eighteenth note
I want to love you
in a place where there's everything
but time and space.
—Guardiationship—
*
Suasana guesthouse jadi benar-benar senyap setelah Eden dan Setra pergi. Sabda dan Rasi mengunci diri di kamar masing-masing, berlagak sibuk sendiri walau teknisnya kamar mereka bersebelahan. Tahun-tahun panjang yang terlewati dengan pulang ke rumah dan disambut oleh ruangan kosong nan hampa telah membuat Sabda terbiasa pada sepi, namun entah kenapa sekarang rasanya berbeda. Sunyi yang melingkupinya tidak lagi membuatnya merasa aman, malah justru membikinnya diliputi rasa tidak nyaman. Sabda mencoba mengabaikannya, memilih menyibukkan diri mengobrol dengan anjing kecil peliharaan virtual di konsol game yang dia bawa.
Nama anjing kecil itu adalah Coco.
Suatu kali, teman terdekat yang pernah Sabda punya, sesosok cowok penggila berat semangka yang Sabda kenal di tempat lesnya pernah menghampirinya ketika dia sedang duduk sendirian di kantin tempat les. Itu adalah awal pertemuan mereka. Waktu belajar baru akan dimulai sejam lagi dan tempat les itu masih sepi. Buat sebagian besar anak seusia mereka, agenda les selepas jam sekolah adalah kegiatan menyusahkan sekaligus aktivitas paling tidak menyenangkan. Tapi kelihatannya itu tidak berlaku untuk Sabda yang selalu datang lebih awal, bahkan sebelum pengajar les datang. Kelakuannya sempat mengundang tanya dari beberapa siswa dan pengajar, namun mereka enggan mendekatinya karena sikapnya yang hampir selalu masam dan bermusuhan. Well, kecuali teman Sabda yang satu itu, si cowok penggemar sejati buah semangka.
"Hai."
Sabda yang sedang melatih anjing peliharaan virtualnya langsung menoleh. Keningnya berkerut. Wajahnya menyiratkan bahwa dia merasa terganggu. "Iya?"
"Nama lo Sabda, kan? Kita sekelas."
"Terus?"
Cowok itu malah tertawa. "Nama gue Emir."
"Nggak nanya."
Normalnya, orang lain pasti bakal merasa tersinggung dan menjauhi Sabda seraya menyumpah-serapah dalam hati. Tetapi Emir tidak. Justru, dengan santai cowok itu mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya, membuka penutupnya dan menggeser kotak itu pada ruang kosong diantara sikunya dan siku Sabda.
"Apaan ini?"
"Sandwich."
"Gue juga tahu." Sabda mendengus, kini betul-betul sudah melupakan anjing peliharaannya—yang masih saja bandel dan tidak mau mendengarkan instruksinya. "Maksud gue, kenapa lo buka kotak bekal lo di sini? Ini meja gue."
"Mana?"
"Apanya?"
"Nggak ada tulisan nama lo di mejanya."
Sabda mengernyit, beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan Emir untuk pindah ke meja yang berada tepat di sebelahnya. Emir terkekeh, mengunyah pelan sandwich yang baru dia gigit, lantas seperti ingin menunjukkan jika dia sekeras kepala itu, dia berpindah ke tempat yang sama, kembali duduk di samping Sabda.
"Gue nggak mau duduk sama lo."
"Kenapa?"
"Lo orang asing."
"Yap, kita memang orang asing sampai... lima menit yang lalu, mungkin? Sekarang, lo sudah tahu nama gue dan gue pun tahu nama lo. Kita bukan lagi orang asing."
"Eros—atau siapapun nama lo—"
"Emir." Emir mengoreksi.
"Oke, Emir. Tapi gue mau duduk sendirian, jadi tolong, jangan duduk di sebelah gue."
"Apa enaknya bengong sendirian?"
"Gue nggak mau bengong. Dan gue nggak sendirian."
"Oh ya?"
"Iya. Justifikasi dari pernyataan gue yang pertama adalah gue lagi melatih anjing peliharaan virtual gue. justifikasi kedua adalah, gue lagi bareng sama anjing peliharaan gue. Clear?"
"Sandwich ini enak." Emir membalas, tidak nyambung dengan ucapan Sabda. "Mau coba? Ini nggak dijual di mana-mana. Isiannya bukan isian biasa. Ada telur, crabstick, mayones, kubis, wortel dan... selai stroberi."
