eleventh note

I know we'll always end up on the same one when we're old.

And when you're in trenches,

and you're under fire, I will cover you.

If I was dying on my knees,

you would be the one to rescue me.

And if you were drowned at sea,

I'd give you my lungs so you could breathe.

I've got you brother.

—Kodaline—

*

Dulu, waktu mereka masih anak-anak, orang sering salah membedakan mana yang anak tengah dan mana yang bungsu diantara Rasi dan Sabda. Bukan hanya karena jarak umur mereka yang cuma terpaut dua tahun, tetapi juga karena Rasi lebih polos sekaligus lebih cengeng daripada Sabda. Berbeda dengan Rasi yang bisa menangis sampai sejam penuh gara-gara menonton perjalanan Hachi, si lebah sebatang kara pergi mencari ibunya, Sabda terhitung jarang menangis. Memang, dia bisa merengek heboh pada saat-saat tertentu, terutama ketika Rasi membalas celetukan jahilnya dengan cara radikal yang menyerang fisik, tapi hanya pada saat-saat tertentu Setra melihat bocah itu betul-betul meneteskan air mata.

Mungkin Sabda menganggap menangis itu tanda kelemahan dan sebagai anak laki-laki, dia tidak seharusnya mudah menangis—sekalipun Setra pernah bilang jika semua orang, tidak peduli laki-laki atau perempuan, berhak menangis. Sebab, tidak hanya perempuan yang punya hati dan perasaan.

Sekarang, melihat Sabda menangis sampai sesenggukan tanpa malu dalam pelukan Eden membuat dada Setra sesak. Cowok itu bergeming di ambang pintu, kemudian berpikir sejenak sebelum berbalik. Hujan turun kian deras, terdengar dari bunyi heboh derai air yang mengguyur atap dengan keras. Di ruang tengah, Setra berpapasan dengan Lucio yang balik menatapnya. Alis cowok itu terangkat heran.

"Adek lo di kamar lo."

"Udah tahu."

"Terus mau ke mana?"

"Minimarket." Setra menyahut singkat seraya berjalan ke teras, lantas meraih payung yang tersandar di tembok. Payung itu terbuka, agak lembab, sepertinya sempat dipakai entah oleh Lucio atau Jo sebelumnya. Lucio terperangah di tempat, malah dibikin bingung oleh jawaban Setra. Bertepatan dengan Setra berjalan melewati ambang pintu depan, Sabda dan Eden muncul dari arah kamar. Pipi Sabda sembab dan wajahnya merah, tapi dia mengabaikan mata Lucio yang menyipit padanya. Dia malah menatap khawatir bercampur tak mengerti pada sosok Setra yang kini tengah berjalan menuju pintu pagar sambil diterjang oleh hujan bercampur angin kencang.

Sabda ingin memanggil kakaknya, namun suaranya tidak mau keluar, seolah-olah ada gumpalan misterius yang menyumbat tenggorokannya.

"Kak Setra!" Eden berseru memanggil, tetapi Setra tidak merespon. Bisa jadi karena tak mendengarnya, sebab suara hujan sangat ribut dan sosoknya telah menjauh bersama payungnya yang terlihat kepayahan menahan empasan angin.

"Well, mungkin ada sesuatu yang lupa dia beli dan benar-benar dia butuhkan buat malam ini." Lucio bicara, membuat Eden dan Sabda kompak menoleh padanya. Ditatap oleh dua remaja dengan cara super mengintimidasi kontan bikin Lucio salah tingkah. Dia lelaki dewasa, seumuran dengan Jo dan telah lulus kuliah, namun kenapa dia merasa Sabda bisa menewaskannya hanya dengan pandangan mata?

"Kak Setra nggak bilang apa-apa?"

Lucio menggeleng. "Gimana kalau sambil nunggu Setra balik, kita mulai makan malam aja dulu. Jo udah kelaperan dan stand by di meja makan dari tadi. Kalian... mau ikut makan?"

"Nggak apa-apa, Kak?"

"Kalian teman Setra. Teman Setra berarti teman gu—maksud saya, teman Setra berarti teman saya juga."

"Mau!"

Sabda tidak menjawab, justru diam dan sesekali menatap harap-harap cemas. Bahunya tersentak sedikit waktu terdengar gemuruh halilintar membelah langit di kejauhan. Suaranya mengejutkan, diiringi oleh kilat serupa flash kamera seakan-akan bumi dan langit sedang mengadakan sebuah sesi pemotretan akbar.

"Sabby, jawab dong!" Eden akhirnya tak tahan dan nekat menyikut rusuk Sabda.

"Lo boleh duluan. Gue mau duduk di depan sini dulu."

"Sabby—"

"Nggak apa-apa. Mungkin dia mau nunggu Setra balik."

"Gue nggak bilang gitu!" Sabda menyambar, wajahnya memerah dan itu malah membuat Lucio harus mati-matian menahan tawa. Tidak sepenuhnya berhasil, sebab senyum gelinya masih terlihat jelas.

Dia sudah tahu hubungan buruk antara Setra dengan kedua adiknya bahkan sejak sebelum Setra pergi dari rumah. Mereka teman baik, satu sekolah waktu SMA. Setra dikenal sebagai anak baik-baik, tidak pernah terlambat datang ke sekolah, selalu jadi bahan obrolan guru-guru bukan hanya karena tampangnya, tapi juga nilai-nilai ulangannya yang tidak pernah mengecewakan dan sikap baiknya pada semua orang. Mustahil rasanya membayangkan dia dan Jo—yang dijuluki trouble maker semasa sekolah dulu sekaligus jadi pelanggan rutin sesi cuap-cuap oleh guru BK—bisa berteman baik dengan orang seperti Setra. Tapi itulah yang terjadi. Setra membuka diri pada mereka, menunjukkan banyak sisi di balik topeng anak laki-laki idaman nan ramahnya, bahwa di balik semua kesempurnaannya, dia menyimpan luka.

Setra adalah salah satu pribadi paling kaku yang canggung menunjukkan perasaan dan kepeduliannya pada orang lain, namun Lucio tahu persis bahwa tidak ada apa pun yang Setra sayangi di dunia ini lebih dari dia menyayangi adik-adiknya. Semula, dia bingung bagaimana bisa kesalahpahaman diantara mereka bertiga berujung pada perang dingin tak terselesaikan selama sekian tahun, namun melihat karakter Sabda sekarang... dia rasa dia mengerti.

Mereka tidak bisa memperbaiki segalanya seorang diri, tidak dengan sifat canggung Setra, lagak tsundere Sabda atau tingkah-laku super clueless Rasi. Mereka butuh bantuan, namun entah kenapa, Lucio tidak khawatir. Intuisinya mengatakan, mereka sudah mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan itu.

