fifth note

This was the way it had always been between them.

The world tried to destroy them,

but they kept each other alive

—Lauren DeStefano—

*

Benar apa yang dikatakan Setra tentang senja. Dia tidak abadi, hanya berlangsung selama sekian menit sebelum terganti oleh malam. Meski senja akan selalu kembali, tidak ada jaminan kita dan esok dipertemukan lagi. Senja adalah cara matahari mengajari dunia menghargai setiap keindahan, tidak peduli sesingkat apa keindahan itu terlihat oleh pandangan.

Mereka nongkrong agak sedikit lebih lama di rooftop karena Rasi ngotot mau melihat bintang—yang sebetulnya tidak terlalu tampak karena polusi cahaya kota—sampai akhirnya Setra memimpin jalan untuk kembali masuk ke mal. Sempat bingung sebentar, ketiganya memutuskan untuk kembali turun ke lantai bawah. Eden sengaja masuk lebih dulu, mengambil tempat di pojok lift bersama Emir sementara Rasi dan Setra berdiri bersebelahan di depannya. Tinggi badan mereka membuat sosok mungil Eden jadi tersembunyi dan itu bagus, karena Eden jadi punya waktu berkomunikasi dengan Emir meski hanya sesaat.

"Gimana?" Eden bertanya tanpa suara, yang Emir balas dengan acungan jempol. Oke, itu berarti sudah aman baginya untuk berpisah dari Setra dan Rasi.

"Heaven, lo mau langsung pulang?"

"Iya, kayaknya. Soalnya jam segini, biasanya nyokap gue udah balik. Gue bilang ke dia kalau gue bakal pulang sebelum jam delapan malam."

"Ibu kamu kerja?"

Eden beralih pada Setra, lalu mengangguk. "Dia perfumer."

"Whoa, keren!" Rasi berseru, matanya membulat seperti mau loncat dari tempatnya. "Dulu, nyokap gue kerja di salah satu majalah fashion. Nggak persis merhatiin perfume, tapi Mama pernah bawa beberapa sample ke rumah dengan bau yang beda-beda. Terus—hng... intinya gitu."

"Kerja di majalah?"

"Sebagai kepala redaksi atau editor in chief." Setra angkat bicara, membuat Eden manggut-manggut sebelum akhirnya memandang kedua cowok di depannya bergantian dengan sorot curiga.

"Kalian udah saling kenal sebelum ini ya?"

"Heaven—"

"Udah." Setra memotong, melirik pada Rasi yang memilih batal bicara. Cowok itu tampak canggung, bikin Eden heran karena karakternya yang kelewat percaya diri jadi hilang tanpa bekas seperti garam yang terguyur air.

"Kok nggak bilang?!"

"Biar jadi kejutan." Setra tertawa renyah, cukup untuk jadi alasan kenapa Eden mendadak lupa segalanya. Cewek itu terpana, lalu membuang muka ke sembarang arah. Dia jelas salah tingkah dan parahnya, kini pipinya mulai memerah.

Kalau aja punya muka ganteng itu tindakan kriminal, pasti Kak Setra udah kena hukuman penjara seumur hidup, Eden membatin dalam hati, masih berusaha keras menghindari tatapan mata Setra demi kesehatan jantungnya—juga wajahnya, yang kini serasa terbakar.

"Kamu dijemput atau gimana?"

"Naik bus, Kak. Biasanya juga gitu, kok."

"Pulang bareng gue aja, deh. Bahaya tahu buat anak gadis naik bus jam-jam segini, tuh." Rasi nyeletuk.

"Ini belum lagi jam tujuh malam. Waktu les persiapan kelulusan sekolah juga gue biasa baru balik jam segini dan selalu naik bus. Gue bukan anak manja kayak lo, yang anti naik transportasi umum." Eden berdecak. "Kalau gitu, kita pisah di sini aja kali ya?"

Mereka terlalu sibuk bicara sambil berjalan, tidak sadar bahwa kini ketiganya sudah tiba di depan pintu lobi utama mal.

"Kamu udah tahu halte yang ada di dekat sini?"

"Udah." Eden mengangguk. "Aku selalu kemana-mana naik bus. Ada halte bus kok di dekat sini, cuma butuh jalan sekitar lima menit."

"Saya temenin, deh."

"Eh, nggak usah repot-repot, Kak!"

"Apa gue aja yang temenin?"

Eden menoleh pada Rasi dan ekspresi wajahnya berubah drastis. "Nggak usah. Nanti pas gue naik bus, lo malah bingung kudu kemana dan malah nyasar!"

"Dih, kok lo ngebeda-bedain gitu, sih?!"

"Ngebeda-bedain apanya?" Eden malah balik bertanya.

"Sama Kak—" Canggung dan ragu tergambar jelas pada airmuka Rasi, namun pada akhirnya cowok itu menghela napas dan meneruskan kata-katanya dengan susah payah. "—sama Kak Setra lo ngomongnya lembut banget. Sama gue jutek banget. Heaven, let me tell ya, membeda-bedakan orang itu is not something okay to do. It's so hurtful to my feelings, you know?"

"Orang kayak lo nih emang pantasnya dilukai." Eden menyahut pedas dengan lagak tidak peduli, membuat Setra jadi bingung sejenak, sebelum cowok itu memutuskan menjadi penengah.

