first note

At exactly which point do you start to realize,

that life without knowledge is death in disguise?

—Talib Kweli—

*

"Yas."

Boro-boro menoleh ketika dipanggil, cewek berambut pendek sebahu dengan poni yang duduk di samping Eden malah membalik halaman buku yang dia baca.

"Yas."

Cewek itu masih saja mengabaikan Eden.

"Yas, kalau lo kayak begini, nanti kuping lo diambil Tuhan beneran, loh."

Yasmine mendengus keras mendengar ucapan Eden, mau tidak mau menengok ke samping dengan bibir mengerucut. Jelas cewek itu masih ngambek dan Eden tahu kenapa. Kemarin, setelah sesi pertandingan tim yang mau Yasmine tonton selesai, cewek itu tidak langsung meninggalkan stadion kampus. Dia tetap tinggal di dalam sambil sibuk celingukan mencari Eden hingga akhirnya menemukan sosok temannya itu duduk diantara kerumunan anak-anak Teknik Kimia. Soal tempat duduknya sih bukan masalah, sebab supporter yang tidak berasal dari departemen manapun yang sedang berlaga bebas memilih tempat, namun yang bikin Yasmine kaget adalah kehadiran cowok jangkung super ganteng yang duduk di sebelah Eden.

Dia sudah bertanya berkali-kali pada Eden tentang siapa cowok itu, dan bukannya memberi penjelasan yang patut, Eden cuma bilang, "kagak tahu, mungkin alien gila yang jatuh dari bulan."

Makin penasaran sekaligus kesal jadinya Yasmine.

"Apa?" Yasmine akhirnya bertanya malas.

"Lo masih ngambek soal yang kemarin-kemarin?"

"Lagian gue nanya gituan doang kenapa nggak mau dijawab, sih?!" Yasmine menutup bukunya dengan dongkol, lalu matanya disipitkan, memandang pada Eden dengan penuh kecurigaan. "Jangan-jangan cowok yang kemarin tuh gebetan baru lo ya?! Terus lo nggak mau cerita ke gue karena takut gue tikung?! Yaelah, lo nih, gue tuh emang penggemar nomor wahid semua makhluk yang punya tampang tampan, tapi gue juga masih punya kode etik, kali! Gue nggak bakal makan temen gue sendiri!"

Seruan Yasmine yang kelewat keras langsung mengundang suara ssttt kompak dari pengunjung perpustakaan lain yang duduk di sekeliling mereka. Iya, sekarang Yasmine dan Eden tengah berada di perpustakaan kampus. Eden bukan penyuka buku, sebetulnya. Novel yang dia tamatkan bisa dihitung jari jumlahnya. Dia lebih suka baca komik dan ternyata, perpustakaan kampus punya cukup banyak koleksi komik. Oleh sebab itu, mereka ada di sini sekarang, sekalian mengisi waktu karena dosen yang tidak jadi mengajar gara-gara suatu urusan.

"Berisik banget deh lo."

"Sori-sori." Yasmine meringis. "Tapi gue masih mau tahu ya soal cowok ganteng yang kemarin. Dia gebetan lo? Anak mana? Lo harus jawab sebelum gue mati kepo!"

"Amit-amit gue punya gebetan kayak dia."

"Lah, kok gitu?"

"Dia tuh ya..." Eden belum mulai bercerita soal Rasi dan karakter ajaibnya, tapi entah kenapa hanya dengan membayangkan saja sudah bikin dia lelah duluan. "Pokoknya nggak bisa digambarkan dengan kata-kata, deh. Ganteng, sih. Cuma gue nggak yakin bakal ada cewek yang kuat lama-lama berada di dekat dia. Kalau lo naksir, coba embat aja. Meski kayaknya lo juga nggak setangguh itu untuk bisa menghadapi orang kayak dia."

"Emang dia tuh kenapa?"

"Gue nggak bisa menggambarkan gimana karakternya. Pokoknya absurd banget, gue yang cewek aja malu. Padahal lebih wajar kalau cewek yang gitu."

"Kenapa sih? Dia pake lip gloss atau gimana? Atau diam-diam kolornya warna pink?"

"Yeu, nggak gitu juga, Yas! Lagian apa pasal gue ngelihat-lihat kolor dia? Intinya begitu. Dia bukan gebetan gue dan gue nggak yakin gue bakal ketemu dia lagi."

"Dia anak kampus sini, kan? Kemarin dia pake jaket varsity."

Eden mengangguk. "Anak musik. Nggak dekat-dekat amat sama departemen kita. Untungnya gitu. Gue kebetulan ketemu dia di depan stadion. Terus dia narik gue masuk dengan paksa. Jadilah, gue sama dia sebelahan sepanjang pertandingan. Tapi habis itu ya nggak ada apa-apa lagi."

"Buset, agresif juga tuh orang."

"Daripada agresif, lebih pas dibilang kurang ajar." Eden mengoreksi. "Kalau dia nggak ganteng, mungkin dia udah digebukin sama warga sekampung dari masih fetus."

Yasmine tertawa kecil. "Jadi gitu doang?"

"Iya."

"Oh, yaudah. Udah nggak kepo lagi gue."

Ucapan Yasmine membuat Eden merasa lega. Cewek itu hanya satu-satunya teman yang dia punya di kampus dan kelas, itu pun gara-gara mereka kebetulan bertemu ketika verifikasi data mahasiswa baru. Jika tidak, mungkin sampai sekarang Eden belum punya teman. Anak-anak di departemen mereka terlalu individual dan hanya akan saling bicara ketika ada perlunya, sangat berbeda seperti teman-teman Eden ketika dia masih SMA.

Yasmine melanjutkan membaca buku, membiarkan Eden melamun sejenak sampai cewek itu merasa bosan dan memutuskan beranjak dari duduk menuju salah satu deretan rak yang memuat puluhan komik. Eden mencari-cari diantara komik yang terjejal selama beberapa saat, berhenti pada satu judul. Dia mengulurkan tangan untuk menarik komik itu keluar dari rak, bertepatan dengan tangan seseorang dari arah berlawanan yang juga bermaksud meraih komik yang sama.

"Eh?" Eden mengernyit heran, menoleh hanya untuk mendapati seraut wajah cowok yang tidak ramah tengah memandangnya masam.

Itu cowok yang main futsal waktu itu!

