✴️ 2 : Rumah Baru - 6 ✴️

Robert membawaku ke tengah kota, letaknya tidak jauh dari tempat dia bekerja. Di situlah banyak kereta kuda tersedia. Di antara mereka ada satu yang langsung mendekat seakan mengenali Robert.

Robert menyuruhku masuk terlebih dahulu, sementara dia mengobrol sebentar dengan kusir sebelum duduk di sisiku. "Setidaknya mereka menyediakan fasilitas," komentarnya entah bicara padaku atau bicara sendiri. Nadanya terkesan ketus alih-alih lega, barangkali ini tidak sesuai harapannya, entah apa itu. Melihatnya begitu membuat aku enggan bertanya lebih lanjut.

Guna menghabiskan waktu tanpa merasa canggung, aku putuskan untuk mengamati pemandangan kota saat kereta melaju. Tidak beda jauh dibandingkan Ezilis, sementara penampilan warga di sana juga sama, rata-rata memiliki kulit putih walau sedikit kemerahan. Mataku melirik ke arah Robert, kulihat dia juga sibuk mengamati sepertiku. Kucoba membandingkan rupa dia dengan warga di kota.

Robert tidak jauh berbeda dari warga sekitar. Memang hampir semua Guardian menyerupai warga dari tempat mereka berasal, tidak sulit bagi mereka untuk berbaur tanpa terlihat mencolok. Namun, aku selalu merasa ada hal menonjol dari mereka selain dari sinar kalungku. Aku kian penasaran, bagaimana para Guardian bisa saling mengenal kalau mereka saja berasal dari negeri yang berjauhan?

Aku memberanikan diri, di sisi lain merasa perlu untuk bertanya. "Kota apa ini?" tanyaku pada Robert.

"Anamsel," jawabnya yang masih fokus menatap pemandangan luar melalui jendela. "Kita akan pergi ke Senkrad, tempat kerbau itu ditemukan."

"Kerbau apa itu?" Aku heran, tidak mungkin seekor kerbau bisa memicu ketakutan bagi salah satu warga di sana sampai mengundang Pemburu Sihir. Merasakan keresahan di udara, pikiranku kembali ke beberapa hari lalu saat aku merasakan kegelisahan bersama anak-anak lain.

Kenangan akan malam saat salah satu anak panti–Louis–tewas kembali tergiang dalam ingatanku. Dia tidak pernah kulihat, bahkan di malam misterius itu sekali pun. Bahkan saat ini tidak bisa kutebak siapa pelaku yang mengincar kami, meski wujudnya menyerupai manusia, tapi aku tidak mengenalinya. Pada waktu merasa takdir telah menanti, aku diselamatkan oleh seseorang, suaranya sangat mirip dengan ...

Robert.

"Itu bukan kerbau biasa." Robert membalas, sudah kuduga. "Dia dilaporkan memiliki napas beracun."

Pantas saja kami sekarang harus memakai kain ini. Kini, aku sedikit paham. Meski belum pernah menghadapi seekor kerbau, aku sedikit lega melihat Guardian-ku akan selalu siap melindungiku. Aku kini menyadari, Robert telah menyelamatkanku dari serangan malam itu, walau tidak sempat melakukan hal yang sama untuk Louis.

"Kain yang kita pakai saat ini sudah kucampur dengan berbagai rempah-rempah guna mengurangi bau dan racun," terang Robert sambil menunjuk kain yang menutupi sebagian wajahnya. "Tugasku hanya cukup menyingkirkan kerbau itu dan kita bisa pulang setelah ini."

Baru saja pergi, Robert langsung membahas soal pulang. Jelas ini bukan jenis kegiatan yang dia senangi. Maksudku, mana ada orang yang senang berburu kerbau beracun?

"Jika kerbau itu dibiarkan?" tanyaku. Penasaran kalau saja makhluk itu sekadar lewat.

Mata Robert menatap tajam ke arahku. "Maka seluruh penghuni di desa itu akan tewas."

***

Hutan Senkrad sedikit mengingatkanku pada tempat tinggal Nemesis yang dahulu. Tidak banyak bedanya dibandingkan hutan biasa yang aku jelajahi sebelumnya, gelap dan tersembunyi. Aku ingat hari pertama kala menginjakkan kaki di Ezilis dan pertemuan pertama dengan Arsene. Walau sudah berlalu cukup lama, aku masih mengingat dan merasakan suasana yang sama. Meski Hutan Senkrad tidak tertutup kabut seperti daerah sekitar Panti Graves, tapi cukup membuat tidak nyaman akibat atmosfernya.