"Gimana kalau kita bareng aja jalan ke halte yang dimaksud Eden?"

"Ih, nggak usah repot-repot, Kak Setra!"

"Nggak apa-apa." Setra menatap ke langit kebiruan yang tampak dari balik pintu kaca besar di depan mereka. "Lagian, malam ini cuacanya bagus. Udah lama juga sejak terakhir kali saya jalan kaki di trotoar. Nggak apa-apa, Eden. Santai aja."

Eden tersipu, yang direspon Rasi dengan membuang muka sembari mendengus kesal.

Emir mengikuti tanpa mengatakan apa-apa, membiarkan tiga orang di depannya sibuk dengan tingkah masing-masing ketika mereka menyusuri trotoar menuju halte yang Eden maksud. Kelihatannya, Rasi jarang berjalan-jalan di trotoar ibukota sendirian. Cowok itu beberapa kali bergumam takjub ketika menyaksikan pemandangan lazim yang kerap ditemui setiap hari oleh para pejalan kaki Jakarta. Tidak hanya sampai di situ, Rasi juga sempat memekik terkejut waktu dia melihat manusia perak lampu merah yang tengah beristirahat di bawah naungan kanopi depan sebuah pos polisi, tengah bersiap menghapus sisa-sisa cat perak yang melapisi sekujur badan.

"Dia manusia milenium ya?!"

"Jangan norak, deh."

"Di New York nggak ada yang begituan!" Rasi membela diri. "Tapi dia keren. Beda sama boneka mampang. Boneka mampang is so scary. Gue nggak bisa tidur di malam hari setelah pertama kali gue lihat mereka di lampu merah yang gue lewatin. Kreatif banget ya orang-orang Jakarta. Gue nungguin deh sampai ada cosplay manusia petir di jalanan. Atau Thor sekalian. Gue suka Thor. Lo tahu Avengers nggak, Heaven? Dari semua anggota Avengers, lo paling suka yang mana? Dari dulu gue nggak pernah ganti—"

"Gue nggak suka super hero."

"Kenapa nggak suka?"

"Super hero cuma ada di film. Di dunia nyata nggak ada yang kayak gitu."

"Heaven, super hero itu ada di dunia nyata. Hanya saja, sosok mereka agak sedikit berbeda dari yang digambarkan film-film." Rasi menukas kalem. "Misalnya guru-guru lo... abang Go-Jek yang nganterin makanan lo waktu malam-malam hujan dan lo lagi laper-lapernya... dokter yang ngobatin lo saat lo sakit... nyokap lo... atau kalau lo mau, gue bisa jadi superhero buat lo, kok!"

"Hadeh."

Cengiran Rasi malah makin lebar dan secara tak terduga, dia mulai menyanyikan salah satu bagian dari lagu One Call Away milik Charlie Puth. "I'm only one call away... I'll be there to save the day... Superman got nothing on me... I'm only one call away..."

"Rasi, tolong ya—"

"Call me, baby, if you need a friend... I just wanna give you love... Come on, come on, come on... Reaching out to you, so take a chan—argh, again?! Heaven, lo sehobi itu ya nendang gue?"

"Suara lo jelek. Malu, bikin kita dilihatin orang."

"Oke, suara gue mungkin nggak sebagus Charlie Puth, tapi tawaran gue yang tadi masih berlaku loh. Gue bisa jadi superhero buat lo kalau lo mau."

"Nggak usah. Makasih."

"Loh, ini beneran! Makanya, balik sama gue biar bisa gue jagain!" Rasi malah makin semangat.

"Thanks tapi gue lebih suka naik bus daripada naik taksi online."

"Kenapa sih? Sesebel itu ya sama gue?" Nada suara Rasi berubah muram dan itu membuat Eden jadi tidak enak hati. Cowok ini benar-benar bikin Eden susah menentukan reaksi macam apa yang tepat untuk semua kelakuannya. Kadang, Eden gregetan setengah mati sampai rasanya kepingin mencubit pinggang Rasi berkali-kali. Tetapi, ketika dia sudah bicara dengan gaya serupa anak kelinci lagi dizalimi, Eden malah jadi iba sendiri.

"Nggak. Gue emang nggak suka naik taksi online."

"Kenapa gitu?"

"Gue nggak suka naik transportasi umum yang modelnya terlalu pribadi, yang isinya cuma gue sendiri."

"Kan ada gue."

"Tetap aja, gue lebih suka naik bus." Eden ngotot, sejenak lupa pada kehadiran Setra—juga Emir—yang pasrah jadi penonton ajang debat tanpa ujungnya dengan Rasi. "Lo itu suka nyebelin, tapi bukan itu alasan kenapa gue nggak mau balik bareng lo. Sebenarnya, kita bisa aja balik bareng kalau lo mau naik bus. Itu pun kalau rumah kita satu rute. Sayangnya, lo nggak suka naik bus, kan?"

Rasi cemberut, diikuti helaan napas dalam. "Gue bukan nggak suka. Atau nggak mau. Tapi gue nggak bisa."