Eden melotot pada Sabda, berusaha membujuk cowok itu untuk ikut ke meja makan sekali lagi, tetapi Sabda tetap ngotot ingin duduk dulu di ruang depan. Lucio kembali jadi penengah dan walau tidak puas, Eden menyerah lalu mengikuti Lucio menuju ruang makan. Rumah itu tidak seberapa besar, namun sangat rapi, terutama untuk ukuran rumah yang dihuni oleh sekelompok anak laki-laki. Tidak ada pojok berdebu, meski Eden sempat melihat ada tumpukan baju kotor berantakan yang berserakan di lantai karena keranjang penampungnya sudah kelewat penuh.

"Lucio ini mungkin tampangnya kayak preman berhati siluman ular, tapi jangan salah, masakannya tergolong enak dan di rumah ini, dia cuma disaingi sama Setra dan Arka." Jo berujar.

"Arka?"

"Ah, saya belum memperkenalkan diri, kayaknya." Cowok di depan Eden langsung tersenyum, mencipta lesung pipi yang bikin Eden terpana dan mungkin akan begitu seterusnya jika Emir tidak diam-diam menjentikkan jari tepat di telinganya, berhasil membuatnya tersadar dari lamunan penuh kekaguman. Cowok itu... apa ya... jika Eden disuruh menggambarkan seperti apa dia terlihat... Eden hanya akan menggunakan satu kata; pangeran. "Nama saya Arkais. Tapi orang rumah biasa manggil Arka."

"Atau Ari."

"Itu sih cuma lo doang."

"Jangan ngambek gitu." Jo tertawa keras. "Ari itu kan panggilan sayang dari gue."

"Terserah."

"Oh, namaku Eden. Salam kenal, Kak Arka."

"Udah tahu. Setra cerita banyak banget tentang kamu weekend kemarin."

Pipi Eden memanas, separuh merasa tidak percaya setengah laginya malu karena itu berarti, dia jadi bahan pembicaraan cowok-cowok di rumah ini weekend kemarin dan sialnya, dia tidak tahu mereka membicarakannya dalam konteks yang seperti apa.

"Jangan buka kartu gitu, dong. Nanti Setra bisa salting kalau mau ngobrol-ngobrol lagi sama dia." Lucio menukas.

"Yah, gue juga udah bilang sih tadi kalau weekend kemaren Setra ngomongin dia." Jo membalas. "Dipikir lagi, ini tuh kayak pertama kali banget Setra ngomongin cewek selain nyokapnya. Iya nggak, sih? Girl, Eden, lo—maksud saya, kamu ngerasa sesuatu yang aneh nggak? Bisa jadi Setra naksir sama kamu loh."

"Hah—hng—nggak—"

"Sori ganggu sesi gosipnya," Eden diselamatkan oleh suara Sabda yang mendadak terdengar, refleks membuat mereka semua menoleh ke ambang pintu ruang makan. "Boleh minta handuk, nggak?"

"Handuk?"

"Iya. Handuk."

Jo memiringkan wajah. "Handuk?"

Sabda berdecak, wajahnya datar khas orang super jenius yang kesal menghadap para rakyat jelata dengan kapasitas otak yang jauh berada di bawahnya. "Iya. Handuk. Ha a ha en de u duk. Handuk. Menurut KBBI, handuk diartikan sebagai kain penyeka badan, biasa dipakai habis mandi. Gue nggak tahu apa habis mandi lo ngelap badan pake daun kelor sehingga lo nggak tahu apa itu han—"

"Gue tahu apa itu handuk!" Jo memotong diikuti dengusan, sementara cowok-cowok lainnya saling bertatapan, lalu mengerjapkan mata dengan takjub. Ini pertama kalinya mereka, sekelompok lelaki dewasa, dibuat kelihatan tolol tiada tara oleh anak yang belum lagi berusia delapan belas tahun. "Maksud gue tuh, buat apa?"

"Handuk aja dulu mana?"

"Ya Tuhan—"

"Ambilin aja, Jo."

Jo berdecak, beranjak dari duduk untuk pergi ke ruang cuci dan kembali dengan sehelai handuk besar di tangannya. "Ini handuk. Mau dipake buat apa, Ndoro?"

"Kasih ke Eden."

"Gue?!"

"Iya."

"Lah—lah, kok gini?"

"Nggak mau? Yaudah, sini gue aja." Sabda meraih handuk dari tangan Jo, lantas berjalan melintasi ruangan dan memberikannya pada Eden. "Kalau lihat dari gimana Kak Setra pergi tadi dengan cuma kaosan dan pake payung butut, bentar lagi dia pasti balik. Lo tunggu bentar di depan mau nggak? Kasih handuknya begitu dia sampai. Dia nggak segampang itu kena flu kayak gue, tapi dia juga nggak setangguh si makhluk setengah kingkong Wakanda."

Hening menyergap, satu-satunya bunyi yang terdengar hanya suara hujan.

"Atau kalau lo nggak mau, lupain aja."

"Kenapa nggak lo aja?" Jo balik bertanya. "Dan sori ya, payung yang lo sebut butut itu adalah payung kesayangan hadiah dari mantan gue pas doi liburan ke Jepang. Berani-beraninya lo menyebut payung itu but—"

"Yaudah, lupain aja."

"SIAP!!" Eden tersadar, lagi-lagi setelah Emir berbisik padanya—yang tentu hanya bisa didengar olehnya, berhubung orang lain di ruangan itu tidak bisa melihat Emir. Cewek itu bangun dari kursi makan bersama handuk di tangan, langsung pergi ke ruang depan sementara Sabda malah sebaliknya, dia berjalan mendekati satu kursi dan duduk dengan tenang tanpa peduli pada sorot tak percaya dari orang-orang seruangan.

"Gue merasa gue baru melakukan kesalahan besar." Eden bergumam sesaat setelah dia duduk di sofa ruang depan, sementara Emir berdiri sambil menyandarkan punggung ke tembok.

"Kesalahan besar?"

"Gue udah menganggap Kak Setra itu salah satu makhluk Tuhan paling seksi yang pernah gue lihat... tapi ya Loooooordddd... lo lihat teman-temannya nggak? Terutama Kak Arkais. Buset, deh. Gue berasa jadi Cinderella cuma dengan ditatap dia doang. Auranya... Gusti Nu Agung... pangeran banget!"

Emir mencibir. "Dasar cewek."

"Terus kelihatannya waras pula. Seringnya tuh hari gini, lo hanya bisa milih dua diantara tiga faktor sakti waras, ganteng dan pintar. Sabda, ganteng dan pintar, tapi nggak waras. Rasi lebih parah, dari tiga faktor, hanya punya ganteng doang." Eden mulai melakukan analisis. "Kak Setra dan... Kak Arkais tuh kayak apa ya... spesimen langka. Harusnya masuk museum. Sayangnya, yang bentukannya begitu lebih enak dikagumi doang."

"Terus kenapa lo menganggap ketemu dia itu kesalahan besar?"

