final verse
To say goodbye is to die a little.
—Raymond Chandler—
*
Jika bukan karena ucapan Emir, Eden tidak akan ingat kalau dia masih punya project film pendek bersama Sabda yang harus selesai sebelum pekan festival kampus. Waktu memang sebentuk satuan rumit, lebih sulit dimengerti daripada hukum relativitas itu sendiri. Di awal perkuliahan, hari-hari yang Eden jalani terasa sangat lambat nan membosankan, lalu mendadak Emir muncul, membawa masuk Setra-Rasi-Sabda ke dalam hidupnya dan kini dia kehilangan pemahaman akan hitungan masa.
Sore ini, setelah semua kelas yang harus dia hadiri di kampus selesai, Eden sengaja langsung bertolak ke rumah Sabda. Niatnya sih mau diskusi terkait skenario dan konsep macam apa yang bakal mereka gunakan dalam project film pendek mereka, juga partisipan tambahan yang akan mereka butuhkan. Project ini memang hanya beranggotakan dua orang, namun setiap kelompok diberi kebebasan membawa pemeran tambahan dari luar, seperti teman mereka, yang kira-kira dianggap dapat membawakan skenario atau konsep film pendek dengan apik.
Tetapi, entah bisa disebut keberuntungan atau apa, kala Eden tiba, satu-satunya orang yang ada di rumah hanya Setra.
"Rasi sama Sabda lagi pergi, beli mi ayam. Kamu mau juga? Nanti aku bilangin. Yah, meskipun kayaknya Rasi bakal beli lebih dari satu porsi buat dirinya sendiri." Setra bilang begitu sejenak setelah Eden duduk.
"Nggak usah, Kak. Tadi di kampus aku sudah makan." Eden menatap Setra sebentar, tersadar kalau perban di kepalanya sudah dilepas dan yang tersisa adalah garis merah samar dari luka yang sudah membaik. "Lukanya sudah baikan, ternyata."
"Ah, ini?" Setra tersenyum seraya menyentuh dahinya. "Iya. Anyway, kamu mau minum sesuatu."
"Susu vanilla boleh?"
"Ternyata kamu satu selera sama Rasi dan Sabda."
"Sebenarnya bukan karena susu vanillanya sih, tapi karena orang yang bikinnya." Eden terkekeh. "Susu vanilla buatan Kak Setra itu susu vanilla paling enak yang pernah aku minum."
"Kamu berlebihan."
"Ih, beneran!"
Setra tertawa sembari beranjak, melenggang ke dapur dan kembali tidak sampai lima menit kemudian dengan segelas susu vanilla hangat, Waktu dia masuk ke ruang tengah, Eden sudah membuka laptopnya, sibuk mengetik satu-dua kata, lalu memandang pada dinding sambil menghela napas panjang. Setra mengangkat alis, meletakkan susu di tangannya ke atas meja dan mengambil tempat di samping Eden. Tindakannya bikin Eden nyaris terlonjak, karena cewek itu tidak menebak Setra akan duduk begitu dekat dengannya. Wangi sabun menyapa hidungnya, membuatnya merasa Setra sesegar minggu-minggu bulan Desember yang rajin bermandi hujan sore ini.
"Lagi bikin apa?"
Eden susah-payah mengatur detak jantungnya. "Ko—konsep skenario buat film pendek yang harus dibuat, Kak."
"Ah, project kamu yang bareng Sabda itu?"
"Kak Setra tahu?"
"Sabda sudah cerita dan semalam, kami bertiga sempat diskusi. Kebetulan, dalam festival nanti, Rasi juga bakal tampil."
Eden hampir tersedak. "Rasi?! Aku tahu tapi punya bakat tersembunyi jadi pelenong, tapi kan—"
Setra tergelak. Tawanya renyah dan manis, seperti kue putri salju lebaran di rumah nenek. "Rasi nggak akan ngelenong, Kisa. Dia mau main piano, dan nggak sendiri, tapi sama kakak salah satu temannya. Seorang pengajar dari Juilliard."
"What the—aku nggak nyangka Rasi bisa keren juga!"
"Dia selalu keren, walau seringkali, itu ketutupan sama tingkah-lakunya yang... agak spesial." Setra masih tersenyum, namun kini matanya mengarah pada layar laptop Eden, menampilkan lembar putih yang hanya diisi beberapa kata. "Ephemeral?"
Eden mengangguk. "Sesuatu yang nggak abadi, yang sifatnya sementara. Aku dan Sabda sepakat mau pake konsep itu buat film pendek kami, soalnya berkaitan sama tugas yang sebelumnya. Kak Setra ingat nggak? Waktu itu kita jalan ke Dufan bareng buat ambil foto polaroid."
"Saya nggak akan pernah melupakan hari itu, Kisa. Itu adalah satu dari beberapa hari saya merasa benar-benar bahagia. Dan lagi-lagi, hari itu ada karena kamu."
"Kak Setra,"
"Em-hm?"
"Sampai kapan mau terus begini?"
"Maksud kamu?" Setra malah balik bertanya.
"Sampai kapan Kak Setra mau bikin aku makin sayang sama Kak Setra?"
"Sampai kamu terlalu lelah untuk terus sayang sama saya." Setra menyeringai, terkesan playful. Bentuk ekspresi yang tidak pernah Eden lihat sebelumnya, namun cukup mampu membuat pipinya bersemu. "Oke, saya bercanda. Tapi jujur, saya senang kamu nanya begitu. Ah ya, balik lagi ke soal konsep film pendek. Seperti yang saya bilang tadi, semalam kami sempat ngobrol. Rasi menyumbangkan sedikit ide. Juga Tiberius yang ikut gabung lewat video call. Sabda setuju, tapi bilang kalau kamu juga harus dimintai pendapat soal ide-ide itu."
"Ide?"
"Konsep yang akan dipakai buat filmnya berhubungan dengan sesuatu yang tidak kekal. Sesuai makna dari kata itu; Ephemeral." Setra mulai menjelaskan. "Dan awal ceritanya... dibuka oleh kisah mereka yang tinggal di langit."
"Mereka... yang tinggal di langit?"
Setra memandang Eden, lekat dan dalam, dengan jenis tatapan yang membuat lutut Eden serasa bertransformasi jadi jelly. Ada binar di mata Setra saat dia bicara sejenak setelahnya. Dan pada sepasang mata cokelat itu... Eden ingin lebur di dalamnya untuk waktu yang sangat lama.
