✳️ 4 : Kekuatan dari Dewa - 9 ✳️

<< Seorang Barista >>

Gadis berambut hijau itu telah pergi dibawa dua orang aneh itu bersama lelaki yang baru saja pulih. Janggal, semua seakan sudah terikat menginggat reaksi si gadis ketika bertemu dengan pria berambut biru gelap tadi. Keduanya tampak saling kenal bahkan akrab. Ah, jangan bodoh. Aku tahu itu Dash, teman anehnya Sylvester. Bukan Sylvester namanya kalau tidak punya kenalan aneh.

"Hidup memang aneh." Begitulah komentarnya ketika pernah dikomentari begitu.

Pria aneh dengan hidup aneh, namun masih diselubungi seribu misteri. Ada yang bilang, dia putra bajak laut yang diutus untuk mengawasi kota ini. Ada pula bilang dia berasal dari panti iblis  dan mencari tumbal di kota ini. Ada pula yang bilang dia menjelajah sendiri ke sini setelah berpisah dengan keluarganya, entah dia bunuh kemudian kabur atau murni merantau. Banyak sekali kisah menyelubungi masa lalunya, namun tidak satu pun berhasil terbukti lantaran cara dia membicarakan masa lalunya.

"Gue hidup bahagia bersama keluarga jauh di sana." Hanya itu yang dia jelaskan sebelum akhirnya memanjakan mata kami dengan trik sihirnya. Dia begitu menawan hingga tidak sedikit wanita tertarik padanya, tak terkecuali aku. Namun, harapanku pupus menyadari bahwa dia adalah pria tanpa masa lalu yang harus diwaspadai terlebih tentang kisahnya membekukan kota Adrus beberapa tahun lalu.

Sylvester membekukan kota demi mencegah jin itu mencari inang baru, begitulah katanya. Ini juga membuat kami takut padanya. Kini, dia membekukan kota lagi. Kali ini tepat di depan mataku.

Seisi kedai masih duduk di bangku masing-masing lengkap dengan minuman hangat yang kusajikan. Mereka tentu tidak berani keluar kalau-kalau ikut membeku. Mataku beralih ke jendela kedai. Terlihat bayangan tinggi berdiri menatap ke dalam sini. Aku tidak mampu bergerak. Itu dia.

Terdengar ketukan pintu dari luar. Tiada yang membalas. Tapi, pintu tetap dibuka membuat badai salju menyeruak masuk. Sontak membuat seisi kedai menjerit tertahan melihat sosok yang baru saja masuk.

"Sylvester," gumam salah satu pelangganku.

"Halo, guys!" sapanya dengan nada ceria disertai senyuman. "Mau nanya, nih, siapa saja yang masuk ke sini? Yang kalian anggap aneh, deh."

Hening beberapa saat. Kami tidak mungkin membiarkannya diam saja berdiri di situ dengan senyuman penuh kesabaran. Tapi, aku pun tidak mengerti masuk keanehan yang dia maksud–gadis itu! Namun, Sylvester dan gadis itu memang tampak memiliki hubungan spesial. Meski tidak banyak yang ditunjukkan saat ini. Cara dia menatapnya pun sudah cukup membuatku yakin bahwa gadis ini bisa jadi kunci suatu peristiwa kelak.

"Dash datang ke sini dan membawa gadismu pergi," ujarku bersaksi. "Bersama gadis lain juga dan seorang bocah berambut jingga itu."

"Hm, menarik." Sylvester berjalan masuk. Meski dia telah menguasai salju dan kini menjadi Raja Es–begitulah cara dia menyebut dirinya dalam beberapa pertemuan–sekali pun, kami tidak pernah melihat istananya. Hanya sebuah rumah sederhana hasil hadiah dari wali kota untuknya.

"Ke mana mereka sekarang?" tanya Sylvester, menatapku.

Aku tidak tahu pasti ke mana. Mereka hanya pamit dan keluar begitu saja. Tidak banyak obrolan yang bisa kutangkap maknanya selain mereka dalam misi menyelamatkan seseorang kali ini. Bisa jadi lelaki berambut jingga itu ada kaitan erat dengan kasus kali ini atau justru korban pertama dari ancaman yang meneror kota. Namun, apa yang terjadi selama ini belum diketahui pasti. Semua berjalan seperti biasa dan tiba-tiba saja muncul Sylvester dengan badai es ciptaanya.

Sylvester masih berdiri di depanku. "Ke mana?" Ia ulangi pertanyaannya.

Jantungku berdebar, aku tidak ingin dia membekukanku. "Mereka ... pergi."

"Pergi?" beonya.

"Pergi dibawa Dash," jawabku.

"Ah, Dashie."

Hubungan Sylvester dan Dash tampak sama eratnya dengan gadis itu. Sementara gadis rubah itu pada dasarnya anak jalanan kota ini, sehingga semua bisa jadi rekannya. Dash begitu jarang muncul dan menyelamatkan kota, kecuali jika diutus oleh si pirang ini. Tidak banyak bicara, bahkan tidak ada yang tahu di mana dia tinggal sebenarnya. Tapi, bisa dibilang bahwa Sylvester adalah alasan Dash bicara lebih banyak, juga karena gadis itu juga. Untuk kali pertama kudengar dengan jelas dia bicara. Bisa jadi itu karena pengaruh Sylvester.

