eighth note
And anytime you feel the pain, refrain
Don't carry the world upon your shoulders
For well you know that it's a fool who plays it cool
By making his world a little colder
—The Beatles—
*
Tadinya, Sabda berniat untuk tidak ke kampus hari ini, tapi setelah dipikir lagi, dia terlalu malas untuk minta surat sakit dari dokter dan absen tanpa keterangan dua hari berturut-turut jelas bukan sesuatu yang bijak untuk dilakukan. Bertahun-tahun merasa sendirian membuatnya bisa menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh tanpa diberitahu. Dulu, waktu Mama masih ada, beliau kerap mengomeli Sabda setiap Sabda berbuat kesalahan, memberitahunya bahwa beberapa tindakan buruk tidak boleh berulang. Setelah Mama tidak ada dan hubungannya dengan kedua saudaranya memburuk, Sabda harus memilah segalanya seorang diri. Mungkin itu juga yang membuatnya jadi terlihat lebih dingin sekaligus lebih dewasa dari kebanyakan anak seusianya.
Pintu kamar Rasi tertutup rapat ketika Sabda berangkat. Semula, Sabda ingin mengetuk pintu itu dan berterimakasih dengan cara yang benar, tapi keraguan menghantuinya, membuat memutuskan untuk langsung pergi tanpa bilang apa-apa.
Kelas hari ini terasa membosankan. Beberapa temannya bertanya soal dirinya yang kemarin sempat tidak masuk kuliah, juga wajahnya yang pucat dan scarf yang melingkar di lehernya. Langit mendung layaknya hari-hari kemarin. Matahari tidak bersinar, bersembunyi di balik awan hingga Sabda terkejut ketika kelas selesai dan dia memeriksa jam tangannya, ternyata sekarang sudah masuk waktu makan siang. Cowok itu berniat makan siang di kantin seperti biasa, namun di koridor langkahnya terhenti oleh bunyi ponselnya sendiri. Ada pesan baru yang masuk di aplikasi LINE-nya.
eden: sabby, kuliah?
sabda: sabby? ( ‾_‾ )
eden: short for sabda. hehe. kuliah nggak?
sabda: kuliah. kenapa?
eden: udah sehat?
sabda: udah
eden: senangnyaaaaaa ~('▽'~) (~'▽')~
sabda: (‾ _‾!!)
eden: sekarang lagi free nggak?
sabda: kenapa?
eden: mau nunjukkin foto yang gue ambil buat project kita. kemaren lupa.
sabda: di kantin tekkim aja
eden: oiya, sekalian makan siang!
sabda: buru.
eden: di kantin tekkim ada apa?
sabda: di kantin departemen lo ada apa? sama aja.
eden: yah, bosen dong. gue lagi pengen makan burger.
sabda: yaudah.
eden: yaudah apanya?
sabda: ketemuan di kantin tekkim, abis itu terserah mau ke mana.
eden: °\(^▼^)/°
sabda: (¬_¬")
Sabda tidak pernah percaya dengan komunikasi via teks karena semua orang bisa saja mengirim reaksi heboh dengan wajah datar. Tapi sekarang dia bersyukur dia berkomunikasi dengan Eden lewat chat. Jika tidak, dia pasti sudah jadi bahan ledekan karena diam-diam tersenyum sendiri. Cowok itu meneruskan langkahnya menuju kantin, sempat menunggu sebentar hingga Eden muncul.
"Cie, pake scarf! Tapi untung demamnya udah turun."
Sabda tersentak, salah tingkah sejenak karena begitu datang, Eden langsung menempelkan telapak tangan di dahinya. "Jangan pegang-pegang!"
"Dih, cuma ngecek aja lo udah benar-benar sehat atau belum." Eden memberengut, sempat melihat pada kios-kios penjual makanan yang berderet di salah satu sisi kantin sebelum bicara lagi. "Kayaknya kita memang harus ke tempat burger langganan gue, deh. Nggak jauh dari sini kok, dan untungnya juga cukup jauh dari gerobak abang-abang thai tea. Jadi seharusnya kita bisa makan dengan tenang."
"Emang kenapa dengan gerobak abang thai tea?"
Eden enggan mengingat Rasi meski tidak tahu kenapa sekarang, setiap mendengar kata thai tea, Eden langsung teringat pada cowok jangkung itu. "Nggak apa-apa. Yuk, mau kan?"
"Yaudah."
Mereka berjalan meninggalkan kantin Tekkim menuju tempat burger langganan yang disebut Eden. Udara lembab dan dingin karena mendung-hujan yang datang silih berganti sejak kemarin. Benar kata Eden, tempat itu memang tidak jauh. Keduanya hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit. Daripada disebut restoran, tempat burger itu lebih mirip model resto hole-in-wall yang lazim ditemukan di kota-kota negara maju seperti New York. Bagian dalam kedainya kecil, sebagian besar difungsikan sebagai dapur. Bagi pelanggan yang ingin makan di tempat, disediakan kursi dan meja plastik di bagian depan, persis seperti convenience store.
"Lo sering ke sini?" Sabda bertanya seusai mereka mendapatkan burger yang mereka pesan dan memilih duduk pada kursi di teras kedai.
"Lumayan." Eden nyengir sambil membuka kertas pembungkus burgernya. Cewek itu langsung menggigit sepotong besar, membuatnya tidak sadar ada saus dan mayones yang menempel di bibirnya. Sabda menatapnya, berdecak dan ketika dilihatnya Eden malah balik memandang polos, cowok itu menghela napas pendek sembari menarik sehelai tisu dari kotak tisu di atas meja. Wajahnya datar ketika dia mencondongkan badan sedikit untuk membersihkan saus dan mayones dari sudut bibir cewek di depannya.
Eden terperangah, kemudian perlahan, wajahnya memerah. Dia terbatuk, tidak menebak Sabda akan berlaku seperti itu dan langsung mencoba mengalihkan perhatian dengan bicara soal foto yang diambilnya untuk project mereka. "Ah, gue hampir lupa soal fotonya. Tunggu!"
Sabda hanya menonton saat Eden meletakkan burger ke atas meja dan ganti membuka risleting tote bagnya. Hanya butuh waktu singkat baginya menyebar beberapa lembar foto polaroid di atas meja plastik. Sabda mengernyit, terkejut sejenak ketika beberapa sosok dalam foto terlihat terlalu familier, tapi cowok itu cepat menguasai diri. Bukankah seharusnya tidak terlalu mengejutkan? Eden mengenal Rasi, dan kelihatannya mereka cukup akrab. Yah, walau Sabda diam-diam heran, bagaimana bisa Eden mengenal Setra dan kenapa dua orang itu bisa muncul dalam satu foto yang sama.
"Lo dapet foto ini dari mana?"
"Tempo hari pas di mal, gue apes terus ketemu sama kakak lo. Terus karena... sesuatu..." Eden diam sebentar, melirik pada satu arah yang membuat Sabda ikut menoleh ke arah yang sama. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana. "... sesuatu yang intinya nggak perlu lo tahu. Gue ketemu Kak Setra juga. Ternyata dia udah kenal sama kakak lo. Jadilah kita jalan, makan bareng terus nongkrong di rooftop."