*
Sandiwara Semesta
oleh sabda, setra dan rasi
(tapi aci banyakan ngemilnya daripada nyumbang idenya)
(tapi aci tetap nyumbang ya)
(cuma seuprit, ibarat makanan, sebatas jigong pengganjal gigi aja)
(anzing—)
(rasi, language)
(—adalah bahasa cinanya harap tenang)
Konon katanya, dunia setelah mati itu terbagi ke dalam dua bentuk: surga dan neraka. Surga untuk mereka yang berbuat kebaikan semasa hidup dan neraka kebalikannya, merupakan tempat kembali mereka yang banyak melakukan kejahatan semasa jantung mereka masih berdegup. Akan tetapi, ada teori lainnya yang bilang, itu hanya berlaku untuk manusia, sebab hewan, tumbuhan dan makhluk lainnya di jagat raya ini tidak punya akal yang cukup untuk membedakan mana kebaikan dan mana kejahatan.
Konsep yang tentu mudah bahkan diyakini oleh kebanyakan orang. Awalnya, Ciela juga merasa begitu. Sampai suatu hari, ketika dia sedang duduk sendirian di tepi jendela dengan wajah pucat dan bekas terbakar di beberapa bagian kulit akibat serangan kemoterapi yang bertubi-tubi, sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya.
Ketika dunia ini berakhir, setelah semuanya terhancurkan, kemana bintang, bulan dan matahari akan pulang? Apakah ke surga? Atau ke neraka?
Kamu sedang linglung, ibunya menyahut sekenanya sambil tersenyum miris kala Ciela bertanya, lalu meraih sisir dan menahan perih dalam sunyi tatkala menyaksikan helai-helai rambut yang rontok, berjatuhan membentuk tumpukan di sekitar kaki kursi, tempat Ciela terduduk.
Kamu sedang linglung.
Kamu sedang tidak baik-baik saja.
Tidurlah, kamu butuh istirahat cukup.
Ini semua pasti berat untukmu, tapi tolong jangan begini, kamu menyakiti ibumu dengan sikapmu yang seperti ini.
Sejak didiagnosis memiliki kanker otak stadium lanjut, Ciela sudah kenyang dijejali kalimat-kalimat berbunyi serupa. Kemanapun dia pergi, orang-orang selalu memandangnya dengan tatapan kasihan. Mereka menganggap kisahnya sangat tragis. Dia adalah penyanyi remaja nan cantik yang baru meniti karir. Album debutnya sukses besar, disetel di semua radio lebih dari sekali dalam sehari. Hanya butuh waktu singkat baginya untuk menjelma menjadi idola teranyar remaja masa kini. Mereka memujanya, mengaguminya, ikut bernyanyi bersamanya, mengelu-elukan namanya. Bukan hanya sebatas itu, tawaran-tawaran lainnya berdatangan. Mereka menginginkannya menjajal dunia akting, tampil di layar kaca, setia menyapa para pemirsa dengan senyum ceria yang bisa mengubah mood orang-orang seruangan secara seketika. Dunia tampak seolah-olah berada dalam genggamannya.
Namun seperti yang diujarkan dalam pepatah-pepatah lama, pada lembar kertas buram para penyair, dunia mengambil sebanyak yang dia beri. Pada satu detik, Ciela seperti berada di puncak, begitu terang, melesat cepat ke atas, bercahaya dalam langit malam yang kelam. Detik berikutnya, dia redup, meletup lalu mati, hilang dan tak diingat lagi.
Sesuatu bernama kanker merenggut segalanya darinya. Panggung yang dicintainya, penggemar yang memujanya, kecantikannya yang jadi bahan gosip para gadis di mana-mana hingga... kebanggaan orang tuanya.
Bangga yang sirna, terganti dengan sorot iba yang nyata.
Anehnya, Ciela tidak pernah merasa dia sepatutnya dikasihani. Hari-harinya tidak lagi dibedakan dengan Senin-Selasa-Rabu-Kamis dan seterusnya seperti yang kerap didengungkan oleh lagu anak-anak itu, namun tereduksi dalam angka-angka. Setahun lagi, jika beruntung. Enam bulan lagi. Tiga bulan lagi. Sebulan lagi. Hanya beberapa minggu lagi. Masa tidak lagi berkaitan dengan hari-hari normal yang dia jalani sebelumnya, tapi seberapa banyak hari-hari sebagai orang sakit yang harus dia lewati sebelum maut mengecupnya, merenggut hangat dari tubuh yang ringkih, membuatnya mendingin sebelum akhirnya jadi sekaku patung lilin.
Dan itu tidak apa-apa. Ciela justru bersyukur. Dengan memahami seberapa banyak sisa waktu yang dia punya, dia justru tahu bagaimana caranya memanfaatkan sisa waktu itu sebaik-baiknya. Apa-apa yang membatasinya saat harinya masih normal pelan-pelan lenyap, melebur dalam garis masa. Dia melakukan apa yang dia suka. Menyanyi di ruang bermain bangsal pasien anak pengidap kanker milik rumah sakit setiap siang. Menolak menjalani kemoterapi lebih lanjut, yang sempat mengundang murka orang tuanya.
Kamu tidak akan sembuh jika kamu menolak menjalani kemoterapi, Ciela.
Sampai kapan Mama mau membohongi diri?
Apa maksudmu?
Kemungkinanku untuk sembuh sangat kecil. Buat apa menyiksa diri untuk sesuatu yang sia-sia?
Ciela—
Sekalipun aku harus mati, aku mau mati saat aku masih terlihat diriku. Kalaupun aku mesti pergi, aku ingin pergi dalam tenang, bukan dalam rasa sakit.
Mereka tidak mampu membantah, hanya bisa bungkam dan membiarkan Ciela melakukan apa yang dia mau. Gadis itu menghabiskan hari-harinya di rumah sakit. Dia bernyanyi, menari, berjalan-jalan di taman, mengajari pasien kanker dari bangsal anak bermain piano, melakukan sesuatu yang tidak pernah dan tidak bisa dia lakukan sebelumnya.
Namun tentu saja, kejutan semesta tidak hanya sampai di sana.
Ini adalah sandiwara semesta, kisah tentang mereka yang tinggal di langit. Cerita tentang bulan, matahari dan bintang, serta pertanyaan yang sebelumnya benak Ciela ajukan.
Setelah semuanya selesai, kemana bulan, matahari dan bintang akan pulang?