"... selai stroberi?" sejenak, Sabda mengabaikan gengsinya karena menurutnya isian sandwich itu bukan isian normal dan diragukan, kombinasi rasanya bakal menciptakan citarasa yang lezat.
"Aneh, memang. Tapi rasanya enak. Dari semua orang, cuma Kak Arka yang bisa bikin sandwich berbahan aneh dengan rasa seenak ini."
"..."
"Ambil aja satu kalau mau."
Semudah itu, kisah pertemanan mereka dimulai. Sabda tak lagi duduk sendirian menunggu jam belajar tempat les dimulai. Dia selalu duduk bersama Emir, mengundang tatapan tidak percaya bercampur heran dari teman-teman sekelas mereka yang lain—bahkan sampai yang berbeda kelas. Itu bukan tanpa alasan. Emir dan Sabda sama-sama termasuk ke dalam deretan siswa paling pintar yang hampir selalu meraih nilai sempurna dalam tes dwi-mingguan yang diadakan. Namun karakter mereka bertolak belakang. Emir disukai semua orang. Sabda, hanya punya Emir sebagai temannya.
"Kenapa lo selalu datang lebih awal beberapa jam sebelum waktu les dimulai?"
Sabda menyedot teh botol, bermuka datar waktu menjawabnya. "Kenapa lo juga selalu datang lebih awal beberapa jam sebelum waktu les dimulai?"
"Gara-gara lo."
"Gue?"
"Gue selalu datang 15 menit sebelum jam belajar, sampai suatu hari, entah beberapa bulan yang lalu, gue terpaksa langsung ke sini begitu sekolah bubar. Gue ngelihat lo, terus jadi penasaran dan nggak tahu kenapa, mau-maunya ikut-ikutan datang lebih awal."
Sabda berdecak. "Gue datang lebih awal karena gue selalu langsung ke sini abis bubaran sekolah."
"Nggak pulang dulu?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Pulang dulu atau nggak, nggak bakal ada bedanya."
"Kenapa gitu?" Emir masih saja mendesak.
"Nggak ada orang yang bakal nyambut gue walaupun gue pulang." Sabda menyahut seraya membuang muka, berusaha terdengar biasa saja tapi Emir tahu ada pahit tersirat dalam suaranya. "Dan nggak ada juga yang nungguin gue pulang."
Obrolan soal rumah, pulang dan orang tidak pernah berlanjut. Emir tidak tahu harus berkata apa, sebab sekalipun kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mereka masih menyempatkan makan malam bersama setidaknya seminggu sekali. Emir juga punya kakak perempuan yang sangat baik, yang selalu menjaganya dan selalu menanyainya tentang hari yang sudah dia jalani. Emir tidak pernah pulang hanya untuk bertemu ruang tengah yang kosong, atau kompor yang dingin. Hidupnya baik-baik saja. Dia dicintai.
Jelas, itu berbanding terbalik dengan Sabda dan membahasnya, rasanya tidak adil sekaligus tak tertahankan.
Pertemanan mereka berlanjut hingga pada tahap dimana Sabda merasa bisa menyebut Emir sebagai sahabatnya. Emir tidak banyak bicara, tetapi selalu tahu kapan dia tidak baik-baik saja. Kalau sudah begitu, Emir tidak akan mengatakan apa-apa. Dia tak pernah menepuk pundak Sabda seraya bilang segalanya akan membaik pada akhirnya. Itu bagus, karena Sabda tidak percaya pada janji kosong penuh pengharapan belaka. Emir tetap diam, namun setia di sampingnya, memastikan bahwa diantara semua masalah yang mendera hidup Sabda, cowok itu tidak akan pernah sendirian menjalaninya.
Mereka punya banyak inside jokes, canda yang hanya dimengerti keduanya, kode rahasia bahkan pernah sesekali melakukan sedikit kenakalan bersama. Sabda adalah teman yang sangat baik. Memang terlihat dingin, sinis dan tidak pedulian di awal, tetapi jika sudah dekat, mudah mengatakan kalau Sabda itu sebenarnya punya karakter soft dan sangat penyayang. Diantara setiap momen yang mereka lewati, salah satu yang Sabda ingat adalah ketika Emir bertanya soal data kontak ponsel Emir di direktori penyimpanan kontak ponsel Sabda. Berbeda dengan kontak lainnya yang tidak diberi gambar atau keterangan khusus, Sabda mengganti foto Emir dengan icon kepala anjing kecil berwarna cokelat.
"Maksudnya apa?"
"Itu Coco."
"Coco anjing peliharaan lo?"
