fifteenth note

In time of grief and sorrow, I will hold you and rock you

and take your grief and make it my own.

When you cry, I cry and when you hurt, I hurt.

Together, we will try to hold back the floods to tears

and despair and make it through the potholed street of life.

—Nicholas Sparks—

*

Pagi baru dimulai saat Eden terbangun dari tidurnya. Dia jadi yang pertama terjaga. Setra dan kedua adiknya masih lelap di kasur masing-masing. Eden mengernyit, mengerjapkan mata beberapa kali lantas melakukan peregangan singkat sebelum melangkah turun dari kasur untuk membasuh wajah di kamar mandi. Setelahnya, dia berjalan mendekati tirai jendela besar yang memenuhi seluruh tembok pada salah satu sisi kamar, menariknya hingga terbuka dan langsung disambut oleh pemandangan lembah berselimut pepohonan hijau. Langit belum betul-betul terang. Seain karena hari masih dini, juga karena mendung yang menyembunyikan matahari. Tidak heran, hujan memang turun hampir sepanjang malam.

"Heaven?"

Eden baru melangkah menjauhi jendela, berniat keluar dari kamar menuju area dapur guesthouse saat suara parau Rasi yang baru bangun tidur memanggilnya. Dia menoleh, mendapati cowok itu telah duduk di kasur, namun wajahnya masih digelayuti kantuk. Dia mengedip beberapa kali sembari menggaruk leher, persis seperti bocah kecil yang sedang mengigau.

"Iya?"

"Mau ke mana?"

"Ke dapur."

"Hah? Dapur?" Kentara sekali, Rasi masih mengumpulkan puing-puing kesadarannya dari alam mimpi. Saat dia beranjak turun dari kasur untuk mendekati Eden, langkahnya oleng. Dia hampir tersandung oleh ujung karpet pelapis lantai yang terlipat. Untung, Eden langsung meraih salah satu tangannya, menahannya agar tidak terjatuh. Bisa berabe, nanti lantai kamar bergetar hebat dan disangka terjadi gempa.

"Buset, berat banget ya lo!" Eden berseru dalam gumam, tidak ingin membangunkan dua penghuni kamar lain yang masih tenang di kasur masing-masing.

"Heaven,"

"Ape?!"

Rasi malah menghirup udara banyak-banyak sambil lebih mencondongkan tubuhnya pada Eden, bernapas hampir di dekat telinga gadis itu. "Lo wangi. Suka."

"Eits, jangan endus-endus!"

Rasi tergelak seraya menegakkan badan, lalu menguap. "Ke dapur mau ngapain?"

"Masak."

"Bukannya udah ada ibu-ibu guesthouse yang nanti masak?"

"Nggak apa-apa. Mau masak aja. Buat jadi kejutan."

Ekspresi wajah Rasi berubah tertarik. "Mau masak apa?"

"Belum tahu. Nanti sambil searching-searching dulu di Google."

"Mau ikut."

"Ikut?"

"Ikut masak." Rasi nyengir.

"Ck."

"Boleh yaaaa? Masaknya juga buat Kak Setra ama Sapi, kan? Boleh ya? Ya ya ya? Pleaseeee..."

Diantara Setra dan kedua adiknya, Rasi adalah yang paling sering bikin Eden naik darah. Yah, dibilang naik darah mungkin tidak tepat juga, sih. Tapi tingkah-laku Rasi itu sangat ajaib, membuat Eden berpikir sepertinya tidak ada makhluk dengan tingkat kekoplakan yang bisa menyamainya di muka Bumi ini. Namun, gitu-gitu juga Rasi baik. Beberapa kali, Eden bahkan merasa Rasi sangat menggemaskan. Sekarang, melihatnya merajuk seperti itu, jelas saja Eden tak bakal mampu menolak atau menyuruhnya kembali tidur.

"Oke. Boleh. Tapi bantuin beneran ya? Jangan bikin yang aneh-aneh!"

Rasi mengacungkan jempolnya. "Iya!"

"Kita ke dapur dulu, nyari ibu-ibu guesthousenya. Misalnya bahan-bahan untuk apa yang mau dimasak nggak ada, berarti kita harus belanja dulu ke minimarket seberang."

"Oke."

"Yaudah, ayo."

"Tungguin. Mau pipis dulu."

Eden menunggui Rasi menyelesaikan urusan toiletnya di luar pintu kamar mandi. Cowok itu muncul lagi tidak sampai lima menit kemudian. Wajahnya basah. Eden menoleh, menarik napas panjang, mengabaikan Rasi yang nyengir padanya untuk kembali mendekati nakas di sisi bunker bed dan mengambil sebungkus tisu basah dari sana. Bersama sebungkus tisu basah di tangan, Eden menghampiri Rasi, menggunakan sehelai tisu untuk menghapus sisa busa sabun yang belum bersih di dekat garis rahang Rasi. Rasi jauh lebih tinggi darinya, bikin Eden harus berjinjit sedikit. Sejenak, Rasi bingung, namun kemudian dengan lagak serupa gentleman, cowok itu menekuk lutut, membuat tinggi badannya dan Eden sejajar.