Secara tak terduga, semesta menjawabnya, dengan cara yang berbeda.
Pertama, semesta menghadirkan sosok bintang. Seperti mengamini skenario yang diciptakan oleh alam raya, namanya Lintang. Dia bukan siapa-siapa, hanya satu dari tiga hati yang patah dalam sandiwara ini. Lintang adalah pianis yang tengah luka. Konser terakhirnya mendapat kritik dimana-mana karena kesalahan besar yang dia lakukan kala memainkan salah satu lagu. Setelahnya, trauma menghantui setiap kali dia menyatukan tuts piano dengan jemari. Lintang merasa frustrasi dan telah tiba pada titik di mana mustahil baginya bisa bermain lagi.
Kemudian suatu hari, dia mengantar temannya ke rumah sakit dan tanpa sengaja, mendengar suara seseorang bersenandung sambil bermain piano.
Permainan piano gadis itu tidak istimewa, namun senyum di wajahnya yang pucat berhasil merengkuh perasaan Lintang, membuatnya tenggelam dalam tangisan saat permainan piano itu telah tersempurnakan.
Semudah itu, bintang hadir dalam hidup Ciela.
Berikutnya adalah bulan. Bulan itu tenang, redup dan seringkali, dalam beberapa momen, tidak secemerlang bintang atau matahari. Namun begitu, bulan tidak pernah ingkar janji. Dia selalu hadir, bahkan dalam malam paling gelap sekalipun, ketika awan mendung menyelubungi langit, membungkus sorotnya yang temaram dalam cita kelam. Bulan muncul dalam wujud Vare, mantan gitaris sebuah band indie yang baru bubar pasca ditinggal sang vokalis yang meninggal dalam sebuah kecelakaan. Disekap oleh kesedihan yang seakan-akan tak berujung, Vare menjual semua gitarnya, lantas membelokkan arah hidup, memilih mengabdi para rutinitas kantoran yang membosankan.
Hingga suatu hari, tanpa sengaja, dia mengantar anak bosnya yang terpeleset di toilet kantor ke rumah sakit dan di tempat yang sama, sebuah blackhole menghisap seluruh dunianya.
Ciela sukses menjadi pusat baru dari orbitnya.
Terakhir adalah penghuni langit terhangat, juga terterang. Iya, dia adalah matahari. Seperti mengaminkan makna dari namanya, semesta menghadirkannya dalam diri Elios, Elios adalah remaja yang masih sekolah. Sayangnya, di usia yang amat muda, dia telah kehilangan semua alasan untuk tetap bertahan hidup. Gurunya, merasa iba, mencoba membawanya ke bangsal kanker pasien anak, supaya setidaknya anak itu bisa melihat, di kala dia menganggap hidupnya telah menggelap, ada orang lain di luar sana yang harus berusaha mati-matian hanya agar bisa terus bernapas. Ketika dia membenci hari ulang tahunnya sendiri, ada orang lain di luar sana yang mesti berjuang supaya jantungnya masih mampu berdetak di hari ulang tahun yang berikutnya.
Seperti yang sudah bisa diduga, Elios juga menemukan langitnya di sana, dalam diri seorang Ciela.
Hari yang Ciela miliki berbatas jelas, terdeskripsi dalam angka-angka.
Enam bulan lagi. Tiga bulan lagi. Sebulan lagi. Hanya beberapa minggu lagi.
Namun dalam batas yang mendekati akhir, gadis itu mampu menyalakan dupa yang telah padam dalam hidup para penghuni langit, pada bintang, bulan dan matahari. Pada pelita alam semesta. Dan di sela sisa masa yang berbilang, para penghuni langit sepakat mewujudkan mimpi terbesar yang Ciela miliki.
Mimpi untuk berdiri di atas panggung sekali lagi, sebelum jantungnya lelah bekerja dan membawanya ke alam yang berbeda selekas petang berganti malam.
Orang-orang sering bilang, kanker adalah cara paling klise untuk mengakhiri semua cerita. Memang. Bukan hanya paling klise, tapi juga salah satu cara paling menyakitkan. Haru-biru mewarnai usaha para penghuni langit untuk membahagiakan orang yang mereka sayangi. Ada banyak air mata yang tertumpah, penyesalan yang terlibat. Pada akhirnya, mereka berhasil mewujudkan mimpi itu.
Untuk yang terakhir kalinya, Ciela berkesempatan berdiri di atas panggung. Kali ini, tidak dengan kostum gemerlap yang mengundang decak kagum. Bukan bersama rambut yang terjalin indah, juga makeup yang membuat pipinya merona merah. Melainkan hanya sebagai dirinya, gadis polos berwajah pucat, dengan rambut menipis, tubuh kurus dan sisa waktu yang tidak seberapa.
Di akhir, setelah dia turun panggung, diiringi air mata tertahan dan tepuk tangan bernada kesedihan, para penghuni langit menatapnya, bicara padanya.
Dunia ini tidak pernah adil.
Maksudmu apa?
Kamu pantas dapat selamanya.
Bukannya sedih, Ciela malah tersenyum.
Jika tidak di sini, di manakah aku akan berada? Jika tidak di rumah sakit, di manakah aku akan dipertemukan dengan para pelita semesta? Jika bukan berakhir di sini, maka di manakah semuanya akan purna?
Ciela—
Tidak ada penyesalan. Bertemu kalian adalah keindahan yang tidak pernah berani kubayangkan.
Tapi tetap, kamu pantas dapat selamanya.
Jika itu tanpa kalian, sekalipun Tuhan menawarkan selamanya, aku akan menolaknya.
Kenapa begitu?
Jika itu tanpa kalian, aku tidak butuh selamanya. Aku lebih suka sementara saja.
Hari itu, semesta bersandiwara. Sebab konon katanya, tangis adalah hak milik langit dan awan. Bulan, bintang dan matahari? Mereka meredup, tapi tidak pernah menangis.
*
"That was... really sad."
"Indeed." Setra mengangguk, berusaha menahan dorongan untuk memeluk Eden. Cewek itu terlihat seperti siap menumpahkan air mata sewaktu-waktu. "Tapi di akhir hidupnya, Ciela sangat bahagia. Sesuatu yang mungkin nggak akan dia rasakan, kalau dia nggak mengenal para penghuni langit. Seandainya dia nggak sakit, dia nggak akan bertemu mereka, kan?"
"Iya, sih."
