✴️ 3 : Hadiah Sang Ratu - 3 ✴️

Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara.

"Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.

Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.

Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan iming-iming dapat membantunya mengasuh pewaris takhta nanti–kalian berdua." Suaranya terdengar tenang, hampir menyatu dengan dinginnya angin malam.

"Dari mana Ibu mendapatkanmu?" tanyaku lagi, penasaran kenapa dia sampai berpikir untuk menyerahkan seseorang sebagai hadiah.

"Aku datang secara sukarela, Pangeran," balasnya. "Sebelum itu, aku sempat bertemu dan bicara kepada Raja karena urusan kerajaan. Namun, di saat itu aku mengenalnya sebagai tuan jiwaku."

"Tuan jiwa?" Baru kali ini aku mendengar istilah itu dari mulut seorang Guardian. "Maksudmu, Ayah dulu majikan kalian lalu menurun padaku dan Kakak?"

"Ya." Robert jawab secara singkat, ini justru lebih rumit dari yang kukira. Berarti para Guardian bisa diwariskan layaknya harta, apa tidak ada bagi mereka batas waktu untuk mengabdi? Mengingat sampai saat ini rela mencariku dan Kyara, semua ini membuatku sadar jika peran mereka lebih kuat dari yang kukira.

"Karena ayahmu, aku bersedia dibawa oleh Ratu sebagai hadiah, dari situlah aku menjadi seorang Guardian," Robert memandangi langit-langit, matanya yang cokelat seakan tengah menerawang sesuatu. Pantulan cahaya lampu tidur terus menghias bola matanya, seakan tidak ada pandangan lain baginya.

"Bagaimana ceritanya?" Aku kembali bertanya. "Kukira kamu bisa datang sebagai tamu atau mungkin ... orang yang mencari pekerjaan alih-alih hadiah."

Robert diam sesaat, wajahnya selama bercerita tidak menunjukkan ekspresi apa pun, membuatku sulit menerka perasaannya saat mengalami semua itu. Dia melanjutkan ceritanya, nada suara masih tenang. "Kami diciptakan untuk mengabdi kepada keluarga raja, hanya kepadanya kami tunduk. Jika tidak merugikan, kami akan setia padanya tanpa akhir."

Aku memandang kalungku yang bersinar di tengah cahaya remang kamar, cahaya biru ini tanda utama mereka itu pelindungku. Pikiranku tertuju pada ibuku terdahulu. "Setelah diangkat jadi Guardian, kamu tetap tunduk pada ibuku–sang Ratu?" Barangkali, jika Guardian telah bersumpah untuk setia pada satu individu dari kerajaan, maka hanya satu saja yang jadi prioritas.

Robert menatapku sesaat, matanya kembali memandang ke arah langit-langit. "Ratu masih kulayani seperti para Guardian melayani Raja dan keturunannya. Perintah pertama yang kudengar saat diangkat jadi Guardian, sang Ratu minta untuk dibuatkan minuman."

Aku kagum walau di sisi lain sudah menebaknya. Mengingat kebiasaannya terus mengamati cairan penuh warna, serta cara bertarungnya dengan cukup menyiram, aku menerka dia bisa pula membuatkan minuman dalam waktu senggang. "Minuman apa?" Rasanya aneh jika kamu menyewa seseorang untuk melindungi keluarga kerajaan, tapi ujungnya disuruh membuat segelas minuman.

"Minuman sesuai selera lidahnya," jawab Robert. "Setelah mendengar beberapa kriteria yang dia inginkan, aku buatkan segelas minum itu. Pada akhirnya, itulah yang diminum sang ratu sepanjang hidupnya."

"Lantas, hanya itu tugasmu?" Teringat lagi dalam mimpi sebelumnya, aku melihat Robert mengenakan pakaian tebal seperti baru saja bertugas dari wilayah bersalju. Namun, aku tidak menyebutkan itu, menunggu Robert menjelaskan sendiri.

"Tidak, kalau kepada Raja, tugasku mencari tahu kabar dari suatu negeri. Kepada Ratu dan siapa saja, tugasku hanya membuatkan minuman. Sementara kepadamu dan Putri, tugasku sebagai pelindung–wali, seperti Guardian lainnya."

Mendengar tugas yang Ayah berikan kepada Robert, itu seolah menjelaskan sedikit dari mimpiku. Robert di sana benar-benar sampai menjelajahi daerah yang diselimuti salju entah apa yang Ayah ingin tahu soal negeri itu.

"Lantas ..." Aku mulai ragu menceritakan mimpiku, tapi di sisi lain penasaran. Pada akhirnya aku teruskan saja. "Kamu rela menjelajah sampai ke negeri bersalju?"

"Ya." Dia jawab dengan singkat. Pandangan masih fokus ke arah lain kecuali aku.

Aku kian penasaran, kembali bertanya. "Apa yang Ayah cari di sana?"

"Tuanku hanya ingin tahu keadaan penduduk di sana." Robert mulai menatapku, wajahnya masih tidak menunjukkan reaksi apa pun sepanjang dia menuturkan kisahnya. "Dia memastikan jika tidak seorang pun berencana meruntuhkan Shan waktu itu."

