✴️ 2 : Rumah Baru - 3 ✴️
"Pangeran, makanlah." Setelah beberapa saat, dia akhirnya bicara dengan lebih bernada. Logatnya memang membuat setiap ucapan yang dia lontarkan terdengar sedikit kaku dan aneh, tapi aku maklumi karena dia mungkin kesulitan merangkai kalimat yang bisa kupahami.
Aku mengambil sepotong roti dan mengunyahnya, rasanya manis. Sementara mataku melirik ke arah dia yang duduk diam menghadapku. Tanpa mengalihkan pandangan, terus saja fokus kepadaku. Mungkin dia berniat menjagaku, walau terlihat canggung.
Aku pun melanjutkan makan lantaran sudah lapar. Pada akhirnya aku bisa menikmati santapanku tanpa ragu. Selama beberapa hari ini aku hanya makan daging yang tidak jelas asal-usulnya. Begitu selesai menghabiskan roti itu, kuteguk teh yang dia jamukan. Meski tidak semanis yang kukira, tetap dihabiskan.
Seusai itu, aku menatapnya sambil tersenyum. "Terima kasih."
"Sama-sama," jawabnya kaku.
Tidak mau suasana jadi canggung, aku bertanya. "Aku dari Ezilis Utara. Kalau Robert dari mana?"
Dia memandangi jendela kecil yang ditutupi gorden. "Untuk saat ini kita di Danbia." Jawaban yang terkesan aneh. Aku bertanya asalnya malah dia jawab lokasi saat ini. Ah, mungkin dia tidak ingin membicarakannya, tapi kenapa?
Aku kemudian bertanya lagi, perihal caranya bicara. "Apa bahasanya sama dengan bahasa di Ezilis?" tanyaku.
"Tidak banyak, ada sedikit perbedaan," jawabnya. "Aku sedang bicara dalam bahasa itu."
Pantas saja cara dia bicara dengan nada sedikit aneh. Tapi, aku terkesan akan kemiripan bahasa itu sampai bisa memahami tanpa perlu belajar banyak tentangnya. Namun, itu justru menambah pertanyaan lagi. Apa selama ini setiap dari kami bicara dalam satu bahasa walau dari negeri yang berbeda? Sepertinya. Namun, Bibi dan semua anak panti dapat berkomunikasi denganku tanpa mempermasalahkan perbedaan logat. Ataukah Robert ...
"Kau belajar bahasanya dari mana?" Aku goyangkan kaki sebagai tanda tertarik. "Logatmu terdengar berbeda dari warga sini."
Robert menyipitkan mata, seakan berpikir jika pertanyaanku terkesan begitu aneh. "Aku belajar bahasa ini."
Aku tersenyum. Dia masih sedikit pemalu. Ini kesempatan bagiku untuk menanyakan kegiatannya tadi. Siapa tahu dia bisa lebih terbuka soal itu. "Apa cairan dalam botol itu?" Aku tunjuk peti itu.
Robert akhirnya menatap arah lain, tepatnya ke benda yang kutunjuk. "Itu obat. Jangan asal sentuh."
Aku mengiakan tanda patuh. "Kamu seorang dokter?"
Robert terdiam seakan berpikir sejenak lalu menjawab, meski dengan nada canggung. "Seperti itu."
Aku belum pernah diperiksa dokter secara langsung. Namun, aku langsung teringat dengan Arsene.
"Apa ada obat untuk penyakit?" tanyaku.
"Penyakit apa?" tanya Robert.
Aku memutar otak. Arsene tidak pernah memberitahu nama penyakitnya selain menyebut itu kutukan, tapi aku bisa menjawab secara gamblang, yakni gejala yang Arsene alami selama ini. "Sering ... muntah darah."
Kulihat mata cokelatnya membulat, hampir seperti menatapku dengan tajam. "Apa?" Kali ini suaranya sedikit bergetar seakan cemas.
"Arsene, dia Papa-ku. Dia sakit seperti itu," jawabku. "Mungkin kamu bisa membantu. Oh, dia Guardian juga."
Sorot matanya tampak kembali seperti semula, tatapan tanpa ekspresi. "Oh, itu."
"Kamu punya obatnya?" tanyaku antusias.
"Aku mengenalnya." Jawaban darinya lagi-lagi sedikit berbeda dari yang aku harapkan di. Dia berdiri lalu mengangkatku. "Sudah. Ini sudah larut. Sebaiknya kamu tidur."
Aku sedikit kecewa mendengarnya. "Tapi, aku ingin tahu."
"Pangeran, tidak usah pikirkan itu," ujarnya sambil menggendongku.
"Panggil aku 'Remi' dan aku ingin tahu!" seruku.
"Pangeran, waktunya tidur." Tegurannya langsung membuatku bungkam.
Kami melewati lorong paling kiri sekarang. Dia terus menggendongku, sementara aku memandangi rumahnya yang begitu sederhana. Tidak banyak keistimewaan selain koleksi cairan berwarna itu. Namun, dia belum memberitahuku banyak hal akan itu. Barangkali besok.