"Poinnya ada di sana. Selamanya dan sementara. Orang selalu punya kecenderungan memilih selamanya, karena mindset mereka menempatkan selamanya sebagai sesuatu yang bahagia dan sementara sebagai kebalikannya. Kenyataannya nggak gitu. Jika kamu dikasih kesempatan untuk sedih selamanya atau bahagia sementara, pasti kamu akan memilih bahagia, walau hanya sementara. Sebab selamanya terlalu panjang untuk dihabiskan dalam kesedihan."
"Wow!" Eden bertepuk tangan, kekaguman mewarnai wajahnya. "Aku jadi ragu kalau Aci beneran ikut nyumbang ide di dalam konsep skenario ini."
"Jangan salah. Justru dia yang ngajuin konsep tentang para penghuni langit pertama kali."
"Serius?!"
"Rasi itu penggemar benda-benda langit, karena katanya, namanya sendiri berhubungan dengan bintang."
"Hm, benar juga."
"Kalau sesuai rencana sih, film pendek kamu dan Sabda bisa diminta diputar di akhir sesi, sekaligus sebagai transisi ke sesi penampilan instrumen musik."
"Mmm... maksudnya?"
"Akan ada sedikit penutup setelah film pendek kalian selesai diputar dan selanjutnya, akan diteruskan sama penampilan piano solo dari Rasi."
"Itu brilian banget!" Eden bertepuk tangan. "Tapi kalau begini, berarti kita harus cari orang-orang yang bisa memerankan para penghuni langit dan Ciela."
"Soal itu..." Setra meringis. "Semalam, kami dan Ti sepakat kalau... kita sendiri yang bakal memainkannya."
Eden hampir tersedak. "Maksudnya?!"
"Kamu. Saya. Sabda. Rasi. Dan mungkin beberapa lainnya bisa minta bantuan teman-teman Bang Cio. Kamu... nggak keberatan kan, Kisa?"
"MAKSUDNYA AKU JADI PEMERAN GITU!?"
Setra mengangguk. "Jangan panik begitu. Sekarang sudah banyak kok sutradara film yang ikut main di filmnya sendiri. Misalnya Bradley Copper dari film A Star Is—"
"AKU NGGAK BISA AKTING, KAK!"
Setra mengerjap, tidak menyangka Eden bakal sekaget itu. "Aku juga nggak bisa—"
"Kak Setra sih enak! Ganteng! Nggak bakal kena protes juga! Rasi ama Sabda masih bisa ngandelin tampang mereka buat memikat penonton. Lah aku?! Bisa panen hujat aku—"
Setra tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyelipkan helai anak rambut yang tergerai berantakan di tepi wajah Eden ke belakang telinganya, bikin omelan Eden terhenti seketika. "Kita semua bakal bantuin kamu."
Eden menggeram samar. "Kenapa harus aku? Kayaknya temanku, si Yasmin, lebih jago akting."
"Kita sepakat, memang harus kamu."
"Kenapa?" Eden malah makin mendesak.
"Ciela itu... artinya langit."
"Terus?"
"Selain langit... dia juga diartikan sebagai..." Sorot mata Setra melembut. Kentara sekali, ada sinar memuja dan rasa sayang di sana. "... Heaven."
"Kak Setra—"
"Saya, Sabda dan Rasi bakal senang banget kalau kamu bersedia."
Eden menahan batuk, menoleh ke satu arah, di mana Emir berada. Bukannya membantunya, cowok itu malah mengedikkan bahu, mengesankan dia menolak ikut campur. Pada akhirnya, Eden hanya bisa mengembuskan napas pelan seraya menekankan untuk tidak mengubur diri sendiri begitu tiba di rumah nanti.
Sebab, mustahil dia bisa menolak kalau Setra sudah membujuknya dengan tatapan seperti itu.
*
Ternyata, kekhawatiran Eden tidak terbukti. Dia memang tidak punya kemampuan akting mumpuni seperti anak teater atau mereka yang sudah biasa berlaga di depan kamera, tapi aktingnya tidak buruk. Selain karena karakter Ciela bukan jenis karakter yang asing buatnya, juga karena kehadiran Setra, Rasi dan Sabda (ditambah Tiberius, Lucio dan beberapa orang lainnya untuk memainkan peran sampingan) selalu mampu mencairkan suasana dan membuatnya merasa nyaman. Mereka berhasil mengambil adegan-adegan yang diperlukan dalam waktu dua minggu lebih beberapa hari—terimakasih karena koneksi yang dimiliki oleh keluarga Lucio, mereka bisa mengurus perizinan di sejumlah tempat dengan mudah. Film itu sendiri pendek, hanya berdurasi kurang dari lima belas menit, tanpa adegan konser mini yang diniatkan oleh para penghuni langit sebagai panggung terakhir untuk Ciela.
"Kenapa gitu?"
"Karena bagian itu bakal ditampilin secara real time." Sabda menyahut, sok misterius. Eden tahu, mengorek informasi dari Sabda sama mustahilnya seperti menemukan sebatang jarum dalam tumpukan jerami, jadi dia memutuskan untuk mengikuti alur permainan tiga bersaudara itu.
Sisa hari berjalan dengan baik. Emir kembali memberi beberapa instruksi padanya, meski sebagian besar dari instruksi itu tidak penting-penting amat. Begitu selesai kelas, Eden beberapa kali pergi minum thai tea bersama Rasi, atau menemani Sabda ke perpustakaan komik di akhir pekan dan yah, sesekali juga menyertai Setra yang perlu mencari buku-buku referensi untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang berubah dari perlakuan Setra-Rasi-Sabda dan itu membikin Eden lega. Yasmine sempat ngambek, merasa Eden menyimpan terlalu banyak rahasia darinya, namun tentu saja, mengambil hati Yasmine bukan perkara sulit. Eden hanya perlu membelikannya seporsi jumbo kebab depan kampus dan cewek itu sudah mau bicara lagi padanya.
Lalu, hari festival yang ditunggu pun tiba. Salah satu keuntungan dari jadi pemilik film yang diputar di akhir sesi adalah Eden tidak perlu terburu-buru datang ke kampus. Dia tiba sekitar setengah jam sebelum sesi pemutaran film berakhir. Kampus dipadati oleh mobil-mobil yang kelihatan kelimpungan mencari tempat parkir. Acaranya sendiri diadakan di amfiteater super besar yang dimiliki kampus. Tempat itu telah ramai oleh banyak orang ketika Eden datang. Sabda berada di area pagar depan amfiteater, kelihatannya sudah menunggu Eden karena begitu melihat Eden, cowok itu langsung menariknya dan membawanya ke belakang panggung.