"And it's okay." Eden menimpali sebelum Rasi mulai berpikir ngelantur dan menganggapnya membenci cowok itu. Buat Eden, kata benci adalah sesuatu yang tidak bisa digunakan semaunya. Ada bagian dari karakter Rasi yang tidak dia sukai, tetapi apa itu lantas jadi pembenaran baginya untuk membenci seseorang yang belum dia kenal dekat? Tentu saja tidak. "Ponsel lo nggak ketinggalan lagi, kan?"

Rasi nyengir, teringat pada peristiwa tempo hari soal ponselnya yang tertinggal di dalam taksi, kemudian dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Aman."

"Bagus."

"Tapi beneran lo mau pulang sendiri?"

"Gue bukan anak TK dan halte pemberhentiannya juga nggak terlalu jauh dari rumah gue. Daripada mengkhawatirkan gue, mending lo mengkhawatirkan diri lo sendiri sebab dari roman-romannya muka lo, lo ini orang yang gampang nyasar."

"I don't know why but this doesn't feel so right. Gue nggak suka lihat lo pulang naik bus sendirian. Gue mau nemenin lo, tapi gue nggak bisa—"

"Biar aku aja." Setra menyela tiba-tiba, membuat Eden dan Rasi kompak menoleh padanya. Alis Eden terangkat karena tidak seperti yang sudah-sudah, Setra menggunakan kata 'aku' ketika bicara dengan Rasi, bukan 'saya' yang selalu dia gunakan sepanjang Eden bersamanya sejak mereka bertemu di Timezone tadi.

"Fine. Seenggaknya lo nggak sendirian." Rasi jelas menghindar bicara langsung dengan Setra, memilih menatap lekat pada Eden.

"Anyway Eden, boleh saya minta nomor ponsel kamu? Tenang, saya nggak akan ganggu kamu, kok. Cuma... saya rasa saya butuh—"

"Boleh, Kak. Aku tahu kakak bukan orang nggak bener yang bakal menyalahgunakan kontak aku, kok. Sini, biar aku masukkin nomor aku di ponsel Kak Setra."

"Gue juga mau, dong!" Rasi menyambar, tidak mau kalah.

"Buat apa juga lo punya nomor gue?"

"Heaven, lo ngasih nomor lo ke—ng—ke Kak Setra, masa nggak mau ngasih nomor lo ke gue?! Lo nggak boleh pilih kasih, dong! Be fair, Girly. Be fair!"

Eden mengembuskan napas, menyerah karena capek berdebat dengan Rasi dan memberi nomor ponselnya sesuai permintaan cowok itu. Cengir lebarnya yang khas kembali terlihat, membuat rasa kesal Eden jadi jauh berkurang. Rasi dan kepercayaan dirinya yang ketinggian memang sukar dia mengerti, tetapi Eden akan berdosa jika tidak mengakui bahwa Rasi punya senyum yang menular. Siapapun yang melihatnya pasti jadi ingin ikut tersenyum. Ada sesuatu yang innocent dalam binar matanya waktu dia tesenyum.

Bertepatan dengan Eden selesai menyimpan nomor ponselnya di direktori kontak ponsel Rasi, bus yang dia tunggu datang.

"Bus gue udah dateng. Lo nggak apa-apa gue tinggal duluan?"

Rasi mengangguk. "Gue tinggal mesen taksi online aja. Gue nggak akan nyasar."

"Mana ada juga orang yang nyasar pulang ketika dia naik taksi online." Eden memutar bola mata sebelum melanjutkan langkah menapaki tangga menuju halte. Setra tidak langsung mengikutinya, namun menatap Rasi sebentar, lalu berbisik dalam suara samar. Eden tidak mendengarnya, tetapi bisiknya cukup jelas untuk bisa ditangkap Rasi.

"Rasi,"

Rasi tersekat, hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Jantungnya serasa mau jatuh ke perut waktu dia menjawab dengan suara pecah. "... iya?"

Setra tersenyum, agak canggung dan terkesan dipaksakan, tapi jelas dia tulus dengan maksud kata-kata yang dia ucapkan. "Hati-hati ya."

"... iya."

Kak Setra juga, Rasi menyambung dalam hati tanpa menyuarakannya keras-keras.

Setra berbalik, memunggungi adiknya dan mengikuti Eden yang sudah lebih dulu berdiri di luar garis batas, menunggu penumpang dari dalam bus turun. Diam-diam, ada senyum lega bercampur senang tertarik di wajahnya. Dia tidak menoleh lagi. Sesuatu yang disesalkan, sebab jika dia menoleh, sudah pasti, dia akan mendapati Rasi juga sedang berusaha keras menahan senyum--yang gagal dia lakukan.

Tidak jauh berbeda dengannya.

*

Jam padat pulang kerja sebagian besar orang sudah berakhir, jadi bus yang Eden dan Setra tumpangi terhitung cukup lengang. Mereka mendapat tempat duduk bersebelahan, di depan bapak setengah baya yang sibuk membaca koran dan anak muda pemakai headphone yang tidak berhenti mengecek notifikasi ponselnya. Begitu bus melaju, Eden sengaja membuka tasnya, mengeluarkan lembar-lembar foto yang dia ambil ketika merada berada di rooftop mal tadi. Kebanyakan hasil foto itu bagus, dan kalaupun ada foto yang bisa dianggap gagal, bisa dipastikan orang yang mengambilnya pasti Rasi.