Sabda mengangguk. "Dari dulu, gue suka melihara anjing virtual. Kayak tamagotchi gitu."
"Nggak suka peliharaan beneran?"
Sabda menggeleng. "Nggak. Ribet. Malas bersihin kotorannya. Belum lagi sakit. Dan kalau misalnya dia mati... gue tahu ini kedengaran cengeng dan cowok nggak seharusnya nangis, tapi gue nggak siap kalau peliharaan gue mati. Sedangkan, makhluk hidup nggak mungkin hidup selamanya. Jadi yaudah."
"Siapa bilang cowok nggak seharusnya nangis?"
"Gue. Barusan."
"Salah." Emir membantah. "Kita semua berhak nangis. Kalau cowok nggak boleh nangis, kenapa Tuhan kasih cowok kelenjar air mata dan perasaan?"
Sabda terdiam.
"Kenapa harus Coco?" Emir bertanya lagi.
"Semua peliharaan gue selalu gue namain Coco."
"Emangnya gue kelihatan seperti peliharaan lo?"
Sabda tertawa kecil. "Nggak. Coco itu... selalu ada buat gue. Dari keluarga gue masih baik-baik aja, sampai... keadaannya kayak sekarang. Dia teman gue, yang terdekat. Yang paling setia. Menyedihkan memang, berpikir kalau teman terdekat yang gue punya itu hasil rekaan komputer. Tapi sekarang ada lo. Coco yang real buat gue. Teman gue."
Emir tidak menjawab, tapi senyumnya sudah cukup menjelaskan segalanya.
Suara gonggong pelan dari sosok anjing kecil di balik layar konsol game membuyarkan lamunan Sabda. Cowok itu tertunduk, bertanya-tanya kenapa dia harus mengingat Emir sekarang, di hari yang menyedihkan ini, ketika hubungannya dan Rasi yang sempat membaik kembali pecah berantakan seperti gelas yang baru dihempaskan keras-keras ke lantai. Mungkin karena dia rindu pada Emir? Rindu menyedihkan yang tidak ada gunanya.
Sebab air mata dan sesal tidak akan memanggil mereka yang sudah pergi untuk kembali.
"Coco, sit down!"
Anjing kecil virtual dalam konsol gamenya tidak bereaksi.
"Coco, listen to me! Sit down!"
Coco masih menolak menurut.
"Sit. Down."
Coco malah menggonggong, jelas menunjukkan penolakan terhadap instruksi Sabda. Responnya berbuah dengus frustrasi. Sabda mematikan konsol game portable itu dengan menekan tombol power, lantas melemparnya ke kasur. Hening berkuasa, membuat Sabda diam-diam memasang telinga, berharap mendengar sedikit saja suara dari kamar sebelah—tempat Rasi berada. Eden dan Setra tidak kunjung pulang, entah betulan membeli sesuatu yang mereka perlukan atau ini semua hanya siasat buat meninggalkannya dan Rasi berdua hingga mereka bosan lalu berinisiatif berbaikan.
Akhirnya, Sabda malah diam, memeluk lututnya sembari memandang ke langit-langit guesthouse yang kuning gading.
Situasi berlawanan terjadi di kamar Rasi. Cowok itu malah kelihatan asyik-asyik saja membaca komik seraya mulutnya terus menggiling snack. Berbungkus-bungkus makanan ringan yang belum dibuka tersebar di atas kasur. Tidak hanya sampai di situ, di sisi Rasi ada dua botol minuman dengan rasa berbeda yang sudah terbuka. Dia memang sengaja pergi belanja jajanan ke minimarket seberang guesthouse tak lama setelah Setra dan Eden pergi. Sengaja, soalnya kalau ada Eden, sudah pasti dia jadi sasaran omelan.
Perhatiannya teralih tiba-tiba oleh suara ngeong samar di depan pintu kamar guesthousenya yang tertutup. Didorong oleh rasa penasaran, Rasi bangkit dari ranjang sambil masih membawa komik di tangan kiri dan mendekap kantung snack di tangan kanan. Cowok itu membuka pintu, lantas memekik antusias dengan mulut masih penuh terisi kepingan keripik tatkala dia mendapati seekor kucing berbulu abu-abu di depan pintu kamarnya.
Rasi tersenyum senang, melangkah mendekati kucing itu seraya mengulurkan sekeping keripik. "Meong doyan keripik nggak? Ini enak loh, rasa rumput laut—hei, kok malah lari—oh my God!" Rasi refleks mengejar saat kucing abu-abu itu justru berlari menjauh, membuatnya bergerak terlalu jauh dari ambang pintu. Tanpa bisa ditahan, pintu terbanting menutup. Kabar buruknya, pintu itu hanya bisa dibuka dengan kartu akses dan kartu aksesnya tertinggal di dalam kamar.
