✴️ 3 : Hadiah Sang Ratu - 2 ✴️
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.
Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.
Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh.
"Pangeran!"
Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.
Dia balas pelukanku, membelai rambut dengan pelan meski hujan deras dan badai masih melanda. Namun, itu sudah cukup membuatku merasa aman. Bunyi detak jantung kami saling menyahut, tanda dia pun juga ikut merasa takut sepertiku. Tanpa sadar, aku baringkan diri dalam tangannya.
Sosok hitam itu kemudian berdiri. Sedari tadi rupanya dia berjalan dengan kedua kakinya, rupa dia pun tidak berbeda jauh dibandingkan warga sekitar sini. Matanya putih sementara badannya setinggi leher Robert, terlihat seperti tulang dibalut kulit, ditambah sepasang tanduk panjang menghias kepalanya. Aku kenal ciri tadi. Itu milik para monster yang biasa datang memangsa apa pun yang bernapas. Dia menatap kami dengan tajam, menggeram sambil perlahan melangkah mendekat.
Aku tahu Robert pasti punya rencana. Melihat dia terlihat tenang walau jantungnya mengatakan sebaliknya, bahaya berada di depan mata dan salah sedikit saja sudah tamat riwayat. Aku coba menenangkan diri sembari memandang sekitar, memastikan kalau makhluk itu tidak bergerak semakin dekat untuk menerkam kami.
Makhluk itu maju, mengarahkan taring dan tanduknya ke arah kami. Saat Robert mundur, dia pun maju. Hingga kami bergerak semakin dekat menuju tempat minum.
Jantungku berpompa tidak teratur. Bagaimana tidak? Maut berada tepat di depan mata. Suara geraman dari makhluk itu sukses membuatku gemetar. Aku eratkan pelukan, berlindung pada pelindungku meski kami berada di posisi yang sama bahayanya.
Geraman itu terdengar kian keras, tanda dia semakin dekat. Entah apa maunya, jika lapar harusnya sudah menerkam kami sedari tadi. Namun, dia seakan menunggu sesuatu. Seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebutuhan untuk bertahan hidup.
Aku mengintip di sela pelukanku. Sosok itu berdiri persis di depan kami. Aku kembali mempererat pelukan, tanpa sadar air mata telah memenuhi pipi. Ketakutan masih menguasai, belum pernah aku berusaha untuk tetap tenang meski maut di depan mata. Tidak ingin berakhir begitu saja sebagai mangsa.
Kulihat Robert tetap diam. Kedua tangannya masih dalam posisi menahanku. Sementara matanya menatap lurus ke arah makhluk itu. Tanpa ekspresi, aku tidak bisa menerka apa yang dia pikirkan. Hanya bunyi detak jantungnya bersuara, dia masih dilanda cemas seperti aku. Namun, melihat dia terus saja diam memberi tanda seakan dia merenungkan sesuatu, atau barangkali ini bagian dari rencananya.
Tidak kusangka, makhluk itu berkomentar. Suaranya serak dan pelan, menyatu dengan deru angin musim salju malam ini. "Kau takut melawanku?"
Robert diam saja. Tangannya masih kuat melingkari badanku.
"Kau kira dengan memberiku tatapan seperti itu membuatku gentar?" tanya makhluk itu. "Kulihat dari matamu itu, tersirat tatapan yang sama sepertiku–kematian!"
Aku menatap Robert. Dia melirikku sebentar sebelum kembali menatap lawan kami. Kulihat sekilas dari tatapan mata Robert, dia masih memandang dengan reaksi seakan itu hal biasa atau barangkali di balik itu, pikirannya tengah kalut dipenuhi dengan cara menyelamatkan diri.
Tidak kusangka, kalungku yang sedari tadi bercahaya mulai memancarkan suhu yang lebih hangat dari biasanya, tanda sinarnya kian terang. Pertanda apa ini?
Makhluk itu terus memandangi Robert, mata putihnya memicing seakan hanya dia yang diincar. Taring yang menghias bibirnya kembali bergesekan saat dia berkomentar. "Kau sepertinya bagian dari mereka. Beruntungnya aku berjumpa dengan salah satu bagian dari negeri yang telah runtuh itu."
Dia juga tahu dari mana soal Shan? Aku memang pernah mendengar cerita jika para Guardian secara terang-terangan menceritakan tentang Shan kepada orang lain, tapi para pelindungku hanya sebatas pengasuh kami, tidak lebih dari itu.