"Foto yang ini bagus." Setra bicara tiba-tiba sambil mencondongkan tubuhnya sedikit pada Eden, menunjuk selembar foto yang terselip diantara foto-foto lainnya. Eden terperangah, lalu pipinya memerah lagi. Bukan karena foto yang Setra bilang bagus adalah fotonya di rooftop, melainkan karena cowok itu membungkuk agak sedikit terlalu dekat hingga wangi khasnya tercium. Eden tidak tahu parfum apa yang Setra pakai, tapi cowok itu berbau seperti sesuatu yang hangat dan nyaman dipeluk. Ada sedikit jejak aroma lainnya yang familier, mengingatkan Eden pada Febreze yang kerap disemprotkan Mama untuk mengharumkan ruangan di rumah mereka.

"Kenapa diam, Eden?"

"Hng... nggak... nggak apa-apa..." Eden berjuang mati-matian supaya terdengar baik-baik saja. "Foto Kak Setra yang ini juga bagus. Boleh kakak ambil kalau mau."

"Boleh?"

Eden mengangguk, tersenyum senang ketika Setra menerima foto itu sebelum dia teringat pada foto lain yang sempat dia ambil. Saat berada di rooftop mal tadi, Setra dan Rasi berdiri bersebelahan cukup lama. Mereka bahkan sempat saling bertukar kata, entah membicarakan apa karena Eden berdiri terlalu jauh hingga dia tidak bisa mendengarnya, tapi yang jelas, Eden menjepret lebih dari satu foto. Hasilnya sebagus yang lain. Eden berencana menggunakan salah satunya sebagai foto yang bakal dia submit untuk tugas grup penggemar fotografi dan filmnya, namun dia penasaran kalau-kalau Setra ingin punya salah satu dari foto itu.

"Foto ini juga bagus."

Napas Setra tertahan sejenak tatkala dia menyadari sosok yang ada dalam foto itu adalah dirinya dan Rasi. "Kamu... motret foto ini?"

"Iya. Bagus kan, Kak?"

"Boleh... saya minta?"

"Justru itu tujuan aku ngasih lihat ini ke Kak Setra." Eden nyengir, memberikan foto itu pada Setra yang langsung meraihnya tanpa menunggu lebih lama. "Keren banget. Artistik, tapi ada feelingnya. Aku nggak jago fotografi, jadi bisa aku bilang, itu bisa jadi foto terbaik yang pernah aku ambil."

Setra tidak menjawab, matanya masih terpaku pada foto itu. Eden tak meneruskan bicara lebih jauh, sebab perhatiannya dibuyarkan oleh ponselnya yang mendadak mengeluarkan bunyi pendek pelan. Ada pesan baru yang masuk dan itu datang dari Mama. Eden membukanya, spontan mendesah lelah hingga menarik perhatian Setra.

"Kenapa?"

"Kayaknya setelah turun, aku harus mampir dulu di minimarket dekat rumah. Mamaku barusan ngechat, bilang katanya akan pulang malam dan nyuruh aku makan duluan. Mi instan di rumah udah habis dan aku lagi kepingin makan mi malam ini. Kalau dirasa kelamaan, Kak Setra bisa pulang duluan. Aku nggak enak ngerepotin terus, padahal kita baru kenal."

"Nggak bisa. Saya harus antar dan pastikan kamu sampai di rumah."

"Kak Setra nggak mesti—"

"Jika nggak gitu, Rasi bakal marah sama saya." Setra menukas sambil terkekeh. Dia bercanda. "Lagipula, sama seperti yang Rasi bilang tadi, rasanya nggak enak aja membiarkan kamu jalan sendirian sampai rumah. Ini masih sore, tapi langit sudah gelap dan Jakarta nggak seperti kota-kota di negara maju sana yang jalanannya aman untuk perempuan waktu malam."

"Maaf ya, Kak."

"Nggak perlu minta maaf. Kamu nggak melakukan kesalahan."

Seandainya saja ada Yasmine di sini, Eden berani taruhan, mata cewek itu pasti sudah berubah jadi hati berdenyut merah muda seperti dalam komik-komik gara-gara tingkah-laku Setra.

Mereka tidak banyak bicara selama sisa perjalanan, hanya mengobrol seperlunya, namun Eden merasa nyaman berada di dekat Setra. Entah kenapa, ada sesuatu dalam aura cowok itu yang mengingatkan Eden pada kesejukan hujan di Minggu pagi. Berbeda dengan beberapa orang baru yang Eden kenal belakangan ini—seperti Sabda yang mulutnya macam petasan syukuran haji atau Rasi yang serasa jadi pemilik dunia gara-gara tampang tampannya—Setra itu yang paling normal, paling baik dan paling ramah.

Siapapun pacar Setra, Eden harus bilang dia iri karena cewek itu sangat beruntung.

Sesuai rencana sebelumnya, Eden mampir di minimarket lebih dulu sebelum pulang. Setra mengikutinya masuk ke dalam. Mereka berpencar ke deretan rak yang memuat beragam barang, lalu bertemu lagi di kasir. Keranjang plastik Eden penuh dengan beragam snack, minuman yoghurt, teh dalam kemasan kotak hingga puding instan berikut bubuk vla siap seduh. Keranjang plastik Setra juga penuh, tapi hanya oleh berbotol-botol air mineral kemasan setengah liter.