"Karena gue jadi kepingin memiliki tapi gue sadar nggak bisa memiliki!" Eden berseru, setengah merengek. "Gue masih sadar diri. Gue ini hanya butiran crumble Oreo yang nggak ada seujung kukunya Liza Soberano atau Dilraba Dilmurat."

"Nggak apa-apa. Seenggaknya... lo nggak rata."

Wajah Eden memerah. "HEH, NGGAK USAH BAHAS-BAHAS ENTRY DIARY GUE YANG KEMARIN!"

"I didn't read it tho."

"Apanya?"

"Diary lo... gue memang menemukannya... tapi gue nggak pernah membuka atau membacanya. Gue serius." Kata-kata Emir selanjutnya membuat Eden terdiam. "Sori kalau gara-gara gue, lo merasa sampai harus membakar buku harian lo dan... betul-betul berhenti menulis buku harian."

"Dari mana lo tahu—"

"Informasi dasar tentang lo memuat itu dan jangan lupa, gue malaikat pelindung lo. Meski akhir-akhir ini gue nggak bertugas banyak karena lo hampir selalu berada di dekat mereka bertiga sepanjang waktu. Yah, sering-sering aja kayak gini, sih."

"Tapi lo menjauh setelahnya!"

"Menjauh?"

"Lo menghindari gue, sikap lo jadi lebih canggung dari biasanya, sesuatu yang biasa dilakukan setiap cowok ketika dia tahu cewek yang nggak dia suka punya perasaan sama dia."

"Itu... lo salah paham."

"Bagian mananya yang salah paham?"

Airmuka Emir berubah sedikit. "Gue punya alasan gue sendiri, tapi itu nggak seperti yang lo pikir."

"Alasan apa?"

Tanya Eden tidak bersambut jawaban, bukan hanya karena Emir jelas-jelas terlihat enggan, tetapi juga karena suara langkah kaki seseorang yang setengah berlari menembus hujan. Spontan, Eden beranjak dan betul dugaan Sabda, itu memang Setra, Bentuk payung yang dipakainya terlihat menyedihkan, sudah peyot di beberapa sisi gara-gara embusan angin yang kelewat kencang. Rambutnya basah, begitupun dengan sebagian besar pakaiannya. Setra kembali dengan sebuah kantung plastik berlabel simbol minimarket berukuran besar. Juga basah, tapi wajahnya kelihatan senang.

"Kak Setra!"

"Loh, Eden—ah, thanks." Setra tersenyum kala Eden menyodorkan handuk padanya. Cowok itu lantas menyampirkan handuk itu di tubuhnya, kemudian mengeringkan sedikit rambutnya yang meneteskan air sebelum kembali meraih kantung plastik yang sempat dibiarkan teronggok di lantai teras. "Yang lain mana?"

"Di ruang makan."

"Kamu nggak ke sana juga?"

"Eh? Aku... nunggu Kak Setra pulang dulu."

"Ah, that's so sweet of you." Setra tertawa kecil sambil berjalan menuju ruang makan dan Eden mengikuti. Kelihatannya, mereka semua baru mulai makan, karena Lucio tampak tengah sibuk menyendok sup dari wadah besar ke mangkuk yang lebih kecil. Sabda sendiri tengah duduk diam, menekuri makanan di piringnya dan pura-pura tidak tahu ketika Setra dan Eden masuk ke ruang makan.

"Buset, udah kayak anak kucing baru kejebur kali!" Jo berseru tanpa berpikir. "Dari mana lo?"

"Dari minimarket."

"Ngapain ke minimarket?" Kali ini Arkais yang bertanya.

"Beli bahan s'mores."

S'mores adalah kudapan marshmallow panggang yang diberi lapisan cokelat dan potongan cracker atau regal. Biasa dibuat ketika ada acara-acara tertentu yang melibatkan campfire. Namun di masa kini, s'mores sudah jadi hidangan kafe dan camilan normal yang bisa dibuat di rumah menggunakan alat pemanggang seperti microwave.

"S'mores?" Lucio mengerutkan dahi.

"Tiba-tiba perasaan gue bilang kalau ada yang lagi sedih sekarang. Dulu, waktu gue masih di rumah, saat ada yang lagi sedih, Mama biasa bikin makan makanan manis. Semua orang punya favoritnya masing-masing. Salah satu favorit seseorang di sini itu s'mores."

Sabda yang baru mencicipi supnya sontak dibuat tersedak sampai terbatuk-batuk.

"Lo nggak ada rencana bikin s'mores sekarang, kan?"

"Nanti. Abis makan aja." Setra berujar.

"Sekarang, mending lo mandi atau ganti baju dulu. Basah kuyup banget. Mana hujannya hujan angin. Nggak bagus buat badan." Arkais menyela dan Eden setuju sepenuhnya dengan ucapannya. Meski sudah membawa payung, Setra jelas tetap masuk kategori sudah kehujanan. Bukan berarti Eden protes karena jujur saja, Setra dengan baju dan rambut basah itu lebih enak dipandang dari Setra yang biasanya, tetapi jelas itu tidak baik untuk kesehatan.

"Bentar, mau bikin susu dulu."

"Lah, biasanya apa pun cuacanya, tidak peduli jamnya dan apa pun makanannya, jawabannya tetap es teh?"

Setra malah terkekeh, lalu menjawab setengah berdendang. "Kalau sekarang, lagi kepingin bikin susu."

"Bikin susu bisa nanti, Setra."

"Nope. Udah tanggung juga." Setra mengabaikan kata-kata Lucio, melangkah begitu saja mendekati lemari gantung dan mengeluarkan toples-toples berisi susu bubuk serta gula dari sana. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan membuat segelas susu vanilla hangat. Cowok itu baru berniat membawanya menuju meja makan saat Sabda tiba-tiba bicara.

"Udah gede tapi masih nggak bisa ngurus dirinya sendiri." Cowok itu bergumam samar, terdengar seperti sedang mengomel. "Di mana-mana, orang yang bisa mikir tuh bakal ngutamain mandi sama ganti baju dulu kalau habis kehujanan, bukannya malah bikin susu. Lagian, nanti juga susunya keburu dingin karena kelamaan dibiarin."

Eden dan cowok-cowok lainnya di ruang makan serempak saling memandang, kemudian sepakat memilih diam karena ucapan Sabda seakan-akan mengubah suasana dari status AMAN meningkat jadi SIAGA.

"Benar sekali." Setra berkata santai dengan segelas susu di tangannya, lalu dia meletakkan segelas susu itu di atas meja, tepat di dekat siku Sabda. Sabda, jelas tidak menduga Setra akan meletakkan segelas susu tersebut di sana, langsung dibuat tersekat di tempat. "Kecuali fakta kalau susunya bukan buat aku, tapi buat kamu."

Sekarang, ganti Jo dan Lucio yang tersedak sampai terbatuk-batuk.