"Ih, kenapa sih tarik-tarik?"
Sabda tidak langsung menjawab, malah mengusap rahang dan menatap Eden dari ujung kaki sampai ujung rambut, seperti sedang meneliti penampilan cewek itu. "Boleh juga."
"Apanya yang boleh juga?" Eden melotot, siap menjitak Sabda jika diperlukan.
"Dandanan lo... not bad lah."
"Ngapain juga gue dandan niat-niat banget."
"Yah, mungkin karena bakal ada sesuatu yang nggak terduga hari ini?" Sabda terkekeh, sesuatu yang jarang dia lakukan dan itu berhasil membuat Eden terperangah. Keterkejutannya tidak bertahan lama, sebab tidak lama kemudian, Rasi dan Setra bergabung bersama mereka. Eden menoleh sejenak setelah mendengar suara Setra, dibuat hampir kehilangan kata-kata kala menyaksikan penampilan cowok itu hari ini.
Rambut Setra tidak dibiarkan jatuh menutupi keningnya seperti biasa, menampilkan dahinya. Dia mengenakan jeans dan kemeja hitam yang digulung sampai ke siku, menampilan lengannya yang veiny. Cowok itu tersenyum pada Eden dan sejenak, Eden merasa tempatnya berpijak bergoyang.
"Nanti nontonnya di paling depan ya. Tempat buat kamu sudah disiapin sama Tiberius."
"Paling... depan?"
"Iya."
"Tapi kenapa?"
"Ada kejutan."
"Kejutan apa?"
Bukannya menjawab, Sabda dan Setra malah berpandangan, kemudian berlalu pergi menjauhi Eden begitu saja. Eden tidak sempat mengejar mereka, sebab sosok Tiberius telah hadir lebih dulu. Lelaki jangkung itu membimbingnya menuju tempat penonton, persis di barisan depan yang paling dekat dengan panggung. Eden tidak mengerti, benaknya dipenuhi tanya, tapi dia tidak pilihan selain diam saja.
Tibalah saatnya bagi film pendek mereka, tentang sandiwara penghuni langit yang didukung oleh semesta diputar. Suasana yang semula riuh senyap seketika, terutama ketika sosok Lintang dalam film itu mulai memainkan piano. Atau ketika Ciela mulai bersenandung. Plot yang disuguhkan tidak jauh berbeda dengan film-film lainnya bertema serupa, namun cara Lintang, Vare dan Elios membawakan diri mereka sukses menyihir para penonton yang menyaksikan kisahnya. Di penghujung film, keheningan digantikan oleh isak samar dari beberapa penonton yang terbawa perasaan.
Eden mengedarkan pandang ke sekeliling, takjub pada reaksi penonton untuk film yang dibuat oleh pemula seperti mereka, namun kemudian perhatiannya kembali ke panggung karena suara dehaman seseorang yang bicara melalui mic. Sosok itu adalah Setra. Bukan hanya Eden, penampilannya yang berslempang gitar sukses membuat orang-orang ternganga.
"Dari Vare, untuk Ciela." Bisiknya, suaranya terdengar berat dan setelahnya, yang terdengar adalah bunyi petikan gitar.
https://youtu.be/5TwFVlMcijo
I watched you sleeping quietly in my bed
You don't know this now but, there's some things that need to be said
And it's all that I can hear,
It's more than I can bear
Eden masih tersekat, hampir lupa bagaimana caranya bernapas tatkala Tiberius tiba-tiba menghampirinya, meletakkan sebuah flower crown di kepalanya. Lelaki itu menariknya, memaksa Eden bangkit dan mengikutinya naik ke atas panggung. Perut Eden ditinju oleh rasa mual. Gugup mengalirinya, membuat jantungnya berdegup keras, memompa adrenalin yang menderas. Responnya berbanding terbalik dengan Setra yang malah tersenyum lebar. Cowok itu berhenti memainkan gitarnya, melepaskan mic dari stand microphone. Dalam kesenyapan yang mengendap, Setra meraih tangannya, menatap matanya dan meneruskan lagu yang tertunda.
What if I fall and hurt myself?
Would you know how to fix me
What if I went and lost myself?
Would you know where to find me
If I forgot who I am,
Would you please remind me?
Setra membungkuk, mengecup punggung tangannya layaknya gestur ala gentleman yang sering Eden lihat di film-film lama.
Cause without you, things go hazy
Lagu berakhir, namun Eden tidak diberi kesempatan untuk memulihkan diri. Sunyi hanya bertahan kurang dari dua detik, karena tak lama setelahnya, denting piano berbunyi, membuat Eden menoleh ke sisi lain panggung. Tanpa dia sadari, entah kapan, Sabda telah berada di sana, duduk di depan piano. Dia terlihat serius dan jujur saja, melihatnya mengenakan kemeja berwarna senada dengan yang dikenakan Setra membuat Eden berpikir kalau Sabda tidak terlihat seperti anak kecil sama sekali.
Cowok itu memainkan intro dari lagu Heaven yang pernah diperdengarkan Rasi padanya, disusul senandung singkat dari penggalan liriknya.
https://youtu.be/E0wW9RwpG7M
And love is all that I need
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven...
Sabda menatapnya, lalu perlahan senyumnya melebar. Akan tetapi, segalanya tidak berhenti sampai di sana. Suara Rasi—yang tumben sekali bisa serius hari ini—menggema lewat mic, membuat refleks, perhatian Eden lagi-lagi teralih. Tidak jauh berbeda dengan kedua saudaranya yang lain, cowok itu juga mengenakan setelan jeans dan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai ke siku.
"Ini bukan lagu dari Lintang untuk Ciela, tapi melodi dari Rasi Gemintang untuk Kisa Eden Philomena." Rasi tertawa, yang disambut oleh seruan menyemangati dari para penonton, juga suitan-suitan lain sebagai latar belakang. Eden bersemu, sempat berniat untuk lari turun panggung, tapi Rasi malah berjalan menghampirinya, mengulurkan tangan yang sempat ditatap Eden dengan ragu.
"Hold my hand... tightly?"