"Lo mengambil ini atas persetujuan mereka?"
"Apa itu penting? Maksud gue fotonya kan bag—"
"Itu penting banget bagi gue."
Eden mengernyit heran, belum pernah melihat Sabda sengotot itu ingin tahu sesuatu darinya. "Itu candid. Bisa lo lihat, keduanya memunggungi kamera."
"Sudah gue tebak."
"Apa?" suara Sabda kelewat pelan hingga Eden merasa perlu memastikan apa yang cowok itu katakan.
"Nggak apa-apa." Sabda menggigit burgernya. "Makan."
"Gimana fotonya?"
"Bagus. Foto mana yang mau lo submit buat tugas?"
Eden memilih foto Rasi dan Setra, menggesernya agar terpisah dari yang lain. "Ini."
"Itu?"
"Kata lo tadi bagus."
"Itu berlaku buat semua foto. Tapi gue lebih suka ini." Sabda menunjuk foto lain yang memuat siluet Eden berlatar belakang langit sore. "Lagian, foto ini lebih sesuai dengan konsep ephemeral yang diminta."
"Lebih cocok gimana? Semua isi foto juga ada senja-senjanya."
"Selain senja, ada lagi sesuatu yang nggak kekal dalam foto yang gue pilih."
"Apa?"
"Lo. Kelihatan cantik. Cuma di foto itu doang."
Eden memberengut kesal, bermaksud mendaratkan kepalan tangannya ke kepala Sabda, namun tidak jadi. Cewek itu malah mengubah jitakannya jadi tepukan lembut di puncak rambut Sabda. "Gue kesal, tapi karena lo sudah jadi anak yang nurut sama gue kemarin, gue bakal pura-pura nggak dengar itu."
"Apaan sih?!"
Eden tertawa, masih menepuk-nepuk kepala Sabda seperti sedang mengelus kepala anak anjing. "Makan yang banyak, Tayo. Supaya cepat besar!"
"Jangan pegang-pegang rambut gue!" Sabda mendorong tangan Eden menjauh. "Tapi soal fotonya, semuanya bagus. Lo bebas pilih yang mana."
"Foto lo sendiri mana?"
"Rahasia."
"Kok gitu?! Harusnya kan gue lihat juga jadi gue bisa bilang itu cocok atau nggak!"
"Pasti cocok." Sabda membalas pongah. "Udah, nggak usah banyak tanya dan ikut campur. Gue lebih pintar dari lo, ingat? Foto yang gue pilih nggak akan salah."
"Iya, deh, yang jenius tapi nggak bisa ngerawat dirinya kalau lagi sakit."
Tak terduga, Sabda malah tertawa kecil. "Anyway, setelah ini lo ada kelas nggak?"
"Nggak. Emang kenapa?"
"Gue juga nggak ada kelas." Ada binar di mata Sabda yang mati-matian berusaha cowok itu sembunyikan. "Gue ingat, kita pertama kali ketemu di perpustakaan. Lo dan gue menyentuh komik yang sama. Lalu sempat debat, tapi akhirnya gue yang ambil komik itu."
"Sumpah, lo nyebelin banget waktu itu! Sekarang masih nyebelin sih, walau udah mendingan. Dikit."
"Gue tahu tempat bagus di mana lo bisa nemuin banyak komik."
"Gramedia?"
"Gramedia aja kalah sama tempat ini. Di sana, lo bukan hanya bisa beli komik. Ada juga perpustakaan penuh komik yang koleksinya nggak akan habis lo baca meski lo datang ke sana setiap hari selama dua tahun."
"Ada tempat kayak gituan di Jakarta?! Kok gue nggak pernah tahu?!"
"Anak kuper kayak lo mah tahunya cuma nonton drama Korea aja." Sabda mengejek sebelum meneruskan. "Mau ke sana sekarang?"
"Masih harus ditanya nih, bapake?!"
*
Mereka meninggalkan teras kedai burger itu setelah menghabiskan makanan mereka. Eden tidak punya rencana jalan bareng Sabda setelah makan siang, tapi ide Sabda itu terdengar sangat bagus. Well, lagipula, itu sesuatu yang normal. Sabda tahu Eden suka baca komik—setidaknya, pertemuan pertama mereka terjadi karena mereka berebut komik yang sama secara tidak sengaja—dan dia menawari mengajak Eden ke tempat penuh komik. Sudah pasti, Eden tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dipikir lagi, rasanya lucu sekali bagaimana orang-orang yang baru Eden kenal betul-betul mewakili pepatah yang bilang jangan menilai sesuatu dari sampulnya. Rasi boleh saja punya tampang macam model majalah dengan badan jangkung dan wajah cool, tapi ternyata kelakuannya tidak lebih baik dari anak SD yang kelewat antusias pada hal-hal kecil—yang biasa dianggap orang dewasa membosankan. Sabda lain lagi, dia memang punya wajah jutek dan hobi berkata pedas, tapi sebetulnya, cowok itu cukup lovable. Dia baik, cute dan ada saat-saat di mana Eden merasa dia memang masih bocah. Otaknya membuatnya mampu masuk ke universitas lewat jalur istimewa, tapi dia tetap cowok berusia 17 tahun yang masih memiliki sisi kekanak-kanakan.
Eden suka berada di dekat Sabda.
Tapi mungkin Emir tidak, karena setelah Eden perhatikan, setiap kali ada Sabda, Emir langsung diam. Cowok itu tak banyak bicara, berbeda jika Eden berada di dekat Rasi, Yasmine atau Setra. Tadi, setelah mengiakan ajakan Sabda, Eden sempat melirik pada Emir dan cowok itu hanya diam sambil memberi isyarat jika tidak apa-apa kalau Eden ingin jalan bareng Sabda. Bukan berarti Eden ingin dilarang, hanya saja, pasti mengherankan kan jika orang—ralat, malaikat pelindung, yang tadinya cerewet bukan kepalang tiba-tiba jadi pendiam.
Atau yah, bisa jadi itu hanya perasaan Eden saja.
Perlu setengah jam mengendarai bus dan jalan kaki untuk mencapai tempat yang Sabda masuk. Tempat itu tidak berada di tepi jalan besar, agak masuk ke dalam dan tersembunyi di belakang rumah warga. Kios-kios yang dijejali beragam komik berderet, menguarkan bau buku lama yang khas. Beberapa diantara komik itu memiliki kertas yang sudah kekuningan dimakan umur. Kata Sabda, justru komik-komik seperti itu yang banyak dicari kolektor. Di seberang deretan kios-kios komik—Eden tidak tahu berapa jumlah pastinya, saking banyaknya kios yang berjejer—ada bangunan berbentuk seperti rumah joglo berhalaman luas. Itu perpustakaan komik yang dimaksud Sabda. Di sebelahnya terdapat sebuah masjid, dengan beberapa pedagang jajanan seperti cilor, es dung-dung dan siomay mangkal di depannya.