"Gue nggak minta—"

"Memang. Tapi dipikir lagi, kayaknya udah lama banget sejak terakhir kali aku bikinin susu vanilla buat kamu. Sekarang, mumpung kamu lagi main ke sini, nggak ada salahnya, kan?" Setra menatap adiknya yang kini tertunduk dalam-dalam, lantas senyumnya merekah. "Nah, sekarang baru waktunya mandi dan ganti baju."

Tanpa peduli pada senyap yang diterimanya sebagai respon, Setra berjalan meninggalkan ruang makan, membiarkan Eden kembali saling melempar tatap penuh arti dengan teman-teman serumah Setra sementara Sabda terduduk diam di tempatnya dengan wajah memerah, sibuk meredam keterkejutan sekaligus panas yang kini menjalari matanya.

*

Tadinya, Sabda ngotot untuk langsung pulang setelah mereka selesai makan, namun hujan yang masih turun dengan deras membuat Lucio membujuknya untuk tinggal agak sedikit lebih lama, setidaknya sampai hujan sedikit reda. Selain itu, Eden juga ingin mencicipi s'mores buatan Setra. Ini tidak terencana, memang, dan Mama sempat menelepon Eden karena cewek itu tak kunjung pulang—namun setelah sesi video call singkat dengan Setra yang menjelaskan situasinya pada Mama, beliau mau mengerti dan malah berterimakasih pada Setra. Yah, Eden paham sih kenapa Mama bersikap seperti itu. Setra kelihatan seperti anak baik-baik yang tidak akan berbuat macam-macam. Terlebih, ketika mereka melakukan video call, Setra tengah mengenakan kaus putih bermotif Spongebob Squarepants yang membuatnya tampak polos.

"Kalian bisa tunggu di depan aja, bareng sama Arka dan Jo, sambil nonton TV." Setra berucap seraya membuka bungkus biskuit regal, sesekali melirik pada Eden dan Sabda yang duduk menghadap meja konter dapur tempatnya bekerja.

"Aku belum pernah lihat orang bikin s'mores, jadi aku mau lihat."

"Dan gu—dan aku ogah kejebak seruangan sama cowok-cowok kayak mereka."

"Jo dan Bang Cio nggak seberandal yang kamu pikir, Sabda." Setra tertawa kecil. "Mungkin emang penampilan mereka... agak khas. Tapi mereka baik."

"Orang baik nggak akan bikin kakak aku pergi dari rumah."

"Dan aku nggak pernah bilang kalau mereka alasan kenapa aku pergi dari rumah." Setra membalas, terlihat santai dan itu bikin Eden merasa ekspresinya yang berganti tegang tiba-tiba jadi tampak seperti hal konyol yang tak beralasan. "But well, we can talk about that later. Kamu mau cokelatnya Silver Queen atau Delfi? Seingatku, kamu suka dua-duanya, jadi aku beli dua-duanya."

"Aku nggak minta s'mores."

"Sekalipun kamu nggak minta, sama seperti susu tadi, aku bakal tetap buat, mumpung kamu ada di sini."

"Aku suka Silver Queen!" Eden berseru penuh antusias, mengabaikan Sabda yang melihat padanya dengan tatapan judging-you-so-hard.

"Oke. Kalau gitu kita pake Silver Queen."

"Untuk regalnya diapain, Kak?"

"Dijadiin remah-remah aja."

"Oh, ngerti, ngerti! Sabby, ambil bungkus regalnya! Bantuin Kak Setra, dong! Masa kita nonton doang dan cuma semangat pas makannya aja!"

Sabda cemberut, namun tetap mengambil bungkus berisi kepingan biskuit regal yang Eden maksud. Wajahnya memang terlihat enggan, tetapi dia menuruti semua instruksi Eden untuk membantu Setra, mulai dari menghancurkan biskuit regal menjadi remah-remah, menyiapkan loyang alumunium foil hingga meratakan remahan regal dan potongan cokelat sebelum menutup lapisan teratas dengan marshmallow.

"Bikin s'mores itu gampang." Setra tersenyum lebar pada Eden sebelum meriah loyang dan memasukkannya ke dalam microwave dan memasang timer.

"Aku nggak tahu apa yang mungkin Kak Setra lihat di—"

"Aku nggak melihat apa pun." Setra memotong ucapan Sabda. "Jangan berpikir terlalu jauh, adik kecil. Seperti yang kubilang tadi, udah lama sekali sejak aku punya kesempatan bikin-bikin sesuatu, bukan hanya untuk kamu, tapi juga buat Rasi. Sekarang, secara nggak terduga, kamu muncul di sini. Jadi, kenapa nggak memanfaatkan kesempatan selagi bisa?"

"Aku nggak suka."

"Tapi aku suka." Setra menyeringai. "Jadi itu masalah kamu, bukan masalah aku. Oke?"

Eden hanya bisa cengo, tidak mengerti mengapa tiba-tiba Setra yang biasa diam saja setiap kali Sabda bicara pedas padanya bisa jadi seplayful ini.

Tidak berapa lama kemudian, suara denting khas terdengar, menandakan jika s'mores mereka sudah bisa dikeluarkan dari microwave. Dengan hati-hati, Setra mengeluarkan loyang dari dalam microwave dan menempatkannya di atas tray yang sudah disiapkan. Mereka membawa s'mores ukuran besar itu ke ruang tengah, memberi kesempatan pada Jo, Arkais dan Lucio untuk ikut mencicipinya. Awalnya, Sabda jelas menolak, bertingkah serupa bangsawan yang haram hukumnya duduk berdekatan dengan Jo, Arkais dan Lucio yang bisa jadi dianggapnya setingkat dengan rakyat jelata. Namun Eden memaksa, sehingga cowok itu tidak punya pilihan lain. Suasana tegang perlahan mencair dan tanpa Eden sadari, mereka sudah sibuk mengobrol seru sambil sesekali mengomentari adegan serial Netflix yang sedang tayang di televisi.

Hujan baru reda menjelang pukul sembilan malam, jadi mau tidak mau, meski tidak suka mengendarai taksi atau transportasi apa pun yang sifatnya individual, Eden dan Sabda sepakat untuk pulang menggunakan jasa taksi online.

"Jangan khawatir, gue bakal antar lo ke rumah lo dulu." Sabda berkata begitu usai memesan taksi online dan driver yang bersangkutan sudah mengonfirmasi jika dia sedang dalam perjalanan.

"Gue nggak khawatir!"

"Nggak khawatir tapi ngunyel-ngunyel tangan sendiri melulu dari tadi."

"Nggak ngunyel-ngunyel!" Eden membantah sewot.

"Terus kenapa? Dingin? Kalau dingin, ya ke sini!"

"Idih, apa banget."

"Loh, lo sendiri yang kemarin-kemarin bilang kalau gue termos pribadi lo."

"Jadi lo terima-terima aja disamain sama termos?"

