✴️ 1 : Panti - 6 ✴️

Pandanganku yang buram perlahan memperlihatkan suasana di sekitar, tercium bau anyir menyengat membuat seisi perut terasa ingin keluar. Namun, aku tetap mencoba bangkit, menjauh dari apa pun yang mungkin masih menghadangku.

Begitu pandangan semakin jelas, semua anak panti telah terbaring di depanku, tenggelam dalam lautan darah. Tiada satu pun bergerak, bahkan saat aku mencoba menepuk pelan tangan salah satu dari mereka, berharap paling tidak ada satu di antaranya yang menyahut. Namun, hanya keheningan menyambut, menyisakan aku terpaku di tengah anak-anak panti.

Mata mereka terbuka, menatapku dengan pandangan kosong seakan menyampaikan kata yang hanya bisa dipahami hati. Kulihat rasa takut menyelimuti jasad mereka sebelum jiwanya direnggut. Pandangan mata yang dipenuhi semangat hidup kini menyisakan ketakutan yang membekas, membuatku bergidik membayangkan apa gerangan yang dilihatnya sebelum maut menjemput. Anak-anak yang dulunya berharap akan tumbuh besar dengan aman di panti kini–

Terdengar suara langkah kaki.

Jantungku berdegup kencang, kucoba mengamati sekitar, takut kalau pelakunya masih mencari mangsa. Jika aku tidak segera minggat dari sini, siapa pun pelakunya, akan menerkamku. Meski suasana hening kembali menyelimuti panti, aku merasa "dia" masih menunggu begitu sadar jika langkahnya terdengar.

"Levi! Harusnya kamu disantap–"

Kalimat dari Bibi masih tergiang dalam benakku. Entah mengapa dia mengucapkannya, sementara selama ini aku diperlakukan layaknya anak panti lain. Jika aku memang akan dijadikan santapan, bukankah dia harusnya sudah menyajikan dagingku pada anak-anak lain sejak awal aku menginjakkan kaki di sini?

Atau itu semua karena pelindungku masih di panti?

Dia selama ini berusaha menjemputku, tapi Bibi menahannya dengan alasan tugas belum tuntas. Namun, tugas apa gerangan yang dibebankan padanya? Apa semua ini dia lakukan sejak lama atau hanya saat ingin menjemputku beberapa waktu terakhir?

Pandanganku menyusuri ruang makan yang kini dipenuhi tubuh anak-anak panti. Tidak kutemukan Bibi di antara mereka, padahal untuk orang dewasa harusnya dia tampak mencolok di antara tubuh yang tergeletak ini. Di mana Bibi?

Ingin aku bersuara mencari bantuan. Namun, di saat yang sama juga bungkam. Seseorang masih ada di panti ini, entah sebagai pelindung atau justru untuk mencelakaiku. Satu hal yang pasti, aku tidak ingin ambil risiko. Helaan napasku saja seakan terdengar keras, membuat aku kian takut kalau dia akan datang dan menerkamku.

Terdengar suara langkah kaki dari luar panti, kesannya seperti dia sedang menyusuri area luar panti, mungkin saja untuk memastikan semua anak telah tumbang. Aku segera berbaring, mencoba berbaur dengan anak-anak panti lain. Meski tubuh gemetar akibat rasa takut yang menguasai, kucoba untuk tetap tenang meski sesekali tangis kecil terdengar dari bibirku.

Suara langkah kaki itu perlahan mendekat, "dia" masuk ke dalam panti.

Aku menutup mata selagi ragaku menempel ke lantai kayu, mencoba terlihat tumbang seperti anak panti lain. Ingin sekali aku kabur menyelamatkan diri, tapi jika dia melihat atau mendengarku, tamat sudah.

Semakin dekat, semakin keras langkah kaki itu terdengar. Seakan dia mencari sesuatu dalam panti yang telah diselimuti keheningan. Aku yakin dia mulai tahu keberadaanku, refleks kutahan napas, berharap dia mengira diriku telah mengalami nasib yang sama dengan anak-anak lain.

Namun, perasaan hangat muncul di dada, tanda kalungku kembali memberi tanda. Dilema menyelimuti, antara ingin segera bangkit mencari pelindungku atau tetap diam di tempat, takut kalau "dia" berada sama dekatnya dengan pelindungku.

"Di mana dia?" Terdengar suara pria yang kukenal, dia orang yang katanya akan menjemputku.

"Kabur." Gadis itu bersuara, tidak kusangka itu suara gadis yang sama dengan yang nyaris menangkapku.