Keduanya masih kenyang selepas menyantap burger, jadi mereka langsung masuk ke perpustakaan, memilih sudut enak untuk duduk lesehan dan membaca komik hasil pilihan.
"Lo baca sambil tidur?" Sabda mengerutkan dahi kala dilihatnya Eden berbaring santai sambil memegang komik dengan kedua tangannya.
"Udah biasa. Soalnya kalau sambil duduk tuh suka pegel lehernya."
"Itu nggak bagus buat mata."
"Emang. Makanya, kalau lagi belajar di kelas gue butuh pake kacamata." Eden membenarkan. "Tapi gue udah biasa baca kayak gini."
"Ck. Kebiasaan buruk dipelihara."
"Kita semua punya kebiasaan buruk, oke? Lo nggak bisa mengomeli gue karena kebiasaan buruk gue berbeda dengan kebiasaan buruk lo."
"Gue nggak berniat mengomeli lo."
"Itu barusan tadi apa?"
"Nanya doang."
Eden mencibir, tapi airmukanya berubah heran waktu mendadak Sabda menepuk pahanya sendiri. Cowok itu memang membaca sambil duduk, dengan punggung bersandar ke tembok dan dua kaki diluruskan. "Apa?"
"Paha gue lebih empuk daripada lantai."
"Hah?"
"Yaudah kalau nggak mau."
"Eits, siapa bilang?!" Eden baru mengerti maksud ucapan Sabda, buru-buru bangkit dan menggeser dirinya lebih dekat ke cowok itu. "Gue nggak nolak. Cuma tumben aja lo sebaik itu."
Sabda tak menyahut, namun membiarkan Eden menjadikan pahanya sebagai bantal. Dia mencoba kembali melanjutkan membaca komiknya, tapi entah kenapa fokusnya malah jatuh pada rambut cewek itu... lalu dahinya... kemudian alisnya...
Sabda menggelengkan kepalanya, berusaha menghentikan laju pikirannya sendiri meski diam-diam, dia mengintip dari tepi atas komik di tangannya. Eden kelihatan nyaman, tengah membaca komik yang dia pegang. Sabda menghela napas, kembali menatap pada lembar komiknya sendiri.
Ini tidak adil. Bagaimana bisa cewek itu kelihatan baik-baik saja ketika jantungnya tidak baik-baik saja?
*
Usai menyelesaikan kelas dan mengumpulkan tugas yang harus dia submit secara perorangan pada dosennya di kampus, Setra bertolak menuju deretan kios-kios komik untuk mengecek jenis komik yang akan dikirim sesuai permintaan Lucio. Setiap orang punya cara yang berbeda untuk menyebarkan kebaikan dan Lucio memilih salah satu bentuk yang unik. Dia kerap membuat taman baca di daerah-daerah, terutama di desa-desa yang jauh dari pusat kota. Kebanyakan dari taman bacanya tematik, entah buku dongeng atau buku komik. Bukan berarti Lucio berpikir jika pelajaran sekolah atau ilmu pengetahuan eksak itu tidak penting. Lucio merasa mereka sudah mendapat pengajaran di sekolah dan perlu tahu bahwa ada dunia lain yang tidak dibatasi oleh dinding kelas dan kebebasan tanpa takut kena hardik guru. Dunia lain itu adalah imajinasi.
Setra yang mengenalkan tempat itu pada Lucio dan penghuni rumah lainnya beberapa tahun lalu, tepat sesaat setelah dia tinggal bersama mereka pasca pergi dari rumah. Tempat itu punya nilai memori tersendiri buat Setra, karena Mama yang pertama kali mengajaknya ke sana—lalu Setra meneruskannya dengan mengajak Rasi juga Sabda. Dia tidak tahu apakah dua adiknya masih sering berkunjung ke perpustakaan yang berseberangan dengan deretan kios komik, tapi kemungkinan besar Sabda masih. Cowok itu mencintai komik seperti Rasi mencintai sapi-sapi peliharaannya dalam game Harvest Moon.
Begitu sampai, Setra langsung mendatangi kios yang dimaksud, mengecek judul-judul komik yang sudah ditata ke dalam kardus melalui daftar yang telah disiapkan oleh pemilik kios, kemudian menyetujuinya. Awalnya, dia berniat langsung pulang, tapi kemudian matanya terarah pada bangunan joglo perpustakaan komik. Setra menimbang sebentar, lantas memilih untuk mampir—setelah sebelumnya membeli es dung-dung langganan. Dia jarang menyambangi tempat itu selama beberapa bulan belakangan, namun abang es dung-dung itu masih mengingatnya dan bergurau, menanyainya soal pacar.
"Lain kali di bawa pacarnya ya, Tra. Sayang bener ganteng-ganteng tapi kemana-mana sendirian melulu. Masa kalah sama si Supri, anak saya yang udah ngapelin ceweknya tiap malam minggu."
Setra tertawa lepas. "Didoain aja, Bang."
Ini bukan akhir pekan sehingga perpustakaan tidak terlalu ramai. Setra berjalan melintasi beberapa ruangan, menuju salah satu ruangan yang selalu dia datangi setiap kali dia berkunjung ke sana. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu begitu dia mengenali sosok yang berada di sana, bersamaan dengan sosok itu mengangkat wajah dan memandangnya dengan sorot mata tak kalah kaget.
Itu Sabda.
"Gue—"
"Ssstt.." Sabda mendesis sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir, lalu menatap pada cewek yang sedang berbaring berbantalkan pahanya. Setra mengikuti arah tatapan adiknya, dibikin kaget dua kali karena ternyata cewek itu adalah Eden. Dia tertidur sambil masih memegang komik yang terbuka di perutnya. "... jangan berisik."
Ada banyak tanya dalam kepala Setra, tentang bagaimana bisa Sabda berada di sana bersama Eden, juga sudah seakrab apa mereka hingga Eden bisa tertidur berbantalkan paha Sabda. Fakta tentang Eden dan Rasi yang saling kenal serta sudah cukup dekat mungkin sebuah kebetulan, tapi jika dia juga sedekat itu dengan Sabda, Setra jadi merasa bahwa bisa saja Eden bukan cewek biasa.
"Gue... rasa gue bisa pergi ke ruangan lain."
"Nggak perlu." Sabda membantah cepat dalam bisikan tegas. "Ini tempat umum. Lo bebas berada di mana pun."
Setra terperangah sejenak sebelum melangkah mendekati salah satu rak sambil membisu. Dia kembali dengan sebuah buku komik di tangannya. Dengan gerak hati-hati, cowok itu duduk tidak seberapa jauh dengan Sabda. Mereka sama-sama punya kebiasaan membaca sambil bersandar dan sejak dulu, sisi dinding yang ditempati Sabda juga jadi titik favorit Setra. Dari tempat duduk mereka, mereka bisa melihat halaman perpustakaan yang dirindangi oleh rentangan dahan penuh daun hijau.
