✴️ 1 : Panti - 2 ✴️
"Levi, bangun!" Louis rupanya berdiri di sisi ranjangku sambil berusaha mengapai rambut cokelatku. "Ayo, waktunya makan!"
Dengan tarikan pelan di rambut, Louis berhasil menyeretku ke ruang makan. Anak-anak panti sudah mulai duduk dan menunggu makanannya. Aku ingin menambahkan aturan tidak tertulis dalam panti ini. Jadi, ketika hendak makan, kami seharusnya menunggu hingga seluruh anggota dalam panti ini berkumpul. Kecuali bagi yang tidak sanggup makan, tentunya. Jelas saat ini mereka menunggu kehadiranku.
"Halo, Levi!" Sapaan dari Bibi membuatku sedikit terkejut. Aku tidak melihatnya tadi. "Ayo, makan!"
Tanpa menunggu tanggapan dariku, Louis menyeretku ke dua kursi kosong yang pastinya disediakan untuk kami berdua. Tidak lama, Bibi lalu memimpin doa dan makan pun dimulai.
"Kamu lagi-lagi telat." Louis terkikik sambil menyantap daging itu dengan lahap.
Aku menunduk, mengamati daging yang disajikan setiap saat ini. Bukankah janggal jika kita harus makan jenis makanan yang sama setiap saat? Bukannya protes, rasa dagingnya memang lezat, tapi aku juga merindukan rasa dari makanan lain.
Aku melirik Bibi yang duduk di ujung sana, dia tampak menyantap makanan yang sama seperti kami, bahkan setiap saat. Aku kian penasaran daging apa ini. Tanpa sengaja, tatapan kami bertemu.
Bibi yang sudah mulai selesai makan lalu berdiri dan menghampiriku. "Ada apa, Levi?" Tangannya menyentuh bahuku dengan lembut.
Aku menunjuk makananku. "Daging apa ini?"
"Oh, itu daging lezat dengan resep rahasia untuk kalian tumbuh dengan sehat," jawab Bibi. "Namun, sepertinya Levi butuh makanan yang berbeda, ya."
Aku mengiakan dengan pelan. Daging ini terasa enak, tapi batinku seakan menyeru untuk berhenti menyantapnya.
"Nanti Levi bakal dapat makanan khusus, nanti Bibi buatkan, ya." Dia pun menjauh dan kembali duduk di kursinya tadi.
Aku melirik Louis, gadis itu tersenyum seakan bilang jika dia mengetahui sesuatu dariku. Ini membuatku kian tidak nyaman. Memangnya Bibi tahu jenis daging yang pantas bagiku? Lantas, selama ini daging apa yang kumakan?
***
"Ketemu!" Louis menepuk bahuku yang tengah bersembunyi di balik dahan pohon yang letaknya tak jauh dari panti.
Aku tersentak dan nyaris saja melatah. "Aduh! Kukira apa!"
"Jangan penakut begitu," ejek Louis. "Ayo, gantian. Kamu yang tutup mata sekarang!"
Aku menutup mataku lalu mulai menghitung hingga sepuluh. Benar, kami sedang bermain petak umpet di malam hari. Jelas ini permainan yang sulit, terlebih bagiku yang masih saja belum terbiasa melihat dalam kegelapan. Selama ini, aku memang lebih terbiasa beraktivitas ditemani dengan sinar meski sedikit. Saat pertama kali bermain bersama mereka, aku selalu mengandalkan indra pendengaran dan penciumanku.
"Sembilan, sepuluh! Siap atau tidak, aku datang!" seruku, mencoba terdengar bersemangat meski dilanda kecemasan akan dunia baru ini. Aku mengacu langkah, mencari Louis dan anak panti lainnya.
Jujur saja, mencari mereka di tengah kegelapan memang suatu tantangan. Namun, mereka memiliki suatu kelemahan. Louis dan anak lain di panti memiliki aroma khas di dalam tubuh mereka, itulah keanehan mencolok di sana. Sementara Bibi tidak memiliki aroma khas, hanya bau keringat habis beraktivitas. Aku yakin ini ciri yang dimiliki oleh sejumlah ras, entah apa.
Aku mencium bau khas itu, aroma ikan amis. Ya, bau yang aneh untuk makhluk seperti mereka. Bahkan setelah mereka mengaku habis mandi pun masih tercium jelas.
"Ah, kamu saja yang punya bau badan aneh," sahut Louis ketika aku menyampaikan keanehan itu. "Kami tidak pernah mencium bau aneh selama ini."
Mereka benar, karena tidak mungkin orang dalam rumah mencium bau khas itu kecuali orang luar. Namun, aku tidak tahu arti dari bau ini.
Penglihatanku perlahan terbiasa dalam gelap–meski masih saja samar–setelah beberapa kali bermain bersama mereka. Namun, aku lebih mengandalkan hidungku guna mencari anak panti yang bersembunyi. Semakin jauh, semakin menyengat bau aneh itu. Saat sudah yakin, aku tarik sesuatu dari balik semak-semak.
"Ketemu!" Aku berhasil menyeret salah satu anak panti.
Dia menatapku dengan senyuman jahil, dengan nada lucu mengatakan jika dirinya tertangkap. Dia pun menemaniku mencari anak lain. Tidak lama, kami berhasil mengumpulkan semua orang kecuali–
"Eh, Louis di mana?" Aku menyadari jika teman pertamaku di panti belum juga ditemukan.
"Coba kita cari," saran salah satu anak. Saat ini, kami berjumlah sekitar lima anak ditambah aku. Kami biasanya hanya berani bermain di area sekitar panti sehingga mencari Louis pun harusnya tidak akan sulit, kalau dia masih bersembunyi di sekitar sini.