Pria itu menggerutu. Gadis itu tidak menyahut, seakan menunggu dia bicara lagi. "Dia pikir ada ampunan untuknya. Tidak ada ampunan bagi mereka yang mencelakai orang lain."

Gadis itu hanya diam. Kutebak dia pun tidak berani menyahut sepertiku. Suara pria itu terdengar keras, terkesan seperti sosok yang tidak boleh dibantah ucapannya, apa pun alasannya.

"Semua anak di sini sudah pasti mati," lanjut pria itu. "Bakar saja tempat ini."

Jantungku berdegup kencang, pikiranku yang kalut membuat aku kesulitan untuk membayangkan cara melarikan diri sebelum terbakar bersama anak-anak panti. Jika terlambat sedikit saja, aku akan senasib dengan mereka dan mungkin merasakan kengerian yang sama dengan anak-anak panti. Mengapa dia ingin membakar panti ini? Apa yang penghuni panti perbuat selama ini? Apa dia juga tahu kalau aku tidak sama dengan anak lain, mungkin dia hanya ingin memburu–

Sebelum ketakutan menguasaiku, aku merasa diangkat dengan lembut. Tubuhku ditempatkan pada bahunya sementara tangan dia melingkari punggungku, seakan memastikan aku tetap bersama dia. Terdengar detak jantungnya yang tenang, tidak sepertiku. Meski dilanda kebingungan dan rasa takut, pelukan tidak terduga itu membuatku sedikit tenang meski menyisakan bayangan akan bahaya yang mungkin akan menghampiriku sebentar lagi.

Seakan tahu jika aku selama ini berpura-pura tidur, dia mulai bicara. "Pangeran, tidak apa-apa." Suaranya terdengar lebih lembut kali ini, meski masih terkesan sedikit kaku. Kurasakan tangan pria itu mengelus rambutku. "Kau aman bersamaku."

Kalungku masih terasa hangat di dada, tanda masih bersinar. Jika dia selama ini pelindungku, tidak seharusnya aku merasa takut. Namun, teringat akan nasib anak-anak panti serta kabar Bibi yang belum juga jelas masih membuatku risau. Apa yang mungkin terjadi padanya dan bayangan buruk yang akan terjadi saat aku dibawa pergi dari panti ini.

Namun, belaian lembut dari pelindungku membuat aku sedikit tenang. Meski dia tidak bicara lagi, perasaan hangat kembali menyelimuti ragaku. Meski mata masih tertutup, aku tidak juga berniat untuk melihat keadaan sekitar. Bayangan tubuh anak-anak panti yang terkapar masih menghantui, tidak ingin kulihat lagi pemandangan itu.

"Pangeran." Dia berbisik. "Kamu mengantuk?"

Aku mengiakan, bau anyir yang mengelilingi sekitar ditambah pemandangan menakutkan tadi perlahan membuatku kian merosot menuju kegelapan. Namun, aku merasa bau asing yang menyertai di udara itu telah membuat kesadaranku kian memburam. Sama persis seperti beberapa waktu lalu.

Aku seketika ingat, suasana ini memang tidak asing lagi. Meski dibaluti serangkaian perbedaan, aku masih saja menemukan pola serupa walau hanya terjadi dua kali dalam beberapa hari saja. Tercium bau harum menyertai setiap bau busuk di antara kegelapan, perlahan tapi pasti, wangi itulah yang akan mengantarku menuju tidur yang dalam hingga aku tidak merasakan apa pun selain kedamaian sejati. Dalam waktu ini, pada dekapan pelindungku, aku kian tenang menyadari jika dia mungkin selama ini tidak ingin aku merasa takut atau resah setelah peristiwa tadi. Perlahan, mata terasa berat dan pikiranku hanya tertuju pada tidur nyenyak lagi damai.

Kurasakan belaian lembut di rambutku. "Tidurlah, Pangeran." Dia kembali berbisik. "Aku akan menjagamu."

Wah, wah, agak telat update nih, sori ya wkwkwk keknya di lapak ceritaku yang lain udah cerita kenapa ya. Singkatnya, bukan masalah besar, berhubung lagi libur semester jadi aku merasa jauh lebih santuy dari biasanya.

Namun, mengingat sebentar lagi aku harus keluar dari rumah dan bertualang guna mencapai kehidupan yang lebih baik, aku musti menjalani kewajibanku sebagai ... Entahlah, intinya ya gitu.

Terima kasih bagi yang sudah menunggu, jangan lupa untuk vote, kasih komentar, serta sejumlah dukungan lain untukku, biar aku semakin semangat garapin seri ini.

Sampai jumpa!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top