Hening mengambang diantara mereka. Setra sibuk membaca sambil memakan es krimnya, sesekali menatap ke arah Sabda melalui tepi atas komiknya. Tidak jauh berbeda, Sabda juga beberapa kali melirik, lalu berpura-pura berkonsentrasi pada komik bacaannya sendiri. Pada suatu momen, mereka saling curi pandang pada satu sama lain di waktu yang bersamaan. Mata keduanya bertemu, membuat Sabda buang muka dengan ekspresi salah tingkah sementara Setra terbatuk, tersedak oleh es dung-dung yang masih ada dalam mulutnya. Batuk-batuk itu berlanjut, malah jadi batuk beneran yang lantas membuat Sabda menghela napas panjang sebelum mendorong botol air mineral di sampingnya pada Setra.
Setra tak menduga itu, tapi tangkas meraih botol air mineral tersebut dan menenggak beberapa teguk untuk melegakan kerongkongannya.
Tahun demi tahun sudah berlalu dalam kesunyian perang dingin diantara mereka, tapi lewat apa yang baru Sabda lakukan, Setra tahu Sabda tidak pernah berubah.
Cowok itu masih adik yang dia kenal, yang selalu peduli pada orang-orang di sekelilingnya, entah itu teman atau saudara. Bahkan sekalipun sedang marah, Sabda akan tetap melakukan sesuatu jika dilihatnya orang-orang terdekatnya butuh bantuan. Botol air yang baru diberikannya pada Setra adalah salah satu contohnya, dan itu membikin Setra teringat pada tingkah-laku Sabda terhadap Rasi bertahun-tahun lalu.
Saat itu, Sabda lagi ngambek sama Rasi karena tanpa sengaja, Rasi menghapus file data game PES yang Sabda mainkan. Mereka memang berbagi memory card konsol PlayStation 2 di rumah. Memory card itu menyimpan data-data game yang dimainkan keduanya. Data game Harvest Moon milik Rasi dan untuk Sabda, data game PES-nya. Kecerobohan Rasi berujung pada marahnya Sabda. Saking murkanya, Sabda sampai mendiamkan Rasi berhari-hari.
Suatu siang, tanpa sengaja Rasi menambahkan sambal terlalu banyak pada mie ayam yang dia beli di sekolah untuk dibawa pulang. Merasa sayang membuang mie itu, Rasi memaksa diri memakannya. Hasilnya sudah bisa ditebak, cowok itu langsung kepedasan. Dia sedang megap-megap mengipasi mulutnya dengan telapak tangan waktu Sabda masuk ke ruang makan.
"Sabdaaaa... pedes niiih... ambilin minum, dong!"
"Ambil sendiri."
"Nggak bisaaaaa... ini pedes banget... nanti pas jalan aku oleng gimanaaaaaa?"
Sabda berdecak. "Ogah. Aku kan lagi marah sama kamu."
Sabda bisa saja bilang begitu, tapi dia tetap meraih gelas dari rak, mengisinya dengan sesuatu dan membawanya pada Rasi.
"Nih!" serunya sembari meletakkan gelas di meja makan.
"Makas—Sabda, kamu masih sehat, kan?"
"Emang kenapa?"
Rasi berdecak, tampak frustrasi dengan bibir jontor dan mata yang berair. "Sabda, ini bukan air. Ini es batu."
"Nanti kalau udah cair juga jadi air."
"Maksudnyaaaaaa... hhh... pedes banget..."
"Tunggu aja ampe cair semua."
Rasi mengerjapkan mata, memandang polos seperti anak TK yang baru saja dikerjai. Sabda balik menatapnya, lalu tawanya yang telah ditahan mati-matian meledak. Sabda puas, merasa berhasil memberi Rasi pelajaran dan akhirnya tetap mengambilkan segelas air betulan buat kakaknya.
"Gue tahu, pasti ada sesuatu yang mau lo tanyain."
Lamunan Setra terusik oleh ucapan Sabda, tapi pada akhirnya cowok itu tetap lanjut membalas. "Lo kenal Eden?"
"Kalau iya, kenapa? Lo juga kenal dia."
Ada sesuatu dalam nada suara Sabda yang bikin Setra menahan tawa. "Iya. Gue kenal dia. Tapi jangan cemburu dulu."
"Nggak gitu."
"Nggak apa-apa kalau cemburu."
Sabda mengernyit, memiringkan wajah dan memandang kakaknya dengan dahi berlipat.
"Gue baru sadar, kalau adik gue sudah besar."
"Gue—"
Bunyi getar singkat dari ponsel Setra membuat percakapan mereka terhenti sebentar. Setra mengecek notifikasi itu, lalu beranjak dari duduk. Sabda agak merasa kesal, karena sebetulnya, dia masih ingin Setra berada di sana lebih lama.
"Gue sadar, gue mungkin nggak berada dalam posisi untuk memberitahu lo ini. Tapi... jangan takut jatuh cinta. Jatuh cinta itu wajar, Sabda."
"Kak Setra—"
"Sori. Mungkin lo nggak suka dengan apa yang gue katakan."
Sabda tertunduk, menatap pada kertas kekuningan komik di tangannya.
"Sekarang sudah musim hujan. Jangan lupa bawa jaket kemana-mana. Sering-sering makan makanan yang berkuah. Jangan sampai kehujanan. Lo nggak kuat dingin dan gampang sakit kalau kedinginan." Setra memaksakan senyum, tampak seperti sedang menahan gejolak emosi dalam dirinya sendiri. Dengan cepat, dia mengembalikan komik ke rak dan berbalik, sengaja memunggungi Sabda untuk menutupi perubahan ekspresi di wajahnya.
I'm sorry that telling you to dress warmly is the only thing I can do to show that I care for you.
And it sucks cause siblings supposed to be your best friends. When you feel lonely, they are supposed to be someone you can talk to. When you want to sneak out of the house and need someone to cover for you, they're supposed to be there. When you skip class or eat extra slice of that chocolate cake, your brothers are the one who supposed to defend you in front of your parents.
Tapi sekarang semuanya sudah berbeda dan segala yang tadinya lebih dekat dari nadi kini sudah sejauh matahari.
"Take care, little brother."
Sabda punya banyak kata untuk diucapkan, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Cowok itu membisu, menonton punggung Setra yang menjauh dengan pandangan nanar. Setelah sosok Setra betul-betul lenyap sepenuhnya, dia beralih pada Eden yang masih nyenyak dalam sesi tidur siangnya.
Siapa sebenarnya lo dan apa yang sedang coba lo lakukan dengan hidup gue?
*
Hari ini, kelas Rasi diisi oleh salah satu dosen paling killer yang ada di departemennya. Gara-gara itu, sebagian mahasiswa mampir sejenak di kolam ikan tempat Rasi biasa nongkrong ketika jam makan siang untuk melempar koin dan mereka tidak kena tunjuk untuk menampilkan sesuatu di depan dosen tersebut. Itu bukan tanpa alasan. Biasanya, dosen yang bersangkutan akan menunjuk satu mahasiswa secara random untuk memainkan salah satu alat musik dengan catatan, tidak boleh memainkan musik instrumental yang sudah ada alias harus memainkan musik instrumental hasil karya sendiri. Jika musik instrumental yang dimainkan dianggap tidak memuaskan, maka mahasiswa apes yang kena tunjuk akan dapat semprotan omelan selama minimal 20 menit. Baru setelahnya, kelas dimulai.