"Sudah diduga," ucap Sylvester entah ke siapa. "Gue kira apa, ternyata begini."

Sepertinya rencana mereka tidak sejalan sepenuhnya melihat reaksi si pirang yang tampak mempertanyakan keberadaan gadis itu sementara sang rekan membawanya pergi entah ke mana. Kali pertama juga aku melihat Sylvester tidak menjadi dalang dari misi kali ini. Kami bahkan tidak tahu ancamannya apa dan melihat tingkah pria ini sudah cukup membuat resah.

Sylvester, setelah membicarakan sedikit tentang rekan misteriusnya, berpaling dan menatap para pelangganku. "Kalian kayaknya belum tahu ada apa," ujarnya. "Tahu ancaman kita kali ini?"

Mereka tentu tidak ada yang berani angkat bicara, terlebih di situasi yang tidak jelas harus disebut mencekam atau biasa saja. Mungkin bagi Sylvester keadaan saat ini hanya hari biasa di kedai, tapi kedatangannya itu yang paling kami hindari.

Kami takut? Ya. Kami benar-benar takut. Dia adalah Pemburu Sihir–Pemburu Monster. Namun, dia tidak ada bedanya dengan buruannya. Meski dari cangkangnya dia tampak ramah, bukan berarti tersimpan pola pikir yang indah dan cerah layaknya bagian luar, melainkan sesuatu yang tidak terjamah layaknya jurang tanpa dasar. Samar dan tidak terbaca.

Kami tidak tahu dari mana asalnya. Meski logatnya sama seperti kami.  Tidak tahu kerabatnya, dia bahkan tidak banyak menyebut soal mereka. Kami pun tidak yakin jika nama yang kami ketahui ini adalah nama aslinya. Dia adalah apa yang dia perlihatkan saat ini. Terlepas dari kebenaran yang tersembunyi.

Sylvester lantas maju beberapa langkah menuju pintu luar kembali. "Kota dibekukan supaya jin itu enggak merasuki kalian," ujarnya. "Makanya gue mau kalian jaga diri. Tapi, kayaknya susah, deh, kalau dibiarkan terus."

"Maksudmu?" tanyaku.

Sylvester menatapku, senyumannya entah kenapa terasa janggal. "Gue enggak mau kalian dirasuki kalau masih begini."

Apa yang akan dia lakukan? Aku tidak akan tahu apalagi mengerti.

"Eh? Eh!" Terdengar jeritan salah seorang pelangganku.

"Tunggu! Lepaskan aku!" jerit pelangganku yang lain.

Seketika paha kami semua telah dicengkeram oleh es. Dingin perlahan menguasai raga hingga membuatku kesakitan. Meski dengan memberontak dan menjerit, tidak ada gunanya mengingat es akan tetap  membelenggu.

Terlihat Sylvester berdiri menatap kami. Tatapannya dingin seakan melihat pertunjukan biasa di depan matanya.

"Kumohon! Ampuni kami!" jerit pelangganku. "Kami tidak akan dirasuki!"

"Mana ada jin masuk atas izin inangnya," balas Sylvester. "Lagian, gue lakuin demi keselamatan kalian. Tenang, kalian bakal tetap hidup selama gue masih mengendalikan kekuatan ini."

"Tuan, ampuni kami!" jerit pelangganku. "Kami enggak mau mati!"

"Kalian enggak bakal mati," ucapnya.

Dia sudah gila!

Fakta dia telah mengubur pasukan dalam salju hidup-hidup sudah cukup membuat kami gentar. Kini dia malah berniat membekukan kami semua.

"Lepaskan kami!" seru kami, dari berbagai penjuru kedai.

Namun, tidak satu pun dia balas selain dengan sebaris kalimat. "Nah, sekarang tinggal cari jin itu."

Tanpa menunggu komentar lagi, Sylvester keluar dari kedai disertai badai salju yang dahsyat memasuki kedai dan membekukan apa saja di depan mata.

Ketika ragaku semakin kaku dan beku, aku hanya bisa pasrah membiarkan semua keputusan berada di tangan pria itu.

Layaknya seorang dewa, berdiri dengan penuh kuasa atas segala di depan mata. Dia berdiri di depan pintu membelakangi kami hingga hanya terlihat punggungnya yang tertutupi salju layaknya kapas beterbangan menyelubungi dirinya.

Pintu tertutup oleh hentakan. Menyisakan suaranya yang menggelegar di udara.

"Jangan meremehkan kekuatan es!"

Hai hai! Terima kasih sudah baca bab ini! Wah wah, gimana soal bab ini, nih? Agak anu, ya. Gimana nasib warga kota setelahnya? Ya ... gitu. Tunggu aja deh di bab berikutnya wkwkwk

Sampai jumpa nanti!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top