✴️ 2 : Rumah Baru - 4 ✴️

Tempat ini tidak tampak begitu megah tapi cukup luas, orang-orang di dalam yang saling mengobrol cukup menghidupkan suasana. Aku duduk di dalam baris pembatas antara pembeli dan penjual, menyaksikan Robert melayani para pelanggan. Dia tidak menyuruhku melakukan apa pun, jadi aku memilih diam dan mencoba untuk tidak berbuat masalah.

Robert sibuk melayani pelanggannya. Tidak banyak bicara, hanya mengiakan apa yang mereka pesan dan membuatnya. Aku bahkan sampai sedikit lupa apa saja yang pernah dia ucapkan dalam waktu senggang ini. Namun, ini bukan suatu masalah, aku hanya duduk diam dan mengamati.

Tempat ini aku sebut sebagai "Tempat Minum" karena memang tidak tersedia makanan dalam menu, seakan memang tempat ini dirancang untuk minum saja. Pelanggan pun ke sini hanya mampir sekadar mengganjal perut sambil mengobrol bersama. Aku dengarkan sebagian, tapi tidak ada yang benar-benar penting, entah sekadar basa-basi membahas kabar kondisi kota sekarang atau soal cuaca pagi ini.

Aku menengok ke kiri dan kanan, mencari sesuatu yang menarik. Hingga aku melihat sebuah wadah dipenuhi dengan batu kerikil berwarna merah gelap. Tidak ada tulisan atau keterangan selain nama penerima– Robert Thomson–serta alamat tempat minum ini. Barangkali barang yang didistribusikan.

Tanganku bergerak untuk meraihnya. Begitu nyaris menyentuh permukaan toples, sebuah tangan menahanku. Aku menoleh, terlihat Robert menatapku. Tidak jelas apa dia marah atau justru tidak, tapi cukup membuatku gentar.

"Jangan dimainkan!" tegurnya, suaranya terdengar sedikit keras, sanggup membuat tanganku terasa beku. "Nanti pecah."

"Toples ... apa ini?" tanyaku, menahan diri agar tidak terlihat gentar.

"Nanti aku jelaskan," ujarnya sambil melepas cengkeraman. "Mau minum apa?"

Aku bingung harus memilih minuman apa, dengan pelan menyahut. "Entahlah."

Dia menuntunku duduk di sisinya, tepatnya di mana tertulis sekumpulan nama menu beserta keterangan singkatnya berada. Mataku menyusuri puluhan jenis minuman. Sayang sekali sebagian besar untuk orang dewasa, membuatku sedikit kesulitan untuk memilih. Saat bingung memilih, aku mendengar percakapan antara Robert bersama seorang pelanggannya yang pada akhirnya menarik perhatianku.

"Pesan es teh satu," ujar pelanggannya.

"Dari sekian banyak pilihan?" sahut seseorang yang kuyakini teman dari pelanggan itu.

"Aku pusing terlalu berpikir," sahutnya. "Penampakan dari makhluk itu membuatku tidak bisa berpikir jernih. Oh, di sini tempat orang itu?"

"Ya, pria ini Pemburu Sihir-nya, si Thomson," ujar temannya. "Hei, kau buka pesanan?"

Hening saja.

"Kau mungkin cuma pembuat minum, tapi aku dengar kamu juga bisa diandalkan soal sihir," lanjutnya.

"Sihir jenis apa?" tanya Robert. Kudengar suara paduan antara gelas dan air menyatu di udara, tanda dia sedang menyiapkan pesanan.

"Ada seekor kerbau atau sejenisnya, dia sangat bau, cukup menganggu. Namun, jika terlalu dekat atau berlama-lama menghirup bau itu, semua orang termasuk kamu dan anak itu, akan mati keracunan." Dia yang tadinya mengaku tidak mampu berpikir jernih kini bisa lancar bercerita. "Dia sangat lamban dan begitu berat. Kuharap kau bisa memberikan sedikit racun untuknya agar dia mati, atau kamu hadapi dia untuk kami."

Mendengar kata "kerbau" membuatku termenung. Sangat jarang kudengar seekor kerbau dapat menjadi suatu perkara dalam daerah, terlebih karena binatang itu dikatakan beracun. Sementara mataku masih menyusuri daftar menu, mencari minuman yang cocok bagiku.

Beberapa saat setelah mereka minum, Robert bicara pada mereka. Sementara aku yang sudah memutuskan minuman apa yang kuinginkan, harus duduk dan bersabar menunggunya.

"Biar kulihat binatang itu," kata Robert.

"Sudah kuduga," sahut pria itu. "Ini alamat kami, kuharap kau datang secepatnya."

Robert hanya mengiakan lalu membaca kertas yang diberikan. Matanya menyusuri kata demi kata, mencoba memahami. Perhatiannya pun kembali jatuh kepadaku.

"Sudah ada keputusan?" tanyanya, sepertinya perihal minumanku tadi.

Aku pun menjawab dengan mantap. "Jus apel."