Rasi datang terlambat karena terlalu keasyikan bermain game di kantin jurusan siang ini, jadi tanpa perlu ditanya, dia sudah jelas jadi sasaran target dosen killer tersebut pada kesempatan kali ini. Rasi sempat terkejut ketika namanya disebut, tapi lalu cowok itu malah cengengesan. Sembari menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, dia maju mendekati piano yang berada di sudut ruangan. Tingkahnya tampak tidak meyakinkan, membuat dosen angker berkumis melintang dalam ruangan mengernyit padanya seraya membetulkan kacamata yang bertengger di batang hidung.
"Siapa nama kamu tadi?"
"Rasi Gemintang, Pak."
"Oke. Saya kasih kamu waktu lima menit."
Rasi nyengir lagi, membuat wajah sang dosen kian menyeramkan. Tidak berapa jauh dari sana, mahasiswa lain memandang harap-harap cemas pada Rasi. Cowok itu tidak punya teman akrab di kelas, tapi bagi beberapa orang, Rasi terlalu konyol buat jadi bahan bully dosen. Rasanya seperti menonton anak TK dimarahi oleh orang dewasa.
Namun Rasi tidak tampak cemas seperti rekan sekelasnya. Serupa orang berkepribadian ganda, tingkah serampangannya lenyap begitu dia duduk di atas bangku, terganti oleh sosok lain yang sulit dikenali. Rasi menghela napas, menempatkan kesepuluh jemarinya di atas tuts hitam-putih piano. Saat jari-jarinya bergerak, suara piano ikut mengalun. Lagu itu adalah salah satu lagu pendek yang Rasi buat di awal-awal tahun pertamanya tinggal di New York. Dia pernah membawakannya dalam acara makrab kampus setahun lalu, ketika dia masih mahasiswa baru. Lagu itu juga yang membuat kemampuannya diakui, meski kadang perilakunya lebih mirip kelakuan bocah berusia delapan tahun.
Lagu selesai dengan disambut tepuk tangan, sementara dosen yang mengamati memperbaiki kacamatanya sebelum bicara.
"Sori, saya lupa, siapa nama kamu?"
"Rasi Gemintang."
"Itu buatan kamu?"
Rasi mengangguk. "Iya."
"Menarik, karena saya rasa saya pernah mendengarnya sebelum ini."
"Lagu itu pernah dibawakan di acara makrab tahun kemarin, Pak. Tapi itu tetap hasil karya Rasi." Seseorang dari kerumunan mahasiswa menyergah, membuat Rasi menoleh. Sosok yang baru saja bicara adalah salah satu teman sekelasnya, cowok bersuara lembut yang selalu tersenyum tiap kali mereka berpapasan di kantin atau koridor.
"Oh, pantas." Dosen tersebut manggut-manggut. "Permainan yang bagus, walau tidak berhasil memenuhi ekspektasi saya. Ada musik instrumental lain yang mau kamu bawakan?"
Rasi menggelengkan kepala. "Nggak."
"Kamu yakin?"
Rasi mengangkat alis. "Iya."
Airmuka dosen itu berubah, tapi maknanya sulit dibaca. Beliau terdiam sejenak, seperti tengah terlibat perdebatan dalam dirinya sendiri. Pada akhirnya, dia seperti menyerah, lantas berdecak sembari melambai, memanggil Rasi untuk mendekat padanya.
"Kita perlu bicara. Sebentar saja. Dan untuk yang lain, saya akan kembali dalam 15 menit. Mereka yang keluar kelas selain untuk ke toilet dan dalam kelompok lebih dari dua orang akan dapat sanksi. Mengerti?"
Rasi jadi bingung, karena dia tidak merasa dia melakukan kesalahan. Tetapi, dia tidak punya pilihan selain menurut dan mengikuti langkah dosennya. Ternyata, beliau membawa Rasi ke ruangannya, membuat cowok itu kian gugup. Dia sempat bingung harus berbuat apa hingga dosen tersebut mempersilakkannya untuk duduk.
"Apa... saya baru membuat kesalahan?"
"Nggak. Saya justru membawa kamu ke sini untuk memuji kamu secara pribadi." Dosen itu tersenyum tipis, bukannya membuatnya kelihatan ramah malah bikin Rasi merasa terancam karena wajah angkernya kian terkesan menyeramkan. "Sori, apa saya baru saja membuat kamu takut?"
Rasi menggeleng. "Nggak, Pak."
"Sebelum jam makan siang, saya melihat kamu memainkan piano yang ada di ruang himpunan jurusan. Musik yang kamu mainkan bagus. Kenapa nggak memainkan itu tadi, dan malah memainkan musik instrumental yang sudah pernah kamu perdengarkan tahun kemarin?"
"Ah, lagu itu." Rasi bergumam, lagi-lagi menggaruk belakang lehernya, kebiasaan yang selalu dia lakukan tiap salah tingkah, gugup atau bingung harus melakukan apa. "Musik instrumental yang itu masih belum sempurna."
"Tapi sudah cukup bagus untuk ditampilkan secara singkat."
"Tetap belum sempurna." Rasi ngotot.
"Atau ada alasan lain yang bikin kamu memutuskan nggak memainkannya?"
Rasi menghela napas, tertunduk dengan wajah memerah. Dosennya memandangnya lekat, kemudian menarik senyum tipis mirip seringai, seperti mengerti akan sesuatu yang tak terkata.
"Saya tebak, apa yang kamu buat pasti punya makna khusus buat kamu."
Pada akhirnya, Rasi membenarkan. "Benar. Saya mau seseorang yang jadi sumber inspirasi saya membuatnya yang jadi pendengar pertama."
"Sayangnya, saya sudah terlanjur mendengarnya."
"At least, belum versi lengkapnya." Rasi membantah. "Lagipula, cuma bapak yang baru dengar. Sebatas satu orang, saya masih oke-oke aja."
Senyum dosen itu tertarik. "Sebetulnya, dua."
"Dua?"
"Sepertinya, kamu akan dapat kejutan. Tapi kita bisa bahas itu nanti. Alasan kenapa saya memanggil kamu ke sini adalah karena saya mau membicarakan sesuatu yang penting. Kamu tahu, kampus kita adalah kampus swasta terbesar sekaligus nomor satu di Indonesia. Kampus kita selalu jadi pencipta gebrakan baru dan sering mengirim delegasi lebih banyak ke event-event internasional dibanding kampus-kampus negeri top negara ini. Tahun ini, rektor berencana menciptakan sebuah event untuk mengapresiasi kemampuan mahasiswa kita, terutama di bidang seni dan humaniora. Rencananya, akan ada minggu khusus untuk festival yang melibatkan pemutaran film pendek, pameran foto, lukisan dan seni kriya hingga pertunjukkan musik dan teater oleh mahasiswa kampus kita. Lebih gampangnya, mungkin mirip seperti pentas seni sekolah, tapi dalam level yang berbeda. Rektor sangat serius dengan ini dan telah menggandeng beberapa universitas dari luar negeri untuk turut membantu sebagai partner kerja sama. Pekan khusus festival ini juga rencananya akan mengundang beberapa pejabat tinggi."