Lagi-lagi, Robert tidak menanggapi, menurutku dia sedang mengulur waktu entah untuk apa. Saat itu juga aku menduga dia sengaja melakukan hal ini. Membiarkan makhluk itu terus terlena.
Makhluk itu menatap tajam ke arah kami, mata putihnya yang bersinar di tengah kegelapan malam bersalju. Dari pantulan mata itu, hanya terlihat aku yang sedang berlindung pada pelindungku, sinar biru dari kalung terasa hangat tanda memancarkan sinar lebih terang, walau tertutupi kain bajuku.
"Oh, sudah datang rupanya." Makhluk itu melanjutkan. "Sepertinya rencana kalian sedang berjalan dengan mulus."
Rencana? Maksudnya hidup bersama kembali seperti sedia kala? Apa salahnya dari itu? Begitu pikirku selagi menatap makhluk itu sambil menahan rasa takut.
Robert pun maju. Aku sedikit terkejut akan reaksinya. Namun, tidak bisa berbuat apa-apa lantaran posisiku sekarang sudah tidak memungkinkan untuk kabur. Aku pikir, jika aku melompat dari Robert, sudah pasti aku akan dimangsa makhluk itu. Namun, diam saja juga dirasa berisiko lantaran lawan kami sudah berada beberapa langkah di depan, tanda dia bisa saja langsung menghabisi kami.
Kalungku masih memancarkan kehangatan lebih dari biasanya. Pada saat ini, aku mulai merasakan janggal. Jantung berdegup kencang, aku yakini itu sebagai wujud dari rasa takut yang kurasakan. Aku jadi semakin sulit bernapas, pikiran dipenuhi dengan jeritan batin yang menyeru untuk pergi.
Pergi! Pergi!
Makhluk itu hanya diam melihat pelindungku mulai bergerak mendekat. "Wah, sepertinya kau mulai berani melawan." Taringnya mencuat dari mulutnya, sengaja dipamerkan guna menakuti kami. Benar saja, aku masih berlindung pada Robert.
Robert tidak menanggapi selain dengan tatapan datar. Dia sedari tadi tidak begitu menanggapi ucapan monster itu. Tangan masih kuat menggendong aku dalam pelukannya, tinggal menunggu dia bergerak guna menyelamatkan kami dari situasi ini. Aku kian cemas, apa yang dia pikirkan?
Monster itu diam. Matanya melebar seakan menyadari sesuatu. Dia menunduk, melihat kaki-kaki panjangnya yang kurus itu menancap di kayu. Tidak ada yang aneh, dia memang sedari tadi menancapkan kaki di sana. Matanya kembali menatap Robert. "Pintar."
Kaki-kakinya mulai melebur, sementara itu lantai kayu mulai menyebarkan bau-bau aneh yang menyengat. Makhluk itu mengangkat kaki, berjuang untuk kabur. Namun, kakinya sudah telanjur menyatu dalam kayu sementara tubuhnya mencair, menetes hingga membanjiri lantai.
Makhluk itu meronta, berjuang menyelamatkan diri meski raganya mulai hancur. Sudah pasti Robert menanamkan racun untuknya di sekitar sini, tak heran dia diam saja untuk berusaha mengulur waktu. Raungan keras memenuhi udara, hanya itu sisa jejak dari makhluk tadi sebelum akhirnya lenyap di atas permukaan tanah, menyisakan genangan air bekas darinya.
Robert masih mengendongku. Dia berlutut lalu memasukkan cairan bekas makhluk itu ke dalam botol yang dia bawa. Cairannya berwarna hitam dengan sedikit kekuningan sementara baunya busuk seperti makanan yang sudah lama tidak disentuh.
"Apa itu?" tanyaku.
"Akan kuteliti," ujarnya sambil menyimpan botol itu di balik sakunya. "Sekarang, kita pulang."
Tanpa menunjukkan reaksi apa pun, dia berjalan kembali ke arah tempatnya bekerja, meninggalkan sisa bangkai dari makhluk yang dia taklukan. Aku masih dalam pelukannya, tidak ingin melepas meski monster itu telah mencair. Robert tampak terbiasa dengan segala hal yang terjadi barusan, sementara aku berusaha menenangkan jantung yang masih berdetak kencang.
Aku rasakan kembali kalungku. Pancaran sinarnya kembali seperti biasa, sinar yang jadi penanda bahwa aku sedang berada di dekat pelindungku–tanda aku sudah aman. Walau sebelumnya pancaran kalung tadi bersinar begitu terang, aku tidak terlalu memikirkan. Hanya satu hal yang penting bagiku, yakni aku masih hidup.