"Kak Setra beli air banyak banget."

"Cukup banyak."

Eden bingung, tetapi tidak bertanya lebih jauh dan membayar belanjaannya di kasir. Cewek itu menunggu Setra selesai melakukan tindakan yang sama, lalu mereka berjalan keluar dari minimarket dan menyusuri trotoar bersebelahan. Kebingungan Eden, ternyata tidak bertahan lama. Mereka belum lama berjalan ketika Setra mulai membagikan air mineral yang dia beli pada orang-orang membutuhkan yang mereka temui di jalan—mulai dari kakek pedagang kue pancong pinggir jalan yang sedang membereskan alat pikulannya, hingga pengemis lanjut usia yang tidur di atas selapis tipis kertas koran di emperan sebuah toko yang sudah tutup.

"Kak Setra beli air hanya untuk dibagiin?"

Setra tersenyum. "Apa itu salah?"

Eden jadi salah tingkah. "Nggak. Bagus, malah. Aku... heran karena aku belum pernah ketemu orang yang mau repot-repot beli air sebanyak itu, belum lagi ngebawanya dalam kantung plastik, untuk dibagi-bagiin ke orang-orang di jalanan."

"Aneh, memang, tapi ini udah jadi kebiasaan saya dari saya masih kecil. Mama saya selalu ngasih tahu ke saya kalau kita nggak perlu menunggu bisa memberi sesuatu yang besar untuk berbagi dengan orang lain."

Sekarang, Eden jadi mengagumi sosok yang baru saja Setra ceritakan.

"Ini rumah kamu?" Setra bertanya saat Eden berhenti di depan sebuah rumah berpagar tinggi yang tampak sepi. Dari sela-sela besi pagar, dia bisa melihat halaman rumah yang dipenuhi beberapa pot tanaman bunga, juga sebatang pohon rindang yang tertanam di salah satu sudutnya.

"Iya. Kak Setra mau mampir dulu?"

"Nggak usah. Kamu sendirian. Nanti situasinya bakal nggak nyaman dan bisa mengundang omongan orang."

"Ah ya, bener juga." Eden jadi merasa bodoh sudah bilang begitu. "Oh ya, Kak Setra, sekali lagi, aku minta maaf buat hari ini. Juga makasih. Aku tahu, aku kedengaran konyol soal ramalan zodiak itu... sebagai permintaan maaf sekaligus tanda terimakasih... ini buat kakak..."

Setra mengangkat alis, menatap pada sekotak susu rasa pisang yang kini Eden sodorkan padanya sambil menunduk.

"Susu?"

"Biasanya, aku suka minum susu supaya bisa tidur nyenyak. Aku harap, Kak Setra bisa tidur nyenyak juga malam ini. Atau... Kak Setra nggak suka susu rasa pisang?"

Setra tertawa kecil, kembali berhasil menghipnotis Eden. "Eden,"

"I—iya?"

"Makasih ya. Untuk semuanya. Untuk hari ini."

"I—iya." Kasih tahu Eden, dia harus menjawab apa supaya tidak kelihatan tolol?

"Yaudah gih, masuk."

"I—iya." Eden berbalik dengan salah tingkah. Pipinya dijalari oleh rona merah, membuat mempercepat langkah menuju pagar rumah. Emir mengikutinya, diam-diam tersenyum geli saat Eden berjalan melintasi halaman dengan gerak kaku mirip robot. Pada suatu titik, cewek itu berhenti dan berbalik.

Keputusan yang salah, karena Setra masih berada di tempatnya berdiri, tersenyum manis diikuti melambaikan tangan.

Eden mulai percaya jika lambaian tangan itu memang bisa membunuh.

Dia berasa barusan ditembak pake AK-47 tepat di dada hanya karena kombinasi mematikan senyum dan lambaian tangan Setra.

"Perlu gue kasih soundtrack nggak?"

Eden mendengus, berpaling pada Emir yang mengacaukan suasana tanpa permisi. "Apaan?!"

"Stop, kau mencuri hatiku~ hatiku~... stop, kau mencuri hatiku..."

Eden menggeram kesal, bergegas masuk ke ruang tamu sehingga Setra tidak lagi melihatnya. Cewek itu melemparkan plastik belanjaannya ke sofa, kemudian berbalik dan berkacak pinggang pada Emir yang refleks memasang tampang serupa siswa tak berdosa tengah dimarahi gurunya. "Lo tuh ngeselin banget!"

"Loh, emang kenapa?"

"Seenggaknya biarin gue menghayati sejenak kegantengan Kak Setra tanpa harus lo ganggu pake celetukan lo yang nyebelin!" Eden berseru, melotot pada Emir. Cowok itu mengkeret, diam tanpa berani bergerak. "Soundtrack macam apa juga itu? Lo hidup di jaman apa emang?"

"Itu lagunya Dewi Perssik dan keluarnya masih di tahun 2000an ke atas ya, Kisa. Jangan lebay. Belum aja gue nyanyi lagunya Nike Ardilla!"

"Bodo. Pokoknya gue kesal!"

"Lo naksir ya sama Kak Setra?"

"Nggak!" Eden membantah keras. "Tapi dia ganteng banget. Cewek mana ada yang nggak lemah sama cowok ganteng? Apalagi yang ini baiknya kebangetan."