Eden menarik napas, balik meraih tangan Rasi dan cowok itu membawanya mendekati piano lain di sebelah piano yang tadi digunakan oleh Sabda. Sabda sendiri sudah tidak ada berada di sana, hadirnya digantikan oleh Tiberius. Para penonton yang menyaksikan diam ketika Rasi meminta Eden duduk di sebelahnya, lalu tanpa memberi jeda lebih lama, kesepuluh jemarinya ditempatnya di atas piano, dan melodi itu mulai mengalun.
Tidak ada suara apa pun, hanya bunyi piano yang bersahutan antara Rasi dan Tiberius, yang lantas lebur dalam sesuatu yang mirip seperti dansa antar nada. Eden terkesiap, tidak menduga jika seseorang seperti Rasi bisa menarikan jemarinya selihai itu di atas tuts hitam-putih piano. Rasi malah tertawa kecil, memasang wajah sombong yang bikin Eden gemas ingin mencium pipinya sekaligus menepak kepalanya di saat yang bersamaan.
https://youtu.be/-jJVb0xvbdg
Tatkala lagu itu berakhir, para penonton tidak langsung bereaksi. Ada sunyi selama beberapa detik, lantas mereka semua berdiri dan bertepuk tangan. Rasi, dengan wajah yang sok dibikin kalem, beranjak dari duduk, membungkuk beberapa kali dengan tangan di dada, menunjukkan sikap hormat pada penonton sebelum menarik Eden turun bersamanya ke backstage—dimana Sabda dan Setra telah menunggu mereka.
"Gue baru sadar," Sabda berujar. "Kakak gue nggak bego-bego amat."
"Gue tuh sebenarnya jenius, cuma merendah aja."
Sabda mendengus, sementara Setra malah tertawa. Eden balas tersenyum, memuji ketiga bersaudara di depannya bergantian hingga tiba-tiba Setra bertanya.
"Kejutannya... kamu tahu kenapa kita ngasih itu ke kamu?"
"Kenapa?"
"Buset, beneran lupa ternyata." Sabda mendelik. "Lo hari ini tuh—"
Sabda belum sempat menyelesaikan ucapannya kala perhatian Eden tersita oleh Emir yang tiba-tiba memanggilnya. Cowok itu tampak senang, tapi ada muram di matanya. Dia diam sejenak, namun Eden sudah mampu membaca apa maksudnya.
Kita harus bicara.
*
Permintaan Eden yang tiba-tiba meminta sedikit privasi di ruangan tertutup sendirian sempat memunculkan kerut penuh tanya di kening Setra, Rasi dan Sabda, tapi mereka menurut. Di salah satu ruang kelas yang sengaja dikosongkan untuk keperluan berganti pakaian kalau-kalau diperlukan, Eden setuju untuk bicara dengan Emir. Ruangan itu sunyi, dengan jendela yang telah ditutupi tirai. Tempatnya gelap, sampai Eden menyalakan lampu.
"Gue tahu lo bukan jenis orang yang suka basa-basi, jadi gue akan langsung aja." Emir memulai tidak lama setelah yakin mereka betul-betul hanya berdua saja di ruangan itu—sementara Setra dan yang lainnya menunggu di luar. Eden menggigit bibir, merasa kesedihan yang ganjil kembali menusuknya. "Gue mau minta maaf."
"Sebab lo akan pergi?"
"Pada akhirnya gue memang harus pergi, Kisa. Tapi gue minta maaf bukan karena itu."
"Lantas apa?"
"Maaf... karena sudah membohongi lo."
Eden mengangkat alis. "Membohongi... gue?"
"Soal hubungan kita... tentang guardian angel dan kesialan lo... itu semuanya bohong."
Eden limbung, merasa perlu berpegangan pada sandaran kursi terdekat. "Tunggu—apa maksud lo—"
"Kontrak itu... buku panduan... semuanya bohong. Semuanya nggak benar-benar nyata. Segalanya hanya karangan gue, yang direstui oleh mereka yang berwenang mengurusi kehidupan setelah mati." Emir tersenyum pahit. "Kesialan atau keberuntungan itu nggak ada, Kisa. Malaikat pelindung itu nggak nyata. Semua yang ada dalam hidup lo, lo bertanggung jawab atas itu sepenuhnya. You made your own choice, your own decision. Apa yang muncul dan harus lo hadapi adalah konsekuensi dari keputusan yang lo ambil, tindakan yang lo pilih. Semua nggak ada sangkut pautnya dengan kesialan atau keberuntungan. Sebab di dunia tempat kita hidup, apa yang selamanya jadi milik lo, akan selalu jadi milik lo. Begitupun sebaliknya. Nggak ada yang tertukar."
"Tapi... tapi... kenapa?"
"Beberapa hari sebelum gue pergi... sebelum gue harus meninggalkan dunia ini... seseorang mendatangi gue. Dia mengasihani gue, yang terlalu hati-hati melakukan sesuatu, yang kebanyakan berpikir, dan pada akhirnya menyambut akhir hidup gue dengan penyesalan. Ada hati orang-orang yang gue sakiti. Ada hidup orang-orang yang sepatutnya bisa gue perbaiki. Namun nggak gue lakukan, sebagian besar karena gengsi. Itu pada akhirnya, bakal bikin gue nggak tenang selepas kepergian gue sendiri."
"Emir Novawira,"
"Waktu gue hampir habis, dan lo bukan satu-satunya orang yang perlu gue ajak bicara." Emir tampak muram. "Listen to me, just this once, okay? Hear me out. Don't stop. Don't ever stop looking. Chase your dreams. If you have none, chase thin air. Don't waste your time. Keep running. Even if you're chasing air, you'll come across the wind. Never stop. A world out there, waiting for you. Nobody will stop you."
"Gue nggak—"
"Kalau lo mencintai seseorang, katakan. Kesalahan terbesar kita adalah selalu berpikir jika kita punya sisa waktu yang cukup, mengira kita punya selamanya, padahal apa yang tersisa mungkin lebih sebentar dari sementara."
"Jangan potong omongan gue!" Eden berseru, air mata telah turun berkejaran membasahi pipinya. "Gue nggak mau lo menghilang! Ini nggak adil buat gue!"
"Kisa, jangan nangis."
"You fool!" Eden memaki. "Kalau aja gue bisa memukul lo sekarang, gue pasti akan memukul lo sampai tangan gue kerasa sakit!"
Tatapan Emir pada Eden malah melembut. "Kalau aja gue bisa memeluk lo sekarang, gue pasti akan memeluk lo sampai tangan gue kerasa sakit."