"Sori, tapi gue melihat—"

"Lo... cewek yang—ah, nevermind." Cowok itu batal bicara, malah melotot galak pada Eden. "Lepasin bukunya."

"Loh, kan gue yang lihat duluan?"

"Gue yang megang duluan."

Intonasi yang cowok itu gunakan saat bicara bikin Eden kesal. "Nggak bisa gitu, dong."

"Terus mau ngapain? Mau nyuruh gue ngalah karena lo cewek dan gue cowok jadi apa-apanya harus ladies' first? Sori, tapi nggak bisa. Ini jaman egaliter. Jaman persamaan. Sekarang, lepasin bukunya karena gue duluan yang megang."

"Nggak mau!" Eden berbisik keras, sama ngototnya.

Cowok itu menyipitkan mata, lalu memandang pada kepala Eden dengan sorot datar. "Ugly."

"Apaan dah?"

"There's something ugly on your head." Cowok itu menunjuk puncak kepala Eden dengan tangannya yang tidak memegang komik.

"Hng... apaan?" Refleks, Eden menyentuh puncak kepalanya sendiri untuk meraba-raba. Memang ada apa di kepalanya?

"Nah, itu. Agak ke kanan."

"Sebelah sini?"

"Dikit lagi."

Eden mengikuti instruksi cowok bermuka masam itu dengan serius, tidak sadar bahwa itu hanya taktik yang digunakan cowok tersebut untuk melonggarkan kewaspadaan Eden dalam mempertahankan komik yang dia klaim. Dalam sekejap, dia menyentak komik itu dari tangan Eden dan menariknya, lantas mendekapnya seakan-akan benda itu adalah horcruxnya yang paling rahasia. "Gue menang."

Eden melotot. "Lo ini ngapain, sih?! Lo bohongin gue ya?!"

"Sedikit siasat cerdas untuk mengelabui orang yang ternyata nggak pintar-pintar amat kayak lo." cowok itu mencibir, membuat Eden kian geram. "Tapi emang ada sesuatu yang jelek di kepala lo, sih."

"Apaan?! Daun kering?"

"It's your hair."

"What?"

"It's your hair that ugly."

Eden melotot, spontan berkacak pinggang. "Heh, balikin nggak komiknya?!"

Seru Eden kontan disambut oleh beberapa detik paduan suara bernada ssstttt dari pengunjung perpustakaan lain yang merasa terganggu oleh suara kerasnya.

"Udahlah, ngalah aja. Nggak ada yang bisa menang melawan Sabda." Cowok yang ternyata bernama Sabda itu terkekeh jahat, lalu menjulurkan lidahnya pada Eden sebelum berbalik dan berjalan kembali ke mejanya sendiri. Eden berdiri di sana, menontonnya dengan tangan terlipat di dada, lalu melepaskan rutukan kesal ke udara.

*

Gara-gara Sabda, mood Eden selama sisa hari itu jadi berantakan. Segalanya tidak membaik ketika kemudian dia harus pulang sendirian karena Yasmine harus menghadiri pertemuan perdana unit kegiatan mahasiswa yang dia pilih. Sorot cahaya matahari siang menjelang sore terasa panas di rambut Eden ketika dia berjalan menuju halte bus yang terletak tidak jauh dari pintu depan gedung departemennya. Untungnya, halte itu kosong, jadi Eden tidak perlu merasa awkward duduk sendirian diantara orang-orang yang dia kenal.

Sambil menunggu bus, cewek itu mengeluarkan ponselnya, berniat main game untuk membuang waktu. Lima menit lewat tanpa masalah, hingga tiba-tiba saja dia mendengar seruan seseorang dari kejauhan, yang membuat alarm radar pendeteksi bahayanya langsung berbunyi keras. Eden menelan ludah, memandang ke seberang jalan dan merasa ingin menghilang saja dari sana ketika tahu siapa yang barusan memanggilnya.

Itu Rasi.

"Heaven!"

"Nggak kenal... nggak kenal... nggak kenal..." Eden bergumam berkali-kali.

"Heaven!"

Dia ingin kabur, tapi Rasi sudah terlanjur menyeberang jalan dan mendekatinya dalam langkah-langkah lebar. Jika sudah terjebak dalam situasi macam ini, ingin rasanya Eden lebur dengan besi bangku halte saja sekalian.

"Pait... pait... pait... pait..."

"Nah, benar kan, ini memang lo!" Rasi berseru gembira ketika dia telah tiba di halte, lantas tanpa aba-aba, cowok itu duduk di sebelah Eden. "Kok dipanggil nggak jawab, sih?"

"Sori, emang kita kenal ya?"

"Lo nggak pintar bohong, girly. Try harder later."

Eden menghela napas panjang. "Ngapain lo di sini dan kenapa lo manggil gue dengan sesuatu yang bukan nama gue?"

"Eden is basically a heaven." Rasi menjawab. "I call people the way I want to and I want to call you 'Heaven'. It sounds nice, though. Surga itu tempat indah. Harusnya lo merasa tersanjung, yah walau lo masih kalah indah dari... well, nggak usah disebut lah ya. Gue nggak mau sombong meskipun kenyataan mendukung gue untuk sombong."

"Oh." Eden memandang Rasi dengan tatapan yang kalau diterjemahkan kira-kira akan berarti: I'm so done with you, boy.

"Lo punya aplikasi taksi online nggak?"

Kening Eden berkerut pada pertanyaan Rasi yang tiba-tiba. "Kenapa emangnya?"

"I lost my phone. Ketinggalan di taksi online tadi pagi. Udah nyoba nyari taksi konvensional, tapi nggak nemu-nemu. Gue nggak bisa naik bus. Tanpa aplikasi taksi online, gue nggak bisa pulang."

Eden memutar bola matanya. "Lo nggak ada teman lain apa gitu ya di kampus?"

"Lupa. Ketika gue mau balik lagi ke kampus, gue lihat lo duduk sendirian di sini. So alone. So lonely. Gue jadi nggak tega, makanya gue temenin—sekalian, kalau lo punya aplikasi taksi online, mau minta tolong dipesenin taksi." Rasi membalas lagi, kali ini sambil nyengir.

Oke, tidak tahu kenapa cengiran itu selalu bisa membuat Eden agak luluh.

Inilah susahnya ngehadapi orang yang nyebelin, tapi ganteng, Eden mengeluh dalam hati.

"Please?"