Robert berhenti di depan pintu sebuah kamar. "Ini kamarmu."
Kamarku terdiri dari sebuah kasur dan meja belajar. Satu hal yang menarik di kamar ini adalah tumpukkan surat di meja. Ketika dia menurunkanku, aku berjalan ke kasur dan merapikannya sebelum berbaring. Sementara dia menyusun kembali tumpukkan surat itu.
"Surat dari siapa?" tanyaku.
"Dari sesama Guardian," jawabnya. "Kami saling memberi kabar. Dari situ aku tahu kamu ada di sini."
Aku mengiakan tanda paham. "Lalu, apa kalian menemukan Kakak?"
"Dia masih dalam perjalanan menuju sini." Robert melangkah keluar dari kamar. "Aku akan mematikan lampu. Selamat malam."
Tidak perlu menunggu balasan, dia tutup pintu kamarku. Menyisakan aku yang terdiam di kasur dalam keadaan bingung di kegelapan. Meski diliputi banyak pertanyaan, aku menyakinkan diri jika besok bisa bertanya kembali. Aku pun berbaring dan tidur.
***
Mataku terbuka. Begitu sinar matahari menyeruak masuk, aku tersentak. Rupanya kesiangan. Bergegas aku bangkit dan membuka pintu. Berlari melintasi lorong yang baru kulihat kemarin. Entah kenapa ini respons dari panik akibat bangun kesiangan.
Terdengar seseorang berdehem.
Aku refleks berhenti, terpaku menatap sosok yang berdiri di belakangku.
Matanya yang cokelat menatapku lurus, seakan sedang mengejekku melalui tatapan itu. Sementara wajahnya terlihat keras, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata. Ada apa dengannya? Aku tidak tahu. Apa dia kesal? Sepertinya tidak, tapi juga begitu di saat yang sama.
Karena canggung, aku mencoba mencairkan suasana. "Selamat pagi."
"Apanya pagi? Sudah siang," balasnya dengan sedikit sinis. "Beginilah jika kamu begadang malam itu."
"Tapi, Robert juga," sahutku terbata.
"Seorang Pangeran harusnya bangun lebih awal," tegurnya.
Aku terdiam. Memang benar aku adalah penerus takhta Kerajaan Shan, tapi semua ini terjadi begitu cepat. Aku bahkan belum mempelajari dasarnya. Setelah beberapa saat hening, dia masih juga berdiri di depanku. Karena tidak ingin suasana kembali canggung, kuputuskan untuk membicarakan perihal mimpi aneh yang kualami malam-malam yang lalu.
"Malam-malam yang lalu, aku mendengar percakapan kalian, para Guardian," jawabku. Aku yakin Robert akan mengalihkan pembicaraan atau bilang jika aku hanya bermimpi.
"Ya, malam itu ada pertemuan singkat para Guardian." Dia justru membenarkan ucapanku. "Hanya pesan singkat. Sudah lama dihafal."
Aku sudah menebaknya, melindungiku dan Kakak dari segala ancaman. Namun, aku juga ingin membahas hal lain.
Namun, belum sempat aku bicara, Robert berpaling dan berjalan kembali ke ruang tempat kami bicara malam kemarin. Perapian yang sama dengan sepasang meja dan kursi.
Aku duduk sementara Robert kembali menyusun gelas berwarna itu dalam urutan sesuai warna, kemudian dia letakkan ke dalam kotak sesuai susunan tadi. Ini cairan yang berbeda dari malam tadi, entah apa jenis cairan itu. Selesai dengan aktivitas tadi, dia mengangkat kotak itu dan berjalan ke dekat pintu tanpa kesusahan.
"Pangeran–Remi." Dia mencoba memanggilku sesuai kehendakku. "Ikut aku."
Aku langsung bangkit dan berjalan menyusulnya. Atas perintahnya, aku kuncikan pintu dan pagar. Langsung tahu aku jika kami akan pergi meninggalkan rumah ini entah ke mana.
Namun, aku ingat satu hal. "Bagaimana dengan perapian?" tanyaku. "Takutnya kebakaran."
Robert menjawab. "Api tadi hanya menetap di wadahnya."
Aku terkesima. Baru tahu ada jenis api seperti itu. Setelah beberapa saat hening sambil menyusuri jalan, akhirnya kami tiba di sebuah desa.
Aku kembali bertanya kepada Robert. "Ke mana kita?"
"Ke kedai tempatku bekerja."
Buset dah, lupa update padahal di draft masih banyak ini wkwkwk
Kalian aku ngerasa perlu ingetin aku, ya gas aja ingetin, soalnya aku meski sibuk gimana pun enggak mau juga dong meninggalkan tanggung jawab kayak gini, asal diingatkan tapinya wkwkwk
Yaudah deh, untuk saat ini, aku minta tolong pada kalian untuk terus vote dan komen ceritaku. Meski gak banyak, tapi seengaknya mengingatkanku kalau aku ini seorang author, bukan makhluk yang bergentayangan di bumi.
Sekian, terima gaji.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top