Rasi ditinggal oleh si kucing, melongo dengan wajah tanpa dosa di depan pintu yang hanya dapat membisu.
Mayoritas orang pasti akan langsung mencari pengurus guesthouse atau pihak yang berkepentingan untuk membuka pintu, namun tidak dengan Rasi. Sempat tercengang sejenak, cowok itu lalu lesehan di koridor, menyandarkan punggung ke tembok dan lanjut membaca komik.
Suara berisiknya saat mengunyah berhasil mengundang Sabda yang kesepian keluar dari kamar.
"Kamu... ngapain?"
Rasi menoleh, bibirnya penuh bumbu keripik. "Baca komik."
"Komik apa?"
Rasi menunjukkan sampul komiknya, tapi jarak Sabda terlalu jauh hingga sulit membaca kata yang tertera. Sabda memicingkan mata, bergerak lebih dekat pada Rasi. Dia melangkah meninggalkan ambang pintu, secara tidak sengaja mengulang kebodohan yang sama. Pintu bergerak menutup, memerangkap Sabda di luar kamarnya sendiri.
"Wah, ternyata kamu sama bodohnya kayak aku."
Sabda menoleh gusar. "Maksud kamu apa?"
"Kartu akses kamar aku ketinggalan di dalam kamar. Tadi ada kucing. Makanya aku baca komik di sini, soalnya nggak bisa masuk."
"Kenapa nggak bilang dari tadi?!"
"Kenapa nggak nanya?"
Sabda mendengus frustrasi, menatap pada Rasi yang balik memandangnya. Sejenak, senyap membayang diantara mereka. Tidak ada kata terlontar, namun ada desir yang merambat.
"Apakah ini cinta?" Rasi bergumam, sok dramatis.
"BODO AMAT!"
*
Lidah Eden begitu kaku. Dia tidak bisa berkata-kata. Emir masih berada di sebelahnya, bertindak seperti pengamat yang baik, tapi entah kenapa tatapannya justru membuat perasaan Eden serasa ditelanjangi. Apakah dia menyukai Setra? Boleh jadi. Sebab apa alasan yang paling masuk akal untuk membenarkan rasa hampa yang menguasainya ketika Setra melepaskan tangannya?
Hening sejenak, sampai Setra berdeham, suaranya dalam dan tegas.
"Saya mau ngomong sesuatu, tapi kalau ini mengganggu dan kamu nggak suka, kamu bisa bilang ya. Saya nggak mau membebani kamu."
Eden menelan ludah, mengangguk dengan susah-payah.
"Kak Setra mau ngomong apa?"
"I think I like you. And I'm so sorry for that."
Eden menggeleng, napasnya tiba-tiba berubah memburu. "No, don't say sorry. You don't have to be sorry. I...honestly... I like you—"
"No, I have to be sorry. This is not right. It's a crime for me, for wanting you so bad."
Eden tertunduk, tidak berani menatap mata Setra. Namun, cowok itu tidak membiarkannya. Tangannya terulur ke ujung dagu Eden, mengangkatnya hingga mata mereka kembali bertemu. Toko kecil itu kosong dari pengunjung dan mereka berada pada sisi lain rak-rak yang memajang beraneka ragam aksesoris, memberi mereka sedikit ruang yang agak privat. Setra mendesah dalam hati ketika menyadari bagaimana kini Eden terlihat menahan tangisnya. Dia tidak suka melihat orang menangis, terutama jika itu Eden.
"Aku tahu aku bukan cewek yang—"
"Kamu mengira itu salah kamu?"
"Terus apa?" Eden menggigit bibir, tangannya mulai bergetar. "Kak Setra terlalu baik buat aku. Aku tahu itu. Tahu banget, kok."
"Silly girl." Setra berdecak. "Bukan salah kamu. Nggak ada satupun dari ini semua yang disebabkan oleh kamu. I like you. A lot. I want you. So bad. You're more than enough. But I can't love you. Saya hanya bisa sayang sama kamu dan nggak bisa menunjukkannya, atau memberikan sesuatu yang ingin saya beri pada orang yang saya sayang."
"Tapi kenapa?"