"Nih." Akhirnya, Eden mengulurkan ponselnya pada Rasi yang langsung bertepuk tangan dengan wajah gembira. Cowok itu membuka aplikasi taksi online Eden, mengatur titik jemput dan titik antar, kemudian menjawab telepon yang masuk tidak lama kemudian. Usai memastikan driver taksi yang didapatnya tahu letak titik jemput, Rasi mengembalikan ponsel Eden.

"Thankyou, Heaven."

Eden hanya mengangguk sekenanya, lalu sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Duh, kenapa bus-nya nggak dateng-dateng ya?

"Lo tunggu di sini sampe taksi gue datang ya? Gue nggak nyaman duduk nunggu sendirian di tempat yang sesepi ini. It feels very lonely."

Eden menoleh, hampir saja balik mengatai Rasi anak manja ketika tatapan mata cowok itu membuatnya terdiam. Sorot mata Rasi kelihatan jujur. Jadi, Eden tidak punya pilihan selain mengangguk setuju.

Hening sesaat diantara mereka, hingga ponsel Eden berbunyi tiba-tiba. Itu bukan telepon dari driver taksi yang sedang Rasi tunggu, melainkan dari Mama. Tanpa buang waktu lebih lama, Eden menjawabnya.

"Halo, Ma. Kelasnya udah selesai, ini lagi di halte, nungguin bus. Hah? Ke laundry yang biasa? Bisa aja sih, Ma, tapi kan di dekat-dekat sana nggak ada halte bus. Nantinya aku harus pulang naik taksi. Hng... nggak apa-apa, sih. Ah—oke, yaudah. Oke. Iya, Ma. Love you too."

"Was that your mom?" Rasi bertanya setelah percakapan telepon itu diputus.

"Iya. Mama minta tolong gue buat ngambil seprei dari tempat laundry, tapi di dekat-dekat sana nggak ada halte, jadi otomatis gue susah balik naik bus."

"Naik taksi online aja kalau gitu."

"Gue nggak suka naik taksi online, atau transportasi umum apa pun yang bentuknya kayak personal banget gitu."

"Takut diculik ya?"

Eden cemberut pada Rasi. "Lo kira gue anak SD?!"

"I didn't say that." Rasi terkekeh, matanya jatuh pada jepit warna-warni yang hari ini masih menghias rambut Eden. "Cuma, gue nggak pernah melihat mahasiswa yang pake jepit super colorful kayak gitu."

"Yaudah, gue lepas aja."

"Don't. You look cute with that hair pins."

Lagi-lagi... senyum Rasi bikin Eden bingung harus berbuat apa...

"Mama lo kedengarannya cerewet." Rasi bicara lagi, yang dibalas Eden dengan anggukan pasti.

"Banget. Mama tuh bawel banget, hobi ngomel melulu. Seprei kasur berantakan sedikit, ngomel. Gue nyisain makanan sedikit, ngomel. Gue ngebiarin handuk yang habis dipake mandi tergeletak di kasur sebentar, ngomel. Gue balik telat, ngomel. Gue lupa balas WhatsApp, ngomel. Ngomeeeeeeeeel terus. Ini tuh gara-gara gue anak tunggal, jadi Mama nggak punya sasaran omel lain. Kadang suka capek." Eden berkisah dengan berapi-api, membuat Rasi tertawa kecil sebab kata-kata cewek itu memancing sepotong kenangan dari masa lalunya untuk lewat tanpa permisi.

Itu bukan kenangan yang bombastis-bombastis banget, sebetulnya. Hanya pecahan peristiwa pada suatu pagi di akhir pekan. Rasi lagi nonton film kartun waktu Sabda masuk ke ruang tengah dan melemparkan bedcover bau sabun deterjen ke wajahnya.

"Mama bilang, rapiin kamar kamu. Sekalian, bedcover yang lama dicopot, diganti sama ini."

"Nanti."

"Sekarang, Rasi!"

"Antek-anteknya Mama nih bawel banget ya?" Rasi akhirnya menoleh dari layar televisi yang sedang menayangkan wajah Elmo. "Kenapa juga aku harus rapiin kamar aku buru-buru? Besok juga berantakan lagi."

"Mama udah tahu kamu bakal bilang gitu, jadi aku bakal mewakilkan jawaban dari Mama." Sabda berdeham sebagai persiapan untuk meniru intonasi yang biasa Mama gunakan saat bicara tegas. "Menggunakan situasi yang sama, kenapa Mama harus ngasih makan kamu kalau suatu hari nanti juga kamu bakal mati?"

Rasi bangkit dari duduknya. "Oke. Aku ngerti. Sini bedcovernya."

"Kenapa lo malah ketawa?" tanya heran Eden membuat lamunan Rasi pecah berantakan.

"Nggak apa-apa. Lucu aja."

"Nggak ada yang lucu dari punya Mama yang hobinya ngomel sepanjang waktu setiap saat ngalah-ngalahin reksona!" Eden berseru sambil melipat tangan di dada. "Untung, Mama nggak sesering itu ada di rumah. Coba kalau iya, buset, bisa gila deh gue!"

"Lucu, karena sudah lama sekali sejak terakhir kali gue diomelin Mama dan sekarang, cerita lo justru bikin gue makin kangen sama dia."

Kata-kata Rasi berhasil membuat Eden terdiam sejenak. "Nyokap lo... emang kenapa?"

"My mom passed away when I was 14."

"Sori."

"Nggak apa-apa, kok." Rasi terkekeh sebelum bangkit dari duduk dengan wajah super antusias ketika melihat sebuah mobil hitam muncul dari belokan jalan dan berhenti di depan halte tempat mereka duduk menunggu. Kaca depan mobil itu diturunkan, memunculkan seraut wajah laki-laki setengah baya yang terkesan ramah.

"Mbak Kisa?"

"Kisa?" ada kerut muncul diantara kedua alis Rasi kala dia menoleh pada cewek di sebelahnya. "Who's Kisa?"

"Nama gue."

"WAIT, YOU'RE KISA?!"

"Iya. Kenapa?"

Rasi tertawa keras, tapi kemudian ekspresi wajahnya berubah jadi penasaran. "Why Kisa?"

"Itu nama gue."

"Isn't it Eden?"

"Nama lengkap gue Kisa Eden Philomena." Eden menjelaskan. "Udah sana masuk! Kasian bapak drivernya nunggu lama."

"Come with me."