Jawaban Emir membuat Eden terkesiap, lalu isakannya mengencang sampai-sampai bahunya terguncang. Emir hanya mampu memandangnya. Jelas terlihat, seandainya saja bisa, Emir ingin merengkuh gadis itu ke dalam dekap.
"Gue akan selalu sayang sama lo, Kisa. Kemarin. Hari ini. Dan seterusnya. Melalui tempat yang nggak bisa lo lihat, tapi nggak punya waktu dan jarak."
"Gue nggak mau dengar!"
"Jika gue harus membayar dunia dan segala isinya untuk memeluk lo lagi, gue akan melakukannya."
"Tapi lo nggak memeluk gue sekarang!"
"Bukan karena gue nggak mau, melainkan karena gue nggak bisa."
"Nggak ada bedanya!" Eden tersedu. "Lo tetap nggak bisa memeluk gue! Nggak ada bedanya!"
"Bahagia, Kisa." Emir mengabaikan kata-kata Eden. "Bahagia. Buat diri lo sendiri. Buat orang-orang yang sayang sama lo. Dan buat... gue."
"Kalau semuanya berakhir begini, apa lo kira gue masih bisa bahagia?"
"Jangan bercanda. Ada banyak sumber kebahagiaan di hidup lo sekarang. Gue lega, walau itu bukan gue." Emir mendekat, berjongkok di dekat Eden dan memandangnya lekat. "Don't cry. Now, please get Sabda for me? I need to talk to him."
Air mata Eden masih terus menetes, namun perlahan, kepalanya terangguk.
*
Sabda dibikin terkejut bukan main ketika pintu tiba-tiba dikuak terbuka dan wajah sembab Eden yang berurai air mata adalah apa yang pertama menyambutnya. Rasi sudah sibuk memberondong Eden dengan pertanyaan, mencari tahu penyebab kenapa gadis itu menangis, tapi Eden malah memandang padanya, diikuti bisik pelan.
"Emir."
Emir. Satu kata yang mampu membuat punggung Sabda menegang seketika. Cowok itu menelan ludah dengan susah-payah. Logika memaksanya untuk membantah, mengatakan jika Emir yang dia kenal telah berkalang tanah, terbenam di bawah gundukan merah, dengan batu nisan berajah nama lengkapnya dan bertabur bunga. Namun ada sesuatu di mata Eden yang membikin Sabda batal membantah. Walau ragu, cowok itu menurut. Dia masuk ke dalam ruangan yang pintunya hanya dibuka sedikit.
Pada langkah pertamanya memasuki ruangan itu, Sabda tersekat, hampir saja jatuh terduduk ke lantai. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah kehadiran seseorang yang dia rindukan, tapi dia tahu tidak seharusnya berada di sana. Emir tengah duduk di salah satu kursi, menatap padanya dengan mata yang berbinar dan senyum hangat yang tidak pernah berubah. Wajahnya pucat, namun hangat pada iris cokelatnya masih secerah yang Sabda ingat.
"Lo..."
"Apa kabar, Sabda? Finally, your Coco can make it here."
"Lo... seharusnya... sudah nggak ada."
Emir beranjak dari duduk, mengangguk setuju. "Memang. Setelah ini pun, gue akan menghilang. Gue hanya punya sedikit waktu dan satu kesempatan untuk... bisa terlihat di depan... manusia biasa. Selain Kisa, tentu aja."
"Lo kenal Eden?"
"Dia teman SMP gue." Emir menukas, lalu tertawa kecil. "Ingat cewek yang gue ceritakan? Cewek aneh yang gue sukai? Kisa orangnya."
"Emir—"
"Dia memang selalu semudah itu buat disayangi. Sekarang, sahabat gue, seorang Sabda pun sayang sama dia."
"Ini semua..." Sabda memegang sandaran kursi terdekat, karena entah kenapa lututnya mendadak melemas. "Ini semua nggak masuk akal. Lo nggak seharusnya ada di sini."
"Sebentar aja, lupakan semua logika, sebab biasanya sesuatu yang indah nggak bisa dipikir dengan logika, tapi dimengerti dengan rasa." Emir membalas. "Masih ingat insiden tajos dulu?"
Wajah Sabda berubah pahit, sekaligus diwarnai penyesalan yang kentara. Bagaimana dia bisa lupa? Insiden tajos adalah penyebab bagaimana persahabatan mereka merenggang, lalu kontak diantara mereka betul-betul terputus. Sebenarnya, penyebabnya sepele. Emir membeli tajos bergambar Spongebob Squarepants yang juga diinginkan oleh Sabda. Sabda sempat cemberut, namun tidak mempermasalahkan itu lebih jauh, sampai usai jam istirahat di tempat les, tajos milik Emir hilang entah kemana. Emir, tanpa berpikir, menuduh Sabda telah mengambilnya diam-diam. Sabda tidak terima, balik marah pada Emir. Mereka berdebat, saling bertukar kata-kata tajam yang menyakiti satu sama lain. Keduanya berpisah dalam keadaan marah, menolak berbaikan meski sudah lewat seminggu sejak insiden itu. Sabda sakit hati karena Emir menuduhnya mencuri gara-gara iri. Emir geram, merasa tajosnya hilang diambil Sabda.
Kemudian diketahui, tajos itu tidak hilang, hanya terselip di tas Emir.
"Lo memang semenyebalkan itu dulu."
"Gue tahu." Emir manggut-manggut diikuti tawa kecil. "Tapi gue sudah mencoba menghubungi lo untuk meminta maaf. Sayangnya, Tuan Sabda Aksara yang terhormat ini merasa gue terlalu kotor untuk bicara sama dia, bahkan lewat telepon. Gue mencoba menunggu lo di tempat les, mendatangi rumah lo, namun lo nggak pernah ada di rumah atau lagi nggak pergi les. Timingnya nggak pernah pas. Sampai ujian kenaikan kelas tiba dan di awal semester baru, lo minta pindah waktu les, sebelum akhirnya betul-betul berhenti."
"Dan lo secepat itu menyerah?"
"Gue lelah, juga terlalu merasa bersalah. Gue nggak yakin gue bisa ketemu lo lagi, setelah gue bikin lo sakit hati dengan ucapan gue waktu itu."
"Emir—"
"Gue menuduh lo mencuri."
"Nggak seharusnya lo—"
"I am a bad Coco." Emir menjawab getir. "Semestinya, gue memang dihukum."