Emir tak langsung menjawab. Dia menatap Eden lekat, sebelum kembali bicara dengan nada suara yang berubah serius. "Kisa,"

"Apa?"

"Kalau bisa, jangan jatuh cinta."

"Lo ngomong apa, sih? Siapa juga yang mau jatuh cinta?"

"Hanya mengingatkan." Emir mengedikkan bahu.

"Peringatan yang nggak make sense. Gue nggak punya rencana jatuh cinta. Lagian, sekalipun gue jatuh cinta, orang kayak Kak Setra itu too good to be true buat gue."

"Jatuh cinta yang nggak direncanakan justru seringkali jadi jatuh cinta yang paling sulit dilupakan."

"Oh, jadi lo udah banting setir jadi pujangga nih sekarang?"

"Cuma peringatan aja, sebab, semuanya akan jadi terlalu rumit dari yang seharusnya jika lo sampai jatuh cinta."

Eden menoleh pada Emir, berniat mengejeknya, tetapi tidak jadi karena entah bagaimana, Emir kelihatan benar-benar serius dengan ucapannya.

Dan itu membuat Eden agak sedikit takut.

Tapi apa yang bisa berbahaya dari perkara jatuh cinta?

*

Kelihatannya, Papa tidak pulang lagi malam ini. Mungkin laki-laki itu lebih memilih bermalam di kantor, atau dugaan lebih pahitnya, sibuk menyambangi tempat perempuan baru yang dia kencani. Sabda tidak peduli dan betul-betul tidak peduli soal itu. Rasi baru pulang menjelang pukul delapan malam. Sabda mendengarnya langsung masuk kamar dan tidak keluar lagi. Dia bersikap tidak peduli, meski sebetulnya, dia ingin bertanya pada kakak keduanya tentang apa yang Rasi lakukan untuk membuang waktu seharian ini.

Sabda memilih duduk di depan komputernya untuk bermain game online sampai bokongnya terasa panas dan lehernya terasa pegal. Malam berlalu dengan tenang, tidak jauh beda dengan hari-hari sepi sebelumnya yang sudah mereka lewati. Jarum jam merambat pelan tapi pasti, diiringi oleh suara kendaraan yang melewati jalanan depan rumah mereka. Kemudian segalanya terganti oleh sunyi, yang juga tak abadi karena dipecah oleh bunyi guruh disusul derai hujan yang jatuh tanpa permisi.

Sabda menekan salah satu tombol pada keyboard komputernya untuk menjeda permainan yang tengah dia mainkan, kemudian beranjak dari kursi untuk membuka jendela. Aroma sejuk yang hanya bisa dihasilkan oleh percumbuan antara hujan dan tanah tercium, membuat Sabda merasa tenang. Cowok itu melirik sekilas pada jam di tembok kamarnya, hampir terperanjat tatkala sadar bahwa sekarang sudah hampir tengah malam.

Masa melenggang tanpa terasa.

Sabda sengaja berlama-lama di pinggir jendela, membiarkan angin dingin berembus meniup wajahnya, lalu matanya terpejam.

Dari sebuah ruangan di lantai bawah, denting piano terdengar lagi. Masih lagu yang sama. Lagu yang selalu Mama mainkan setiap kali hujan turun. Lagu yang lama tidak Sabda dengar. Lagu yang selalu Sabda rindukan. Lagu yang selalu dia harap bisa kembali dia dengar.

Katanya, orang harus berhati-hati dengan apa yang dia harapkan.

Sabda rasa itu benar. Dia berharap bisa mendengar lagu itu lagi, tetapi kini dia menyesalinya. Dia baru tersadar bahwa yang terpenting dari permainan piano itu bukan lagu yang dimainkan, melainkan siapa yang memainkan.

Sabda ingin mendengar permainan Mama, bukan permainan orang lain pada lagu yang serupa.

Cowok itu menggigit bibir, buru-buru menarik dirinya dari jendela dan mengabaikan jendela browsernya yang masih menampilkan permainan terjeda. Sabda sempat berpikir untuk naik ke tempat tidur, mengubur dirinya dalam tumpukan bantal dan selimut sambil berharap dia bisa lekas terlelap sebelum rindu memangsanya dengan lahap. Tapi kemudian dia sadar itu semua percuma, jadi Sabda memilih berpura-pura tidak mendengar alunan denting piano yang kian mengeras, memutuskan beralih menarik kardus barang-barang lama yang tersimpan di kolong ranjangnya.

Kardus itu sudah berdebu, diselimuti oleh sarang laba-laba ketika Sabda mengeluarkannya, tanda sudah sangat lama sejak terakhir kali benda itu disentuh. Sabda mengabaikan sarang laba-laba yang tersangkut di jarinya, membongkar isi kardus yang sebagian besar didominasi komik lama. Komik-komik kesayangannya ditempatkan pada rak tinggi di sisi lain kamar tidur, mayoritas diantaranya telah Sabda baca berulang kali tanpa terhitung. Sabda bosan dan dia rasa, distraksi terbaiknya bisa dia temukan dalam kardus itu.

