✴️ 2 : Rumah Baru - 5 ✴️
Alexei Durov
Panti Graves
Nama yang tertera di bawah seragam putih itu entah mengapa tidaklah asing, sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Aku ingat, itu nama yang pernah Bibi ucapkan kepada seseorang. Bukankah itu ... Itu nama orang yang Bibi kenal dan percayai. Anak-anak panti juga mengenalnya sebagai "Paman." Berarti ini baju salah satu pengurus panti. Kenapa bisa sampai ke rumah Robert? Aku amati lebih dekat baju itu. Tampaknya Robert telah merawatnya dengan baik. Masih rapi dan bahkan wangi seakan baru saja dibeli. Mengapa dia menyimpan baju ini?
Dari satu nama dan tempat yang tertulis, aku menebak itu nama pengurus selain Bibi di Panti Graves, tempat yang menampungku untuk sementara waktu. Berarti Alexei ini orang yang mungkin sudah lama bekerja di sana hingga disediakan baju untuknya. Namun, ukurannya kecil seperti ukuran baju anak-anak sebayaku. Mungkin saja dia menyimpan baju masa kecilnya sebagai hiasan. Lantas kenapa ada di rumah Robert? Tidak mungkin dia asal menyimpan barang seseorang. Lebih anehnya lagi, baju ini dipajang di tempat yang mudah dijangkau, berarti bukan rahasia.
Di saat tenggelam dalam pikiran, kudengar suara pintu dibuka. Tanda seseorang telah tiba ke rumah. Jantungku berdegup kencang, teringat pesan Robert untuk tidak membukakan pintu kepada siapa pun.
"Levi!"
Seruan dari Robert membuatku melesat menuju arah suara, tepatmya pada pintu depan. Aku sedikit takut ketahuan karena telah melihat baju itu, kalau saja dia tidak menyukai tindakanku barusan. Namun, ada hal lain yang sedikit baru bagiku, bukan hal biasa ketika Robert memutuskan untuk menyebut nama baruku alih-alih "Pangeran" seperti biasa.
Begitu aku tiba di ruang depan, Robert masih berdiri di pintu, lebih tepatnya sedang menutupnya. Sebelah alisnya terangkat, mengisyaratkan jika dia heran melihatku berlari.
Aku mengatur napas, lari barusan cukup menguras tenaga. "Ba ... baju siapa itu?"
"Baju apa?" Dia melangkah mendekatiku.
"Ada tulisan nama 'Alexei' seperti itu," jawabku sambil menunjuk ke ruang tempat baju tadi dipajang, walau hanya menunjuk ke arah lorong untuk merujuk pada area di ruang bagian belakang sana.
Mata cokelatnya mengikuti arah telunjukku. Butuh beberapa saat sejenak baginya berpikir sebelum menjawab pertanyaanku. "Itu bajuku." Dengan kesan ringan dia mengucapkannya.
Aku sedikit terkejut. Bukannya namanya Robert? Waktu itu, aku belum mengetahui kebiasaan seorang Guardian yang kerap menyembunyikan nama guna membingungkan lawan. Sehingga kejadian ini cukup mengejutkan bagiku.
Jika benar dia itu sosok yang Bibi percayai selama ini, berarti dia yang sebenarnya–
"Itu nama yang diberikan saat aku dilahirkan." Robert menepuk bahuku dan menuntun aku ke tempat biasa kami duduk. "Saat ini, namaku 'Robert.'"
"Mengapa?" Aku bertanya dengan polosnya. "Bukankah nama berian orangtuamu sudah bagus?"
"Pangeran sendiri masih ingin dipanggil 'Remi,' bukan?" Balasan yang tidak terduga. "Padahal kamu dulu bernama 'Darren.'"
Aku langsung ingat jika Robert membaca surat dari sesama Guardian, pasti dari situ dia tahu. Guardian pertama yang menyebut nama lahirku, tentunya sudah lenyap dari ingatanku waktu itu, hanya Khidir. Mengingat itu, aku sedikit ragu jika memang itu nama yang pantas kupakai saat ini.
"Yah, nama 'Remi' terdengar lebih cocok untukku," balasku seadanya.
"Begitulah." Robert mengakhiri obrolan dengan kalimat itu sebelum beranjak dari kursinya.
Aku tidak dapat menebak apakah dia tersinggung atau hanya sekadar malas mengobrol lebih lama. Aku tidak memanggilnya lagi, takut jika itu akan mengobarkan amarah dalam dirinya. Entah kenapa, setiap kali menatap wajah Robert, aku selalu merasa jika dia sedang menahan amarah, entah karena apa.