"Gue sudah memaafkan lo. Di hari gue menerima kabar kalau lo udah... nggak ada—"
"Gue tahu." Emir memotong cepat. "Lo datang ke tempat gue, meletakkan tajos yang sudah berkarat. Gue tahu. Tapi di sini, gue nggak akan bicara soal tajos."
"Terus apa?"
"Kisa akan menjelaskan semuanya kepada lo nanti, tentang gue yang sudah membohongi dia. Tentang gue yang mengakui menjadi guardian angelnya selama ini, padahal nyatanya nggak begitu. Gue hanya hadir untuk menggunakan kesempatan yang sudah diberikan kepada gue. Misi yang berhasil gue selesaikan. Dan gue lega."
"Misi apa?"
"Misi untuk memperbaiki hidup orang-orang yang gue sayang. Kisa, dia selalu kesepian sejak dulu. Syukurlah, kehadiran lo dan kakak-kakak lo dalam hidupnya nggak lagi bikin dia kesepian. Dan lo, lo sudah terlalu banyak terluka. Gue senang, kehadiran Kisa bisa membantu lo dan kakak-kakak lo untuk sembuh. Di akhir, semuanya baik-baik saja." Emir tersenyum, sarat ketulusan. Dia merogoh sakunya, mengeluarkan tajos yang sudah berkarat, namun dari sisa-sisa gambar kusam yang masih tertempel, Sabda tahu itu tajos yang jadi penyebab cekcok mereka dulu. "Simpan ini buat gue, oke?"
Sabda mendekat ragu-ragu, meraih tajos itu dari tangan Emir. Benda itu padat, mampu disentuh, seperti tajos pada umumnya. Begitu juga jemari Emir. Dia terasa seperti manusia, dengan daging dan tulang dibalut kulit. Tangannya hangat. Jika tidak melihat kuburannya waktu itu, Sabda pasti tidak akan mengira kalau Emir telah tiada.
"Life is temporary. Accept it, you'll be at ease. Do the best with it, so you can be at peace." Emir berkata lagi. "Bahagia selalu, Sabda. Gue akan mengawasi dari tempat yang nggak bisa lo lihat, tapi lebih dekat dari nadi yang ada di tangan lo. Sekarang, setelah mengetahui kalau orang-orang terdekat gue sudah baik-baik saja, gue bisa kembali ke tempat dimana gue seharusnya berada dengan damai. Perjuangan gue sudah berakhir. Sekarang giliran lo. Jangan lelah berjuang. Gue akan selalu menjaga lo... sekuat yang gue bisa."
"Emir—"
"Hidup yang baik, Sabda. Hidup yang benar-benar hidup. Hidup itu sementara, dan karena itu, kita harus memperjuangkannya sebaik-baiknya selagi bisa." Emir berjalan kian dekat, lalu tangannya terentang. "Gue ingin memeluk lo dan Kisa, sebenarnya. Namun ketentuan yang ada hanya memberi gue kesempatan satu kali memeluk seseorang. Gue memilih lo, karena sepertinya, lo lebih butuh dipeluk."
Tangan Sabda gemetar saat dia merengkuh Emir. Cowok itu terasa seperti orang sungguhan. Hangat dan memeluknya kokoh. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, membuatnya membenamkan wajah di bahu Emir. Emir tak bicara apa-apa, balik mendekapnya erat, hingga pelan-pelan, sosoknya lenyap seolah-olah dikikis oleh udara. Bahu Sabda berguncang kian keras tatkala dia menyadari apa yang tengah terjadi. Sewaktu sosok Emir sudah sepenuhnya lenyap, lututnya menyerah. Sabda jatuh terduduk, menangis di lantai. Suara tangisnya menggema memenuhi seisi ruangan, membuat pintu terbuka tidak lama kemudian.
Sabda mendengar suara langkah kaki menghampirinya, disusul seseorang berjongkok di dekatnya, menepuk pelan punggungnya.
Dia menoleh, mendapati Setra berada di sana, mengulurkan es gabus tiga warna yang berada di tangannya.
Kalau kita marahan dan salah satu memberi es gabus, maka yang lain harus maafin. Janji?
Janji.
Itu kata Setra dulu, kepada kedua adiknya.
Apa yang lucu dari es gabus sampai lo ngelamun di depan tukang esnya?
Dulu kakak gue pernah bilang, kalau ada yang marahan, sekiranya salah satu ngasih es gabus, maka yang lain harus maafin.
Cool! Ayo kita saling janji juga. Kalau kita marahan dan salah satu ngasih es gabus, maka yang lain harus maafin.
Oke.
Sekarang sudah terlalu terlambat buat Emir untuk menerima es gabus darinya. Cowok itu sudah pergi. Sosoknya lenyap, tidak akan pernah bisa Sabda lihat lagi.
Setra menatapnya dan seakan-akan mengerti, sebelum perasaan adiknya kian hancur ke dalam kepingan, dia meraih Sabda, memeluknya erat.
Sebagai kakak, aku akan selalu ada di sini... menjaga supaya hatimu tetap utuh.
Seterusnya.
Selama yang aku bisa.
bersambung ke outro
***
Catatan dari Renita:
sulit dipercaya, akhirnya kita sudah sampe di final verse haha tinggal sedikit lagi di outro.
gue tahu ada beberapa bagian dari cerita ini yang bakal bikin kalian kepo, jadi gue save itu untuk extra chapters.
terimakasih sudah mengikuti ceritanya sampai sini. niatnya sih posting kemaren biar barengan ulang tahun jaehyun alias arkais, tapi sempetnya hari ini.
btw, jangan hapus cerita ini dari library karena ada kejutan di akhir maret hahahahaha lets see. gue menyiapkan hadiah giveaway buat pembaca guardiationship dan kayaknya kalian bakal sukaaaa sama hadiahnya (ini yang di grup pembaca pasti udah dapet spoiler).
terus untuk penerbitan, masih lama kok dan gue merencanakan membuatnya sebaik-baiknya, entah itu dari cover ataupun bonus.
berhubung gue masih ada kegiatan puncak kkn besok (ini kayaknya bakal jadi chapter terakhir yang diposting di lokasi KKN sebelum gue balik ke semarang), jadi sekian dulu.
gue bakal banyak bacotnya di outro aja ya hahaha
semangat buat semuanya dan semoga ga mewek di chapter ini.
Ciao.
Pemalang, February 15th 2019
21.03
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top