"Gue bingung gue mesti tersanjung atau justru tersinggung." Eden bergumam seraya membersihkan sisa-sisa busa sabun dari wajah Rasi. "Entah lo lagi bersikap layaknya cowok betulan atau lagi ngeledek gue karena gue pendek."

"Gue nggak berpikir kalau pendek itu kekurangan, terutama buat cewek. You're adorable and your height makes you more adorable."

"Oh ya?"

"Gue suka cewek yang lebih pendek dari gue."

"Nggak nanya."

"Oke, mungkin bukan cuma gue, tapi Kak Setra dan Sapi juga. Kayaknya sih, semua cowok tuh suka cewek yang lebih pendek dari mereka."

"Kenapa gitu?"

Rasi tidak menjawab, malah tersenyum playful sebelum secara tidak terduga, dia menarik Eden ke dalam pelukan. Gerakannya sangat tiba-tiba dan tak Eden antisipasi. Cowok itu merengkuhnya ke dalam pelukan hangat. Selama sejenak, wajah Eden terbenam ke dada Rasi, dengan kedua lengan besar melingkari bahunya. Rasi tertawa tanpa suara, membiarkan rahangnya melekat di puncak kepala Eden sejenak, sebelum dia melepaskan cewek itu dari pelukannya. Eden jelas syok, tidak mampu berkata-kata.

"Short girls are easier to hug—loh, Heaven—muka lo merah banget! Sori, apa gue memeluk lo terlalu erat sampai-sampai lo nggak bisa napas?"

"Gu—gue nggak apa-apa!"

"Oh, kirain kenapa-napa." Rasi terkekeh, kelihatan seperti sedang menggoda tapi juga terkesan innocent di saat yang bersamaan. "Kalau kehabisan napas bilang aja ya. Gue bisa banget ngasih napas buatan. Dulu pernah diajarin di sekolah, waktu gue masih di New York."

Eden memutar bola matanya, refleks langsung menginjak ujung kaki Rasi sambil berusaha menormalkan frekuensi detak jantungnya yang mempercepat satu tempo gara-gara kelakuan Rasi. Cowok itu mengerang kesakitan, tapi untungnya tidak menggoda Eden lebih lanjut. Sesuai rencana awal, mereka bergerak keluar kamar. Ibu pengurus guesthouse sedang merebus air dalam ceret yang akan digunakannya menyeduh beberapa teko berisi teh dan kopi saat mereka datang. Perempuan setengah baya itu telah bekerja pada keluarga Lucio selama hampir dua puluh tahun, sangat ramah dan humoris. Beliau mengizinkan Rasi dan Eden menggunakan dapurnya, namun tepat seperti dugaan Eden, bahan-bahan makanan yang dibutuhkannya tidak tersedia di kulkas dapur. Oleh sebab itu, mau tidak mau mereka mesti bertolak ke minimarket untuk berbelanja beberapa bahan makanan yang kurang. Sisi baiknya adalah minimarket itu sangat dekat. Mereka hanya perlu menyeberang jalan saja.

Jalanan sepi, namun Rasi langsung meraih tangan Eden sebelum mereka melintasi zebra cross.

"Modus ya?"

"Modus tuh apa?"

"Modal kerdus. Memanfaatkan situasi buat keuntungan sendiri."

Rasi berdecak. "Nggak gitu, tahu! Nyeberang jalan tuh lebih aman kalau sambil gandengan!"

"Kata siapa?"

"Kata gue. Barusan aja."

Eden memutar bola matanya. "Jalanannya sepi. Nggak usah pegangan juga nggak apa-apa."

"Justru karena jalanannya sepi, kita perlu pegangan."

"Faedahnya apa?"

"Biar lo nggak ngerasa sendirian."

"Dih."

"Oke, gue ralat." Rasi terkekeh. "Lebih tepatnya, biar gue nggak ngerasa sendirian."

Eden berdecak lagi, tetapi tetap membiarkan jari-jari Rasi mengisi ruang kosong diantara jemarinya. Udara masih dingin, walau sinar matahari makin menghangat. Sembari berjalan, Rasi mengayun tangannya yang terkait dengan tangan Eden, membuat cewek itu merasa seperti dilempar kembali ke masa sekolah dasar dan dia tengah berjalan pulang sambil bergandengan.

"Mau tahu nggak kenapa gue selalu naik taksi kemana-mana?"

"Karena lo manja dan lo malas kepanasan atau nungguin bus yang datangnya kelamaan?"

"Itu benar juga. Tapi bukan itu alasan utamanya."

"Dih, manja mah manja aja kali."

"Nggak. Beneran. Lo bisa tanya Kak Setra kalau mau! Bukan itu alasan utamanya."

"Terus apa?"

"Coba tebak."

"Nggak kepikiran apa-apa."

Rasi tertawa kecil. "Gue nggak suka berada di ruangan tertutup, terutama kalau ruangan tertutup itu dipenuhi oleh orang-orang yang nggak gue kenal."

"Kayak semacam... klaustrofobia?"

Rasi mengangguk. "Tapi nggak separah itu juga. Gue masih bisa naik lift... selama jumlah orangnya masih wajar. Meski begitu, gue nggak suka berdesak-desakan."

"Oh."

"Itu alasan utama. Alasan lainnya, gue nggak suka sendirian."

"Bukannya naik taksi malah lebih sendirian?"