Sebagian orang mungkin kaget, berpikir bagaimana bisa ada lembaga pendidikan formal Indonesia yang memberikan apresiasi bidang keilmuan seni dan humaniora sama besarnya dengan bidang saintek dan eksak. Namun itu yang membedakan kampus mereka dengan kampus lain, juga yang jadi penyebab mengapa meskipun berada dalam jajaran top university, kampus mereka memilih tetap dengan status swasta. Awalnya, ketentuan yang diterapkan kampus seperti pekan khusus olahraga, jaket varsity dan kebijakan-kebijakan lainnya dianggap sebelah mata, terutama oleh mereka yang terbiasa dengan sistem pendidikan konservatif. Tapi sekarang, bisa dikatakan, kampus mereka jadi panutan sekaligus pencipta tren.
"Lantas?"
"Saya mau kamu ikut serta menampilkan permainan piano solo. Saya mendengar lagu itu dan saya tahu kamu punya potensi."
"Bapak terlalu memandang tinggi saya."
"Tadinya saya berpikir seperti itu, tapi setelah tahu jika pendapat ini bukan hanya datang dari saya, saya makin yakin menunjuk kamu mewakili departemen ini."
"Bukan hanya datang dari Bapak?"
"Sudah saya bilang, kamu akan dapat kejutan." Bertepatan dengan dosen itu selesai bicara, pintu ruangan terkuak tanpa diketuk lebih dulu. Sesosok laki-laki tinggi berjaket cokelat masuk. Rambutnya berwarna cokelat gelap, dengan rahang kehijauan habis bercukur. Saat Rasi menoleh dan mendapatinya tengah tersenyum, cowok itu spontan dibuat beranjak dari kursi.
"Tiberius?!"
Laki-laki yang dipanggil Tiberius itu tertawa renyah, kemudian merentangkan kedua tangannya, menyambut Rasi dengan pelukan. Mereka saling mendekap hangat. Tiberius tertawa, menepuk-nepuk punggung Rasi pelan. Dia terlihat seperti kakak yang lama tidak bertemu adiknya. Well, dia memang sudah menganggap Rasi seperti adiknya sendiri. Waktu masih tinggal di New York, satu-satunya sahabat terdekat yang Rasi punya Trevor Blackhart yang juga adik kandung Tiberius. Pertemanan Rasi dan Trevor juga yang membuat cowok itu masih menekuni musik khususnya piano sampai sekarang, karena Tiberius Blackhart adalah salah satu pengajar piano di Juilliard.
"What are you doing here?!"
"How are you, Rasi?"
"I asked you first!" Rasi malah cemberut. "But it's good to see you. I miss you and Trevor so much, man!"
"Trev bilang, aku harus sampaikan pesan ke kamu. Katanya, kenapa kamu jadi susah dihubungi selama beberapa bulan ini. Entah lewat Skype atau WhatsApp, respon kamu selalu lambat. Dia jadi bad mood."
"Jangan salahkan aku. Salahkan perbedaan waktunya." Rasi berkilah. "Tapi kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu ada di sini?"
"Juilliard adalah salah satu partner kerjasama kampusmu. Harus kukatakan, kamu belajar di tempat yang tepat. Kudengar, seni dan musik bukan sesuatu yang dapat cukup apresiasi di sini."
"Itu benar."
Dosen Rasi berdeham, mencoba mengingatkan secara halus kalau dia masih berada di sana. "Dalam menampilkan permainan solo kamu, kamu akan bekerja sama dengan Tiberius Blackhart. Dia juga akan ikut tampil dalam sesi yang sama. Jadi bagaimana, Rasi Gemintang? Kamu bersedia, kan."
Rasi mengangguk tanpa pikir panjang. "Iya, saya bersedia."
"Saya sudah tebak jawaban kamu akan memuaskan."
"Nah, Gemintang, now tell me about the girl."
Rasi malah bingung. "The girl?"
"Musik instrumental yang kamu mainkan sebelum jam makan siang tadi, yang tidak sengaja kudengar," Tiberius mengerling, sengaja bergurau sekaligus menggoda. "Kamu tidak akan membuat sesuatu yang seperti itu, kecuali kamu sedang jatuh cinta."
*
Hujan turun lagi sepanjang sore, membuat Eden dan Sabda baru bisa meninggalkan perpustakaan komik itu sesaat setelah matahari terbenam. Ketika itu pun, sisa gerimis rintik-rintik yang jarang masih terus turun. Keduanya sepakat mengabaikannya, karena Eden tidak mau pulang terlalu malam. Mereka menyusuri jalan menuju halte bus terdekat, sebab masih sama seperti sebelumnya, Eden menolak mengendarai transportasi umum yang sifatnya pribadi seperti taksi. Sabda memutuskan menurut.
Mereka beruntung karena tidak perlu menanti bus terlalu lama. Bagian dalam bus lengang, mungkin karena jam-jam sibuk sudah usai. Udara terasa dingin menusuk tulang dan segalanya jadi lebih buruk karena air conditioner bus yang kelewat sejuk. Eden harus mengunci rahangnya rapat-rapat supaya giginya tidak saling beradu karena gemetar, tapi punggungnya selalu menegang setiap kali embus penyejuk udara dalam bus meniup tangannya yang lembab terkena sisa hujan. Sabda tidak terlalu terpengaruh, sebab dia mengenakan jaket tebal dan scarf, berbeda dengan Eden yang hanya memakai kardigan tipis.
"Lo kenapa sih kayak orang kebelet pipis melulu dari tadi?" Sabda tiba-tiba menyentak, membuat Eden cemberut.
Ni anak nggak peka banget, Eden menggerutu dalam hati, tapi jawaban ketus yang dia berikan justru berbeda. "Nggak apa-apa!"
Sabda mengernyit, memandang Eden dengan sorot meneliti sebentar, lalu mengeluarkan tangannya yang sejak tadi terjejal dalam saku jaket untuk selanjutnya meraih tangan cewek di sebelahnya. Eden tergugu, kehilangan kata-kata dan wajahnya mulai dirambati rona saat Sabda menggenggam tangannya erat, membungkusnya hingga tangan mereka berdua tampak seperti bola, lalu memasukkan tangan itu ke dalam saku jaketnya.
"Kalau kedinginan tuh bilang."
"Tangan yang satunya juga dingin!"
"Yaudah, sini. Kantung jaket gue masih muat."