"Saya nggak bisa berekspektasi apa-apa sama kamu, atau membiarkan kamu berekspektasi lebih sama saya. Kamu tahu, dua adik saya sama-sama suka sama kamu. Saya nggak bisa memilih antara perasaan kamu atau perasaan adik-adik saya. Saya minta maaf untuk itu."
Eden menarik napas panjang, berusaha supaya tangisnya tak jadi pecah dan mengangguk. "Aku... ngerti."
"Saya nggak mau membebani kamu dengan perasaan saya, tapi saya nggak mau suatu hari nanti, saya menyesal karena nggak ngasih tahu kamu soal itu saat kita ada di sini."
"Iya, Kak. Aku ngerti. Tetap, kakak nggak perlu minta maaf."
"Sori, boleh saya nanya sesuatu lagi?"
"... apa?"
"Can I hug you... just this once?"
Eden tersekat, lagi-lagi dibuat kehabisan kata-kata. Dia telah melupakan eksistensi Emir sepenuhnya. Cewek itu mengangguk dan tanpa menunggu lebih lama, Setra langsung meraihnya dalam dekapan. Jemarinya terselip perlahan ke ruang kosong diantara jari Eden, menggenggamnya, cukup erat tapi tetap nyaman, membuat tangan Eden tidak lagi gemetar. Eden sadar ini mungkin kesempatan pertama sekaligus terakhirnya memeluk Setra, balik mendekap cowok itu. Punggungnya tegap, terasa kokoh dalam rengkuhannya. Namun lengannya hangat, sejenak membuat Eden merasa terjaga. Saat Eden membenamkan kepalanya ke dada Setra, harum khas cowok itu menguat. Wangi parfum yang terkesan menenangkan, membuat Eden merasa dia bisa saja tertidur dalam dekap Setra sewaktu-waktu.
Ada rasa tidak rela menghinggapi Eden tatkala pelukan itu akhirnya terlepas, disusul oleh ponsel yang berbunyi. Itu ponsel Setra. Dia menjawabnya, yang ternyata adalah telepon dari Bu Asih. Bu Asih tidak perlu bicara banyak untuk menerangkan apa yang terjadi. Suara cekcok seru yang jadi latar belakang suara membuat Setra mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Mereka harus pulang, kembali ke kenyataan seraya mengabaikan keinginan untuk mengulang pelukan yang baru saja mereka lakukan.
*
Rasi dan Sabda mendadak jadi duo selebritis di guesthouse tempat mereka menginap. Bisa ditebak, itu karena cekcok hebat yang mereka lakukan berujung pada sesuatu yang spektakuler. Entah siapa yang memulai, keduanya bertengkar hebat di koridor, dalam kondisi sama-sama terkunci di luar kamar gara-gara kecerobohan diri sendiri. Bu Asih mencoba mendamai, akan tetapi usahanya sia-sia. Malah, pertengkaran memanas, berujung pada Sabda dan Rasi saling kejar-kejaran macam aktor film India sampai ke halaman depan guesthouse. Sebetulnya sih oke-oke saja, seandainya hujan tidak tiba-tiba turun hampir sepanjang sore. Derainya deras, cukup untuk bisa bikin Rasi dan Sabda basah kuyup dalam waktu singkat. Ketika Eden dan Setra pulang, mereka disambut oleh dua bocah berbaju basah dengan mulut monyong lima senti. Keduanya jelas kedinginan, sudah bersin-bersin heboh, namun masih menolak mentah-mentah kala Setra menyuruh mereka berbaikan.
Situasinya masih tidak membaik sampai tiba waktu makan malam. Rasi dan Sabda kompak mengunci diri di kamar masing-masing, menolak ajakan Setra buat makan malam bersama. Awalnya, Setra mencoba memaksa, hingga akhirnya dia menyerah dan makan malam bersama Eden. Lelah cowok itu berubah jadi khawatir saat dia dan Eden kembali dari makan malam dan mendapat laporan dari Bu Asih kalau dua adiknya juga sama-sama serentak menolak makan malam. Bu Asih mencoba mengirimkan makanan ke kamar dua anak itu, yang ditolak mentah-mentah dengan alasan sudah kenyang.
Setra kehilangan kesabaran, memutuskan untuk menarik paksa kedua adiknya, menyatukan mereka di satu kamar. Baik Rasi maupun Sabda saling melipat tangan sembari membuang muka ke arah berbeda ketika Setra memaksa mereka duduk bersebelahan, sedangkan Eden menonton dengan wajah kesal bercampur heran sekaligus gemas.