"Oh, nggak." Rasi tidak setuju. "Saat naik taksi, lo masih bisa ngobrol sama supir taksinya. Yah, walau gue tahu, kebanyakan supir taksi yang gue tumpangi menanggapi omongan gue karena mereka merasa nggak enak, atau karena mereka menganggap gue anak kecil. Soalnya ada beberapa driver yang suka ngasih gue permen waktu gue turun dari mobil mereka. Beda kalau lo naik transportasi umum kayak bus. Lo... dikelilingi banyak orang. Tapi lo justru kesepian. Sebab dari sekian banyak orang itu, nggak ada yang sungguh-sungguh peduli sama lo."

"Entah kata-kata lo itu benar atau lo makin jago ngalus." Eden bergumam, tidak mengatakan sesuatu yang lain lagi karena mereka telah tiba di minimarket yang mereka tuju.

Minimarket itu buka 24 jam, cukup besar dibanding kebanyakan minimarket lain karena mereka punya section khusus untuk buah dan sayur. Salah satu pekerja sedang berdiri di balik mesin kasir sambil terkantuk-kantuk, sementara yang lainnya sibuk mengepel salah satu koridor. Eden langsung mengambil keranjang, berkeliling dari koridor ke koridor, mengambil beberapa barang dari rak sampai kelakuan Rasi lagi-lagi menarik perhatiannya.

Cowok itu menusuk pelan pinggangnya dengan jari telunjuk. Wajahnya jelas merajuk. Dia menunjuk pada setumpuk kaleng-kaleng panjang di salah satu sisi rak.

"Heaven, mau itu..."

Eden menoleh, langsung menggeleng. "Nggak."

Rasi memandang Eden layaknya anak kecil yang patah hati. "Kenapa?"

"Kemarin lo udah beli lima kaleng. Masa di sini mau beli gituan lagi?!"

"Iya tapi kan Pringles yang dibeli kemarin udah habis!" Rasi cemberut, membela diri. "Lagian gue nggak makan lima ya! Kan Kak Setra sama Sapi juga kebagian masing-masing sekaleng!"

"Pokoknya nggak. Ini masih pagi. Lo belum sarapan. Dan tuh makanan banyak mecinnya. Nanti lo tambah dodol."

"Ih, kok malah marah-marah kayak Mama, sih?!"

"Pokoknya nggak boleh."

"Satu aja, deh. Yaaaa?"

"Nggak."

"Heaven,"

"Sekali nggak tetap nggak, Aci."

Bibir Rasi langsung monyong lima senti. Dia masih terus mengikuti Eden, namun mengambil jalur perang dingin. Cowok itu menolak bicara, tidak menjawab saat Eden menanyai pendapatnya soal merek krim sup mana yang harus dia beli. Responnya membuat Eden menoleh, lalu geli sendiri sebab Rasi berlagak buang muka dengan tangan terlipat di dada. Cowok itu ngambek betulan rupanya.

Namun dia masih sangat penurut, mengikuti Eden sampai ke meja kasir.

"Aci,"

Tidak ada jawaban.

"Aci, ngambek ya?"

"Nggak."

"Bohong. Dosa loh."

"Abisnya lo jahat! Masa satu aja nggak boleh?"

"Gue ganti aja sama ini. Mau nggak?" Eden mencabut sebatang permen lolipop yang terpajang di display dekat meja kasir, mengulurkannya pada Rasi. Cowok itu mengangkat alis, lantas perlahan, wajahnya bersinar lagi. Dia memberikan permen itu untuk discan oleh petugas kasir, langsung mengambilnya kembali saat harganya telah tercatat dalam bon pembayaran.

"Nggak dibuka?" Eden bertanya penasaran saat dilihatnya Rasi malah memasukkan lolipop itu ke dalam kantung jaket.

"Mau dipamerin dulu ke Sabda."

"Idih. Biar apa?"

"Haha, nggak deng. Bercanda." Rasi menyahut riang. "Mau disimpan aja. Soalnya dipikir lagi, ini benda pertama yang lo kasih secara khusus buat gue."

"Itu cuma permen, Rasi."

"Bukan cuma permen, soalnya yang ngasihnya lo." Rasi membantah, kemudian dia mengambil alih belanjaan yang sudah dimasukkan ke kantung plastik dari atas meja kasir, tidak menyadari bagaimana kata-katanya berhasil membuat Eden terdiam. "Makasih ya. Untuk permennya."

Eden masih tidak menjawab.

"Heaven?"

"I—iya?"

"Yuk!"

"Ah, oke."

*

"Kenapa harus pake kangkung?"

Eden menjawab sambil mengeluarkan beberapa butir telur dari dalam wadah karton, menjawab lugas. "Karena kita mau bikin tumis kangkung, Rasi."

"Kalau kangkungnya diganti chicken nugget aja bisa nggak?"

"Nanti jadinya tumis chicken nugget, bukan kangkung." Eden memecahkan beberapa butir telur, mengeluarkan isinya ke dalam mangkuk pengocok lalu melirik pada Rasi. "Dikeluarin kangkungnya. Potong akarnya dan potong-potong ke dalam potongan yang lebih kecil. Tadi katanya mau bantu gue."

"Gue nggak suka sayuran."