"Nggak gitu juga. Cuma—"

"Cieeee... cuma apa nih, Sabby?" Eden malah mendapat ide mengejek Sabda dan sesuai tebakannya, wajah Sabda langsung memerah.

"Setop ledek-ledekin gue!"

"Kalau gue nggak mau?"

"Kalau lo nggak mau—"

"Nggak ada Rasi, Eden pun jadi." Komentar Setra yang berjalan memasuki ruang depan dengan sebuah kotak makanan terbungkus kain membuat perdebatan Eden dan Sabda terhenti. "Debat terus. Udah kayak Tom and Jerry aja."

Sabda tak menjawab, terlalu sibuk cemberut sambil melipat tangan dan buang muka.

"Ah ya, ini... nanti tolong dikasih ke Rasi ya?"

Ucapan Setra sukses membuat Sabda tersentak sedikit, lalu mengernyit pada bungkusan yang cowok itu sodorkan padanya. "... hng... oke."

Setra tersenyum tipis, memandang pada adiknya dengan lekat selama beberapa saat, lantas tangannya terangkat begitu saja. Semula, Setra berniat membetulkan scarf Sabda, namun pada saat-saat terakhir sebelum tangannya menyentuh scarf adiknya, dia malah ragu. Akhirnya, tangan Setra malah jatuh di bahu Sabda. Dia menepuknya beberapa kali, lalu meremasnya perlahan.

"Hati-hati ya. kalau bisa... hng... nanti kalau udah sampai di rumah, kasih kabar."

Sabda tidak langsung menjawab, justru berbalik dengan wajah kaku, bertepatan dengan sebuah mobil muncul dari ujung jalan dan berhenti tepat di depan pagar rumah.

"Ah, taksinya udah datang." Setra buru-buru bicara, karena jika tidak, dia khawatir air matanya akan jatuh. Cowok itu menoleh pada Eden. "Hati-hati ya."

"Tadi..." Sabda tiba-tiba berkata, suaranya pelan, namun cukup untuk bisa didengar Setra dan berhasil bikin dia membatu di tempatnya berdiri. "S'moresnya enak."

Setra merasa seperti ada beban berat yang dikeluarkan dari dadanya, membuat sesak itu perlahan terganti oleh lapang yang hangat.

"Makasih."

Hanya sebuah kata, tetapi mampu membuat senyum lebar Setra tertarik sekaligus membuatnya ingin menangis di saat yang bersamaan. Kelihatannya, Sabda tahu itu, sebab dia langsung berjalan menuju pagar depan rumah tanpa mengatakan apa pun lagi.

"Kak Setra—"

"Hari ini, saya lagi-lagi berhutang banyak sama kamu." Setra menggigit bibirnya, kemudian tersenyum lagi sebelum melanjutkan ucapannya. "Makasih sudah membawa dia ke sini, meski saya tahu jelas bukan itu yang kamu rencanakan. Dan lagi, makasih sudah melakukan sesuatu yang nggak bisa saya lakukan."

"Sesuatu yang... nggak bisa kakak lakukan?"

"Memeluknya waktu dia butuh dipeluk." Setra tertawa samar. "Hari ini melelahkan buat saya, tapi sekaligus jadi salah satu hari paling menyenangkan. Jadi Eden, terimakasih."

Eden mengangguk, kemudian balik membalas senyum Setra.

"Mau sampai kapan lo diem di sana? Mau pulang nggak?!"

Senyum Eden seketika lenyap begitu dia mendengar seruan sewot Sabda. "Iya, bawel! Kak Setra, aku pulang dulu, ya. Makasih juga untuk s'moresnya!"

Setra mengangguk, melambai waktu Eden berjalan melintasi halaman depan menuju Sabda yang sudah menunggu di dekat pintu mobil. Dia sengaja diam di teras, menonton mobil itu memutar dan bergerak merayapi jalan, meninggalkan muka pintu pagar tanpa sadar jika diam-diam, Jo dan Lucio sedang mengintip dari balik pintu.

"Jangan nangis, Set. Ini bukan telenovela."

Setra berbalik, menatap Jo yang mesem-mesem mengejeknya sebelum akhirnya bersin dengan keras tepat di depan wajah Jo.

Seringai Jo hilang, berganti dengan ekspresi jengkel. "Hadeeeeeeh, virus kabeh!"

*

Sejak pukul sembilan malam, Rasi tidak bisa berhenti mondar-mandir gelisah di ruang tengah rumah. Penyebabnya jelas hanya satu, semua karena Sabda belum juga pulang. Awalnya Rasi mencoba berpikir positif, mungkin saja Sabda belum pulang karena terjebak hujan. Namun setelah satu jam berlalu sejak hujan reda dan Sabda tak kunjung tampak batang hidungnya, Rasi harus mati-matian menahan diri supaya tidak menelepon Setra. Dia tidak ingin menciptakan kepanikan yang bisa jadi tidak perlu—berhubung Sabda bukan orang yang rentan nyasar sepertinya—sekaligus di saat yang sama, cowok itu juga takut perhatian berlebihannya bakal membuat Sabda merasa tidak nyaman.

Jadilah, Rasi hanya bisa bolak-balik seperti setrikaan sembari melirik jam dinding berkali-kali. Dia juga sempat menggantungkan payung di pagar depan beberapa jam lalu, supaya Sabda tidak basah kena air hujan saat berjalan dari pagar depan menuju pintu masuk rumah. Detik demi detik lewat dengan lambat, serasa seperti siksaan yang tanpa akhir. Rasi masih terus mondar-mandir tidak jelas hingga sepuluh menit berikutnya, sampai akhirnya dia merasa tidak tahan dan memutuskan mengeluarkan ponsel. Cowok itu membuka grup chat buatan Eden, sempat mengetik pesan di sana, yang sayangnya berakhir oleh tombol delete, bukannya tombol send.

"Oh my God, ini gue harus gimana yah?!" Rasi mendengus frustrasi, sibuk meremas rambutnya sendiri seperti orang sinting.

Untungnya, keadaan itu tidak berlangsung lama karena suara derum mesin mobil yang berhenti di depan pagar kontan membuat Rasi berlari mendekati jendela. Cowok itu menyibak tirai, mengintip dan mengembuskan napas lega tanpa sadar kala dilihatnya Sabda turun dari mobil tersebut. Usai menurunkan Sabda, mobil itu berlalu, meninggalkan Sabda sendirian. Dia tidak langsung masuk, malah menatap bingung pada payung yang tersangkut diantara besi-besi pagar dan tindakannya bikin Rasi gemas sendiri. Hujan memang sudah berhenti, tetapi rintik kecilnya masih tersisa dan cukup untuk membuat siapapun yang berdiri terlalu lama di bawahnya basah.

"How stupid of you..." Rasi bergumam, jelas gregetan. "Dipake payungnya tuh! Dipake! Bukannya malah dilihatin! Emangnya dia artefak museum!"

