✴️ 2 : Rumah Baru - 2 ✴️

Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dariku. Namun, tidak ada lanjutan dari ucapannya tadi. Kukira dia akan bertanya dari mana aku mengenalnya. Namun, mengingat beberapa ucapan dari Bibi membuatku yakin kalau pria ini sudah mengenalku lebih awal.

Aku kembali bicara. "Bibi memberitahuku, katanya kalian berteman."

"Teman katanya?" Pria itu mengerutkan kening, suaranya terdengar tersinggung. "Begitu katanya?"

Aku jelas heran. "Bukannya kalian sudah lama berteman?"

Pria itu diam untuk beberapa saat. Dia tampak berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab.

Tidak mau suasana menjadi semakin canggung, aku bertanya. "Aku ... Aku Remi."

"Itu namamu sekarang?" Balasannya membuatku bingung. Namun, aku langsung ingat jika dulu namaku pasti berbeda saat masih menjadi pangeran di Shan.

Aku mengiakan. Kuulangi pertanyaan pertama. "Namamu? Maksudku, nama panggilan?" Rasanya canggung jika aku panggil Guardian-ku dengan nama marga. Walaupun sesama Guardian melakukannya.

Pria itu menjawab, tanpa sekalipun mengalihkan pandangan dariku maupun bergerak sedikit. "Robert." Antara dia juga canggung atau memang itu kepribadiannya.

Aku jadi ingat ucapan sang Raja–maksudku, Ayah–dalam mimpi tadi. "Dia memang pemalu." Barangkali aku harus terkesan lebih ramah padanya.

Campuran aroma anyir dan wangi membuatku tidak nyaman. Meski suasana tampak hening seakan menunjukkan jika situasi mulai aman, bukan berarti kami bisa berlama-lama di sini.

"Oh, salam kenal." Mataku beralih ke bawah, tepatnya ke rerumputan yang telah kuinjak. Pandanganku tertuju pada satu titik yang tampak janggal. Selain bekas tanah basah mengotori pakaian kami, kulihat sejumlah cairan aneh mengelilinginya. "Apa ini?"

"Jangan dipikirkan," ujarnya datar, yang mana membuatku kian cemas.

Pikiranku kembali kepada kepanikan di panti. "Robert, katakan padaku ..." Aku tentu menolak lupa akan kejadian itu dan menarik napas guna mengumpulkan keberanian. "Di mana panti?"

"Panti?" Belum sempat kujawab, Robert potong ucapanku. "Panti Graves sudah rata dengan tanah. Kau satu-satunya yang kuselamatkan."

Pikiranku tidak mampu mencerna kalimatnya. "Rata dengan tanah?"

Robert berdiri lalu menggendongku. "Aku datang menjemputmu." Dia pun memacu langkah seakan sedang dikejar sesuatu.

Malam itu, dia membawaku pergi semakin dalam ke hutan. Bersama boneka kelinci yang masih di dekapanku, kami semakin memasuki kegelapan hutan yang mulai menutupi sinar rembulan.

***

Dalam keheningan, Robert terus menggendongku hingga tiba di sebuah rumah yang terdiri dari dua tingkat. Dari kejauhan, tampak seperti rumah biasa selain kawat berduri mengelilingi pagar yang membentengi rumah. Dia membuka gembok pagar dengan kunci lalu masuk ke halaman depan yang hanya terdiri dari tanah, dia masuk dan mengunci kembali pagar. Sementara aku masih dalam gendongannya.

Robert membukakan pintu rumah dan pada akhirnya aku diturunkan. Dia kembali mengunci pintu dan menyalakan penerang ruangan. Melihat tingkahnya, kutebak dia selalu waspada dengan keadaan sekitar mengingat daerah sini tampak begitu gelap meski masih siang, aku ingat pengalaman selama di panti dan aku yakin dunia luar pun tidak jauh berbeda dari bayanganku.

Dalam rumah yang dibangun dari beton ini, kulihat area dalamnya tampak tersusun rapi layaknya rumah pada umumnya. Di ruang depan ini terlihat kursi dan meja khusus tamu serta tiga buah lorong. Robert membawaku masuk ke lorong paling kanan hingga tibalah aku di ruang baru yang terlihat janggal.

Aku menatapnya sambil menunjukkan boneka kelinci yang baru kukenal. "Terima kasih atas bonekanya."

Robert menatapku tanpa ada ekspresi dari wajahnya. "Itu dari Perrier untukmu, aku tidak mengerti kenapa dia memberimu boneka alih-alih benda yang lebih berguna."

Ucapannya yang terkesan cukup pedas membuat suasana kembali canggung. Aku kembali mendekap boneka kelinci ini, mencari rasa tenang dalam suasana tidak nyaman ini. Namun, hatiku kembali terasa hangat saat saat mendengar dari mana asal boneka ini.

Perrier, begitulah para Guardian memanggil Arsene dari marganya. Dia memberiku boneka ini dan dititipkan pada Robert. Meski tidak tahu pasti apa fungsi boneka bagiku, hati ini terasa hangat menerima hadiah darinya, membuat aku merasa dekat padanya meski sedang terpisah dengan jarak saat ini.