"Justru karena itu."

"Gue nggak suka tumisan." Rasi berkilah.

"Atau lo mau dibikinin sayur bening pake bayam dan jagung aja? Kayaknya tadi di kulkas dapur gue lihat ada bayam."

Rasi bergidik. "Nggak deh, makasih!"

"Rasi, lo tuh udah gede. Lo harus banyak makan sayur."

"Gue makan sayur, kok."

"Bohong banget. Waktu gue bikin rebusan di rumah lo pas itu, lo juga nggak makan tuh sawinya!"

"Gue makan sayur!" Rasi tetap ngotot.

"Oh ya, sebutin."

"Saus tomat."

Eden mengernyit, berhenti mengocok telur yang mau dia jadikan bahan dasar omelet. "Saus tomat bukan sayur."

"Bahan dasarnya tomat, Heaven! Tomat tuh sayuran!"

"Pokoknya lo harus makan sayur hari ini."

Rasi memberengut, tidak lanjut bicara dan berlagak fokus pada batang-batang kangkung di tangannya. Dia menjauhi Eden untuk mengambil talenan dan pisau ekstra pada bagian rak gantung di sisi lain dapur. Eden sendiri memilih berkonsentrasi pada omeletnya, baru meraih sekarton susu cair ketika Emir yang berdiri di sebelahnya buka suara.

"He is your manito, right?"

"Siapa?" Eden balik bertanya, menjaga agar suaranya cukup pelan supaya Rasi tidak mendengar.

"Rasi."

"Udah tahu nggak usah nanya."

Tawa Emir yang khas meledak. "Seneng deh lihatnya."

"Atau jangan-jangan ada rekayasa lo di dalamnya sampai-sampai dia yang jadi manito gue?" Eden malah jadi curiga.

"Nope. Gue nggak melakukan apa pun." Emir membantah. "Cuma senang aja, akhirnya Kisa si penyendiri, yang hobinya ngomong sama ikan koi dari pinggar kolam, sekarang udah punya teman-teman baru. Kalau nggak salah, seharusnya ini juga jadi kali pertama buat lo jalan-jalan ke luar kota bareng teman-teman lo. Iya, kan?"

"Gue nggak semenyedihkan itu." Eden membantah, tapi wajahnya merah.

"Akui aja, Kisa."

"Oke." Eden berdecak, berhenti mengocok telur dalam mangkuk dan meletakkannya sejenak di atas meja konter sementara dia mengecek teflon di atas kompor sebelum menambahkan beberapa sendok mentega ke atasnya. Desis dramatis terdengar, diikuti aroma khas mentega yang menguar memenuhi seisi ruangan. "Lo benar. Sesuatu yang bisa ditebak dari gue, yang nggak pernah punya teman semasa sekolah, yang aneh, yang penyendiri dan yang nggak sepintar lo. Puas sekarang, Emir Novawira?"

"Actually, banyak yang mau berteman sama lo. Lo hanya nggak menyadarinya."

Eden mencebikkan bibir. "Banyak?"

"Salah satunya gue."

"Oh, si Pintar ini pernah kepingin jadi teman gue?" Eden bertanya meragukan, terkesan seperti mencemooh.

Senyum Emir lenyap sepenuhnya. "Gue mau banget berteman sama lo. Dulu. Sekarang. Sayang aja, semua yang sudah lewat nggak akan bisa diputar ulang lagi. Karena itu juga, apa lo mau dengar sekiranya gue memberi saran?"

"Saran apa?" Eden malah balik bertanya.

"Live your life to the fullest, while it lasts. Kalau lo suka seseorang, bilang."

"Gue nggak lagi suka sama siapa-siapa."

"Kan gue bilang kalau."

"Sekiranya gue bilang, apa yang mau lo katakan kalau orang itu nggak bisa menerima pernyataan suka dari gue?" Eden bertanya skeptis, kali ini sembari menuang isi mangkuk ke atas teflon, pada mentega yang telah panas dan meleleh seluruhnya. "Gimana kalau orang itu malah menjauhi gue?"

"Tanya padanya, kenapa dia menjauhi lo."

"Dan mempermalukan diri gue sendiri lebih jauh?"

"Untuk mendapat penjelasan, jadi di akhir nggak perlu ada penyesalan." Emir menukas pahit. "Jika lo suka seseorang, bilang. Jika lo nggak suka sesuatu, berterus-terang. Jika lo menganggap seseorang sangat berarti, buat dia tahu. Karena mungkin, saat itu adalah satu-satunya kesempatan yang lo punya."

Eden tidak menjawab, enggan menatap pada Emir sebab entah kenapa, kata-kata cowok itu berhasil meletupkan kesedihan dalam dadanya.

"Jangan kayak gue."

"Jangan... kayak lo?"

"Gue terlambat menyadari semuanya dan sekarang, penyesalan nggak akan membuat waktu berbaik hati lalu berjalan mundur untuk gue."

Lidah Eden kelu. Dia tidak mengerti apa maksud kata-kata Emir. Atau mungkin dia mengerti, tapi dia menolak untuk mengerti. Untunglah, Rasi kembali bicara padanya usai memotong-motong kangkung dan menempatkannya ke dalam sebuah baskom plastik.