"Apanya?"

"Tadi lo bilang lo harus ngambil laundry dan dari sana, lo nggak bisa pulang naik bus. Sama gue aja sekalian. Nanti gue antar lo ke laundry dan ke rumah lo." Rasi menyahut lugas, lalu berpaling pada driver taksi yang masih menunggu. "Nggak apa-apa kan ya, Pak? Tenang aja, nanti saya lebihin banyak ongkosnya. Kasihan, teman saya nih takut diculik kalau naik taksi sendirian."

"Nggak apa-apa kok, Mas."

"Gimana?"

"Lo nggak harus sampai segitunya."

"Maunya sih gitu. But I don't know why, man. Leaving you alone here doesn't feel right."

Eden membisu, sibuk berpikir.

"Come on, Heaven."

Cewek itu menatap bergantian pada Rasi dan driver taksi, lalu mengembuskan napas pelan dan mengangguk. Bukan hanya karena dia punya firasat jika Rasi itu keras kepala, tapi juga karena... kata-kata cowok itu terdengar tulus. Eden merasa tidak enak menolak niat baik seseorang—walau dari karakternya, Rasi lebih tepat disebut alien daripada orang.

Hari itu, Rasi mengantarnya ke laundry langganan Mama, lalu menurunkannya di depan pintu pagar rumah.

"Jadi, ini rumah lo?"

"Iya. Jangan dicatat alamatnya. Jangan dikirimin teror kayak surat kaleng. Teman kuliah yang tahu rumah gue cuma Yasmine. Jadi kalau ada paket aneh-aneh yang datang, gue bakal langsung tahu kalau itu dari lo."

"Gue... teman kuliah lo?"

"Oh, nggak, deng. Gue lupa."

"Gue akan beranggapan gue nggak mendengar itu." Rasi terkekeh sebelum mengulurkan tangan dan menepuk puncak kepala Eden dengan tangannya yang lebar, seperti seseorang yang sedang menepuk kepala anak anjing, kemudian katanya, "See you later, Heaven."

*

Satu kebiasaan Setra yang telah dihapal baik oleh orang-orang yang bekerja dengannya dalam sebuah sesi pemotretan adalah cowok itu biasa membeli segelas iced jasmine tea di kafe lantai bawah gedung sebelum dirias. Hari ini pun tidak jauh berbeda. Usai meletakkan tas di sofa ruang rias dan meminta maaf karena sudah terlambat gara-gara kelas yang molor lebih lama dari biasanya, Setra turun menuju kafe langganannya. Tidak banyak orang di sana sore-sore begini, jadi Setra tidak perlu menunggu lama.

"Es teh lagi nih, Tra?"

Setra nyengir pada petugas kasir kafe di depannya. "Iya."

"Tumben datengnya sore banget."

"Dosennya ngajar lebih lama dari biasanya, Kak. Jadi rada molor." Setra meringis, mengulurkan selembar uang yang kemudian ditukar dengan segelas iced jasmine tea lengkap dengan uang kembalian. Cowok itu mengucapkan terimakasih, lalu berbalik untuk dibikin terkesiap sejenak oleh sesosok gadis berambut panjang di belakangnya.

Gadis itu tidak seberapa tinggi, terutama jika dibandingkan dengannya, namun sorot matanya yang penuh keyakinan dan percaya diri super tinggi membuat siapapun tidak akan meremehkannya. Dia kelihatan dingin dan sederhana dengan setelan hitam tanpa tambahan aksesoris berlebihan, tetapi ada sesuatu dalam auranya yang terkesan sangat berkelas.

Mungkin dia model baru, Setra membatin seraya berjalan menjauh. Dia baru berniat menyedot tegukan pertama ketika suara obrolan gadis itu dan petugas kasir kafe tidak sengaja terdengar.

"Iced jasmine tea satu ya, Winny."

"Wah, sori banget, Mbak Sre, tapi iced jasmine tea yang tadi itu iced jasmine tea yang terakhir. Stok jasmine tea, black tea dan green tea hari ini udah abis."

"Oh, oke. Kalau gitu nggak jadi, deh. Thanks." Gadis itu—yang ternyata bernama Sre—membalas pendek, kemudian memutar tubuh dan dibikin terpaku sebentar karena kehadiran Setra. "Excuse me?"

Setra mengulurkan minuman dingin di tangannya. "Belum saya minum. Kamu boleh ambil ini."

"What?"

"Kamu boleh ambil ini."

Wajah Sre diwarnai oleh kebingungan, namun dia menerima gelas berisi teh dingin yang disodorkan Setra. Dia tidak mengerti apa maksud Setra dan masih terdiam bahkan ketika Setra berjalan pergi meninggalkannya untuk kembali ke ruang rias. Setra sendiri tidak paham kenapa dia tergerak melakukan tindakan itu.

Cowok itu hanya berpikir jika dia sudah minum cukup banyak es teh hari ini dan tidak ada salahnya memberikan es teh itu buat Sre.

Lagipula, ekspresi muram yang membayangi wajah Sre membuat Setra berpikir bahwa sekarang, Sre mungkin lebih butuh es teh itu daripada dia.

Konyol sekali, seakan-akan masalah es teh bisa seserius itu, namun yah, Setra hanya merasa itu adalah sesuatu yang tepat untuk dilakukan.

"Katanya mau beli minum, Tra."

"Es tehnya habis." Setra beralasan. "Jadi untuk hari ini ada konsep khusus atau nggak, Mbak?"

"Nggak ada, cuma aku rasa proses riasnya bakal agak lama karena butuh detail di sekitar mata. Sori banget nih, tapi kayaknya kamu bakal perlu pake eyeliner hitam dengan cukup intense. Nggak apa-apa, kan?"

"Do I have another choice?"

"Nggak."

Setra tertawa, kemudian duduk menghadapi vanity mirror berhias lampu-lampu bulat kekuningan. "Then, just go ahead, Mbak."

Periasnya adalah seorang perempuan muda bernama Alisha dan Setra biasa memanggilnya Mbak Ali. Dia salah satu perias terbaik yang dimiliki perusahaan sekaligus yang paling sering merias Setra dalam sesi pemotretan. Dia baik, sering mengajak Setra ngobrol di sela-sela pekerjaannya dan selalu jadi yang pertama menyadari perubahan suasana hati Setra. Terkadang, Setra bercerita padanya jika ada masalah-masalah yang menurutnya terlalu melelahkan untuk disimpan sendiri. Jadi tentu saja, Mbak Ali tahu sedikit-banyak soal hubungan Setra dengan kedua adik laki-lakinya.