Teringat lagi, aku kembali bicara pada Robert setelah setengah jam tenggelam dalam keheningan. "Robert, kudengar kamu mendapatkanku dari hutan, bukan?" Itu penuturan dari Bibi pada hari pertama aku berada di Panti Graves.

Robert sedikit tersentak, barangkali karena aku tiba-tiba saja bicara di tengah keheningan. "Ah, aku menemukan kalian di hutan ini."

"Kalian? Um, kami?" Aku mencoba memahami melalui sudut pandang dia.

Robert mengiakan. "Ya, kau dan Killearn."

Aku tidak salah tebak. Kembali mengingat malam ketika aku begitu lelahnya hingga tidak berdaya ketika seseorang mengangkatku dan ... Nemesis menyeru agar aku dilepaskan.

"Ada ... apa dengan kami?" tanyaku, sedikit terbata-bata. Tidak bisa membayangkan nasib Nemesis yang belum juga aku ketahui kepastiannya. Terpisah lagi tentu saja bukan pengalaman yang ingin aku alami lagi.

Alis Robert terangkat sebelah, terkesan bingung. "Maksudnya?"

"Malam itu, seseorang menggendongku. Aku dengar Nemesis seperti sedang mengejarku," jawabku.

"Killearn sudah kuobati." Robert menjawab dengan ringan, itu tidak menjawab sebagian dari satu pertanyaanku itu. "Kusuruh dia menetap sementara bersama Perrier selagi mereka memulihkan diri."

Mendengar marga Arsene, jantungku berdebar lantaran semangat. "Di mana mereka? Aku ingin berkunjung!"

Robert letakkan telunjuk depan bibirnya sebagai isyarat untuk memelankan suara. "Mereka belum pulih."

"Sudah berapa lama?" tanyaku sambil memelankan suara sembari menggenggam tanganku sendiri, berharap cemas.

"Baru sebulan." Robert kembali memandangi pepohonan yang telah diselubungi kegelapan. "Sebentar lagi kita sampai."

Aku lega mendengar Guardian-ku kini sudah aman. Namun, ada beberapa lagi yang belum jelas nasibnya. Gill, Idris, Khidir, Tirta, dan Mariam. Ingin kutanyakan, tapi kereta sudah berhenti di sebuah desa dalam hutan ini.

Ketika aku keluar untuk menengok suasana desa, ternyata tidak berbeda dengan Ezilis pula. Tanda bahwa Danbia dan Ezilis kemungkinan besar serumpun, mengingat sejumlah bahasa di sana seperti campuran dari Ezilis Utara dan Selatan.

"Ingat pesanku." Robert menahan bahuku sebelum aku memasuki desa.

Aku mengiakan tanda patuh. Kami berjalan bergandengan memasuki desa. Suasana di sana memang adem dan sedikit misterius, warga di sana tidak tampak terkejut akan kedatangan kami, barangkali sudah tahu.

"Selamat datang, Tuan!" Kami disambut oleh pria yang tadi menemani temannya di tempat minum milik Robert.

Tanpa basa-basi, pria itu menuntun kami masuk ke rumahnya yang terbuat dari kayu kokoh layaknya kebanyakan penduduk desa ini. Dia menjamu kami dengan kopi. Karena aku tidak ingin minum minuman pahit, aku tidak menyentuhnya. Kubiarkan kedua pria itu mengobrol.

"Kerbau itu telah lama meresahkan warga." Dia ulangi inti dari ucapan temannya. "Dia begitu bau, napasnya beracun sehingga kami selalu takut jika bau busuk itu akan membunuh kami. Belum lagi ada salah satu dari kami yang nyaris mati keracunan akibat terlalu lama menghirup napasnya, lantaran tidak menyadari keberadaan makhluk itu."

"Kerbau jenis apa?" tanya Robert.

"Yah, menyerupai kerbau tanjung." Pria itu memandangi sisi dinding, seakan mengingat. "Berukuran sedang, hitam, cukup lamban, dengan kepala yang berat yang selalu menghadap ke tanah."

"Dia hanya mengeluarkan racun dari napasnya?" Robert kembali bertanya, matanya lebih fokus pada kopi di cangkir alih-alih mata lawan bicara.

"Kudengar dia bisa mengeluarkan api dari lubang hidungnya." Pria itu berkata sembari menyentuh hidupnya.

Jawaban dari pria itu membuatku meneguk ludah. Tidak bisa kubayangkan makhluk ini berkeliaran di sekitarku.