"Oh ya, kalau mau bikin buat Sabda, bagusnya dikasih cabe. Soalnya Sabda suka pedas."

"Oke." Suara Eden pecah dan gadis itu mesti berdeham untuk melegakan tenggorokannya. "Gue belum sempat ngiris cabenya. Lo bisa bantu irisin nggak?"

"Hng, oke." Rasi meraih wadah berisi cabe rawit merah, mengambil segenggam penuh dan itu bikin Eden berdecak.

"Perutnya Sabda masih belum terbuat dari baja, Rasi. Kalau lo motong cabe segitu banyak, bisa-bisa dia diare sampai minggu depan."

Rasi meringis, mengurangi cabe rawit yang diambilnya dan mulai memotongnya dengan tekun. Segalanya berjalan baik-baik saja. Rasi bukan hanya jadi asisten masak tapi juga pengalih perhatian yang sangat baik. Emir jadi lebih banyak diam, menghabiskan waktunya dengan mengamati. Situasi tampak terkendali, sampai usai mengiris cabe rawit terakhir, Rasi merasa sudut matanya gatal dan tanpa berpikir, langsung menggaruknya menggunakan tangannya yang bau cabe.

Seperti yang sudah ditebak, cowok itu langsung memekik heboh.

"OH MY GOD! MY EYES! ITS BURNING MY EYES!"

Pekikannya keras, tidak heran kalau suaranya cukup mampu membangunkan setengah penghuni guesthouse dan Setra juga Sabda termasuk diantaranya. Eden masih terhenyak, bingung harus melakukan apa karena dia belum pernah menggaruk matanya setelah memotong cabe. Setra sempat panik di awal, namun mampu menguasai diri dan dengan cepat, melangkah mendekati Rasi yang sudah mulai menangis dengan kasa, kapas dan handuk basah. Sabda, di luar perkiraan Eden, terlihat sama khawatirnya saat dia tahu apa yang telah terjadi pada Rasi. Sebagai penyuka pedas, dia tahu sensasi membakar dari cabe butuh beberapa lama untuk hilang. Jika panas di tangan saja sudah tak nyaman, panas di mata rasanya pasti menyiksa.

"Coba kamu kompres aja dulu pake handuk basah." Setra berujar sembari menekankan handuk basah nan dingin pada sudut mata Rasi. Eden menggaruk lehernya, sadar acara masak-memasaknya jadi gagal, tapi dia bingung harus menangis atau tertawa sekarang. Wajah Rasi kelihatan memelas. Dahinya dipenuhi peluh dan matanya merah. Dia sudah menangis, dan tidak seperti biasanya, Sabda mendekatinya, diam-diam mengusap punggungnya.

"Ah, tunggu bentar. Ada susu cair, nggak?"

"Ada sih, Kak." Eden meraih karton susu cair yang masih terisi penuh. "Tapi yang plain. Mau buat apa?"

"Begitu malah lebih bagus." Setra mengambil karton susu cair yang disodorkan Eden, mengguyurkan sedikit isinya dengan hati-hati pada handuk kecil lain yang sigap disediakan Sabda. Handuk itu basah seketika, menyerap susu yang tertumpah di atasnya. "Ganti kompres airnya pake ini."

"Su... su?"

"Susu bisa membantu menetralkan capsaicin yang ada di cabe. Capsaicin ini yang bikin sensasi panas dan terbakar."

Rasi mengerjap, di sela tangisnya masih bisa bertanya dengan suara serak. "Cap—cay?"

"Capsaicin." Setra mengulang dengan sabar, matanya memandang penuh perhatian pada adiknya. "Feeling better now? Kalau nggak, kita ke rumah sakit aja abis ini."

"Nggak usah." Rasi langsung menolak mentah-mentah. "Udah mulai mendingan. Nggak... sepanas tadi."

Sabda mengembuskan napas lega. Tidak kentara, tapi cukup untuk bisa terlihat oleh Eden. Kontras dengan respon awalnya, saat bicara, Sabda terdengar masam dan bermusuhan. "Lagian ngapain juga lo bergaya motong-motong cabe? Bukannya lo nggak suka pedas?"

"Buat lo." Rasi menjawab polos, masih fokus menekankan handuk berlumur susu ke sudut matanya. "Soalnya lo suka pedas. Tapi Heaven belum sempat motong cabenya."

Sabda terdiam, kehilangan kata-kata, namun dia tak lanjut mencerca Rasi. Kejutan yang tadinya ingin Eden berikan pada Setra dan Sabda hancur sudah, batal karena mereka tidak meneruskan acara masak-memasak itu dan Setra malah menggunakan jasa delivery makanan restoran terdekat. Walau begitu, Eden tidak merasa tindakannya sia-sia. Sebab jika bukan karena peristiwa tidak terduga di dapur yang melibatkan Rasi, cabe dan gatal di mata, Eden tidak akan melihat bagaimana Sabda bisa sekhawatir itu pada Rasi, juga tindakan manisnya yang membuatkan Rasi susu vanilla hangat tanpa cowok itu ketahui.

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat mereka bertiga, yang lama terpisah dan terjebak dalam gejolak emosi, kembali menemukan cara untuk saling menyayangi.