Sangat bodoh, karena tentu saja, Sabda tidak bakal mendengarnya.

Tapi yah, pada akhirnya Sabda memang meraih payung itu dan menggunakannya untuk melindungi diri dari terpa gerimis. Melihat itu membuat Rasi tersenyum, meski tidak lama kemudian, senyum itu diganti oleh kepanikan.

Rasi tidak ingin adiknya tahu bahwa diam-diam dia menunggu cowok itu pulang—juga menggantungkan payung di pagar—jadi dia harus segera beranjak pergi dari sana sebelum Sabda masuk. Setengah kalut dengan kehebohan yang sebetulnya tidak diperlukan, Rasi berlari menuju tangga. Malang, pada anak tangga ketujuh, dia terpeleset karena terlalu tergesa-gesa, membuatnya langsung kehilangan keseimbangan sebelum jatuh dengan gaya yang tidak ada bagus-bagusnya sama sekali, bertepatan dengan Sabda membuka pintu depan. Suara jatuh Rasi terlalu keras untuk bisa diabaikan, membuat Sabda buru-buru menghampiri sumber bunyi abstrak yang mirip dengan suara sekarung kentang dijatuhkan dari ketinggian hanya untuk mendapati kakaknya tengah terkapar di ujung tangga.

"Lo... kenapa?"

Rasi meringis kesakitan, tapi berpura-pura baik-baik saja untuk menyelamatkan harga dirinya. "Well... hello?"

"Lo... ngapain?"

"Lagi... pose?"

Sabda mengerjap, kemudian wajahnya berubah datar. "Seharusnya gue nggak nanya. Kalau urusan menembus batas kebodohan dan melampauinya, memang hanya lo jagonya."

"Gue nggak apa-apa, kok!" Rasi justru nyengir sambil memaksa diri bangkit, walau sekarang bokongnya sakit sekali, serasa baru digigit dua gajah dewasa. "Gue nggak apa-apa. Cuma keselandung dikit. Oke, sekarang waktunya gue balik ke kamar karena—"

"Tunggu."

Langkah Rasi refleks terinterupsi. "Apa?"

Sabda meletakkan bungkusan kotak makanan berbalut kain di tangannya ke atas meja. "Kak Setra titip ini buat lo."

"Kak... Setra?"

"Iya."

"Itu... apa?"

"Meneketehe. Buka aja. Tapi kayaknya sih bukan racun tikus, karena yang bikin Kak Setra. Lain cerita kalau gue yang bikin."

Rasi urung naik ke lantai dua, malah berjalan mendekati meja tempat Sabda meletakkan kotak makanan tersebut. Sabda lain lagi, cowok itu santai saja berjalan melewati Rasi menuju tangga. Dia mungkin sudah naik ke lantai dua jika ucapan Rasi tidak sukses menahannya.

"Tadi lo—hng—kamu... tadi ke tempat Kak Setra?"

"Nggak sengaja."

"Nggak sengaja?"

"Nggak sengaja."

Jawaban Sabda membuat Rasi bungkam. Dia membiarkan adiknya meneruskan langkah menuju lantai dua untuk kembali ke kamarnya, memilih berpaling pada kotak makanan di atas meja. Rasi memandangnya sebentar, kemudian meraih kotak tersebut dengan hati-hati seolah isinya adalah piring rapuh dari jaman Dinasti Qing. Cowok itu sengaja tak membukanya, malah membawanya ke kamar sambil memeganginya erat-erat seolah-olah nyawanya bergantung di sana. Setelah menutup pintu kamar dan memastikan dia sendirian, barulah Rasi membuka kotak makanan tersebut.

Ternyata, isinya adalah s'mores yang sudah mendingin dan potongan buah berselimutkan cokelat yang ditusuk menggunakan beberapa batang lidi. Tidak ada catatan apa pun. Tidak ada pesan yang dititipkan. Namun pada detik pertama kotak itu dibuka dan bau cokelatnya menguar memenuhi ruangan, Rasi langsung tahu kalau makanan itu pasti dibuat sendiri oleh Setra.

Cowok itu menggigit bibir. Tangannya bergetar samar waktu dia meraih setusuk buah berselimut cokelat beku. Cokelat itu leleh di lidahnya, terasa manis, membuat senyumnya tertarik bersamaan dengan air mata yang mengalir keluar tanpa permisi.

Berapa bilangan masa yang sudah lalu sejak terakhir kali dia memakan sesuatu yang Setra buat?

Rasi pergi meninggalkan rumah hanya beberapa bulan setelah Mama tidak ada dan ketika dia kembali, Setra tidak lagi berada di sini. Kamar itu kosong, hanya menyiksakan wangi Febreze yang memudar dari hari ke hari. Ada kalanya di tengah malam, Rasi keluar kamar dan berdiri di depan pintu kamar itu, berharap setidaknya, ada suara kotak musik yang dia dengar dari sana. Namun harapannya tak pernah jadi nyata, membuatnya berpikir bahwa nihil kemungkinan baginya untuk menemukan Setra berada di kamar itu lagi.

Tetapi malam ini, ada lebih dari setengah kerinduannya pada kakaknya yang terbasuh oleh sesuatu sesederhana buah berbalut cokelat dalam sebuah kotak bekal makanan.

Malam itu, dengan sisa cokelat masih menempel di bibirnya—kebiasaan lama makan belepotan yang tidak pernah benar-benar bisa dihilangkan—Rasi membongkar tumpukan foto-foto lama yang telah dia masukkan dalam kardus dan biarkan berdebu di kolong ranjangnya. Cowok itu baru berhenti mencari setelah dia menemukan bingkai foto berukuran sedang yang memuat foto tiga orang anak berkaus putih dengan bando Mickey Mouse. Foto mereka bertahun-tahun lampau, saat Papa mengajak mereka mengunjung Disneyland pertama kali. Rasi menyeka debu yang melekat dengan tisu, kemudian meletakkannya di atas nakas tepat di samping ranjangnya.

Memandang senyum tiga anak dalam foto itu, tanpa sadar senyum lebar Rasi ikut terkembang.

*

Keesokan harinya, Eden tidak pergi ke kampus karena jadwal kuliahnya hari itu dikosongkan setelah dosen yang seharusnya masuk ke kelas berhalangan mengajar. Seperti biasa, Mama dan Papa sudah pergi ke tempat kerja pagi-pagi sekali. Mama sempat menyambangi kamar Eden untuk berpamitan, yang direspon cewek itu dengan racauan setengah sadar. Tumben juga, Emir tidak ceriwis menyuruhnya bangun pagi seperti biasanya. Cowok itu hanya diam, sesekali berpindah dari sudut ruangan ke tepi kasur Eden tanpa mengatakan apa-apa.

Eden baru dipaksa terbangun menjelang pukul sebelas siang, gara-gara suara dari bel di tembok pilar pagar depan yang ditekan beberapa kali.

