✴️ 1 : Panti - 1 ✴️

Aku yakin mimpiku pertanda awal dari kisah lama yang telah terkubur. Ketika mengingat lagi, terasa lebih menyakinkan dari sebelumnya. Walau sosok yang mendekapku itu belum jelas rupanya, tapi aku yakin dia pasti Guardian yang ingin menjemputku. Dalam mimpi, kalungku bersinar. Pada sisi lain aku merasa mimpi itu hanya wujud dari keinginanku untuk bertemu dengan para Guardian-ku setelah sekian lama terpisah. Ke mana mereka selama ini? Apa mereka akan kembali?

"Levi?" Suara Bibi terdengar dari balik kamar. Tak lama, dia masuk setelah kuizinkan. "Tumben bangun lebih awal."

"Sudah terbiasa." Aku tersenyum tipis. Sebenarnya, ini sungguh aneh. Bukan hal biasa bagiku bangun pada malam hari seperti anak panti lainnya.

Semenjak aku menetap di panti, semakin aku berharap untuk segera diadopsi saat itu juga. Memang benar dulu aku dibesarkan di sebuah panti asuhan, tapi anak-anak di sana juga sepertiku. Mereka bangun di pagi hari lalu tidur pada malamnya. Makanan yang disajikan juga beragam setiap harinya. Sementara di sini justru sebaliknya.

"Sebentar lagi, dia akan menjemputmu." Bibi berkata sembari melipat selimutku pagi itu. "Namun, ada beberapa syarat yang harus dia dilakukan agar bisa menjemputmu."

"Syarat?" beoku. Waktu itu, aku kira seseorang bisa langsung mengangkat anaknya sendiri, seperti ketika dulu Arsene menjadi seperti ayahku. Waktu itu, aku bahkan tidak tahu tahap adopsi secara resmi.

Bibi mengiakan. "Selama seminggu kamu tinggal di sini, dia sudah mengamati dan mulai tertarik denganmu. Aku, meski sudah mengenalnya, tidak mungkin langsung menyerahkanmu begitu saja. Dia harus memiliki latar belakang yang jelas dan tentu saja, bukti kuat jika dia adalah wali yang layak."

"Seperti apa?" Aku tentu penasaran. Jika benar dia selama ini pelindungku, harusnya syarat ini tidak sulit.

Bibi mengangkat selimut dan sepraiku untuk dicuci. "Yah, penilaian itu hanya berasal dariku dan aku tahu yang terbaik bagi anak-anak." Dia pun pergi.

Sedikit kecewa dengan jawabannya. Aku, meski masih berusia sepuluh tahun, tentunya paham banyak kalimat yang dilontarkan orang dewasa. Namun, di sisi lain aku seakan merasa hal tadi bisa jadi tidak etis untuk dijelaskan, aku memilih untuk diam.

Aku lanjut merenung dalam posisi duduk di kasur dengan seprai dan selimut baru, rasanya jauh lebih nyaman tentunya. Meski selama ini merasa cemas berada di panti. Ya, semua ini terasa janggal sejak awal.

Hari pertama aku menetap, aku sudah merasa asing. Seakan berada di dunia yang berbeda. Ada sejumlah ... bukan, tapi seluruh kebiasaan anak di panti ini berbeda dari yang biasa kulakukan. Bukti yang bisa aku jabarkan sekarang, selama ini mereka melakukan kebiasan yang berkebalikan denganku. Sudah malam, nyatanya di saat itulah Bibi datang dan membangunkanku. Ya, aku mulai membiasakan diri tidur dengan jam terbalik. Namun, tetap aku akan bangun dengan keadaan pusing lantaran jadwal tidur yang tidak seimbang. Bibi juga aneh karena sering mencuci baju pada malam hari, barangkali hanya besok dijemur, kalaupun matahari benar-benar tampak di langit sekitar panti memgingat betapa mendungnya tempat ini.

Semua kejanggalan ini ditambah dengan kebiasaan makan anak panti bersama Bibi. Mereka semua makan sejenis daging yang sama setiap harinya. Bentuk dan rasanya pun sama, seperti daging sapi tapi sedikit lebih keras dan kaku seakan lebih banyak seratnya dibandingkan daging yang pernah kucicipi. Seusai makan, barulah kami bermain bersama hingga waktu makan malam–eh, siang? Aku masih bingung dengan konsepnya.