Satu jam telah berlalu dan Mbak Ali baru mempersilakkan Setra untuk membuka mata ketika dia mendengar suara seorang gadis bicara di belakangnya.

"So, he's the model?"

Lewat cermin, Setra tahu jika yang bicara barusan itu adalah gadis yang ada di kafe tadi.

"Iya. Model lepas dan nggak bekerja penuh waktu, tapi dia salah satu wajah yang familier bagi konsumen produk-produk dari online mall kita." Mbak Ali membenarkan. "Setra, ini Sre. Sre, ini Setra."

"Sudah ketemu tadi."

"Iya." Sre mengiakan. "Oke. Aku harus siapin koleksi yang mesti dia pake. Riasannya sudah tepat. Seperti biasa, Mbak Ali nggak pernah mengecewakan. Dan Setra, untuk es teh yang tadi, thank you. It means a lot for me."

"Bukan masalah."

Sre mengedikkan bahu, kemudian berbalik dan berjalan menjauh sementara Mbak Ali memandang pada Setra dengan penuh arti.

"Tadi katanya es tehnya habis?"

"Memang habis, Mbak." Setra tertawa geli, sengaja pura-pura tidak mengerti makna di balik tatapan Mbak Ali dan beranjak untuk pergi ke ruang ganti. Awalnya, Setra mengira Sre itu pekerja baru di tim wardrobe, namun ternyata gadis itu tidak ada di sana. Dia baru muncul lagi saat pemotretan dimulai, sibuk berdiri di belakang deretan kamera dan peralatan lighting beragam rupa. Airmukanya terlihat gugup. Sesekali, Sre menggigit kuku jarinya yang bersih dari polesan pewarna.

Satu jam kurang telah berlalu ketika secara mendadak, Sre berjalan menghampiri fotografer dan membisikkan sesuatu yang bersambut anggukan.

"Let's wrap it up."

Setra jadi bingung, karena selama ini, dia selalu menghabiskan setidaknya satu jam untuk satu sesi pemotretan dan sore ini secara tiba-tiba, mereka mengakhirinya begitu saja. Namun dia tidak banyak bicara dan menurut ketika mereka menyuruhnya mengganti pakaiannya dengan pakaian normal. Mbak Ali telah menunggu di dekat kursi rias ketika Setra keluar, siap membantunya menghapus sisa riasan yang masih menempel di wajah. Itu perlu dilakukan, sebab jika tidak, Setra akan jadi pusat perhatian orang-orang sepanjang perjalanan pulang.

"Kamu kelihatan bingung. Kenapa?" Mbak Ali tiba-tiba bertanya sebelum Setra menutup matanya supaya perempuan itu bisa lebih mudah membersihkan jejak eyeliner hitam di sana.

"Aku baru melakukan kesalahan ya?"

"Kenapa kamu mikirnya gitu?"

"Biasanya, untuk satu sesi pemotretan bisa makan waktu minimal satu jam. Ini belum satu jam. Kenapa pemotretannya sudah diselesaikan?"

"Bukan gitu. Hari ini, sesinya memang diakhiri lebih awal karena keluarga bos kita masih berduka."

"Berduka?"

"Anak bungsunya bos baru meninggal."

"Oh." Setra mengangguk paham, lalu sesuatu yang lain menarik perhatiannya. "Cewek yang namanya Sre tadi... dia siapa?"

"Kamu nggak kenal dia?"

Masih dengan mata yang terpejam, Setra menggeleng. "Dia siapa?"

"Shrea Elvakumari." Sahut Mbak Ali. "Dia anak tengahnya bos, sekaligus desainer untuk koleksi yang tadi kamu pake."

Setra membuka mata, jelas kelihatan kaget. "Dia... desainer?"

"Salah satu yang termuda. Belum jadi desainer kawakan seperti kebanyakan desainer populer di negara ini karena masih kuliah, tapi jelas prospek karirnya cerah. Dia lebih muda dari kamu... setahun atau dua tahun mungkin? Mbak nggak pernah benar-benar memastikan."

"Ah, jadi itu alasannya."

"Apanya?"

"Dia kelihatan muram banget di kafe hari ini. Sekarang aku tahu kenapa."

"Yah, apa yang terjadi sama adiknya memang nggak terduga." Mbak Ali mengiakan, kemudian meletakkan kapas yang telah penuh noda hitam ke atas meja rias. Setra tetap diam, tetapi jelas ada lega yang mengaliri dadanya.

Dia tidak berbuat kesalahan apa-apa sore ini.

*

Hening menyapa Eden begitu dia membuka pintu depan. Wajar, karena kalau berisik, Eden malah cemas dia salah masuk rumah. Kedua orang tuanya adalah pekerja yang sangat berdedikasi pada bidang masing-masing bahkan sejak dia masih kecil. Ayahnya adalah seorang dokter bedah yang tidak punya jam pasti dalam bekerja. Dia bisa saja dipanggil sewaktu-waktu ke rumah sakit jika situasinya darurat. Ibunya adalah salah satu perfumer di sebuah perusahaan kosmetik asing yang beberapa tahun belakangan membuka kantor dan pabrik baru di Indonesia. Mereka berdua sangat sibuk hingga Eden bisa ingat berapa hari dalam setahun keduanya bisa benar-benar tinggal di rumah. Waktu Eden lebih kecil, neneknya atau tantenya sering datang, walau dia lebih banyak ditemani oleh pengasuh. Sekarang, Eden dianggap sudah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri, jadi kedua orang tuanya tidak khawatir meninggalkannya sendirian di rumah. Terkadang, malah bisa sampai berhari-hari.

Cewek itu meletakkan kantung plastik besar berisi bedcover, seprei dan beberapa helai jas laboratorium yang masih bau pewangi binatu ke atas sofa dan naik ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Sore telah menjelang. Sorot jingganya masuk dari jendela yang terbuka, mencipta bayangan estetik di tembok polos berwarna merah muda. Sambil berjalan, Eden melepas jepit-jepit yang tersemat di sisi kepalanya, lalu meraih kenop pintu dan...