***
"Apa yang terjadi?" Langsung saja aku tanya begitu kami tiba di rumah dengan selamat. Suasana rumah yang hangat melindungi kami dari hawa luar yang begitu menusuk pada awal musim dingin.
"Tidak ada apa pun, hanya monster berkeliaran," jawabnya enteng. Matanya masih fokus pada susunan botol kaca dipenuhi warna itu.
Hanya monster? Yang benar saja!
Robert menatap ke arah pintu, memastikan itu terkunci sekali lagi sebelum kembali pada dunianya yang aneh itu, menyusuni cairan warna-warni entah untuk apa. Kuperhatikan, kali ini dia mulai mengamati cairan yang baru saja diambil dari monster yang meleleh tadi.
"Tidur. Ini sudah lewat jam tidurmu." Robert berkata, padahal dia masih saja sibuk dengan dunianya. Maksudku, cairan bau itu sedari tadi yang jadi pusat perhatiannya.
"Robert tidak tidur?" tanyaku sembari memeluk erat boneka kelinci berian Arsene, benda ini juga teman baruku sebelum teman sebaya.
Tangan Robert masih menyusuni botol dipenuhi cairan berwarna, dia susun pada rak dalam ruangan berdasarkan urutan warna pula. Tanpa menoleh, dia hanya menjawab dengan satu kata. "Nanti."
Jawabannya tidak memuaskan. Aku tidak bisa membiarkan pelindungku begadang sementara aku tidur dengan nyenyak. Namun, jika disuruh tidur, dia mungkin tidak mau lantaran ada kegiatan hari ini yang baginya harus segera dituntaskan.
Aku menemukan sebuah ide. Semoga ini berhasil. "Aku tidak mau tidur."
Robert termenung, saat itu juga dia menoleh ke arahku, menatapku dengan kening berkerut. Wajah sinis itu kini seperti ciri khas darinya setiap kali melihat sesuatu selain dengan wajah datar tadi. "Apa yang kau kerjakan malam ini sampai mau begadang?"
Aku balas dengan berusaha menatap matanya. Ingin tenang walau Robert seram jika kehendaknya tidak dipenuhi. "Aku mau mendengar dongeng dulu sebelum tidur."
"Sejak kecil aku tidak pernah mendengar dongeng sebelum tidur," sahut Robert dengan nada sedikit ketus.
"Aku juga belum," jujurku. "Selama ini hanya mendengar dongeng saat sedang bermain dengan anak lain. Guardian lain belum pernah mendongeng padaku, sementara teman-temanku dulu selalu dibacakan dongeng." Aku berujar dengan nada pelan, sedikit sedih lantaran perbedaan nasib. Mungkin saat ini perkara dongeng bukan hal besar lagi seiring bertambahnya usiaku, tapi bagiku yang masih kecil, itu terasa penting.
"Aku pun belum pernah mendengar dongeng," ulang Robert. "Kalaupun pernah, aku sudah lupa sebagian besar ceritanya."
Aku mendapat satu solusi, tapi sedikit ragu jika dia bersedia, harusnya bisa. "Bagaimana kalau ... kau ceritakan kisahmu di Shan?"
Robert masih sibuk merapikan peralatan di meja. Namun, ucapanku sukses membuatnya berhenti bergerak. "Kisahku?"
"Ya," balasku. "Kalau tidak ada dongeng, setidaknya bisa ceritakan pengalaman masa lalumu. Lalu gantinya, aku akan ceritakan dongeng yang kutahu."
Robert diam seakan meluangkan waktu untuk berpikir. Setelah beberapa saat, meja juga akhirnya rapi juga walau sebenarnya selalu demikian. Robert berjalan melewatiku. "Ayo, ke kamarmu. Akan kuceritakan kisahku."
Bjir, udah sebulan aja gak update. Berhubung gak ada yang nagih, jadi kelupaan deh. Cuma yah, untuk yang masih mau baca seri ini, aku ucapkan terima kasih banget karena sudah bertahan sejauh ini.
Dalam bab ini, memang akan sedikit ditunjukkan gaya bertarung Robert juga selain dari arc sebelumnya. Seperti biasa, pola cerita "Guardians of Shan" pada awal perkenalan Guardian baru, akan fokus pada gaya bertarung mereka. Gak harus sama satu sama lain, biar beda.
Jadi, yah gitu. Ditunggu ya kelanjutannya nanti. Sampai jumpa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top