***

Pada tengah hari, ketika para pelanggan mulai pulang untuk istirahat atau melanjutkan pekerjaan, Robert pun membawaku pulang. Seperti sebelumnya, kami tidak bicara sepanjang jalan. Aku tentu tidak nyaman mendiamkannya terus, tapi tidak tahu topik yang tepat untuknya. Jika kutanyakan soal kerbau itu, dia mungkin tidak akan menjawab karena bisa jadi dia belum tahu apa-apa tentangnya. Jika kutanyakan soal Shan, barangkali bisa dia jawab, tapi tidak menutup kemungkinan dia lebih memilih tutup mulut, entah kenapa itu yang kubayangkan. Baru hendak memutuskan, kami sudah tiba di rumahnya. Begitu masuk, aku duduk kembali di depan perapian yang masih menyalakan api, padahal di luar tidak begitu dingin.

"Siang ini aku akan pergi." Robert tampak memasang sebuah sarung tangan. "Kamu jangan nakal di rumah."

Aku tidak berani menyahut selain hanya mengiakan.

"Jangan buka pintu untuk orang yang tidak dikenal," pesannya sambil melangkah ke pintu. "Kalau misal ada yang ingin bicara padaku, suruh mereka menitip pesan saja dan jangan dibiarkan masuk."

"Aku mendengar dan patuh," jawabku.

Robert pergi sebentar ke arah lorong paling kanan dan kembali membawa baki berisi makanan. Kali ini dia meramu minuman dengan bau seperti permen karet dengan warna kemerahan. Sementara makanannya hanya berupa telur mata sapi.

"Ini bekalmu, aku hanya akan pergi sebentar, jika lapar ada beberapa makanan di dapur yang sudah masak," pesannya. Dia kembali menatapku. "Ada pertanyaan?"

Aku sebenarnya bingung harus menjawab, eh, bertanya apa. Jadi kukatakan kalimat ini seadanya. "Hewan apa yang diburu kali ini? Apa hanya seekor kerbau?"

"Jika ada yang melapor, itu bukan kerbau biasa," jawabnya. Saat mengucapkannya, Robert membawa sebuah tas yang tampak seperti sebuah koper, entah apa isinya. Sementara pakaiannya sama saja seperti tadi, kecuali bagian dia memasang sarung tangan tipis berwarna putih.

"Kerbau macam apa itu?" tanyaku, penasaran akan makhluk yang dibahas dari tadi.

"Kunci pintunya." Robert melangkah ke pintu. "Nanti akan kuceritakan semua. Jaga diri." Dia langsung menutup pintu. Membiarkanku berdiri diam dalam kebingungan.

Aku bangkit dan melangkah untuk mengunci pintu. Begitu usai, aku kembali duduk dan merenung. Robert itu pria yang tidak beda jauh dibandingkan para Guardian lainnya. Bicara seadanya, bahkan mungkin lebih memilih diam, tinggi badan seperti rata-rata pria di tempat ini, sementara aura yang dia pancarkan begitu misterius. Entah seperti apa dia sebenarnya, tapi aku yakin kalungku tidak akan salah memilih.

Kalungku telah redup, tanda dia sudah jauh. Sekarang aku bisa menjelajahi rumahnya. Toh, dia bilang jaga rumah yang artinya aku harus periksa setiap ruangan. Aku menegak dulu air yang dia racik, rasanya begitu manis persis seperti permen karet. Entah bagaimana cara dia membuatnya, sepertinya dia memang sering meracik minuman.

Rumah Robert memang terbuat dari beton tanda dia sudah mapan. Rumahnya sedikit menginggatkanku akan rumah Nemesis, tampak kuno dan modern di saat yang sama. Yah, memang saat ini memiliki rumah yang terbuat dari beton itu hanya bagi orang yang memiliki harta berlebih, seperti keluarga Gill. Namun, bisa jadi juga ini warisan turun-menurun hingga sampai ke Robert. Seperti rumah Nemesis, rumah ini tidak memiliki lukisan sekali pun, seakan enggan menunjukkan sejarah penghuninya. Sedikit mengecewakan memang, tapi membuatku mengira bisa jadi rumah ini bukan warisan, tapi memang dibeli dari seseorang.

Sambil berjalan, aku mengamati kumpulan benda yang dia simpan, sepertinya sengaja diletakkan di tempat yang terbuka tanda itu bukan rahasia lagi. Sebuah cawan berisi cairan merah darah. Di sisinya ada juga jarum suntik bersama lembaran kertas yang tidak jelas tulisannya. Aku merinding ketika melihat bercak darah menempel pada sehelai kain di dekat kertas. Darah siapa itu?

Mata cokelatku menangkap sebuah bayangan sehelai kain yang digantung pada lemari yang terbuka pada kamar dengan pintu terbuka pula, seakan memang sengaja dibuat agar aku melihatnya. Baju putih polos dengan nama di dalamnya, di bawah nama itu tertulis tempat yang kukenal.

Panti Graves.

Okeh, untung aku gak lupa lagi wkwkwk untuk dapat ini sudah kutawarkan beberapa biji misteri yang nanti bakal duar gitu ke depannya.

Kayaknya aku bakal rilis ilustrasi kecil Robert sama Remi nanti, ntar kalian bakal lihat betapa miripnya kedua makhluk itu wkwkwk

Tapi aku rilisnya di Instagram aku, @kiprangnovel aja nama akunnya, ya.

Abaikan jumlah postingan yang lebih banyak dari followers wkwkwk

Sampai jumpa nanti!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top