Aku tahu, ada yang salah dengan mereka, tapi takut untuk mengatakannya. Siapa tahu itu akan menjadi akhir dari kisahku. Satu hal yang menonjol antara aku dan mereka adalah secara fisik mereka jauh lebih pucat. Barangkali seperti kulit Nemesis dan juga Arsene. Namun, aku tahu keduanya begitu karena kondisi masing-masing. Arsene memiliki kondisi fisik yang membatasinya dalam bertarung, sementara Nemesis sepertinya sudah lama hidup di lingkungan tertutup dan membuatnya kesulitan berada di bawah sinar matahari. Berbeda dengan anak-anak panti yang terbilang sudah seperti itu sejak lahir dan tidak tampak mempermasalahkan kondisi itu. Mengingat daerah sekitar panti yang terlalu mendung hingga matahari pun hanya tampak sedikit sekali cahayanya. Meski mereka aneh, tapi masih menerimaku sebagai temannya.

Kutengok ke arah jendela, langit sangat gelap tanda hari mereka telah dimulai. Aku pun melangkah keluar dari kamar, sebentar lagi waktunya sarapan atau bagiku disebut sebagai makan malam. Anak-anak panti akan keluar dari kamarnya bersamaan, sehingga kalau aku keluar sesuai jadwal, pasti akan ditabrak. Mau tidak mau kutunggu beberapa saat hingga suara langkah kaki mereka mulai tidak terdengar lagi. Begitu yakin suasana sudah aman, aku lewati susunan pintu kamar anak-anak panti sambil mencari ruang makan.

Ruang makan cukup mudah dicari. Saat keluar dari kamar, tinggal jalan lurus hingga tampak ruang luas yang berisi meja panjang dipenuhi kursi berjejeran. Hanya itu ruang yang aku telusuri dalam satu lantai ini. Padahal panti ini memiliki setidaknya tiga tingkat sejauh apa yang disampaikan kepadaku dari anak-anak lain. Alasanku belum menjelajah karena salah satunya masih ragu sekaligus takut tersesat.

"Waktunya makan!"

Terdengar seruan salah satu anak panti diiringi langkah kaki mereka saling bersahutan. Lantai panti yang terbuat dari kayu mulai bergetar akibat teriakan dari mereka. Aku mulai duduk ke kursi tempat biasa aku tempati.

"Halo, Levi." Sapa seorang gadis berambut pirang dengan mata jingga. "Sudah mulai rajin, ya."

Aku mengiakan. "Louis juga," sahutku.

Selama masih berada di panti, dia anak pertama yang kukenal tanpa sengaja karena Bibi. Waktu itu, Bibi sedang menceritakan kisah pendahulu kami yang kini sudah sukses bekerja di dunia luar sana.

"Kakak-kakakmu sangat rajin, mereka bahkan berhasil menarik hati seorang pengurus kapel di daerah ini," ujar Bibi bercerita. "Sejauh ini, belum ada yang gagal setelah tumbuh dewasa dari panti."

"Kecuali Rama."

Aku terkejut mendengar suara gadis yang menyela dari balik pintu kamarku. Mata jingganya menatap kami berdua dengan berkaca-kaca. Tak lama, gadis itu menunduk dan suaranya tercekat akibat menahan isak tangis.

Bibi segera berjalan lalu menggendong gadis itu. "Sudah, Loius. Tidak apa-apa." Hanya itu yang dia katakan, sisanya terus membelai rambut dan mengusap air mata gadis itu.

Hari itulah aku mengenalnya. Kami mulai mengobrol sesekali di jam bermain, walau sisanya hanya dihabiskan dengan duduk bersama dalam diam hingga lupa waktu. Setelah itu kembali melanjutkan kegiatan yang sama keesokan harinya.

"Aku sudah membaik," ujar Loius sambil tersenyum. "Aku yakin Rama sudah bahagia di sana."

Tidak ingin membahas kematian, aku hanya mengiakan sebagai wujud menghargai. Aku tidak pernah mengenal sosok Rama, tapi Louis bilang jika mereka sangat mirip secara fisik dan jiwa. Membuatku yakin sudah pasti keduanya memiliki ikatan layaknya saudari kandung alih-alih sahabat satu panti. Wajar saja kalau kematiannya menghancurkan hati Louis sejak lama, walau aku tidak yakin berapa lama sahabatnya itu meninggal.

Kami pun memakan daging yang sama. Tidak jelas asal-usulnya, tapi aku tetap memakannya demi kelangsungan hidup.