"Sekarang, kalian tunggu di sini. Kalau ada yang balik ke kamarnya, bakal aku jewer!"
"Emangnya Kak Setra bisa ngejewer?" Rasi malah menentang.
Setra menjentikkan jari-jarinya, seperti tengah melakukan pemanasan. "Kayaknya sih bisa. Mau dites?"
Rasi kontan meringis, langsung menutupi kuping Sabda dengan dua tangan. "Boleh, tapi jangan di tes ke Sabda. Kuping dia udah segede parabola. Nanti bisa selebar daun kelor kalau dijewer Kak Setra."
Layaknya orang baru kena api, Sabda menyentakkan tangan Rasi sampai terlepas dari telinganya. "Nggak usah pegang-pegang ya!"
"Aku nggak peduli. Pokoknya kalian harus tunggu di sini. Nggak boleh balik ke kamar. Ngerti?"
"Nggak." Sabda menyahut dingin.
Setra melirik Eden dan seperti paham arti tatapan Setra, Eden sigap melanjutkan. "Lo ngomong apa tadi, Sabby?" Nadanya manis—kelewat manis—dan karenanya, jadi terkesan mengancam.
Sabda langsung kicep. "Nggak akan balik ke kamar sampai Kak Setra balik lagi ke sini."
"Bagus."
Setra sengaja meminta Eden mengawasi kedua adiknya sementara dia melesat keluar dari kamar guesthouse menuju dapur. Cowok itu menghabiskan lebih dari setengah jam untuk membuat hidangan hangat sederhana, sup ayam, karage ayam yang digoreng dan dua gelas susu. Pasca adegan ala aktor film India sore tadi, Rasi dan Sabda telah menunjukkan tanda-tanda awal orang yang kena flu. Usai memastikan semua hidangan itu tertata rapi di atas nampan, Setra kembali ke kamar tempat Sabda, Rasi dan Eden menunggu.
"Kalian harus makan."
"Aku nggak lapar." Sabda menolak tanpa basa-basi.
"Aku juga nggak lapar tapi karena baunya enak, boleh, deh."
"Pokoknya kalian berdua harus makan." Setra menegaskan, seperti seorang ibu yang sedang memberi pelajaran pada anaknya. "Aku suapin sini!"
Wajah Sabda dan Rasi langsung merah padam. "NGGAK MAU!"
"Harus. Salah kalian, nggak mau makan waktu masih dibilangin baik-baik. Udah ngerepotin Bu Asih pula. Kalau Mama ada di sini, kalian pasti udah habis diomelin." Setra berkata sembari menyendok sup ayam dan menyorongkannya ke mulut Rasi. "Buka mulut. Keretanya mau masuk."
"Aku udah berhenti makan kereta-keretaan dari SD!"
"Bagus. Udah lama. Harusnya kangen. Buka mulut, Rasi!"
"Nggak!"
"Rasi,"
Rasi mengerucutkan bibir, membuka mulutnya diikuti menerima suapan sup dari Setra dengan enggan. Akan tetapi, ekspresi wajahnya langsung berubah drastis begitu dia mencicipi sendok pertama. "Ini... mirip sama sup ayam buatan Mama."
"Aku yang buat."
Sabda melirik, gengsi yang kental masih tergambar jelas di wajahnya, namun dia terlalu penasaran untuk tetap menolak. Jadi, cowok itu ikut membuka mulutnya, membiarkan Setra menyuapinya. Dia setuju dengan Rasi. Rasa sup ayam itu memang mirip dengan sup ayam buatan mendiang ibu mereka.
Satu suap berlanjut beberapa suap dan dalam hitungan menit, tingkah-laku Rasi dan Sabda berubah drastis. Alih-alih menolak disuapi seperti sebelumnya, mereka justru kelihatan menikmati—malah beberapa kali saling berebut. Setra menghadapi kedua adiknya dengan sabar dan entah kenapa, itu berhasil membuat Eden tergerak mengeluarkan ponselnya.
Tanpa mereka sadari, dia menekan shutter kamera, mengabadikan momen sementara yang tampak di depan mata ke dalam suatu tempat tak bermasa, yang akan membuat momen itu bertahan lebih lama dari ingatan, walau tetap lebih singkat dari apa yang selamanya bisa janjikan.
*
Keesokan harinya, mereka kembali pulang ke Jakarta.
Keempatnya menyempatkan diri untuk sarapan dulu di guesthouse dan berpamitan pada Bu Asih yang telah bersedia direpotkan oleh tingkah-laku Sabda dan Rasi. Wanita setengah baya itu balik memeluk mereka erat-erat seraya berkata dia menunggu kunjungan mereka berikutnya.