*

Beberapa jam kemudian, rasa terbakar di kulit Rasi telah sepenuhnya hilang. Namun ada bekas merah yang tertinggal. Berhubung kelihatannya bekas merah itu belum akan hilang dalam waktu singkat, Rasi menutupinya dengan kain kassa dan plester. Sabda langsung mencercanya, mengatainya bajak laut, tapi Rasi tidak peduli. Dia malah makin asyik ngemil, karena Setra memperlakukannya seperti orang sakit dan membelikannya semua makanan serta snack yang dia inginkan. Cowok itu menghabiskan satu jam penuh tanpa henti untuk menggiling makanan sambil memainkan game di ponsel, hingga Setra bilang mereka harus pergi ke suatu tempat.

Ketiganya bersiap-siap, tidak butuh waktu lama hingga mereka berkumpul dalam mobil. Setra mengambil tempat di depan kali ini, dan Eden mau tidak mau harus rela kembali terjebak diantara Rasi dan Sabda. Bagian bagusnya, pasca insiden Rasi dan cabe, Sabda jadi bersikap lebih lembut dan jinak pada kakaknya—meski dia masih mengatai Rasi bajak laut.

"Makan mulu dari tadi. Lo ini mesin penggiling atau orang sih sebenernya?"

Rasi menoleh. Kata-kata Sabda tidak bikin dia tersinggung, malah mencipta cengiran lebar. Cowok itu lantas memamerkan kotak tupperware berisi beberapa potong tape goreng yang berada di tangannya. "Mau nggak?'

"Nggak suka tape. Asem dan bau."

"Tapi ini enak, Sapi!"

"Buat lo iya. Nggak buat gue!"

"Yaudah, kalau gitu gue habisin."

"Habisin aja. Sekalian sama kotak-kotaknya." Sabda membalas sinis.

Rasi menimpalinya dengan tawa riang yang terlalu heboh, dan malah terkesan cempreng. Sementara Setra, di sela kesibukannya menerangkan rute dan jalan tempat yang mereka tuju pada Pak Wawan, masih mampu melirik pada Rasi melalui rear-view mirror. "Nanti kalau udah habis tapenya, kotaknya ditaro yang bener ya, Aci. Itu tuh tupperware."

"Kak Setra ngoleksi tupperware juga? Kayak Mama aku, dong!"

"Nggak gitu. Tupperwarenya punya Bu Asih, nanti kalau sampai hilang, Rasi bisa dijadiin ketan tumbuk sama beliau." Setra menjawab, menyebut nama ibu-ibu penjaga guesthouse mereka. Eden manggut-manggut, mengerti maksud ucapan Setra. Sekalem-kalemnya ibu-ibu, pasti bakal berubah jadi ganas bin agresif kalau sudah berhubungan dengan kasus Tupperware raib, rusak atau ketinggalan.

Awalnya, Eden tidak tahu kemana Setra akan membawa mereka. Tapi ketika cowok itu meminta Pak Wawan mampir sejenak di sebuah florist yang mereka lewati, Eden langsung paham. Rasi dan Sabda tampaknya belum bisa menebak, karena mereka masih sibuk berdebat—kali ini keduanya cekcok karena Rasi bilang sapi-sapi Harvest Moonnya lebih penurut daripada anjing peliharaan Sabda yang dipeliharanya dalam konsol Nintendo.

Tempat yang mereka tuju tidak terlalu jauh. Jalanan padat, tapi lalu-lintas cenderung lancar. Setra langsung melepas sabuk pengamannya begitu mobil berhenti, sementara Rasi dan Sabda saling berpandangan.

"Kak Setra—"

"Kita di sini buat merayakan ulang tahun seseorang yang aku tahu, pasti juga kalian rindukan. Tapi orang itu udah nggak bisa menerima hadiah apa pun dari kita, selain bunga dan doa."

Rasi menggigit bibir, sejenak lupa mengunyah tape goreng yang masih ada di mulutnya. Sabda tersekat, tenggorokannya serasa tersumbat oleh gumpalan yang pahit, membuatnya tidak bisa bicara karena jika dia memaksakan diri, suaranya pasti akan pecah atau buruknya, dia bakal mulai menangis. Melihat reaksi adik-adiknya, Setra justru tersenyum, seperti berusaha menguatkan.

Jelas, ini pasti berat buat mereka. Setelah kepergian Mama, ketiganya hampir tidak pernah mengunjungi makam perempuan itu. Papa sengaja memakamkannya di luar Jakarta, selain karena Bandung adalah kota kelahiran Mama, juga agar duka yang dirasakan Setra dan kedua adiknya tidak berlarut-larut. Seringnya, mereka mengenang Mama melalui foto yang tertinggal, tapi tidak sampai mengunjungi makamnya.

"Yuk."

Rasi dan Sabda masih terlihat ragu, kini memandang Eden yang tetap duduk dengan santainya di dalam mobil. "Heaven... nggak ikut?"

"Gue nunggu di sini. Udah sana, kalian berdua turun!"

"Tapi—"

"Tenang aja, Sabby. Kalau lo nangis, gue nggak akan meledek lo. Tapi khusus hari ini doang ya!"