"Orang sinting mana sih yang bertamu jam segini?" Eden merutuk kesal sambil memaksa diri untuk bangun dari kasur. Gerutuannya bikin Emir berdecak seraya geleng-geleng kepala.

"Yang ada tuh orang sinting mana yang masih molor jam segini?"

Eden mengerjapkan mata, membiarkan suara bel terus bergema. "Emang sekarang jam berapa?"

"Jam sebelas siang, dodol!"

"HAH?!" Eden melotot kaget. "Buset, pantesan gue laper! Ternyata udah jam segini! Tumben amat lo nggak cerewet nyuruh gue bangun atau nyiramin bunga kayak biasa?"

"Karena hari ini, lo nggak perlu nyiram bunga, tapi perlu buka pintu buat orang yang datang."

"Siapa sih?"

"Mau gue kasih tahu sekarang, tapi kalau lo tahu, kayaknya lo bakal ngerasa mendingan pura-pura mati daripada turun ke bawah dan buka pagar dalam kondisi... seperti sekarang."

"JANGAN BILANG KALAU YANG DATENG ITU RASI?!"

"Hng... bukan, sih."

"Oh, kalau gitu sih artinya gue nggak mesti harus pura-pura mati. Gue baru kudu pura-pura mati kalau yang datang tiada kabar berita nggak ada angin nggak ada hujan nggak ada badai tuh orang kurang waras itu."

"Atau sebenarnya, diam-diam lo mengharapkan kalau yang datang itu Rasi?"

"Idih, spekulasi sampah macam apa itu, Emir Novawira?" Eden mencibir seraya turun dari kasur dan keluar dari kamar untuk membuka pintu pagar depan. "Buat ngehadapi orang kayak Rasi itu butuh energi ribuan kilojoule dan sekarang lo mau tahu berapa energi yang gue punya? Mungkin di bawah nol joule. Kalau Rasi yang datang ke rumah gue sekarang, dalam kondisi gue lagi laper dan entah kenapa lagi kepingin bete sama semua orang, itu artinya, dia mendedikasikan diri buat jadi samsak tinju gue dan pulang dalam keadaan bonyok."

"Rugi di dia lah, harusnya. Lo tetap untung, punya sasaran pelampiasan."

"Nggak. Gue bakal merasa berdosa karena bikin Rasi bonyok sama aja kayak bikin anak TK babak belur."

"Bilangnya anak TK, tapi nanti tahu-tahu jatuh cinta."

"Gue harus jadi sinting dulu buat bisa jatuh cinta sama orang kayak dia."

"Kalau sama Kak Setra?"

"Kalau sama Kak Setra, gue harus jadi nggak tahu malu dulu supaya berani jatuh cinta sama dia."

Emir mengerling. "Kalau Sabda?"

"Jatuh cinta sama Sabda itu artinya gue udah nggak punya kuping."

"Kalau sama gue?"

"Kudu mati dulu, karena kita udah beda alam."

"Sejujurnya, respon lo bukan sesuatu yang gue duga." Emir cemberut, kecewa karena gagal menggoda Eden, tapi kemudian seringainya kembali tertarik. "Tapi yah, gue rasa reaksi lo untuk orang yang datang ini bakal cukup menghibur sih, jadi gue maafin."

"Maksud lo?"

"Lo bakal lihat nanti."

Eden mengernyit pada Emir, namun tidak bertanya lebih jauh. Tidak butuh waktu lama baginya untuk keluar dari rumah dan berjalan melintasi halaman menuju pagar depan, hanya untuk dibuat mematung dengan wajah syok di tempatnya berdiri tatkala dia mengenali siapa orang yang datang bertamu.

"K—KAK SETRA?!" Eden memekik, bersambut lambaian tangan dan cengiran lebar dari Setra. Cewek itu ternganga, spontan menoleh pada Emir yang berada di sampingnya dan berbisik jengkel. "Kurang ajar ya lo!"

"Bener kan apa kata gue? Seandainya lo tahu kalau yang datang itu Kak Setra, mungkin lo bakal memilih pura-pura mati atau baru buka pintu sejam lagi, setelah lo kelar cuci muka, bedakan dan gincuan!"

"Kenapa lo nggak kasih tahu gue?!"

"Karena gue butuh hiburan hari ini."

"Lo ini guardian angel gue apa bukan?!"

"Ini bukan situasi yang mengancam nyawa lo, Kisa." Emir mesem-mesem. "Paling lo bakal salting dan malu dikit, sih."

"Apa... apa..." Eden melirik ngeri pada Setra yang masih memandang ke arahnya, kini dengan salah satu alis yang terangkat. Mungkin heran karena Eden tidak kunjung membuka pintu. "Apa gue terlihat seberantakan itu."

"Yah, lebih jelek dikit dari biasanya."

"LO BENERAN JAHAT YA!"

"Udah terlanjur keliatan jelek, mau gimana lagi?" Emir meringis. "Sekarang lo bisa pilih, tetap ngomong sama gue yang bakal bikin Kak Setra mikir otak lo udah oleng sebelah atau bukain pintu dan terima kenyataan kalau Kak Setra bakal ngelihat muka bare face bangun tidur lo yang nggak berliptint."

"Huhuhu... jahat..." Eden merengek.

"Lagian Kak Setra bukan gebetan lo ini. Lo sendiri yang bilang, lo kudu nggak tahu malu dulu buat berani jatuh cinta sama dia, iya kan?"

Eden merengut, memandang pada Emir dengan sorot mata terluka sebelum pasrah berjalan menuju pintu pagar dan membuka gemboknya. Setra beraroma segar, paduan sabun mandi, parfum lembut dan wangi Febreze seperti biasanya. Tetapi sulit bagi Eden untuk betul-betul terpesona, terutama ketika dia seberantakan sekarang.

"Hng... kenapa, Kak?"

"Sori, saya ganggu kamu, ya?"

"Nggak kok." Eden meringis, menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. "Aku cuma... kaget."

"Baru bangun tidur?"

Eden harus menahan diri supaya tidak membenturkan kepalanya berkali-kali ke tembok terdekat. "Hng... iya..."

"Wah, kalau gitu, berarti saya ganggu kamu."

"Nggak kok, Kak! Beneran!"

Setra tertawa. Manis dan renyah seperti yang Eden ingat. Jenis tawa yang bukan hanya bikin orang lain ingin tertawa, tapi juga terpesona.

Ketawanya Kak Setra itu... ganteng...

"Saya tadi ke departemen kamu, tapi ternyata kelas kamu kosong hari ini. Berhubung saya cuma punya waktu kurang dari tiga hari sebelum weekend ini, saya mikir kayaknya bagusnya saya langsung ke tempat kamu aja. Udah coba telepon sih tadi, tapi nggak diangkat."

"HP aku kayaknya disilent."

"Tapi saya beneran nggak ganggu kamu, kan?"