"Kisa, kamu sakit?" Setra bertanya saat tanpa sengaja, tangannya bersentuhan dengan tangan Eden kala mereka menata barang-barang dalam bagasi dibantu oleh Pak Wawan. Eden menggeleng, mencoba memaksakan senyum meski dia merasa kepalanya tengah diserang pusing yang samar.
"Nggak, kok."
"Jelas kamu sakit—oh, God, beneran kamu sakit deh kayaknya," Setra langsung membuka pintu mobil bagian depan, menarik laci dashboard dan mengeluarkan sebungkus tisu basah. Dia kembali mendekati Eden dengan sehelai tisu basah di tangannya, lalu tanpa menerangkan lebih jauh, cowok itu menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Eden dan membersihkan darah yang mengalir dari lubang hidungnya—yang tidak cewek itu sadari. "Kamu kecapekan?"
"Mungkin."
"Oke, kalau gitu berarti duduknya di belakang aja. Biar nggak terlalu pegel, bisa sambil nyender ke Rasi atau Sab—"
"KE AKU!"
"NGGAK, POKOKNYA KE AKU!"
Eden memutar bola matanya sambil menekankan tisu pada lubang hidungnya supaya darah tidak lagi mengalir. Dia memang kerap seperti ini, terutama saat terlalu lelah. Jujur saja, kemarin itu adalah hari yang bikin dia capek setengah mati, baik secara fisik maupun mental. Sedangkan respon Setra masih sama. Lagi-lagi, cowok itu menarik napas super panjang.
"Kalian tuh—"
"Aku nggak mau nyender ke Aci."
"Kalau gitu maunya ke gue?"
"Nggak juga ke Sabda."
Senyum tipis Sabda lenyap tanpa bekas. "Terus nggak mau nyender ke siapa-siapa?"
"Kak Setra aja yang di sebelah aku."
Setra terperangah, sedangkan Rasi dan Sabda saling berpandangan.
"Oke, kalau mau lo gitu. Tapi gue yang di sebelah lo."
"Sabda di depan." Setra menyela, membuat Sabda beralih padanya sembari memandang dengan sorot penuh penolakan. Diprotes seperti itu, Setra melanjutkan dengan sabar. "Kita nggak mungkin biarin Rasi duduk di samping Pak Wawan, Sabda. Kamu mau ada apa-apa di jalan?"
Sabda ingin mendebat, tapi batal karena dia sadar apa yang dibilang Setra itu benar. Akhirnya, cowok itu mengalah. Dia duduk di depan, sementara Rasi, jelas merasa menang walau dia hanya kebagian jadi tatakan kaki Eden. Setelah memastikan tidak ada barang-barang yang tertinggal, mereka berangkat dari Bandung untuk kembali ke Jakarta.
Eden tahu, dia terlihat seperti memanfaatkan situasi. Emir yang nongkrong di belakang, bersama barang-barang, berkali-kali mengatainya, mencercanya dengan kata sejenis egois dan segala macamnya. Namun, Eden tidak peduli. Dia menghargai alasan Setra. Tetapi setelah Eden pikir lagi, Setra dan perasaannya adalah urusan cowok itu. Begitupun perasaan Rasi dan Sabda. Itu bukan urusannya. Apa yang harus dia pikirkan adalah perasaannya. Dan membayangkan bahwa sekarang bisa jadi adalah akhir dari masa di mana dia bisa sedekat itu dengan Setra, Eden merasa tidak punya alasan untuk menyia-nyiakannya.
Rengkuhan Setra lebih hangat daripada pelukannya kemarin. Cowok itu membiarkan Eden bersandar hingga nyaris berbaring padanya, sambil diam-diam memainkan helai rambut di puncak kepalanya sepanjang perjalanannya. Gerakannya halus, membuat Eden mengantuk. Wanginya masih sama, masih mampu membuat Eden merasa dilindungi.
Sayang, suasana damai itu tidak bertahan lama.
"Heaven, kaki lo anget banget."
"Iya. Kan emang lagi agak demam." Eden menjawab sekenanya.
"Empuk lagi."
"Iya. Emang lemak gue banyak."
Setra tertawa kecil, menatap lekat pada Eden yang kini tengah memejamkan matanya.
"Bukan itu maksud gue."
"Terus apa?"
"Enak dipegang. Kayak squishy." Rasi terkikik dan rupanya, itu membuat oknum yang duduk di depan terbakar oleh cemburu menguras bak mandi.