"Dia herbivor?" Robert kembali bertanya. Meski matanya fokus ke arah lain, telinganya jelas masih menangkap seluruh informasi tanpa membiarkan pikirannya melayang ke arah lain.

"Sedari tadi dia hanya memakan apa saja yang ada di rawa sekitar sini."

"Sudah kuduga," komentar Robert, tidak tampak mengubah ekspresinya sedari tadi. Namun, kali ini matanya yang cokelat beralih ke lawan bicara. "Aku pernah mendengar soal makhluk itu dan mengenali cirinya."

"Oh ya? Kerbau jenis apa?" tanya pria itu.

"Catoblepas." Robert pun melanjutkan. "Dia gemar memakan tumbuhan-tumbuhan beracun. Hidupnya di sekitar rawa-rawa dan sisanya persis seperti yang kau terangkan."

Pria itu menatap Robert, sedikit ternganga. "Kami tidak tahu makhluk dari mana itu, yang pasti kami merasa tidak aman karenanya." Selagi menjelaskan, pria itu mundur dari tempatnya duduk, seakan hendak menyatu dalam tempat duduk itu.

Kini, Robert yang kembali bicara. "Aneh, kudengar dia berasal dari Tamake, negeri itu sangat jauh dari sini."

"Bagaimana bisa?" Pria itu kian memucat, rupa dia kini tidak berbeda dari temannya waktu itu.

"Rekanku pernah memberi kabar." Robert menatap lurus ke mata pria itu. "Seekor rubah raksasa pernah masuk ke Ezilis Utara beberapa waktu yang lalu dan berhasil mereka bunuh sebelum dia memangsa jantung siapa pun."

Kejadian di Ezilis, aku ingat itu meski belum begitu memahami apa yang terjadi. Seekor rubah besar–Kitsune yang bicara soal Kikiro sebelum menghembuskan napas terakhirnya di depan kami.

"Bukannya waktu itu karena penjaga wilayahnya tidak ada?" tanyaku pada akhirnya, seluruh tatapan tertuju padaku.

Robert diam sejenak sebelum pandangan matanya kembali terarah pada pria itu. "Ya, kau betul. Bisa jadi Tamake mengalami hal yang sama sehingga Catoblepas bisa mampir ke sini."

Pria itu menggenggam tangan Robert. "Tolong, Tuan, habisi makhluk itu. Kami akan sangat berterima kasih."

Robert menepis pelan tangan pria itu, matanya memandang dengan tatapan jijik yang tertahan. "Tentu, aku hanya butuh sedikit waktu. Kau cukup memberitahuku di mana binatang itu berada." Robert lalu berdiri. "Aku izin bekerja sebentar di sini, jika kau tidak keberatan."

"Tentu," balas pria itu dengan anggukan. Matanya kini tertuju padaku. "Oh, untuk putramu, apa dia ingin camilan?"

Robert menatapku, seakan memberi isyarat agar aku lekas menjawab.

Aku sedikit grogi lantaran segan. "Mau."

"Sebentar, akan kuambilkan." Dia pun pergi.

Berbeda dengan kasus Arsene, seseorang langsung mengira aku dan Robert adalah anak dan ayah karena kemiripan kami. Membuatku sedikit merasa aman untuk menyembunyikan fakta tentangku, seorang pewaris takhta dari negeri yang telah lama runtuh.

Sambil menunggu camilan, aku perhatikan Robert yang mulai sibuk dengan cairan penuh warna yang dia bawa sedari tadi. Dia tidak memedulikan keadaan sekitar bahkan ketika ditawari makan. Sesekali Robert menolak dengan halus, tapi sebagian lagi dia abaikan seakan kami tidak pernah ada.

Dengan sabar kubiarkan Robert tenggelam dalam pekerjaannya, selagi menikmati camilan berian sang tuan rumah yang masih duduk mendampingi kami. Aku yakin dia sama penasarannya denganku.

Segera setelah camilan pertamaku habis dimakan, akhirnya kudengar suara Robert. "Nah, di mana kerbau itu berada?"

Lagi-lagi aku lupa update, karena tidak ada yang nagih wkwkwk

Baru ingat buat update pas ada yang iseng vote cerita ini dan yah, gitu.

Meski ini lapak perlahan sepi, ya sudah aku coba teruskan sampai aku anu sendiri. Bagi yang masih setia membaca cerita ini, terima kasih banyak!

Dan yah, udah tiga tahun aja seri ini berjalan dan baru season empat. Kuharap aku bisa kelarin ceritanya ya, hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top