"Beneran, Kak!"

Yah, meski bagusnya Kak Setra datengnya jangan semendadak ini... biar aku bisa dandan dulu...

"Jujur aja, saya mau minta bantuan kamu."

"Bantuan?"

"Weekend ini bakal jadi long weekend dan kita libur sampai hari Selasa karena hari Senin tanggal merah. Saya baru kepikiran buat... jalan-jalan ke luar kota."

"Jalan-jalan?"

"Singkatnya begini..." Setra tampak bingung. "Hari ulang tahun Mama saya itu minggu depan, sebetulnya, tapi berhubung long weekendnya ada di minggu ini, saya rasa kayaknya nggak apa-apa kalau jalan ke luar kotanya minggu ini aja. Kamu mungkin sudah tahu dari Rasi atau Sabda kalau Mama udah nggak ada. Makam beliau nggak di sini, tapi di Bandung. Kami masih terlalu kecil waktu Mama pergi, jadi atas berbagai pertimbangan dan supaya sedihnya Rasi juga Sabda nggak berlarut-larut... jadi... begitulah. Udah lama banget sejak kami ke sana sama-sama, jadi saya berpikir buat... ngajak Rasi dan Sabda ke sana long weekend ini."

"Oh... oke... aku ngerti."

"Tapi saya tahu, mereka belum tentu setuju. Jadi... boleh saya minta bantuan kamu?"

"Hng... boleh kok, Kak... anyway, nggak apa-apa masuk aja dulu! Aku jadi nggak enak, masa ngobrolnya di depan pintu gini."

"Great! Kebetulan, saya menebak kalau kamu belum sarapan, jadi saya bawain ini buat kamu!" Setra tertawa, menunjukkan bungkusan plastik berukuran besar di tangannya dengan mata berbinar.

Eden nyengir, sejenak lupa pada muka bangun tidurnya yang dia rasa jelek banget. Mereka baru bermaksud untuk berjalan menuju rumah ketika sebuah mobil muncul dari ujung jalan dan berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Eden diikuti oleh suara klakson heboh. Eden dan Setra tentu saja langsung batal masuk ke dalam rumah. Perhatian mereka disita oleh pintu mobil yang kini terbuka, disusul oleh munculnya sesosok spesies langka yang bikin Eden mendadak diserang vertigo tingkat lanjut.

"YOOOO, HEAVEN! HANDSOME RASI IS IN THE HOUSE—hah, Kak Setra ngapain di sini?!"

Eden berkacak pinggang. Tidak tahu kenapa, tampang Rasi malah bikin dia emosi. "Ngapain lo ke sini?!"

"Tadinya mau ngajakin lo minum thai tea bareng, tapi terus dikasih tahu kalau kelas lo buat yang hari ini pada di-reschedule. It's very lonely... alone in campus... jadi gue mikir kayaknya mending gue ke rumah lo aja..." Rasi melirik Setra, sejenak salah tingkah tapi kemudian cengiran cerianya yang khas muncul kembali. "Jangan khawatir! Gue bawa thai tea sama sekotak gede singkong keju, kok!"

Eden berdecak, sebetulnya bisa saja menyuruh Rasi pergi karena dia tidak sedang selera berkutat dengan kegilaan cowok itu hari ini, namun dipikir lagi, Rasi terlihat sungguh-sungguh waktu dia bilang dia kesepian karena sendirian di kampus dan itu bikin Eden kasihan. Jadi cewek itu menghentakkan kakinya, sebelum kemudian berbalik untuk memimpin jalan menuju rumah.

"Gue rasa gue nggak punya pilihan lain, jadi yaudahlah! Jangan bikin berantakan rumah gue tapi, ya!"

"Heaven..."

"Ape lagi?!" Eden menukas galak sambil memutar badan, bikin Setra dan Rasi saling memandang, lantas kompak menelan ludah.

"Aduh... how do I say this... ini... ini..."

"Hng..." Setra kelihatan sama bingungnya.

Eden menyipitkan mata, melipat tangan di dada. "Kalian... sebenarnya kenapa, sih?"

"Itu... ada... bendera... Jepang..." Rasi bicara dengan terputus-putus, namun Eden masih terlalu lemot untuk dapat langsung mengerti.

"Maksudnya apa?"

"Eden, kamu... lagi dapet ya?" Setra bertanya dengan hati-hati.

Eden memiringkan wajah, menatap bergantian pada Setra, Rasi juga Emir yang berada sejajar dengan dua cowok itu. Dia baru bangun dari tidur, jadi mungkin itu alasan kenapa otaknya memproses pertanyaan Setra dengan kecepatan lebih lambat dari biasanya. Namun pada akhirnya, dia tersadar akan maksud pertanyaan Setra juga ucapan Rasi, membuat pipinya serasa ditempeli setrika panas, diikuti gerak refleksnya mengecek bagian belakang celana tidurnya.

HOLY. SHIT.

Rasanya, Eden ingin seseorang mengutuknya jadi siput detik itu juga. 






bersambung ke twelfth note 

***

Catatan dari Renita: 

halo khalayak ramai yang sebagian diantaranya pasti lagi UAS seperti saya. 

sebelumnya, gue sempat galau apakah gue harus posting ini atau lucid dream. guardiationship sudah mulai diketik sejak kemarin-kemarin tapi kemudian ada salah satu pembaca yang ulang tahun hari ini dan dia suka lucid dream... 

hhh... 

i'm so sorry tho, mungkin lucid dream besok atau sabtu ya. 

so, i'll just say it here, happy birthday @cursedgurls, have a blast one. terimakasih sudah care sama gue. you too, take care of yourself and stay warm and hydrated and happy. i'm so sorry but i'll try my best to update lucid dream tomorrow. 

buat semua pembaca yang sudah sabar menunggu, sudah vote, sudah comment dan sudah selalu seantusias itu menunggu setiap cerita gue dilanjut, makasih ya. you guys are one of highlights of my life. makasih sudah jadi salah satu sumber energi buat gue untuk terus menulis. 

jadi, ternyata mereka belum cabut ke luar kota di chapter ini haha 

cie yang nebak buat syuting film salah cie ;P 

jadi, apa yang bakal terjadi ke depannya? we'll see. ada beberapa pembaca yang berteori. ada beberapa yang memilih menikmati. mungkin apa yang kelihatan di permukaan nggak sebanyak apa yang masih tersembunyi *acie 

kita akan bongkar semuanya satu-satu~~~ 

oke deh kalau gitu, sampai ketemu lagi di chapter berikutnya semuanya. 

jangan lupa jaga kesehatan. 

work hard, but don't forget to be kind to yourself. 

you deserve it. 

anyway, congrats for mark's graduation from dream. i'm sad but... i know i have to let go. at least, now mark will be able to get more rest. 

have a good night and ciao! 

bonus senyum jaehyun: 

Semarang, December 6th 2018 

19.42

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top