"Nggak usah sok unyu."
"Dih, galak amat ama Heaven."
"Gue nggak ngomong sama Eden. Gue ngomong sama lo!"
"Kan gue emang unyu."
Sabda mendelik, menoleh ke belakang dengan wajah sengit. "Ngaca coba. Tampang lo nggak jauh beda horornya ama tampang boneka Mampang!"
"Diam, kamu tainya Snoopy!"
"Rasi, language!"
"Kenapa aku doang yang dimarahin?!" Rasi membela diri, manyun pada Setra.
"Gantian deh kalau gitu! Gue yang di belakang!"
"Nggak mau!"
"Kalian tuh ngeributin apa, sih?" Eden membuka mata, menatap bergantian pada Rasi dan Sabda seraya tetap berbaring. Setra sendiri memilih bungkam. "Ribet amat. Cuma masalah kaki gue aja jadi ribut."
"Oke, gue udah nggak tahan lagi kalau gitu!" Sabda berseru. "Mending kita langsung tanya aja ke Eden. Diantara kita, lo paling peduli sama siapa?"
"Halah, masih aja pertanyaannya diperhalus. Dasar sok jual mahal tapi kalau udah kerebut orang langsung kelimpungan!" Rasi menukas pedas. "Gue ralat nih. Diantara kita, lo paling suka sama siapa, Heaven?"
Ekspresi wajah Setra menegang, sementara Eden tampak berpikir sebentar sebelum menyahut santai. "Kak Setra."
"Heaven—"
"Eden—"
"Sekarang, gue ganti lagi pertanyaannya karena jawabannya rancu!" Jelas sekali, Sabda berusaha mati-matian supaya tidak terdengar panik. "Diantara kita, siapa yang paling bisa lo jadiin... lo jadiin... lo jadiin..."
"—PACAR!" Rasi meneruskan, kalap melihat Sabda yang tak kunjung meneruskan ucapannya.
"Oh, itu."
"Lo punya waktu sampai Jakarta buat mikir."
"Nggak perlu. Gue udah tahu jawabannya."
"Nggak usah buru-buru, lo punya banyak waktu—"
Rasi malah menyambar cepat, nada suaranya terkesan memburu. "Siapa?"
"Kak Setra." Eden menggumamkan jawaban yang tetap sama. "Gue suka sama Kak Setra. Gue mau jadi pacar Kak Setra. Sekarang, kalian puas?"
Rasi dan Sabda berpandangan, lalu setelah jeda menyakitkan dalam keheningan, keduanya kompak membuang tatap ke luar jendela.
Hingga mereka tiba di Jakarta, tidak ada yang bersuara.
bersambung ke twentieth note
***
Catatan dari Renita:
kalian sendiri yang bilang kalian siap untuk ini ya hahaha
jadi apakah yang akan terjadi.
akankah dua dedek marah sama kak setra
akankah setra-eden berlayar
atau justru karam
atau justru eden modar terus ketemu emir hahaha
di chapter ini, gue memberi sedikit potongan masa lalu antara sabda dan emir sekaligus sedikit clue soal arkais.
arkais, jo, lucio, kak doy, norenmin (tjrj2019) akan saling berhubungan dan bisa jadi, mereka saling mempengaruhi cerita satu sama lain.
btw seneng deh lihat antusiasme kalian di chapter sebelumnya. makasih ya. di tengah masa-masa kkn yang membosankan dan agak horor, komen kalian itu menghibur banget. jadi makasih yang sudah setia comment, setia vote. love you.
TERUS BTW BTW GUE NGGAK SABAR NUNGGUIN MV REGULARNYA WAYV wkwkwkwk penasaran, regular versi WayV bakal kayak gimana dan line distributionnya gimana.
NGGAK SABAR BGT MAU LIAT YUKHEI NGERAP OMG KWKWKWKDDJHFHFFKSJDB
tapi akhir-akhir ini aku juga lagi jatuh-jatuhnya sama johnny huhu kenapa sih lokal, haluable dan boyfriend material banget :(
ah ya, kalian sendiri gimana? adakah sesuatu yang exciting baru-baru ini terjadi? ceileh, if you want to share it here, then just share it, i'd love to hear your stories too wkwk tapi kalo nggak ya gapapa.
oke deh, sekian.
makasih sudah membaca author notesnya sampai sini.
see you in next chapter and ciao!
(salam dari kak doy)
Pemalang, January 17th 2019
18.12
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top