diri untuk tidak mengunyah kusen jendela terdekat. "Buka pintunya didorong, bukan ditarik."

"Loh, kok tahu?!"

Eden menunjuk tanda yang tertempel di sisi lain yang berlawanan dari tempat Setra berdiri. "Itu ada tandanya."

Setra terpaku, lantas wajahnya memerah seketika sementara Rasi buang muka untuk menyembunyikan wajahnya yang sedang berusaha mati-matian menahan tawa. Eden melirik Rasi dan Setra bergantian, mulai berpikir bahwa memang sesungguhnya manusia yang sempurna itu tidak sungguh-sungguh ada, lalu mendorong pintu dan berjalan menuju area rooftop mal lebih dulu.

"WOOOOOW, BAGUS BANGEET!" Cewek itu berseru kencang dan itu tidak berlebihan, sebab pemandangan yang dia lihat memang seindah itu. Kota yang semrawut terlihat lebih baik dilihat dari jauh, makin sempurna dengan langit yang mirip kanvas penuh tumpahan cat beragam warna yang membentang di atas mereka. Eden mengeluarkan kamera polaroidnya, mengambil beberapa gambar, mengguncangkannya hingga gambarnya muncul, lalu menyimpannya dengan puas ke dalam tas.

"Heaven, give me your camera. I'll take your picture."

"Hah?"

"Pemandangannya bagus. Langitnya cantik. Suasananya mendukung. Lo nggak mau ngambil foto unyu ala cewek-cewek media sosial kekinian?"

"Oh iya! Tumben pinter lo!" Eden langsung menyerahkan kameranya dengan antusias pada Rasi. Cowok itu mundur beberapa langkah, lalu bergaya bak fotografer profesional (Rasi sampai menekuk dua lututnya segala) saat menjepret Eden yang sigap berpose. Setra menonton mereka, tertawa pada gaya Rasi yang menurutnya konyol.

"Nih."

"Mana fotonya—DIH INI MAH APAAN!"

"Itu foto bagus, Heaven."

"Bagus apaan!" Eden jelas tidak terima, menunjukkan foto polaroid di tangannya pada Setra dan Rasi. Setra langsung paham kenapa Eden bereaksi seperti itu. Wajahnya hampir tidak terlihat, yang tampak hanya rambut dan langit jingga. "Ini mah foto gagal namanya!"

"Itu foto artistik yang hanya bisa dipahami oleh kalangan terbatas, Girly."

"Kalangan makhluk kayak lo maksudnya?!"

"Sini, biar saya yang fotoin."

Refleks, pipi Eden merona. "Boleh?"

"Pose aja. Jangan malu." Setra tertawa, lalu berbisik samar waktu dilihatnya Eden berpose dengan malu-malu. "Ah, so cute."

"Mana fotonya, Kak?" Eden bertanya seraya melangkah mendekat setelah Setra selesai memotretnya, kemudian cewek itu berseru puas sambil memamerkan fotonya pada Rasi. "Nah, gini nih baru foto yang bener!"

"Foto itu sih foto mainstream yang semua orang bisa ngambil."

"Bodo amat. Pokoknya lebih masuk akal dari foto yang lo jepret."

Rasi memajukan bibirnya sambil melipat tangan di dada, namun tak lanjut membantah ejekan yang Eden alamatkan padanya. Mereka menghabiskan waktu lebih lama di sana. Eden berpindah ke sisi lain dari rooftop, mengambil beberapa gambar lainnya hingga ucapan Emir mendadak menyita perhatiannya.

"Look at that."

"Apaan—ah... itu..." kata-kata Eden berakhir pada gumam rendah ketika dia mengekori arah mata Emir dan mendapati pandangan cowok itu tengah tertuju pada sosok Rasi dan Setra yang sedang berdiri bersebelahan sambil memunggunginya. Mereka berdua sama-sama berdiri di tepi rooftop, berpegangan pada pagar dan menatap ke arah langit. Eden terperangah sejenak dibuatnya, sebelum terdorong oleh spontanitas dan membidikkan kameranya. Satu kali tekan pada tombol jepret dan memori itu pun terekam.

Hasilnya indah, seperti lukisan potongan dunia yang hanya bisa ditemukan dalam angan.

Ephemeral; lasting for a very short time.

Eden menatap foto di tangannya, merasakan ada yang magis dalam gambar itu.

Entah apa, dia sendiri tidak tahu. 





bersambung ke fifth note 

***

Catatan dari Renita: 

sori telat. hari ini gue ada kelas seharian dan baru pulang sekitar jam 7 malam tadi. hope your day is okay, cause today, i'm feeling down, both physically and mentally. 

dalam hidup ini, orang-orang di dekat lo bakal melukai lo dan mereka nggak punya tanggung jawab untuk menyembuhkan luka yang mereka buat. lo harus menyembuhkannya sendiri dan kadang, lo nggak bisa sembuh sepenuhnya. 

but well, people said thats thing about life. tentang melukai dan dilukai. sengaja atau nggak disengaja. yang bisa kita lakukan ya cuma menyabarkan diri menerimanya. 

ea, bacot gue apa banget. 

besok gue ada deadline dan sebetulnya, sempat nggak kepingin ngepost malem ini, tapi para pembaca guardiationship sudah melakukan apresiasi dengan sangat baik di chapter-chapter sebelumnya. gue nggak pernah memasang target vote atau comment, tapi selama respon yang gue dapet berprogress dan jumlah silent readers nggak sebanyak itu, itu sudah cukup buat gue. dan tambahan lagi, nggak ada pembaca guardiationship yang ngode minta update atau demo gue via instagram... soooo. you deserve to get an update. 

btw, buat yang udah dengerin DMUMT album, lagu favorit kalian yang mana nih? wkwkwk gue suka sama yang smile on my face dan damage. huhuhu. tapi bridge acapella di tempo juga bagus banget dong. 

jadi... menurut kalian, gimana dengan chapter ini? ada teori apa ke depannya? wkwkwk 

oke deh, karena udah kemaleman, sekian dari gue. makasih sudah membaca dan semoga hari kalian selalu baik. 


Semarang, November 5th 2018 

21.25

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top