"Kamu menemukannya?" tanyaku, mengacu pada sosok yang dicurigai itu.

"Aku menemukan bekas pertempuran dari ..." Robert duduk, dia kemudian menyentuh dahinya, tanda berpikir. "Siapa namanya sekarang? Dia mau dipanggil Khalifa atau Oruko sekarang?"

Ah, aku ingat itu. Dia mungkin mengingat sosok naga ungu itu, Idris. "Bukannya Asafa?"

"Oh, iya. Itu margaku dulu," sahut Robert. Suaranya yang datar pun kini berganti jadi lebih canggung, barangkali heran mengetahui seseorang tiba-tiba memakai nama keluargamu tanpa pernah bergabung dengan keluarga itu.

"Ada apa?" Aku tebak dia mungkin kurang nyaman kalau ada seseorang yang memakai marganya, padahal orang itu jelas kenal dia, hanya saja tidak dari satu keturunan.

"Tidak ada." Robert kembali memandang langit-langit. "Tadi, aku hanya menemukan bekas pertempuran dari Asafa, dengan Zibaq. Dia sering dikirim ke sana untuk melindungi warga Kyrvec, karena di sana belum ada pelindung dan begitu dekat dengan kampung halaman Asafa, Kikiro."

"Hanya itu saja?" Aku ragu, tidak mungkin dia hanya melihat sekilas lalu pergi, bukan?

"Aku jumpai beberapa penduduk di sana, dari beberapa kabar itulah aku sampaikan kembali kepada Raja," lanjut Robert. "Tugasku sebatas itu, tidak ada perintah untuk ikut campur."

"Bukankah Asafa juga temanmu?" Masa sesama Guardian tidak saling menolong?

Robert hanya diam, kuperhatikan raut wajahnya, tidak ada perubahan. Takut aku jika telah membuatnya tersinggung, tapi dalam pembelaanku, sudah seharusnya sesama teman menolong.

Pada akhirnya, aku hanya mengiakan untuk memberi tanda jika aku paham. "Ada lagi ceritamu tentang Shan?"

"Pangeran, ini sudah lewat jam tidurmu!" tegurnya, suaranya lebih keras dan kini keningnya berkerut tanda dia tidak ingin percakapan lebih. Robert langsung bangkit dan pergi.

"Robert, tunggu!" Aku segera duduk dan mencoba meraihnya, tapi gagal.

"Apa?" Robert hentikan langkahnya, mata cokelatnya menatapku dengan pandangan penat, padahal dia sedari tadi hanya bicara padaku.

Tidak ingin membuatnya marah, aku alihkan pembicaraan. "Selamat malam," ucapku diselipkan senyuman untuk meredakan ketegangan.

Robert berpaling, tanpa memandangku sekali pun, dia matikan lampu. "Selamat malam." Pintu pun ditutup.

***

Aku tidur begitu nyenyak, bahkan tidak setakut kemarin, meski semalam tadi ada monster yang nyaris menghabisiku. Begitu membuka mata, hari sudah terang. Untung ini hari libur, waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu di rumah guna melepas penat akibat sekolah. Seperti itu komentar salah satu teman sekelasku, walau sekolah saat ini tidak begitu membebani pikiranku.

Kulihat sekeliling. Ah, tumben Robert tidak membangunkanku atau bahkan mengomel. Biasanya jika aku sedikit kesiangan dia akan mengoceh, soalnya–karenaku juga–kami jadi terlambat sarapan. Padahal di hari libur pun dia tetap melakukan kegiatan rutinnya. Barangkali kejadian malam itu telah menguras tenaganya. Dia harusnya sempat beristirahat sejenak saat bercerita tadi, tapi aku tidak yakin juga.

Aku bangkit keluar kamar, mencari kamar Robert lebih tepatnya. Kamar kami memang terpisah, tapi setidaknya berada dalam satu lantai di antara rumah besar ini. Pintu kamarnya untuk kali ini tidak terkunci, padahal kami punya kebiasaan untuk mengunci kamar bila hendak tidur guna berjaga-jaga. Aku buka pintu begitu pelan untuk menengok sebentar.

Benar dugaanku, Robert masih tidur. Berbaring di ranjang bersama selimut membalut badan, tampak nyenyak.

Aku tarik pintu dengan perlahan untuk menutupnya. Niat ingin menemani tidurnya sesaat, saat ini hanya dia yang bisa memberiku makanan, tidak bisa aku mendahului sarapan tanpa dia, meski harusnya masih bisa memakan beberapa makanan kecil guna mengganjal perut. Begitu pintu tertutup, suara itu memecah keheningan.

"Pangeran, kau bangun kesiangan lagi," tegurnya, masih dengan mata terpejam. Dalam keadaan seperti itu, dia masih saja menerapkan aturan dalam rumahnya.

"Apa yang terjadi malam kemarin?" Langsung saja aku ubah topik, tidak ingin memperpanjang masalah perihal pelanggaran dalam rumah tangganya. "Kenapa kamu coba ambil darahnya?"