Sabda memberengut, lalu mendengus keras. Namun dia menuruti kata-kata Eden. Pada saat yang bersamaan, dia dan Rasi meraih kenop pintu mobil. Lalu melangkah turun. Eden menonton ketiga cowok itu berjalan beriringan menuju pagar depan area pemakaman. Dia paham, ini bukan sesuatu yang mudah untuk ketiganya, terutama untuk Rasi dan Sabda. Tapi ada sesuatu tentang duka yang harus dipahami oleh semua orang.

Death leaves a heartache no one can heal. Love leaves a memory no one can steal. Just like how dreams are more powerful than reality, love will always remain stronger than death.

*

Sesungguhnya, jauh di dalam hatinya, Sabda sudah memahami bahwa air mata itu bukan tanda kelemahan. Air mata adalah cerminan dari apa yang dia rasakan, ketika kata tak lagi cukup mampu menggambarkan lara. Namun dia benci menangis di depan orang lain. Orang tidak perlu melihat air matanya. Air mata belum tentu bakal membuat mereka mengerti dan tentu saja, tak lantas bikin dunia jadi berbaik hati.

Ada sebagian dari dirinya yang berteriak keras-keras, menyuruhnya lari. Tapi sebagian dirinya yang lain menahannya, memaksanya melangkah gontai mengekori langkah kakak tertuanya. Sejak kepergian Mama hampir dua ribu hari yang lalu, dia tidak pernah sekalipun mengunjungi tempat peristirahatan terakhir perempuan itu. Dia tidak pernah punya cukup keberanian, juga cukup air mata untuk ditumpahkan.

Hampir dua ribu hari sepi terlewati tanpanya...

Sabda tidak tahu apa dia bisa mempercayai ingatannya, namun rasanya seperti baru kemarin dia mengunjungi tempat itu, ketika dia mengantarkan Mama untuk pulang, kembali dipeluk Bumi, dinina-bobokan oleh hening berselimut keabadian. Apa yang membedakan mungkin hanya rumput hijau yang sudah tumbuh. Makam itu terawat baik. Rumputnya dipangkas pendek dan rapi.

Ma, aku nggak pernah berhenti kangen, Mama.

Apa di sana, Mama juga nggak berhenti kangen aku?

Aku harap nggak. Karena kangen sama seseorang yang nggak lagi bisa kita temui itu sakit. Cukup aku aja di sini yang sakit. Mama jangan.

Sabda menggigit bibir ketika langkahnya membawanya kian dekat dengan batu nisan kelabu yang dingin. Setra memandang kedua adiknya sekali lagi, menghela napas dalam-dalam untuk melegakan dadanya yang sesak, lalu meletakkan buket bunga yang dibawanya tepat di atas batu nisan. Rasi tidak berkata apa-apa, tapi siapapun bisa melihat bagaimana kini wajahnya basah oleh air mata yang membanjir.

Setra berdeham, kemudian mulai bicara. "Selamat ulang tahun, Ma. Terlalu awal, aku tahu. Tapi tahun ini, aku ke sini sama Sabda dan Rasi."

Sabda menggigit bibirnya kuat-kuat sampai terasa perih.

Nggak boleh nangis... nggak boleh nangis... nggak boleh nangis...

"Mereka baik-baik aja, udah bukan anak-anak lagi dan jadi orang yang pasti bikin Mama bangga. Aci udah lebih tinggi dari aku. Sabby udah jadi mahasiswa. Dia masih sepintar dulu. Lebih pintar, malah."

Sabda tertunduk, ada yang menusuk jauh di dalam dadanya.

"Kita nggak pernah berhenti kangen Mama. Semoga Mama selalu baik-baik di sana. Aku kangen Mama. Aku selalu berharap, Mama masih ada diantara kita semua. Setelah Mama pergi, nggak ada satupun dari kita yang tetap utuh. Kita kangen masakan Mama. Kita kangen omelan Mama. Kita kangen rumah yang lengkap, makan malam yang hangat, waktu Mama masih ada." Setra mengambil jeda sejenak, untuk menata perasaannya sendiri. "The loss makes it hard to breathe. Sometimes, I landed on solid ground. Sometimes, I landed in a pond and almost drowned."

Isak Rasi pecah dan cowok itu mulai menangis keras.

"Your departure taught me that we do not get over the death of a mother, but we do get more used to it. Jangan khawatir, Ma. Aku bakal menjaga semuanya, menjaga Rasi, menjaga Sabda, sampai tiba saatnya kita ketemu lagi. Aku janji, aku nggak akan pernah ninggalin mereka lagi. Aku janji aku bakal bikin mereka bahagia. Jadi Ma, baik-baik di sana. Jangan sedih. Jangan terlalu memikirkan kita. This is the very least thing I can do. Kalau aku gagal melakukannya, aku nggak akan punya cukup nyali untuk ketemu Mama di sana."

Ma, apa Mama tahu... kalau aku bersedia memberikan segalanya hanya agar aku bisa melihat Mama memainkan piano itu... di rumah kita... sekali lagi?

Bahu Rasi terguncang, seiring dengan sedu-sedannya yang kian menguat. Setra merangkulnya, memeluknya erat-erat sambil menyeka air mata yang menetes di wajahnya.

Ma, aku rindu serindu-rindunya rindu.

Kalau aku bilang aku ingin ketemu Mama, meski dalam mimpi, apa Mama mau datang?