Dia dibikin menjerit tertahan secara refleks ketika melihat ada seseorang sedang duduk di kursi belajarnya. Orang itu memunggunginya, namun langsung menoleh dalam hitungan sepersekian detik setelah mendengar suara pekikannya. Lalu dengan tidak kalah dramatis, penyelinap aneh itu—yang ternyata sesosok cowok remaja seumuran Eden—ikut memekik keras. Seperti paduan suara, lengking suara mereka saling beradu hingga telinga Eden terasa sakit.

"Oke, tunggu." Eden menutup mulutnya sejenak, memiringkan wajah dan menyipitkan mata untuk menatap penyelinap itu lebih teliti. "Lo... gue kayaknya kenal sama lo... lo... Emir?"

Sosok yang disebut Emir itu ikut menutup mulutnya untuk membungkam jerit yang tidak mau berhenti terdengar, lantas manggut-manggut sambil tersenyum ramah. "Hai, Kisa."

Eden tidak terlalu dekat dengan Emir, tapi dia tidak lupa wajahnya dan fakta jika Emir itu teman sekelasnya waktu masih SMP dulu.

"Ngapain lo di sini dan gimana lo bisa masuk ke kamar gue karena setahu gue, rumah ini terkunci dan yang punya kuncinya hanya gue, nyokap gue dan bokap gue?!"

Emir malah mengernyit sambil menghitung dengan jari-jarinya, tapi kemudian dia menyerah. "Tadi itu ada berapa pertanyaan ya?"

"Oke, ringkasannya aja deh, gimana bisa lo ada di sini?"

"Gue bisa jelasin."

"Bagus, karena gue sedang menunggunya sekarang."

Emir bangkit dari kursi yang dia duduki, lalu meringis. "Jadi... gini..."

"Iya?"

Cowok itu justru kian gugup. Dia meremas-remas jarinya dengan bingung sebelum akhirnya berbalik dan memandang ke langit-langit kamar Eden yang dicat warna kuning gading. Suaranya terdengar hopeless sekaligus memelas ketika dia bicara. "Gue harus menjelaskannya sendiri nih? Nggak ada bantuan? Gue nggak tahu ketentuan kalian gimana, tapi gue ini masih newbie. Masih pemula. Ibarat kata penyu, gue baru menetas dari telur dan langsung dilepas ke laut. Gue butuh diajarin dulu gimana caranya berenang!"

Eden jadi bingung siapa yang sedang Emir ajak bicara, sebab jelas itu bukan dirinya karena sekarang Emir memunggunginya.

"Emir, lo masih... waras, kan?"

Emir memutar tubuh untuk kembali menghadapi Eden, siap membuka mulut dan melontarkan seribu alasan kenapa Eden harus percaya dia masih waras ketika tiba-tiba saja langit-langit kamar Eden terbuka secara dramatis, seperti sebuah tas yang punya zipper. Spontan, Eden tersentak ke belakang hingga hampir jatuh terduduk. Sejak kapan langit-langit kamarnya bisa punya kemampuan tidak jauh beda dengan langit-langit kamar Squidward Tentacles dalam serial kartun Spongebob Squarepants?!

Rasa takjub, kaget serta ngeri Eden belum habis saat sebuah buku tebal dijatuhkan dari sana, menciptakan suara berdebam super keras.

"Oke, makasih. Seenggaknya sekarang gue nggak bingung-bingung amat." Emir mengangguk takzim pada langit-langit kamar Eden yang kini kembali menutup, lalu memungut buku tebal yang mengingatkan Eden pada kitab suci Sun Go Kong dari lantai. "Hm... pertama-tama, mari kita cari tahu soal—lah tunggu. Ini kok bukunya kagak bisa dibaca, sih?!" sempat senang sejenak, Emir lagi-lagi dibikin kembali frustrasi.

"Um... Emir..."

"Gue bisa melakukan ini, Kisa! Gue bisa! Tunggu! Gue akan menjelaskannya pada lo!"

"Bukan itu..."

"Terus apa?"

"Terang aja bukunya nggak bisa dibaca, geblek! Lo megangnya kebalik!"

"OH, MASA?!" cepat-cepat Emir membalik buku itu dan senyum cerahnya kembali terkembang. "Oh iya, ternyata kebalik. Hahaha, oke, mari kita cek poin-poin penting apakah di dalam buku ini yang bisa membantu gue menjelaskan semuanya pada lo tanpa mesti khawatir lo bakal menganggap gue sinting atau lebih parahnya, menganggap gue memedi yang bisa diusir pake ayat kursi."

Eden bertolak pinggang dengan dahi berlipat-lipat. Bukannya memberi titik-terang, tingkah laku Emir malah bikin dia makin bingung. Didorong rasa penasaran, Eden menatap pada sampul buku setebal modul anak kedokteran yang sedang Emir pegang dan membaca judul yang tertera di sampulnya menggunakan huruf kapital.

BUKU SAKTI GUARDIAN ANGEL: PANDUAN LENGKAP MENJADI GUARDIAN ANGEL YANG BAIK DAN BENAR.

BONUS: DVD SIMULASI DAN TIPS SINGKAT UNTUK MENJADI GUARDIAN ANGEL TELADAN

"Tunggu dulu. Gue nggak ngerti. Maksud ini semua tuh apaan, sih?!" Eden mulai kehabisan kesabaran dan lelah terjebak dalam kebingungan.

"Sekarang gue ngerti sedikit soal bagaimana caranya menjelaskan pada lo... secara singkat." Emir mengalihkan pandangan dari lembar bukunya. "Jangan kaget dulu, oke. Gue bakal menjelaskan semuanya."

"Iya, apa?"

"Janji dulu, pokoknya lo nggak boleh kaget!"

"Iye, dah! Buruan sekarang jelasin sebelum gue kehilangan kesabaran!"

"Jadi gini, pertama-tama... ini nggak boleh kaget loh ya... sebenarnya, gue sudah bukan manusia lagi sejak seminggu lalu. Gue udah meninggal. Gitu sih manusia biasa menyebutnya, meski situasinya nggak benar-benar tepat seperti itu."

Eden mengangkat salah satu alis sambil masih tetap membisu.

"Kok nggak kaget, sih?"

"OMG!" Eden berseru mendadak, seakan-akan ada bagian di otaknya yang rada korslet sehingga responnya muncul dengan sangat terlambat. "KALAU LO UDAH MATI, KENAPA LO ADA DI SINI?! LO—LO SETAN?!!"