Eden tersenyum senang, menjejalkan tangannya yang lain ke saku jaket Sabda. "Gue kira lo nggak peka, ternyata lo peka juga ya!"
Sabda berdecak, kemudian meneruskan dengan tanya. "Jadi, kapan kita mau ke Dufan?"
Ketika mereka menunggu hujan reda di perpustakaan komik tadi, Kak Tisya membuat pengumuman di grup LINE grup minat mereka. Isinya adalah instruksi tugas untuk dua minggu yang akan datang. Mereka harus mencari tahu perbedaan antara ferris wheel dan rollercoaster, lalu memotret foto serta membuat video singkat terkait kesan yang didapatkan pada kedua wahana. Ini agak meleset dari rencana awal, tapi Kak Tisya bilang, pihak kampus berencana membuat acara semacam pekan festival. Proyek akhir yang harus mereka selesaikan adalah film pendek dan untuk menghasilkan film pendek yang bagus, diperlukan adanya chemistry agar kerjasama bisa berjalan dengan baik. Tugas ini adalah salah satu cara untuk membantu mempererat hubungan antar anggota dalam kelompok kecil, di mana itu cukup beralasan, karena setiap kelompok kecil diwajibkan membuat film pendek bertema bebas berdurasi maksimal 10 menit.
"Hng..."
"Weekend?"
"Boleh, deh."
"Oke. Deal. Weekend."
"Berdua aja?"
"Lo mau ngajak Rasi?" Sabda malah banyak bertanya.
"Kalau ngajak dia yang ada malah kagak kelar tugas kita." Eden menukas masam. "Yaudah kalau gitu, berdua aja."
"Oke. By the way, tangan lo dingin banget, deh!"
"Dari dulu, tangan gue memang gampang dingin. Tapi tangan lo hangat banget. Gue berasa megang termos."
"Dari semua benda yang hangat, yang kepikiran di kepala lo itu termos?" Sabda berdecak seraya geleng-geleng kepala. "Tapi nggak apa-apa, tangan lo dingin. Tangan gue hangat. Saling melengkapi."
"Hehehe, iya."
"Sekarang udah nggak dingin, kan?"
"Nggak. Kan ada lo, termos portable gue."
"Gue bukan termos!"
"Termos tuh cute tau. Kok sensi disebut termos?"
"Pokoknya gue bukan termos!"
"Iya, iya. Bukan termos. Tapi hotpack."
"Terserah lo aja, deh."
Eden lagi-lagi hanya bisa tertawa ketika melihat ekspresi Sabda yang seolah-olah minta dicubit pipinya, sementara cowok itu melengos, menghindari menatap Eden karena khawatir cewek itu tahu bahwa detak jantungnya sedang tidak baik-baik saja sekarang.
*
Siapa sebenarnya Kisa Eden Philomena dan apa yang tengah semesta rencanakan dengan menghadirkan cewek itu diantara mereka bertiga?
Sejak pertemuan tidak terencananya dengan Sabda di perpustakaan komik kemarin, tanya itu tak kunjung pergi dari benak Setra. Cewek itu terlihat seperti cewek kebanyakan, kadang bisa sangat cerewet dan menyukai segala sesuatu yang cute—setidaknya itu yang Setra simpulkan setelah melihat apa yang cewek itu update di akun media sosialnya. Tapi di saat yang sama, seseorang yang bisa akrab dengan Rasi dan Sabda dalam waktu singkat jelas bukan cewek biasa. Setra tahu persis seperti apa karakter kedua adiknya dan sama sepertinya, mereka bukan jenis orang yang terbuka. Rasi punya beberapa teman dekat, namun tingkah anehnya kerap membuatnya terlalu melelahkan untuk dihadapi dalam waktu yang lama. Sabda lain lagi, kalimat sarkastiknya yang terlalu pedas membuat orang-orang mencapnya tidak sopan atau menyebalkan. Keduanya tidak mudah diterima, dipahami apalagi dijadikan teman akrab.
Malam ini, Setra tidak punya rencana apa-apa selain mampir di minimarket untuk membeli beberapa botol air dan membagikannya pada orang-orang membutuhkan yang dia temui di jalan ketika tanpa sengaja, dia bertemu Eden. Cewek itu sedang duduk di teras minimarket, bertemankan mangkuk strefoam kosong bekas seduhan mi instan dan susu kotak rasa pisang yang isinya sudah tandas. Dia sedang menatap ponsel, kelihatan kesal sekaligus geli hingga tidak menyadari kehadiran Setra yang kini berjalan menghampirinya.
Ini sudah lewat dari jam tujuh malam. Setra tahu, minimarket itu terletak tidak jauh dari rumah Eden, namun tote bag yang cewek itu bawa membuat Setra bisa menyimpulkan bahwa Eden baru dari kampus dan belum sempat pulang ke rumah. Apa yang dilakukannya sendirian di teras minimarket malam-malam begini.
"Eden?"
Suara Setra membuat Eden tersentak hingga ponselnya hampir jatuh ke lantai. Cewek itu melotot, bergumam gugup. "K—Kak Setra?!"
*
Ada tiga situasi yang Eden yakini dibenci oleh cewek mana pun di dunia ini; pertama adalah ketika mereka harus melewati koridor kelas yang dipenuhi oleh banyak anak cowok, kedua adalah saat mereka harus melalui ujung gang yang dipenuhi oleh banyak anak cowok dan ketiga adalah kala mereka harus menggunakan tangga yang dipenuhi oleh banyak anak cowok. Rasanya betul-betul tidak nyaman. Bukan hanya karena berjalan melaluinya membuat Eden serasa jadi kontestan Take Me Out di mana seluruh mata tertuju padanya, tapi juga karena dia cemas jadi bahan omongan yang bukan-bukan.
Sayangnya, sekarang dia harus mengalami itu.
Jembatan penyeberangan orang yang biasa dia lewati untuk pulang ke rumah selepas turun dari bus tengah dipadati oleh anak-anak punk yang seolah-olah telah menjadikan jembatan itu markas besar mereka. Eden tidak punya nyali sebesar itu untuk tetap lewat, namun dia tidak cukup ahli menyeberang langsung di jalan. Namanya juga Indonesia, di mana melihat orang yang mau menyeberang jalan justru membuat para pengendara bermotor kian bernapsu menekan pedal gas kendaraan mereka dalam-dalam. Jadi Eden memutuskan menunggu sambil makan mi instan di teras minimarket.
Dia baru saja menelan suapan terakhir mi instannya ketika ponselnya berbunyi, tanda ada chat LINE masuk dan ternyata itu datang dari Rasi.
rasi gemintang: aye-yo! ヘ(^_^ヘ) (ノ^_^)ノ
eden: aye yo! ヘ(^_^ヘ) (ノ^_^)ノ
rasi gemintang: loh, dibales (˚☐˚!!) (!!˚☐˚)
eden: loh, dibales (˚☐˚!!) (!!˚☐
rasi gemintang: heaven, lagi di mana sekarang?
eden: heaven, lagi di mana sekarang?
rasi gemintang: oh, I see what you did there
eden: oh, I see what you did there
rasi gemintang: rasi adalah makhluk terganteng se-indonesia raya
eden: ngapain lo nge-chat gue?!
rasi gemintang: hehehe \(^▼^)/°
eden: ck.
rasi gemintang: heaven
eden: apa?!
rasi gemintang: gapapa, mau manggil aja \(^▼^)/°
Eden masih fokus pada layar ponselnya ketika seseorang tiba-tiba memanggil namanya, membuatnya spontan mengangkat wajah hanya untuk dibikin terkejut setelah mengenali siapa yang baru saja memanggilnya.