Kardus itu jelas menyimpan sebagian kecil keping-keping masa kecil Sabda yang terlupakan. Ada krayon merah yang patah di dalam sana, rautan yang sudah tumpul dan tidak bisa lagi digunakan, spidol lama tanpa tutup yang telah mengering, hingga buku sketsa besar bergambar lukisan Teletubbies yang Sabda ingat, dibelinya waktu dia masih SD.

Terdorong rasa penasaran, Sabda membukanya. Sesuatu yang dia sesali, sebab dia langsung disambut oleh gambar sebuah benda besar penuh garis warna merah, kuning dan jingga. Itu gambar anak SD biasa, berantakan, tidak simetris dan terkesan asal-asalan. Tetapi itu bukan gambarnya, dan itu cukup untuk membangkitkan luka.

Itu gambar Rasi.

Diantara mereka bertiga, Rasi adalah yang paling berbakat dalam masalah musik. Dia yang paling sering duduk di sebelah Mama ketika Mama bermain piano setiap hujan turun. Tapi untuk urusan gambar, Setra masih tidak tertandingi. Bisa dikatakan, kemampuan gambar Rasi paling minus jika dibandingkan dengan kemampuan gambar Setra atau Sabda. Sabda sengaja memintanya menggambar sesuatu di sana pada suatu hari sekian tahun yang lalu, hanya untuk meledek Rasi. Namun pada akhirnya, dia malah dibikin penasaran oleh apa yang Rasi gambar.

"Setan model apa nih yang baru kamu gambar?"

"Itu bukan setan, Sabda."

"Terus apa?"

"Itu matahari."

Sabda tertawa keras-keras. "Ini mataharinya abis mabok ganja kali ya?"

"Sabda, kok ngomongnya gitu?!" Setra menyela, memang sedang duduk tidak jauh dari mana. "Dan lagi, dari mana kamu tahu soal ganja-ganjaan?"

"Nonton di berita, Kak. Katanya kemarin tuh pas ganja hasil razia polisi dibakar, asepnya nyampe ke kampung warga terus warganya mabok rame-rame. Arin bilang, itu namanya nyimeng."

Setra kicep, tidak tahu harus bilang apa meski diam-diam dia merasa harus memberitahu Mama soal Sabda, ganja, nyimeng dan Arin.

"Pokoknya itu matahari."

"Terus kenapa gambarnya matahari?"

"Soalnya matahari itu panas. Aku nggak suka." Rasi berkata tanpa mengalihkan pandang dari PSP yang dia pegang di tangannya. Dia lagi sibuk main Harvest Moon dan sebentar lagi, sapinya mau lahiran. "Tapi kalau nggak ada matahari, kita nggak bisa ngapa-ngapain. Kita nggak bisa sekolah. Nggak bisa main. Nggak bisa jemur baju."

"Aku masih nggak ngerti."

"Tumben kamu lebih bodoh dari aku."

"Saking bodohnya kamu, yang bisa ngerti cuma orang-orang yang sama bodohnya sama kamu." Sabda membela diri, namun Rasi terlalu fokus memberi makan ayam-ayam peliharaannya untuk balik mengejek. "Kenapa gambarnya matahari?"

"Soalnya matahari tuh kayak kamu. Kamu suka nyebelin. Tapi kalau nggak ada kamu, aku nggak bisa ngapa-ngapain."

Sabda tersekat, hampir terharu jika saja Rasi tidak menyambung lagi sesaat setelah.

"Terus mataharinya sengaja aku gambar kayak gitu. Biar jelek tampangnya. Seperti kamu."

Kalau saja bisa, Sabda kepingin bikin sapi peliharaan Rasi di Harvest Moon lahiran prematur, atau bayinya mati sekalian, tapi karena dia tidak bisa, jadilah dia hanya mampu menerjang Rasi dan mengelitiki ketiaknya sampai Rasi menangis minta ampun.

Lamunan Sabda buyar ketika suara denting piano terhenti, walau hujan masih terus turun.

Cowok itu menutup buku gambar yang terbuka di depannya, memasukkannya ke dalam kardus dan mengembalikan kardus tersebut ke bawah ranjang. Dia memandang bergantian pada jam dinding juga pada layar komputernya yang masih menyala, lantas memutuskan untuk bangkit dan turun ke lantai bawah. Suhu udara turun dengan cepat karena hujan deras yang datang tiba-tiba. Sabda lapar. Rasanya tidak dosa jika dia memasak semangkuk mi instan sekarang.

Sabda menuruni tangga tanpa suara, melirik sekilas pada ruangan di mana piano tersimpan dan mengembuskan napas lega kala melihat lampunya masih menyala. Kemungkinan besar, Rasi ada di sana, jadi dia tidak perlu khawatir bakal harus berpapasan dengan kakaknya. Lampu dapur sudah dimatikan. Begitu masuk, Sabda bermaksud mencari saklar lampu di tembok, tetapi dibikin membatu di tempatnya berdiri saat dia melihat Rasi tengah berdiri di depan kulkas. Tangan kirinya memeluk wadah besar es krim yang belum dibuka, sementara tangan kanannya memegang kotak jus instan ukuran satu liter yang isinya sedang dia tenggak langsung, tanpa dituang ke gelas. Seolah belum cukup bar-bar, pintu kulkas masih terbuka, ditahan oleh kakinya.

