✳️ 4 : Kekuatan dari Dewa - 11 ✳️
Delisa dan Delina
Artwork by raa_kwun
« Delina Wynter »
Sudah kuduga, Paman Idris pasti akan membawa masalahnya dalam hidup kami. Firasatku sudah tidak baik sejak awal menatap pamanku. Dia memang baik di permukaan, tapi aku tidak bisa mempercayai orang yang isi pikirannya begitu samar. Jika aku bisa melihat masa lalu seseorang dengan menyentuh mereka, ini tidak berlaku bagi Paman Idris dan teman-temannya. Ingatan mereka seperti kabut tebal yang menutupi pandangan dan seperti kukatakan sebelumnya, aku tidak bisa percaya dengan orang yang tidak jelas masa lalunya.
Bukannya mengapa, tapi ada baiknya memahami latar belakang seseorang sebelum mengenal mereka lebih dekat. Kamu tidak akan menebak dampak yang akan terjadi hanya dengan mengenal mereka. Bisa jadi karena kamu dianggap sebagai "orang yang dikenal" saja dapat membawamu ke dalam masalah. Dalam kasus keluargaku, ini justru mengikat kami dalam kisah anggota kerajaan yang ingin kembali berkuasa.
Ayahku–atau biasa kami panggil "Abi"–adalah pangeran dari kerajaan yang dikuasai para warlock. Dia kemudian dipungut oleh raja dari kerajaan sebelah sebagai "bingkisan dari perang." Dari situlah dia bertemu dengan Paman Idris sebagai adik tirinya.
Latar belakang pria ini kurang jelas selain fakta dia memegang peran penting dalam Kerajaan Shan meski sebatas pengasuh pewaris takhta. Aku tidak dapat membaca kisahnya dari pikirannya langsung. Ini membuatku kian curiga. Kudengar, dia dipilih karena telah menarik hati sang Raja di sana.
Abi dan Umi bilang jika mereka tidak ingin berurusan dengan Paman Idris setelah itu. Namun, ujungnya mereka tetap terkena dampak dari keruntuhan Shan.
Abi mengaku tidak tahu. Namun, dia terlihat begitu terganggu. Meski tinggal pindah rumah dan memulai hidup baru, Abi pun mengakui jika dia merasa bahwa keruntuhan Shan telah mengusik hidupnya. Padahal dia bermasalah dengan ayah tirinya secara pribadi dan seharusnya kematian pria tadi membuat Abi setidaknya merasa lebih damai, tapi aku tidak mengerti mengapa.
Jika kulihat perlahan ingatan masa lalu Abi, aku hanya melihatnya diam dan menatap dari jauh. Namun, aku tentu tidak bisa membaca batin seseorang lantaran hanya berupa gambaran dan apa yang terlihat saja. Bisa jadi selama ini dia memendam rasa.
Bagaimanapun akhirnya Abi bersama Umi kembali hidup di Dunia Bawah membawa Arsya dan Ariya yang masih kanak-kanak. Meski sekarang Abi masih dianggap sebagai bangsawan, namun kini dia bukan siapa-siapa selain pedagang yang mendagangkan benda ajaib. Dari situlah kakak-kakakku terlahir hingga lahir aku dan Delisa sebagai anak bungsu.
Sejak kecil, aku merasa hidup kami begitu nyaman bergelimang harta. Orang tua kami selalu memberikan apa yang kami inginkan dan melatih sebagian sihir untuk kami meski setiap dari kami memiliki bakat sihir yang berbeda.
Seperti Arsya yang mengendalikan batuan mulia serta rantai. Bersama Ariya yang dapat mengubah makhluk hidup menjadi batu maupun hewan. Kemudian Akram yang memiliki kekuatan api hitam seperti Abi serta manipulasi suara. Nisma dengan kekuatan membangkitkan yang mati. Elya yang mirip dengan kekuatan Umi selaku pengendali air, sementara kakakku ini pengendali racun. Sementara Delisa membaca masa depan dan aku pembaca masa lalu.
Kami dilahirkan dengan bakat masing-masing dan dibesarkan bersama itu. Namun, tidak banyak yang bisa digunakan dengan kekuatan ini selain untuk bermain. Ah, aku masih ingat ketika aku dipisahkan dari kelasnya Delisa karena guru khawatir jika kami akan menyontek walau itu kejadian yang sebenarnya. Namun, aku tetap bisa membaca masa lalu jika guru itu membaca kunci jawaban sebelum ujian dimulai. