✴️ 1 : Panti - 3 ✴️
"Kamu belum pantas untuk membawanya."
Suara Bibi terdengar, meski dunia di sekitarku masih begitu gelap. Mataku terpejam, sementara badan terasa hangat karena diselimuti. Kutebak, mereka sebenarnya berdiri tidak jauh dari posisiku berbaring.
"Dia tanggungjawabku, aku yang melindunginya selama ini," balas seorang pria. Dia memiliki logat yang aneh, seakan berusaha menyesuaikan kalimat yang biasa diucapkan oleh Bibi. Sedikit mirip dengan suara Nemesis, meski di sisi lain juga terdengar sedikit keras seakan ingin lawan bicara tahu betapa seriusnya dia. Itulah suara yang kudengar beberapa saat sebelum kegelapan menyambut pandanganku.
"Kamu mungkin sudah membuktikannya, tapi aku rasa kamu masih belum pantas," sahut Bibi. "Datanglah kemari setelah aku yakin."
"Mau sampai kapan kau tahan dia dariku?" balas si pria, sedikit lebih keras dari sebelumnya, dapat kurasakan gejolak amarah darinya. "Aku sudah membantumu, aku menjamin keselamatan anak-anak di sini, terutama Levi. Kau masih bilang itu tidak pantas?!"
"Sudahlah, Alexei, kamu masih perlu banyak tugas yang harus dituntaskan sebelum mengadopsi Levi." Dari nadanya, kutebak Bibi seakan mengejek pria itu.
Aku tidak paham konsep adopsi, kukira Bibi sudah menerima pria itu sebagai ayah angkatku. Namun, sepertinya ada syarat lain agar dia bisa menjemputku, entah apa. Padahal kuduga dia sudah menyelamatkanku dari serangan tadi, tidak lupa juga dari pantulan cahaya kalungku yang hangat menyertai, tanda dia jelas pelindungku selama ini. Apa lagi alasan bagi Bibi untuk menahanku darinya?
Pria itu diam sesaat, sebelum membalas kembali. "Kalau kau masih saja ingkar, aku tidak akan mengampunimu."
"Aku pasti memenuhi janjiku," sahut Bibi, terdengar penuh keyakinan.
Aku membuka mata, pandanganku masih buram. Dari jendela, terlihat langit malam, mungkin bagi anak di panti itu masih siang. Berapa lama aku tidur? Barangkali seperti jam tidur pada umumnya di mana malam berganti pagi. Namun, aku masih ragu mengingat kejadian yang menimpa kami beberapa waktu yang lalu.
"Kalau sampai janji terakhir ini belum juga dipenuhi, kau tahu akibatnya!" ancam pria itu, suaranya sukses membuat tubuhku bergetar. Belum pernah aku merasa dibentak oleh sosok yang bahkan belum pernah kujumpai secara langsung.
Namun, Bibi tidak menyahut setelahnya, bahkan ketika suara langkah kaki terdengar menuju pintu luar. Saat cahaya kalungku memudar, tanda pelindungku telah menjauh. Bibi tetap saja diam seakan tidak ingin meninggalkan posisinya saat ini karena tidak terdengar suara langkah kaki kedua selain dari pelindungku.
Pintu kamarku dibuka.
"Ah, Levi," sapa Bibi. "Kamu baik-baik saja?"
Aku mengiakan, perasaan malu seketika muncul dari lubuk hatiku. "Maaf, Bibi. Aku tidak sengaja mendengar percakapan tadi. Apa itu ayahku?"
Memang tidak salah, dalam cerita yang Bibi sampaikan, sosok yang ingin mengadopsiku sejak awal memang mengaku akan mengadopsiku. Namun, Bibi seakan menahannya karena ada "tugas" yang belum dia selesaikan. Meski dari suaranya yang keras barusan membuatku gentar, aku yakin dia mungkin sosok baik yang ingin sekali menjumpai putranya. Apalagi saat kalungku bersinar tanda dia memang sosok yang pantas untuk bersamaku.
Tatapan mata Bibi seakan meliar, dia melirik ke sana ke mari entah apa yang dicari. Ketika matanya kembali ke arahku, dia akhirnya menjawab meski terkesan sedikit aneh dan terburu-buru. "Dia masih sibuk, Levi. Belum bisa menjagamu saat ini."
Aku hanya bisa mengiakan. Barangkali memang sesibuk itu ayahku ini. Aku tidak pernah diberitahu pekerjaannya selain sebagai pembuat minum, barangkali kerja di tempat makan memang sesibuk itu.
Bibi langsung mengubah topik. "Syukurlah kamu selamat." Dia tersenyum sambil mengelus rambut cokelatku.
Aku seketika teringat dengannya. "Bagaimana dengan Louis?"
Pancaran cahaya dari matanya seakan meredup, pandangannya mulai menunduk. "Dia tewas."
Jantungku terasa berhenti berpompa. Tubuh terasa kaku, bahkan bibir ini tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Napasku terasa berat sementara pandanganku terus tertuju kepada Bibi yang matanya mulai berkaca. Dia pun sama diamnya seperti aku. Keheningan ini terasa menyiksa.
Louis, meski aku baru saja mengenalnya selama beberapa hari ini, entah kenapa mendengar kabar buruk tentangnya membuatku merasa telah jatuh ke jurang yang begitu dalam. Tidak pernah kubayangkan sosok yang kukenal tiba-tiba saja meninggal, bahkan tanpa pertanda apa pun. Kami baru saja saling kenal dan bermain.
Aku ingat, waktu itu masih belum memahami cara menghadapi kepergian seseorang, terlebih tentang kematian. Aku hanya diam, membiarkan waktu berlalu begitu lamban, membiarkanku terhanyut dalam kesunyian dan kebingungan. Meski tanpa air mata, hatiku terasa pedih mendengar kabar pilu tentang seseorang yang mengisi hidupku walau sesaat.
Kulihat Bibi mengusap air matanya, dia lalu menarik napas. "Levi istirahat dulu, ya." Dia kemudian berpaling dan keluar dari kamarku. Dapat kudengar isak tangisnya yang terdengar begitu pelan di luar sana.
Aku mengerti perasaan Bibi, Louis bercerita jika dia dibesarkan sejak sangat kecil di panti ini seperti kebanyakan anak lainnya. Kehilangan yang dirasakan Bibi tiada bedanya dengan ibu menghadapi kepergian anaknya, terlebih akibat serangan dari dunia luar sana.
Membayangkan keadaan panti yang mulai hening membuatku tidak nyaman, terlebih setelah melihat Bibi menangis. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain tetap berdiri di tengah kamar, mematung di tengah keheningan siang yang terasa hampa.
***
"Levi!" Seorang anak lelaki berlari menghampiriku. Dia memiliki rambut hitam dengan mata merah, serta kulit pucat seperti anak panti lain. "Syukurlah! Kukira kamu dimangsa Kesatria Rembulan!"
"Kesatria Rembulan?" beoku.
"Sepertinya Mama belum memberitahumu." Dia berkomentar lalu aku mengiakan sebelum dia melanjutkan. "Mereka suka memangsa bangsa kita, terutama anak-anak, mereka juga berkeliaran di mana saja. Makanya kami lebih betah di panti, takutnya ..." Dia menggantungkan kalimatnya.
Aku mengangguk, tanda paham, yakin yang dia maksud itu "takutnya senasib dengan Louis" yang pastinya sudah diketahui anak panti lain.
Anak itu menghela napas. "Setidaknya kita selamat."
"Iya, Dani," sahutku padanya. "Tapi, apa kamu tahu makhluk yang tadi menyerang kita?"
"Aku lihat dari kejauhan itu ... Monster mengerikan," ujar Dani. "Untungnya kamu diselamatkan oleh Paman."
"Oh, itu Paman?" tanggapku. Aku tahu jika Bibi pernah bilang kalau itu sosok yang ingin mengadopsiku. Dia juga yang pertama kali membawaku ke panti ini. Namun, aku tidak tahu jika dia dikenal baik oleh anak-anak panti. Seorang Guardian yang juga memiliki kenalan di sini, kupikir itu bisa membantuku lebih banyak.
"Ya, dia kadang ke sini untuk berkunjung," ujar Dani. "Kata kakak-kakak kita, beliau orang yang baik. Dia yang menemani mereka saat menjelajah dunia luar untuk pertama kalinya."
"Oh ya?" sahutku. "Kata Bibi, dia pria yang ingin mengadopsiku."
"Wah, untungnya!" Dani tersenyum. "Tapi, kalian memang sangat mirip. Awalnya kukira kau anaknya."