"TADI KATANYA JANJI NGGAK BAKAL KAGET!!"

Mode heboh Eden terhenti seketika. "Oh, iya. Benar juga, gue udah janji. Sori, abis lo-nya ngingetin. TAPI APA BENERAN LO UDAH MATI?!"

Emir mengangguk. "Iya. Gue udah mati. Cerita gue sebagai manusia biasa udah selesai, tapi gue bukan setan. Seharusnya, setelah ini gue lanjut ke dunia setelah mati, tapi gue nggak bisa karena ada alasan yang nggak gue tahu. Gue diberi pilihan, dilahirkan lagi ke dunia atau jadi guardian angel sampai misi rahasia gue terpenuhi. Waktu yang dibutuhkan untuk jadi guardian angel itu relatif singkat, jadi gue memilih buat jadi guardian angel sementara. Tapi sialnya, gue ditugaskan jadi guardian angel buat lo karena pas-pasan, guardian angel lo yang lama pensiun dini."

"Hah?"

"Iya, gue tahu lo merasa tersanjung. Takdir memang suka sebercanda itu. Waktu jadi manusia, gue nggak sanggup temenan sama anak ceroboh kayak lo, dan lihat sekarang? Gue malah ditugaskan jadi malaikat pelindung lo. Apa banget emang ya."

"Bukan itu. Soal guardian angel gue yang pertama, kenapa dia bisa—"

"Kenapa dia bisa pensiun?" Emir menyambar cepat, tahu pertanyaan Eden bakal berujung ke mana. "Dia pensiun karena capek, soalnya level kesialan lo tuh parah banget dan bakal meningkat seiring dengan semakin tuanya umur lo. Terutama setelah lo berumur delapan belas tahun beberapa bulan lalu. Dia nggak sanggup mengemban tugas jadi malaikat pelindung lo terus-terusan dan memohon pada pihak yang berwenang untuk dimutasi, alias ditugaskan menjaga orang baru aja."

Eden tidak tahu harus tertawa atau sedih karena bahkan guardian angelnya pun menyerah melindunginya. Apakah hidupnya memang... semenyedihkan sekaligus semenggelikan itu?

"Perasaan gue nggak sial-sial amat, deh," Eden berkilah.

"Bakat sial lo gede, sebetulnya. Selama ini, guardian angel lo lembur mulu, sampai lelah dan hingga akhirnya dia menyerah. Sayang, gue bukan guardian angel tetap, jadi gue nggak bisa memilih orang mana yang bisa gue jaga. Yah, sebetulnya bisa sih, tapi dari semua orang yang gue kenal, lo adalah satu-satunya yang punya persentase kerentanan terkena kesialan lebih dari 85%, jadi gue nggak punya pilihan lain."

"Persentase—apa pula itu, hey?!"

"Persentase kerentanan kesialan itu tingkat kesempatan dan kemudahan lo terkena sial. Semua manusia punya itu, bahkan manusia paling beruntung sekalipun. Persentase kerentanan kesialan manusia rata-rata adalah 30%, sedangkan lo memiliki persentase kerentanan kesialan sampai 87%. Tinggi banget, walau belum sampai mecahin rekor."

"Emang rekornya berapa persen gitu?" Eden iseng bertanya, tidak menduga jika untuk menanggapi kata-katanya, Emir bakal menjentikkan jari dan menampilkan layar virtual dadakan yang melayang di udara. Kenyataannya, Emir memang betulan melakukan itu. Sebuah layar besar yang mirip layar tancap bioskop misbar—gerimis bubar—tiba-tiba muncul di tengah-tengah ruangan kamar Eden, menampilkan ilustrasi kartun sesosok karakter bertopi dan berseragam safari dengan nametag 'ROY' di bagian dada pakaiannya.

"Rekor tertinggi persentase kerentanan kesialan manusia adalah atas nama Roy Sullivan, dengan persentase kerentanan kesialan sampai 88%. Dia warga Virginia, Amerika Serikat yang lahir tahun 1912 dan bekerja sebagai jagawana di Taman Nasional Shenandoah. Untungnya, dia punya guardian angel super teladan yang melegenda, jadi meski sial betul sampai-sampai kena sambar petir 7 kali, dia nggak mati. Sayangnya, nggak semua guardian angel seperti itu. Guardian angelnya Roy sendiri menyerah saat Roy sudah berumur 71 tahun, lalu meminta pensiun dari tugas melindungi Roy. Roy jadi frustrasi. Dia pesimis menghadapi hidup penuh kesialan tanpa guardian angelnya, jadilah dia memilih bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri." Emir menjentikkan jari lagi, membuat layar tancap itu lenyap dari pandangan Eden. "Persentase kerentanan kesialan lo mencapai hingga 87%, itu artinya hanya berselisih 1% dari persentase kerentanan kesialannya Roy Sullivan. Sekarang, lo mengerti kalau lo ini benar-benar sedang berada dalam masa darurat tanpa guardian angel, kan?"

"Apa gara-gara ini ya gue ketemu anak-anak sinting melulu dari kemarin?" Eden jadi teringat pada Rasi, juga Sabda yang menyebalkan itu.

"Mungkin."

"Sayangnya, ini semua... kurang ngotak buat gue." Eden berdecak, lalu berpikir sejenak sebelum berseru antusias tatkala sebuah ide yang menurutnya cemerlang melintas di kepalanya. "Ah, gini deh! Kalau lo emang guardian angel, mana sayap lo?"

"Gue belum punya sayap, karena gue belum resmi jadi guardian angel sampai lo bersedia tanda tangan kontraknya."

"Hah, emang pake tanda tangan kontrak segala?!"

"Iya, soalnya gue ini guardian angel pengganti, bukan guardian angel yang memang ditugaskan untuk lo dari lahir. Maka dari itu, kita perlu punya kontrak kesepakatan."

"Terus soal kontraknya gimana?"

Emir menatap lagi pada langit-langit kamar. "Sudah dengar, kan? Sekarang dia butuh surat—" Emir belum sempat menyelesaikan kata-katanya saat langit-langit kamar kembali terbuka seperti tas berzipper dan sebuah map cokelat jatuh dari sana. Emir memungutnya, membuka mapnya dan mengeluarkan isinya yang ternyata beberapa lembar kertas penuh tulisan.