Tak sengaja pandanganku kembali tertuju pada perapian yang tidak pernah padam apinya. Meski api itu tampak tidak begitu besar, dapat kutebak itu bisa menyebar ke mana-mana jika tidak dipadamkan juga. Namun, Robert seakan berkata jika api ini memang tidak akan berpindah, tapi aku belum melihat buktinya. Di antara cahaya merah dan kekuningan yang menghias perapian, mataku fokus pada kumpulan objek kecil di bawahnya. Awalnya kukira itu arang. Namun, jika dilihat lebih dekat, bentuknya bahkan tidak menyerupai arang, melainkan berhelai-helai bulu.
Aku dekati perapian dengan sedikit berhati-hati. Bulu yang berada di dalam api itu tampak seperti bulu burung biasa. Namun, tidak terbakar habis oleh api. Seakan inilah sumber kekuatan dari api itu sendiri. Dari mana Robert mendapatkannya? Apakah api ini memang benar-benar tidak akan padam? Bagaimana cara memadamkannya? Begitu banyak pertanyaan muncul, membuatku semakin ingin datang pada Robert dan bertanya. Namun, apa suasana hatinya saat ini sedang baik? Kuharap dia mau menjawab seperti perihal baju tadi.
"Pangeran, jangan dekat-dekat!" Suara Robert yang sedikit keras selalu sukses membuatku tersentak, refleks aku mundur begitu mendengar tegurannya. Kali ini, dalam rumah, dia memanggilku "Pangeran" alih-alih nama lain. Tatapan Robert yang tajam membuatku sedikit gemetar. "Kalau kau kena apinya, bakal sulit dipadamkan."
"Benarkah?" Aku tidak yakin meski sedikit talut mendengarnya, bukan melawan melainkan ragu. Selama ini aku berpikir jika api bisa dipadamkan selama ukurannya kecil seperti di perapian ini. "Bukannya api bakal mati jika disiram?"
"Coba saja." Robert menantang, yang mana membuatku kian penasaran.
Aku ambil segelas air dari meja dan menyiramnya ke arah perapian. Namun, tidak ada reaksi. Padahal, jika itu api biasa, harusnya akan sedikit padam, tapi ini tidak berpengaruh sama sekali.
"Bagaimana bisa?" Aku menatap Robert, minta penjelasan.
"Itu bulu dari Burung Api, api yang berkobar pada setiap helai bulunya tidak akan padam." Robert menjawab. "Satu-satunya cara untuk memadamkan api itu cukup dengan air suci."
"Berarti tetap bisa padam karena air." Aku menyimpulkan. Bukan air biasa, tapi tetap saja pada dasarnya air.
"Karena menurut cerita rakyat, api pada burung itu berasal dari neraka." Robert menambahkan.
"Lantas, dari mana Robert dapat burung itu?" Aku kembali ke pertanyaan dasar.
Robert melirik sejenak kobaran api yang memancar di perapian. "Pada malam musim dingin, badai melanda desa ini. Aku di tengah hutan, dalam perjalanan pulang. Meski waktu itu memakai pakaian tebal, dinginya masih menusuk hingga ke tulang. Aku nyaris membeku dan berlutut ketika angin menerpa." Dia masih menatap perapian, seakan tengah kembali pada hari itu.
Aku duduk diam, menyimak. Dia tampak terus memandang ke arah api yang berkobar di perapian, mengenang hari itu.
"Di saat itu, kulihat api dari kejauhan. Kudekati, mengira itu hanya sekadar api unggun yang disisakan untukku. Namun, ternyata itu seekor burung yang terkurung dalam geruji besi. Ia menjerit dan mengobarkan api lebih terang dari sebelumnya. Merasa kasihan, aku coba bebaskan dia dengan membongkar jebakan itu menggunakan kapak kecil." Dia melanjutkan. Lagi-lagi, tidak ada ekspresi di wajahnya selama bercerita. Membuat suasana cerita begitu mencekam.
"Robert bawa kapak setiap saat?" Aku heran sekaligus kaget. Sedikit menakutkan kalau seseorang membawa kapak ke sana ke mari.
"Kadang kubawa barang yang dirasa pantas," balasnya seakan itu hal yang wajar. Barangkali karena bisa jadi dia mencari kayu bakar. Aku tidak mempertanyakan, barangkali itu alasan yang masuk akal saat itu.
Kutanya lagi, supaya dia tetap melanjutkan kisahnya. "Lalu, apa yang terjadi? Apa burung itu melawan setelah dibebaskan?"