"K—Kak Setra?!"
"Ternyata benar kamu. Baru dari kampus?"
Eden mengangguk. "Iya, kak."
"Kok nggak pulang?"
"Sebenarnya mau pulang, tapi di jembatan penyeberangannya lagi banyak anak punk. Aku nggak berani lewat. Kalau nyeberang langsung aku nggak bisa. Takut."
"Takut?"
"Aku nggak bisa nyeberang, risih ketabrak."
"Ah, I see." Setra tersenyum tipis, lalu meneruskan secara tak terduga. "Mau saya antar pulang?"
Eden jadi tidak enak, tapi dipikir lagi, dia tidak punya opsi yang lebih baik. Dia tidak mungkin menunggu sampai anak-anak punk itu membubarkan diri dengan sendirinya. Dia juga tidak ingin kena omel Mama. "Nggak... ngerepotin?"
"Nggak. Yuk?"
Eden beranjak dari duduk dengan wajah riang. Mereka menyusuri trotoar dan menapaki tangga JPO bersama. Benar dugaan Eden, anak-anak punk itu masih berada di sana. Waktu salah satu dari mereka—dengan rambut mohawk yang dicat jingga—menoleh ke arahnya dan Setra, langkah Eden terhenti secara otomatis dan agak menyembunyikan dirinya di balik punggung Setra. Eden tahu, dia tidak boleh menilai orang hanya dari penampilannya, tapi dia tidak biasa berada dekat dengan orang-orang bergaya ekstrem semacam itu. Apalagi, beberapa diantara mereka mengenakan piercing dan punya tato.
"Sori, kalau kamu setakut itu, kamu bisa pegang tangan saya."
"Eh?"
"Tapi kalau kamu keberatan, saya nggak akan memaksa."
"Hng... nggak apa-apa?"
Setra tertawa geli. "Seharusnya saya yang nanya. Kamu nggak apa-apa megang tangan saya?"
Eden menarik napas, lalu meraih tangan Setra yang sudah terulur. Tidak seperti tangan Sabda yang hangat atau tangan Rasi yang selebar jagad raya, tangan Setra terasa kaku. Jari-jarinya kurus meski tangannya tetap nyaman digenggam. Saat dia berdiri terlalu dekat dengan cowok itu, Eden bisa menghirup bau khas itu lagi. Dia hampir yakin, itu adalah campuran parfum, sabun mandi dan Febreze.
Setra bersikap seperti pacar gentleman yang melindunginya, menggenggam tangannya saat mereka melewati kerumunan anak punk yang hanya menatap tanpa berkata apa-apa.
Segalanya berlangsung begitu cepat hingga tahu-tahu, mereka telah menapaki tangga turun dan kembali berada di trotoar. "Kalau kamu nggak nyaman, kamu bisa lepas genggamannya."
Kebalikannya, saking nyamannya sampe lupa kalau udah harus dilepas, Eden membatin seraya melepaskan tangannya dari tangan Setra.
"Makasih, Kak Setra."
Setra mengangguk. "Sama-sama. Ah ya, boleh saya tanya sesuatu?"
"Hng, apa?"
"Kamu suka baca komik?"
"Lumayan. Soalnya aku nggak suka baca buku yang isinya tulisan doang." Eden nyengir. "Tapi beda dengan kecenderungan anak-anak jaman sekarang yang suka baca komik lewat aplikasi, aku lebih suka komik beneran. Soalnya, komik aplikasi nggak ada bau kertasnya. Old-fashioned, kata temanku. Sekarang sih makin jarang aku ketemu sama yang bener-bener seniat itu ngoleksi komik fisik."
"Sekarang saya ngerti kenapa kamu bisa kenal sama Sabda."
"Hah?"
"Sabda." Setra mengulang, lantas meringis. "Ah, sori. Saya lihat dari akun media sosial kamu."
"Oh." Eden mengernyit, terpikir pada sesuatu yang lain. "Kak Setra kenal Sabby juga?"
"Sabby?"
"Eh, maksud aku, Sabda." Eden tersenyum malu.
"Soal itu," Setra sempat tampak ragu, namun dia memutuskan meneruskan ucapannya. "Waktu di mal tempo hari, kamu tanya apa saya dan Rasi udah saling kenal. Memang sudah, soalnya kita... eh... dia adik saya."
Eden melotot, hampir tersedak saking kagetnya.
bersambung ke ninth note
***
Catatan dari Renita:
halo.
sori malem banget haha tapi akhirnya gue putuskan untuk mempostingnya hari ini karena effort yang sudah kalian keluarkan untuk memberi komentar dan vote di chapter sebelumnya.
gue berusaha untuk bersikap fair dengan memberi kalian fast update sesuai dengan kemampuan gue wkwk setidaknya untuk masalah tugas gue pun sudah ada kemajuan (ya udah ada yang kelar meski belum seratus persen) but i decided to take it easy karena toh stress juga nggak akan bikin tugasnya selesai.
jadi, kita sudah mulai masuk lebih dalam ke cerita. emir mungkin kurang terlihat di chapter ini, karena penceritaan lebih condong kepada sudut pandang ketiga bersaudara dan berhubung yang cuma bisa liat emir hanya eden, so yah.
everything will fall in place, eventually.
makasih buat kalian semua yang sudah memberi respon baik untuk cerita ini, mendukung gue untuk melanjutkannya dan menyemangati gue, meski mungkin beberapa dari kalian lebih butuh disemangati daripada gue.
life is hard and we have to support each other to survive. so, untuk kalian semua, apa pun yang terjadi hari ini, biarkan tetap stay di hari ini. tomorrow will be better. kalau besoknya belum lebih baik, maka masih ada kemungkinan besoknya dan besoknya lagi. take it easy. jangan terlalu memusingkan soal kehidupan, terutama buat yang kelas 9, kelas 12 dan mau lulus (seperti gue wkwk). ujian akhir itu penting, but in the end, your happiness and mental health are important.
terimakasih juga untuk semua yang sudah sharing ceritanya, entah tentang saudara, atau hubungan dengan keluarga dan orang tua.
gue nggak meniatkan mendapat respon sebaik itu ketika memulai cerita ini, karena gue merasa gue hanya perlu menulis.
karena itu, terimakasih.
semoga besok dan besoknya dan besoknya lagi selalu jadi hari baik buat kalian semua.
sampai ketemu di chapter berikutnya.
ciao!
Semarang, November 21st 2018
22.20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top