Aku mulai mencari Louis, dari balik pohon hingga semak-semak. Namun, hasilnya nihil. Gadis itu belum juga ditemukan. Semakin jauh kami melangkah, belum juga ditemukan tanda keberadaan Louis. Ini membuatku cemas, kami tidak boleh keluar begitu jauh dari panti sementara teman kami belum juga jelas kabarnya.
"Ah, mungkin dia masuk ke panti terlebih dahulu." Aku membatin, berusaha untuk tetap tenang.
Aku berpaling, niat hendak kembali ke titik awal kami bermain.
Seseorang menarik bahuku. Dia membungkam mulutku, membuatku tidak mampu berteriak. Aku berjuang untuk memberontak, tapi badannya yang lebih besar berhasil mengekangku.
Dia mengendus leherku, tidak lama mulai berbisik. "Bukan, bukan kamu."
Buk!
Aku dihempaskan ke tanah. Mendongak, kulihat wujud seorang gadis berambut hitam yang sedang memegang pedang. Dia mungkin tidak setinggi Kakak. Untuk wajahnya, aku kurang bisa mengamati, karena posisi aku masih berada di dalam kegelapan malam.
"Wah, panti ini bisa menghilang sendiri," ujar gadis itu. Dia kembali menoleh padaku. "Hei, apa kau lihat panti?"
Kujawab dengan jujur sambil menunjuk ke depan. "Itu tadi di depan ada, harusnya."
"Kamu tersesat?" tanyanya. "Mau Kakak antar ke tempat aman?"
Baru hendak kutolak, terdengar suara geraman dari belakang gadis itu. Refleks, dia melompat dan nyaris dipenggal kalau saja terlambat.
Aku melindungi kepalaku, untungnya sesuatu itu melangkahiku, seakan aku tidak terlihat. Merasa diberi kesempatan, aku memacu langkah. Tidak akan kubiarkan apa pun itu mengejar. Tercium bau busuk begitu menyengat dibaluti dengan aroma tanah pada malam hari. Tanpa sengaja, aku terpeleset di tanah basah hingga wajah menabrak tanah.
Aku mendongak, jantungku berdegup kencang, berjuang menghirup udara dibaluti aroma busuk itu. Pandanganku beralih ke belakang. Tidak jauh di belakang, sosok asing itu berdiri. Dia memiliki cakar panjang, siap mencengkram mangsa. Mata merah menyala di bawah sinar rembulan, memantulkan bayanganku yang gemetar. Aku menyakini jika sosok yang kulihat ini adalah salah satu vampir. Mata itu seakan mengunciku agar tidak bergerak. Terakhir aku ingat ketika dia mulai berlari ke arahku.
Tubuhku terasa kaku. Namun, di saat tubuh ini mencoba bangkit dari tanah, aku kembali dapat bergerak dan segera merangkak menjauh. Jangan lewatkan kesempatan ini!
Makhluk itu mendesis. Baunya yang busuk membuatku mual. Cakarnya telah menggetarkan tanah ditambah dia yang mulai mengayunkan tangan, bersiap meraihku kembali.
Aku berusaha agar tidak tertangkap. Merangkak pelan selagi dia menyisir area sekitar. Depanku sudah tampak bangunan panti. Aku perlahan berdiri dan berniat membuka pintu dan memberitahu Bibi. Semoga dia tidak marah.
Terdengar suara geraman dari belakang. Tercium pula bau busuk yang sukses membuat isi perutmu berputar. Dari bayangan yang menutupi ragaku, aku tahu jika dia berdiri tepat di belakangku.
"Pangeran!"
Aku terhenyak. Suara pria yang sama dari mimpi tadi. Jaraknya kuperkirakan beberapa meter dari samping kiri. Kudengar juga langkah kaki yang semakin dekat dan cepat.
Belum sempat menoleh untuk melihat wajah sosok yang bicara tadi, dia malah melemparku ke belakangnya. Begitu kuat dan kencang hingga tubuhku merasa melayang.
Brak!
Badanku menabrak dahan pohon, aku terhempas ke tanah. Aku meringis, air mataku menetes menahan rasa sakit yang menjalar di area punggung.
Sementara sosok pria itu, tampak berdiri di depan dan berhadapan dengan makhluk yang ingin memangsaku. Dia tampak tegap dan siaga melawan makhluk yang setinggi tubuhnya. Aku merasakan kehangatan dari dada, tanda kalungku bersinar.
Vampir itu menatapnya dengan tajam, mata merah itu masih menyala di dalam kegelapan. Dia melesat ke arah pria itu.
Pria itu refleks menyirami sesuatu pada wajah sang vampir. Membuat lawannya mundur dan mulai memporak-porandakan area sekitar, bahkan ketika cakarnya menancap ke pohon, langsung mengekangnya hingga dia terjebak. Bau semerbak dari cairan tadi telah menutupi bau busuk si vampir kala tubuhnya perlahan mencair dan menyatu dengan tanah. Baunya begitu kontras–lembut dan membuai. Suasana hening mulai menyergap, membiarkan vampir itu menemui penciptanya dalam keadaan tak berdaya.
Mataku perlahan terasa berat, aku merasa tenggelam dalam kegelapan.
"Pangeran!"
Aku mendengarnya, tapi tubuhku mulai terasa berat dan terbaring ke tanah. Belum sempat mengamati sekitar, pandanganku telah ditutupi kegelapan. Menyisakan cahaya biru yang dipancarkan kalungku.
Halo! Wah, udah mulai anu, nih. Kalian bisa nebak kenapa kalungnya bercahaya? (pake nanya pula)
Untuk saat ini, aku kasih dikit visual Remi, ya, cuma kepala doang. Ini ceritanya ekspresi Remi sepanjang dua bab ini.
Digambarin sama Rereu
Sampai jumpa di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top