Aku terdiam. Berarti teori kalau dia ayahku itu cukup masuk akal. "Aku ... Tidak terlalu mengenal orangtuaku."
Sebenarnya tidak juga. Aku ingat tentang ibu kandungku, walau dia sangat jarang menempel dalam ingatanku. Dia hanya berkunjung padaku dalam beberapa hari saja saat aku tinggal di panti sebelumnya. Sementara ketika aku dibawa ke Aibarab, dia tidak begitu mendekatiku. Dalam ingatan samarku, kulihat ibuku memang pernah membicarakan sesuatu pada tamu misterius yang membuat kalungku bercahaya. Setelahnya, dia juga ikut denganku waktu dijemput Guardian lain. Lalu semua berlalu begitu cepat, ledakkan itu nyaris menghabisiku kalau saja tidak ada yang sempat menarikku.
Aku termenung. Waktu itu aku bahkan tidak sanggup berbuat apa-apa selain memandangi istana yang mulai runtuh. Sementara tubuhku ditarik pergi, membiarkan ibuku terkubur di sana. Apakah aku menangis waktu itu? Ya. Namun, tidak yakin apakah diriku menangis karena kehilangan sosok ibu, mungkin ketakutan akibat serangan tadi, atau justru keduanya. Namun, kini seakan dipaksa untuk melupakan dia. Seperti ingatanku menolak akan kehadirannya, entah mengapa.
Kalung ini seakan memberiku ketenangan di tengah kehampaan, tapi di saat yang sama, membuat ingatanku semakin terasa samar terutama kala mengenang ibuku. Padahal, aku ingin mengenalnya seperti anak-anak lain. Namun, sepertinya aku hanya akan mengandalkan para Guardian bersama Kakak.
"Aku juga tidak kenal orang tuaku," sahut Dani, terdengar bersimpati. "Makanya kita semua tinggal di panti ini. Kalau beruntung, kita bisa diadopsi oleh keluarga bahagia di luar sana. Betul, 'kan?"
Aku mengiakan dengan antusias. "Iya, mungkin suatu saat kita bisa hidup bersama keluarga lain di luar sana."
"Aku jadi penasaran," ujar Dani. "Ayahmu itu sepertinya akan menjemputmu dalam waktu itu."
"Kutebak begitu, tapi Bibi bilang dia harus menyelesaikan tugas-tugas dulu," balasku.
"Kudengar tugasnya memang berkaitan dengan Kesatria Rembulan tadi. Kurasa dia akan melawan mereka untuk melindungi kita semua."
"Tahu dari mana?" Aku tentu saja penasaran.
"Karena dia sudah sering menjadi kaki tangan Mama," ujar Dani. Ya, anak-anak panti memanggil Bibi dengan sebutan itu. "Bahkan aku yakin mereka berdua sebenarnya pasangan. Aku bahkan curiga jangan-jangan kamu anak mereka."
"Lho?" Kau jelas bingung. Ibuku saja bahkan tidak mirip sama sekali dengan Bibi. "Aku ingat ibu kandungku, dia bahkan lebih mirip denganku."
"Yah, setidaknya masih ada teori kalau Paman itu ayah kandungmu."
Ini mulai membuatku tidak nyaman. Bukan hanya karena terkesan memaksa, tapi juga tidak ada bukti nyata selain kesamaan ciri fisik. Padahal, jika orang berasal dari ras atau bangsa yang sama, kemungkinan besar mereka akan memilik ciri fisik yang sama. Namun, aku hanya diam saja saat itu karena tidak berani berdebat.
Dani mulai melangkah. "Ayo, kita ke kamar yang lain, sepertinya mereka mulai sembuh."
Hai hai! Makasih udah baca bab ini. Meski aku update gak berjadwal secara pasti, tapi aku pasti bakal lanjutin ni cerita seawikwok mungkin kalau gak anu di luar sana. Nah, berhubung sekarang aku lagi berada di suasana yang baru, kuharap itu bisa menaikin mood menulisku. Yah, walau sedikit.
Saat ini, aku lebih aktif rebahan, jadi kuharap itu bisa melancarkan ketikanku seperti saat aku ngetik season pertama, ehe. Oh ya, jangan lupa berteori seperti biasa karena misterinya akan tetap lanjot 🔥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top