Agaknya, Rasi juga menyadari kehadiran Sabda, sebab dia menoleh ke arah pintu. Mata mereka bertemu, diakhiri dengan tidak syahdu. Rasi tersedak, sibuk batuk-batuk seperti orang tenggelam yang baru diselamatkan sementara Sabda membuang muka dengan wajah memerah, mati-matian menahan tawa.

Untung lampu belum dinyalakan, karena jika iya, Sabda sudah pasti kehilangan muka.

"Kayak maling aja." Sabda berkomentar usai dia menekan saklar lampu, membuat seantero dapur jadi terang-benderang. Rasi balik menatap polos sambil masih mendekap kotak jus dan wadah es krim ke dadanya, makin terlihat seperti pencuri yang tertangkap basah.

"Lo... ngapain ke dapur?"

"Sejak kapan ada larangan gue nggak boleh ke dapur?" Sabda menukas masam, bikin Rasi kicep. Cowok itu kemudian melangkah mendekati meja konter, mengeluarkan panci dari salah satu lemari dan mengisinya dengan air. Keduanya saling memunggungi. Sabda menghadap pada kompor, menunggu air dalam pancinya mendidih. Rasi menghadap meja makan, bingung harus berbuat apa.

Keheningan panjang yang terasa seperti berabad-abad terlalui dengan sangat menyiksa. Situasi canggung amat terasa. Namun keduanya ngotot tetap diam, berlagak sibuk dengan urusan masing-masing. Saat Sabda selesai memasak mi-nya dan membawa mangkuk berisi mi itu ke meja makan, Rasi hanya mampu berdiri kaku sejenak, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke balik meja konter dan ikut mengeluarkan sebungkus mi instan yang lain. Tidak hanya sampai di situ, dia mengembalikan es krimnya kembali ke dalam kulkas, walau tidak dengan kotak jus yang dia letakkan di sudut lain meja makan.

Sepi lagi, apa yang terdengar hanya suara Sabda menyeruput kuah mi-nya dan Rasi yang sibuk mengaduk rebusan mi miliknya sendiri dalam panci.

Menit demi menit berlalu, mi itu pun matang. Butuh usaha ekstra keras bagi Rasi menuang isi pancinya ke dalam mangkuk berisi bumbu karena dia khawatir terkena cipratan air panas, namun dia berhasil melakukannya. Rasi termenung sejenak, berpikir beberapa lama, lantas bermaksud membawa mangkuk mi dan kotak jusnya ke kamar ketika Sabda tiba-tiba bicara, sukses menahannya.

"Mau ke mana?"

Rasi menoleh, mengerjapkan matanya beberapa kali, ekspresi kaget dan polos berbaur di wajahnya. "Makan mi."

"Di mana?"

"Di... kamar."

"Tempat tidur itu buat tidur, bukan buat makan."

"Hng... terus?"

Sabda menendang kaki kursi di depannya, membuat kursi itu bergeser diiringi suara derit. "Nggak ada yang larang lo buat duduk di situ."

Rasi melongo, masih mencerna maksud di balik tindakan Sabda.

"Kalau nggak mau juga nggak apa-apa."

"Gue nggak bilang gitu." Rasi menukas cepat, tergesa menggeser mangkuk dan kotak jusnya ke tempat yang ditunjuk Sabda, lalu menarik kursi dan duduk di depannya.

Ini adalah kali pertama mereka duduk semeja dengan begitu dekat dan hanya berdua saja sejak kepulangan Rasi dari Amerika satu setengah tahun yang lalu.

Mereka tidak bicara, hanya menyantap mi instan dalam mangkuk masing-masing ditemani nada hujan yang sesekali dijeda oleh gemuruh guruh.

Namun, dalam kondisi mereka yang sekarang, itu sudah lebih dari cukup bagi keduanya. 




bersambung ke sixth note. 

***

Catatan dari Renita: 

acie akhirnya update lagi. ini terhitung cepet karena sebetulnya, untuk minggu ini gue bakal ada pembekalan kkn dan penyusunan ulang propo wkwk 

but well, untuk semua feedbacks yang sudah kalian beri di part-part sebelumnya, mulai dari vote sampe komen, you deserve fast update. 

kayaknya sebagian dari kalian berpikir kalau eden ada sebagai 'penghubung' yang bakal bikin hubungan antara setra-rasi-sabda membaik 

bisa iya... atau bisa nggak...

karena sebagian besar tindakan eden untuk tiga bersaudara itu so far berhubungan dengan emir. kita nggak tahu apakah nantinya kalau eden bertindak atas keinginannya sendiri, itu bakal berakhir mempersatukan atau justru menjauhkan yang udah jauh 

acie apa banget ya gw 

yah, tapi mari kita nikmati aja gimana cerita ini mengalir dan akan dibawa kemana kita nantinya. acie. 

oke, sekian dan terimakasih karena mbaknya mau makan dulu (iya pamit mau makan lagi nih gue. sampe ketemu lagi gaes di chapter berikutnya) 

makasih buat yang udah nyempetin vote dan comment. aku cinta banget. kalian sudah meluangkan waktu kalian yang penting buat komen (palagi yang sepanjang gambreng udahlah sarange banget jongmalyo cinca daebak) 

ciao 

Semarang, November 9th 2018 

18.54

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top