"Begitu geruji besi tidak lagi mengekangnya, ia keluar dan mengepakkan sayapnya yang berapi, beberapa helai bulu jatuh di bekas jebakan tadi. Ia pun pergi dengan membelah badai seakan tidak ada kendala. Meninggalkanku bersama sisa api yang dia berikan." Robert pun mengakhiri kisahnya.
Bahkan beberapa helai bulu sudah begitu terang cahaya yang dipancarkan, bagaimana dengan satu ekor burung itu? Aku tidak dapat membayangkan. Terlebih di tengah badai salju, masih bisa berkobar tanda betapa kuatnya api itu. Kurasa jika banyak orang tahu, sudah pasti burung ini akan terus diburu.
Aku pun kembali bertanya. "Sudah berapa lama Robert menyimpan api ini? Apa burung itu masih kau jumpai?"
"Baru empat tahun lalu," jawabnya. "Binatang itu tidak lagi menampakkan diri setelahnya."
Aku jadi sedikit kecewa. "Sayang sekali."
Robert tidak menanggapi. Selama beberapa saat hening, akhirnya Robert kembali bicara. "Kau ikut denganku berburu kerbau itu," katanya langsung pada intinya. "Aku barangkali tidak bisa pulang cepat dan aku tidak percaya kalau kamu bisa ditinggal sendirian."
Aku mengiakan, toh tidak ada alasan bagiku untuk menolak meski tidak dapat menebak apa yang akan terjadi ke depannya. Meski tahu bahaya menghadang di depan sana, aku sedikit merasa aman bersama pelindungku.
"Pakai penutup wajah, kau bisa mati keracunan karena menghirup bau darinya," pesan Robert.
Aku menelan ludah. Aroma beracun bukan sesuatu yang mudah untuk dilawan. Sudah pasti misi kali ini berbeda. Namun, Robert tidak ingin aku ditinggal seorang diri tanpa penjaga. Anak yang masih berusia sepuluh tahun memang kupikir belum begitu cukup untuk ditinggal sendirian, terlebih pada daerah asing seperti ini. Mau tidak mau, aku tetap ikut.
Aku ganti pakaian dengan baju tebal yang Robert sediakan. Meski sedikit kebesaran dan cukup panas, setidaknya bisa melindungi diri di malam yang dingin. Robert juga menutupi hidung dan mulutku dengan selembar kain sebelum dia sendiri melakukan hal yang sama. Padahal, sebelum pergi, dia tampak tidak mengenakan apa-apa selain sarung tangan tadi. Barangkali sekarang baru mempelajarinya. Kain ini, meski terlihat tebal, sebenarnya tidak sesak ketika dipakai. Baunya pun harum, walau ini jenis bau yang sering tercium ketika sakit, entah jenis obat apa yang terkandung di dalamnya. Jika mengingat kembali, bau ini tercium seperti jenis cairan yang sama waktu aku merawat Arsene saat penyakitnya kambuh, itu dari minyak hangat agar badan terasa nyaman kembali.
Kami persiapkan beberapa lembar pakaian. Aku sebenarnya hanya mengandalkan Robert di situasi ini, karena pada dasarnya aku belum memiliki barang pribadi. Hanya memakai pakaian berian Robert yang tersisa beberapa lembar saja. Semua baju tadi, dia simpan dalam dua koper, untuk baju kami dan peralatan dia.
Sebelum meninggalkan rumah, Robert kembali berpesan padaku. "Jika kamu mencium bau busuk, segera menjauh dan jangan berniat untuk menengok," pesannya.
Aku hanya membalas dengan singkat. "Aku mendengar dan patuh."
Waduh, pada bagian Remi nemu baju tidak biasa di rumah Robert, sepertinya kalian ngeh sedikit kan pada season sebelumnya, tepatnya season 3 lalu. Kyara pernah nemuin jenis baju yang sama di rumah Ezekiel, lengkap dengan nama dan pantinya juga sama. Waduh, kebetulan kah, apa gimana? Atau jangan-jangan Bibi jualan merchandise selama ini? Mungkin, ye?
Oh ya, untuk bagian bab ini, aku sedikit anu saat menulis bagian Remi mengenang kejadian-kejadian di season 2 lalu, ingat sih aku cuma rasanya agak gimana karena faktanya aku nulis season 2 pas tahun 2020 lalu dan sekarang udah 2023 aja. Lama bet, yekan? Wkwkwk
Oh ya, sampai jumpa di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top