"Kau terlalu lama berdiri." Robert kembali bersuara. "Duduk saja di sana." Meski suaranya terdengar sedikit ketus dan mungkin sebagian orang akan tersinggung mendengarnya, aku merasa kalau diriku mungkin hanya belum mengenalnya dengan baik. Lagi pula, kami baru saja bertemu beberapa saat.

Aku disuruh duduk dekat perapian lengkap dengan dua meja dan kursi yang saling berhadapan. Ketika duduk, kulihat Robert masuk ke bagian lorong lagi, tampak pergi mencari sesuatu.

Dia kembali membawakan selembar handuk dan pakaian tidur. "Nah, bersihkan dirimu." Tanpa menunggu balasan, langsung saja dia bawa aku ke bagian dalam rumah, tepatnya di kamar mandi. "Bonekamu kotor, akan kubersihkan."

Aku serahkan boneka kelinci yang sedikit kotor akibat bajuku barusan. Langsung saja dia berpaling, memberiku waktu untuk membersihkan diri.

Aku kagum melihat dia telah menyediakan piama yang ukurannya cocok denganku. "Terima kasih," ucapku sebelum pergi membersihkan diri.

Selesai dari kegiatanku, aku segera kembali duduk di ruang tengah tadi. Menunggu kedatangannya. Tidak perlu waktu lama, kulihat Robert kembali dan sudah berganti pakaian.

Aku menyapanya, berniat bersikap ramah.

Meski tidak membalas dengan kata-kata, kulihat Robert melirikku dan tersenyum sejenak sebelum mengalihkan pandangan.

Robert menghampiri meja dipenuhi botol dengan beragam warna cairan di dalamnya. Semua tampak berkilau di bawah cahaya lampu temaram dalam ruangan. Menciptakan suasana adem sekaligus misterius di saat yang sama. Aku hanya diam sambil memandang. Entah apa yang dia lakukan, sepertinya menarik.

"Apa itu?" Aku akhirnya berani bertanya.

"Cairan." Robert menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari botol-botol itu. Jawabannya jelas tidak memuaskan, aku tentu saja tahu kalau itu cairan. Namun, cairan jenis apa? Air, bukan? Belum pernah kulihat air seperti itu, baik untuk diminum maupun sekadar untuk mencuci muka.

Robert menyusun beberapa jenis air berwarna dalam botol kaca yang terpisah. Warnanya begitu indah dan terlihat seperti lampu-lampu pada malam suatu perayaan. Ketika dia susun sejumlah cairan berwarna itu dalam sebuah peti, kulihat beberapa nama yang tidak kupahami. Namun, kutebak itu adalah nama kelompok cairan tadi. Meski tulisannya terlihat tampak tidak bisa terbaca, aku yakin hanya beberapa orang yang bisa membaca tulisan tangan yang kuduga berasal dari Robert itu.

Begitu saja terus. Hanya menunggu Robert menyusuni cairan berwarna itu selama beberapa menit dalam keheningan. Dia tampak begitu fokus dengan pekerjaannya hingga tidak tampak memperhatikan aku yang sedang duduk mengamati, menoleh saja bahkan tidak pernah kecuali mungkin kalau aku bicara padanya. Entah kenapa, aku merasa bicara sekarang terasa tidak etis. Menjawab pertanyaanku tadi saja dia terkesan enggan. Barangkali Robert tergolong pria yang sibuk, entah apa kegiatannya.

Aku kembali merindukan boneka kelinci tadi, berharap dia duduk di sisiku. Mungkin inilah alasan Arsene memutuskan untuk memberi boneka itu, dia mungkin mengira aku akan terjebak dalam keheningan kalau bersama Robert.

Robert lagi-lagi pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Entah kenapa, hampir setiap Guardian yang kukenal seperti itu. Seakan mereka menyembunyikan sesuatu dariku. Meski aku yakin mereka akan berdalih kalau aku tidak akan memahaminya lantaran masih kecil. Padahal, meski berusia sepuluh tahun, aku tentu akan berusaha memahami. Namun, kini aku memilih diam sambil memandangi perapian.

Sekelilingku hanya ada itu. Sepasang meja dan kursi beserta sebuah meja lebar yang isinya botol-botol tadi yang kini sudah disusun rapi dalam sebuah peti. Ingin rasanya menengok sebentar benda-benda itu, tapi saat kudengar langkah kakinya, aku langsung mengurungkan niat.

Robert kembali membawa nampan berisi dua gelas dan beberapa potong roti kecil, sepertinya enak. Ketika dia letakkan di meja, aku terus memandanginya.

"Pangeran, makanlah."

Wah, wah, bab yang santai lagi. Anu, memang kalau aku pengennya santai aja bila Remi yang menarasikan, cuma yah keadaannya jelas gak bakal beda sama Kyara. Waduduh, tapi gapapa, kucoba sedikit santuy dalam menggarap season ini supaya gak kagetan sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top