Mereka tidak saling mengatakan apa-apa, tenggelam dalam kesenyapan dan lautan emosi masing-masing. Sabda masih menahan diri untuk tidak menangis, hingga Rasi mengulurkan tangan, meraihnya dan memeluknya erat.

"Aci, apaan sih, lo bau tape—" tetapi Sabda tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena tangisnya pecah tanpa bisa dia tahan. Air matanya mengalir deras seperti banjir gara-gara bendungan jebol. Rasi merengkuhnya, memeluknya erat. Selama sejenak, Sabda dilingkupi oleh kehangatan dekap kedua kakaknya. Air matanya terus menetes. Isaknya, tanpa mampu dia kontrol, terdengar. Tidak mau berhenti.

Mereka saling merangkul untuk beberapa lama. Tidak ada suara. Tanpa kata. Hanya tangis yang menitipkan salam kerinduan, sebaris pesan buat alam baka.

*

Setra, Rasi dan Sabda baru bangkit dari sisi makam ibu mereka setengah jam kemudian, dengan mata basah dan wajah sembab. Eden telah turun dari mobil, menunggu di sisi pintu pagar depan. Semula, dia merasa tersentuh, tapi kemudian rasa itu terganti oleh beragam rasa lainnya dengan cepat. Pertama, dia terpesona pada Setra yang entah kenapa, tetap mampu terlihat seindah itu meski habis menangis. Kedua, dia ingin tertawa karena penampilan Rasi yang lucu—cowok itu jelas kelihatan habis menangis, dan kassa yang tertempel menutupi sebelah matanya serupa bajak laut bikin dia makin konyol. Terakhir, Sabda... cowok itu menangis sampai hidung dan pipinya merah. Matanya basah. Dia terlihat begitu rapuh, membuat Eden ingin memeluknya.

"Utuk-utuk, Aci abis nangis nih ya..." Waktu jarak Rasi sudah cukup dekat dengannya, Eden langsung menggodanya, namun bukannya protes, marah atau buang muka karena malu, tangis Rasi justru pecah lagi. Itu bikin Eden kaget dan spontan, cewek itu menghambur ke arah Rasi, meraihnya ke dalam sebuah pelukan. Rasi membungkukkan badannya sedikit supaya Eden bisa meraih bahunya, mendekapnya erat seraya menepuk punggungnya.

"Ssshh... it's okay," Eden berbisik di telinga Rasi, niatnya meledek cowok itu telah lenyap sepenuhnya. "Just cry. Just let it out. It's okay. I'm here." Katanya lagi, terlalu sibuk menenangkan Rasi hingga tidak sadar bagaimana Sabda terpana sampai-sampai menghentikan langkah. Cowok itu membatu di tempatnya berdiri, memandang pada Eden dan Rasi dengan sorot mata yang sukar didefinisikan.

Lalu tiba-tiba, Setra merengkuhnya, mendekapnya dari belakang.

Sabda tersekat. "Kak Setra—"

"Stay still, little brother. Let me hug you a little longer."

"Tapi—" Sabda mengalihkan pandang, enggan menyaksikan pemandangan di depannya lebih lama. "—kenapa?"

Setra melingkarkan tangannya yang lain pada Sabda, mengeratkan pelukannya seperti ingin melindungi Sabda dari dunia. "Ada sesuatu yang retak. Suaranya terdengar sama aku. Entah apa itu. Mungkin hati kamu?"

Sabda menelan ludah. "Kak Setra salah sangka."

"Bisa jadi." Setra tersenyum penuh pengertian, kemudian meneruskannya dalam hati.

Tapi sebagai kakak, aku tetap harus melakukan ini, menjaga supaya hati kamu tetap utuh.

Sabda tertunduk, namun entah kenapa, dia menemukan alasan untuk diam-diam menarik senyum tipis. Cowok itu mengangkat tangannya, balik menggenggam tangan Setra.

Sesuatu yang tidak dia sadari adalah, kekhawatiran di mata Setra ketika menatap ke arah Eden dan Rasi. 





bersambung ke sixteenth note 

***

Catatan dari Renita: 

wow, malem banget ya haha im so sorry. 

pertama-tama dan paling utama, KENAPA PADA MEMBANJIRI GUE DENGAN BERANI BIAS GUE DATING SIH 

kedua, kenapa pada nanyain pendapat gue. 

emangnya gue emaknya. 

wkwkwkwk 

gue udah kenyang dibom di instagram, jadi gue nggak akan menjelaskan ulang di wattpad. intinya ya... sebahagianya masnya aja. 

tapi sekarang, aku ngambek-ngambek dikit bolelah, jadi nggak bingung lagi kalau ditanya masnya apa yukhei 

sekarang bingungnya antara yukhei dan johnny aja 

HAHA GA DENG CANDA 

tapi ya gitu deh. 

udahlah ya.

oke sekian dan terimakasih. 

sampai ketemu di chapter chapter selanjutnya yang mungkin akan berbadaeeeeeeeeeee 

ea gue nakut-nakutin ya. 

kita lihat aja nanti oke. 

sekian dan terimakasih. 

ciao. 

senyumin aja deh buat jenkai mah, kalo kata jaemin. 


Bandar Lampung, December 3rd 2018 

22.06

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top