Louis, di tengah mengunyah daging, kembali bicara padaku. "Kudengar dari Bibi, sebentar lagi kamu bakal diadopsi, ya."

"Iya, nih." Aku jawab dengan singkat. Bingung hendak membalas apa lantaran diadopsi merupakan impian sebagian anak panti, mengingat dulu pun aku dibesarkan di sebuah panti. Jika aku merasa bangga, takutnya mereka akan merasa sedih karena harus berpisah. Namun, kalau tidak terima pun rasanya tidak pantas, lantaran siapa juga yang tidak menginginkan kesempatan hidup yang lebih baik? Jika ada yang hendak menjadikanku sebagai anaknya, apalagi kalau ternyata dia Guardian-ku, aku sungguh tidak keberatan. Maksudku, bukankah para Guardian ada untuk aku dan Kakak?

"Padahal, aku juga ingin diadopsi," ujar Louis dengan nada pelan. "Asal kamu tahu, aku sangat ingin bertualang menjelajah dunia luar, melanjutkan impian Rama."

Sudah kuduga, dia pasti akan membahas sahabat–atau bisa dibilang saudari sepanti dia–yang tiada habisnya itu. Mengingat tragedi kematiannya berlangsung mungkin tidak begitu lama, aku belum tahu pasti. Ketika Louis memberikan keterangan waktu, aku menebak satu hal yang mungkin masuk dalam ingatanku. Semua terjadi ketika aku dan Nemesis menetap di negeri baru ini. Tepatnya di hari di mana dia berburu.

Jadi, mau mulai dari mana?

Ehem, aku merasa amat canggung setelah sekian lama tidak menulis sejak zaman di zaman yang lalu, walau tidak begitu lama. Untuk saat ini, aku merasa semakin lama, semakin maju season, semakin lama pula waktu yang harus dikorbankan untuk menulisnya.

Alah, lebay. Sejujurnya udah sejak menulis "Guardians of Shan 1 : Hiwaga" aku sudah mempertimbangkan jumlah season dan bab per season juga. Apalagi setelah revisi season awal pun makin kuatlah tekadku kalau babnya emang patut segini.

Rencananya, gak bakal panjang amat (abaikan season 3 di mana jumlah babnyak 60 lebih awowkwk)

Ketika aku menggarap awal dari season keempat ini, aku harus kembali membaca ulang season awal terutama yang kedua di mana Remi pertama kali menjadi narator, setelah Kyara. Aku merasakan perbedaan yang amat sangat ketika mengetik sebagai Remi dan Kyara. Kedua individu yang menjadi narator utama dari seri ini.

Kyara sosoknya memang banyak berkomentar dalam pikirannya, yang kalau diucapkan langsung kesannya seperti orang yang cerewet lagi kepo.

Sementara Remi, kurang lebih sama, tapi dia lebih ke "ya sudahlah, lebih baik aku menurut saja" dibandingkan saudarinya yang mempertanyakan banyak hal. Dia mungkin masih kecil, kurang lebih seperti Kyara pada season awal saat berumur 12 tahun (dan Remi saat ini masih 10 tahun btw) jadi ...

Tentu saja wajar perbedaan ini, mengingat Kyara sudah hidup bersama ketiga Guardian-nya ; Mariam, Idris, dan Khidir, selama kurang lebih empat tahun (dan ditambah season ini akan jadi lima tahun).

Sementara Remi baru beberapa bulan saja. Tentu akan ada perbedaan pola pikir dari keduanya. Ditambah perbedaan umur yang cukup jauh dan nasib juga.

Remi tidak menyaksikan kematian ibunya sendiri lalu diselamatkan oleh orang asing yang kemudian menjadi pelindungnya. Dia hidup di panti dan hanya mengalami guncangan ingatan ketika bertemu salah satu Guardian secara tidak sengaja. Belum lagi dari segi sifat, Remi cenderung lebih simpatik dibandingkan Kyara, karena Remi terbiasa hidup dipenuhi banyak orang sejak kecil, walau dia lebih pemalu dibandingkan kakaknya.

Begitu banyak perbedaan pola pikir antara dua makhluk yang amat berbeda ini. Namun, mereka memiliki satu tujuan, yakni menjadi narator seri ini, eh maksudnya jadi pewaris takhta negeri yang sudah hilang.

Waduh, bagaimana cara mereka meraih impian yang kesannya wadidaw itu? Baca saja terus seri ini!

Sampai jumpa di bab berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top