"Tidak ada apa pun, hanya monster berkeliaran," jawabnya dengan nada enteng, mata masih terpejam, tapi raut wajahnya tetap menunjukkan ekspresi keras. "Soal darah itu, kuserahkan nanti."

Hanya monster, dia ucapkan semudah itu seperti kemarin.

"Pangeran sebaiknya segera bersiap, aku ingin pergi ke kapel." Robert membuka mata, dia bangkit dari kasurnya.

Aku tetap tidak nyaman dipanggil "Pangeran." Rasanya terlalu formal dan tidak cocok untuk keadaanku saat ini. Maksudku, lihatlah aku, tampak tidak ada bedanya dengan anak sebayaku. Jika mereka menatapku sekilas, mereka tidak akan menduga jika aku ternyata pewaris takhta kerajaan di atas awan. Namun, aku tetap saja membiarkan dia maupun Guardian lain memanggilku begitu.

Begitu aku siap untuk menemaninya pergi, aku cari lagi Robert. Dia tidak ada di kamar. Dugaan keduaku, barangkali ada di belakang sana, mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan ramuan atau darah monster kemarin.

Menuruni tangga, kulangkahi beberapa bekas air dari kemarin yang belum kering juga akibat hujan kemarin. Begitu basah sampai karpet yang ditinggal semalam pun tidak sanggup menghapusnya. Malam itu kami pulang begitu larut, sempat ganti baju tapi mengabaikan hal lain. Bagi Robert, pemandangan ini pasti menyiksa batin.

Tiba di bawah, lebih tepatnya pada bagian dekat kamar mandi, kulihat Robert tengah membersihkan pakaiannya yang dilumuri warna merah, tercium bau anyir menyertai, itu pakaiannya kemarin. Padahal aku tidak mencium apa-apa malam tadi. Barangkali keletihan mengambil alih fokus.

Robert berhenti, dia menoleh padaku. "Mana baju kotormu?"

Aku langsung berlari ke atas menuju kamar dan mengambil pakaian bekas kemarin yang masih basah. Itu tergeletak di tempat pakaian kotor. Sementara pakaian tidurku kemarin itu baju yang masih kering.

Begitu turun, aku serahkan selembar baju dan celana kemarin, mulai memperhatikan caranya mencuci. Bercak merah yang memenuhi pakaian kami seketika sirna, bau anyir pun perlahan berganti dengan wangi sabun. Begitu selesai, kami berdua menjemur pakaian itu di bagian belakang rumah, tapi tidak terekspos pada dunia luar yang kini dipenuhi salju.

"Sudah?" Aku bertanya begitu seluruh pakaian digantung secara teratur pada kayu untuk dikeringkan.

Robert memandang pakaian yang dia jemur sesaat. "Aku bersiap dulu." Dia yang menyuruh, dia sendiri yang mengundur waktu.

Waktu kecil, karena kejadian tadi aku kira sabun dapat benar-benar menghilangkan bercak darah. Begitu sadar darah tidak semudah itu dihilangkan jejaknya, terlebih dari makhluk seperti monster itu, setidaknya menyisakan sedikit jejak pada kain meski tidak tampak kasat mata. Namun, kini aku sadar bahwa Robert telah meracik sabunnya sendiri hingga dapat menghilangkan jejak.

Karena Robert bilang dia akan bersiap, aku yakin dia segera mandi habis ini, mungkin merasa kotor habis mencuci. Aku tidak merasa kotor, terlebih baju baru ini sudah cukup membuatku merasa bugar. Jadi tidak kulakukan apa-apa, toh baju ini tidak menimbulkan bau yang tak sedap.

Sejauh ini, kuanggap Robert sebagai Guardian paling pembersih. Bagaimana tidak? Rumahnya yang dipenuhi bahan racikan berupa cairan entah apa itu, menciptakan begitu banyak jenis bau. Namun, saat dia selesai dengan pekerjaan itu, tidak ada lagi bekas bau dari hasil racikan seakan tidak terjadi apa pun sebelumnya. Belum lagi keadaan rumah yang senantiasa tertata rapi. Ditambah lagi, dia cukup disiplin mengingat dia satu-satunya Guardian yang menegurku kalau kesiangan atau terlambat sedikit.

Panjang umur, dia muncul lagi. Kali ini dengan setelan pakaian biru panjang, menyerupai para penjaga di kapel yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Dia barangkali ingin bertugas di sana hari ini. Melihat Robert sudah bersiap sambil membawa wadah dipenuhi botol-botol cairan berwarna itu, kami pun bergerak menuju kapel.

Waduh, tumben update cepat, ya sebenarnya ada banyak draft yang siap meluncur habis ini, tapi aku mau ngasih jarak hari biar gak pada kaget (sementara yang marathon Om Anton be like 🗿)

Pada bab ini dijelaskan sedikit kisah Guardian Scorpio ini di Shan, sebagai pembuat minuman, sekaligus ya jelas, peracik racun. Bisa ditebak nanti gimana perannya ke depannya dengan Guardian lain.

Sampai jumpa nanti!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top