"Ada halaman depan dan pasal-pasal yang menyertai di belakangnya." Emir menyodorkan kertas-kertas itu pada Eden. "Lo bisa baca dulu sebelum tanda tangan."

"Ini tanda tangannya pake pulpen manusia?"

"Nggak. Ada pulpen khusus yang gue punya." Emir menarik sesuatu dari udara kosong yang kemudian berubah bentuk jadi sebatang pulpen berwarna perak. Buat Eden sih, bentuknya nggak jauh beda dengan pulpen mahal yang kerap dipajang dalam kotak kaca di toko buku. "Lo bisa baca dulu sebelum tanda tangan."

"O... ke..."

Eden bingung, dan malah makin bingung ketika dia mulai membaca lembar pertama dari kertas-kertas yang disebut Emir surat kontrak itu.

SURAT PERJANJIAN PERLINDUNGAN

OLEH GUARDIAN ANGEL PENGGANTI

Nomor: SPK-SMB/00888/08/2018

Perjanjian perlindungan ini (selanjutkan disebut dengan "kesepakatan") dibuat dan diadakan serta ditandatangani pada suatu tempat di Bumi, dengan nama resmi Jakarta, pada tanggal 24 Oktober 2018 dan antara:

1. Mantan manusia dengan identitas khusus Emir Novawira yang bertindak sebagai guardian angel dengan misi tertentu yang dirahasiakan.

Selanjutnya, dalam hal ini disebut sebagai "Pelindung".

2. Nama : Kisa Eden Philomena

Umur : 18 tahun

Status Kerentanan Kesialan : 87%

Sejarah Hubungan : Jomblo

Selanjutnya, dalam hal ini disebut sebagai "Terlindung".

(Pelindung dan Terlindung selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai "Para Pihak").

Para Pihak dengan ini setuju dan sepakat mengadakan serta menandatangni kesepakatan ini dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1

Deskripsi Teknis Tugas Pelindung

"Ini gue harus baca semuanya sampai habis?"

"Boleh aja. Terserah lo."

"Panjang bener, buset! Gue baca RPUL aja kagak sampai tamat, masa gue disuruh baca ginian?!"

Emir mengedikkan bahu. "Kalau lo semalas itu, langsung tanda tangan aja."

"Ini... lo nggak lagi bohongin gue kan?"

"Jahat banget lo, mencurigai gue dengan segala prasangka dari hati lo yang busuk dan berbelatung itu!" Emir bersungut-sungut. "Atau lo nggak mau? Gampang, nanti pihak yang berwenang bakal mencari orang lain lagi yang mau gue lindungi. Lo yang malah rugi, karena bakal butuh waktu lumayan lama untuk bisa dapetin guardian angel lain yang mau ambil risiko buat melindungi lo. Yakin, dengan persentase kerentanan kesialan lo yang super tinggi itu, lo bisa bertahan sampai lo dapet guardian angel baru?"

Eden terdiam ragu.

"Gimana?"

"Ya udahlah, nggak rugi juga di gue!" Eden akhirnya memutuskan sebelum meraih pulpen dari tangan Emir dan menggunakannya untuk menandatangani tempat yang disediakan di halaman paling belakang. Emir ikut menandatangani kesepakatan itu pada tempat yang diperuntukkan buatnya, lalu menggulung surat itu dan menyimpannya dalam saku.

"Dengan begini, gue sudah resmi jadi pelindung lo."

"Oke, terus sekarang ngapain?"

"Gue diperkenankan memberi lo saran tentang apa yang harus lo lakukan untuk meminimalisir kesialan yang mungkin menimpa lo nantinya. Semuanya ada dalam lembar instruksi—ah, tunggu, kayaknya gue udah nyimpan—" Emir merogoh saku celananya dan mengeluarkan bon-bon lusuh, tajos karatan, bungkus permen mint yang kelihatannya berasal dari era yang sama di mana Stegosaurus pernah hidup... dan entah barang apa lagi yang seakan tidak habis-habis hingga Eden curiga saku celana Emir itu punya kemampuan tidak jauh beda dengan kantung perut Doraemon.

Cewek itu memandang Emir skeptis, lalu memutar bola mata tanpa bisa ditahan.

"Yap, akhirnya dapat!" Emir berseru lega saat lembar instruksi yang dia cari berhasil dia temukan, lalu dia berdeham supaya terlihat lebih berwibawa sedikit. "Instruksi pertama untuk Kisa Eden Philomena, lo harus bergabung dengan grup penggemar fotografi dan film kampus sebelum akhir minggu ini."

"Hah?"

"Budek ya? Duh, kasian banget, udah sial abis, budek pula." Emir berdecak sambil memasang wajah iba.

"NGGAK GITU!" Eden melotot jengkel. "Grup apa tadi—setahu gue nggak ada grup yang kayak gituan di kampus."

"Instruksi di sini jelas. Pokoknya lo harus bergabung dengan grup itu."

Eden emngerjap. "Tapi grup itu beneran nggak ada!"

Emir mengangkat alis, lalu mengedikkan bahu. "Tertulisnya begini, jadi gue nggak tahu."

Jawaban Emir sama sekali tidak membantu dan malah bikin Eden kian pusing. Gadis itu menghela napas panjang, lalu mengerjap berkali-kali. Dikiranya, dengan begitu dia bisa tersadar dari mimpi buruk ini, namun ketika setiap dia membuka mata sosok Emir—dengan sayap yang sekarang malu-malu muncul di punggungnya—masih tetap ada, Eden langsung menyadari sesuatu;

Ini semua nyata.     





bersambung ke second note 

***

Catatan dari Renita: 

halo. 

eak, kita akhirnya ketemu pada permulaan resmi dari cerita ini. ini belum tanggal 27, tapi karena gue ragu gue bisa posting tanggal 27 lagi, gue posting lagi aja sekarang. 

jadi beginilah pada awalnya gaes, karakter sentral di sini adalah eden dan tiga cowok bonus satu guardian angelnya. 

menurut kalian sendiri so far gimana? 

terussssss... UDAH LIAT TEASERNYA JONGIN SAMA KYUNGSOO BELOM AKDKDKFHFHFHFV

wkwkwk random, i know. 

makasih ya buat yang udah komen di chapter-chapter sebelumnya. sangat berkontribusi terhadap baiknya mood gue saat mengetik ini. 

sampai ketemu di chapter berikutnya dan.... ciao! 

Semarang, October 24th 2018 

17.32

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top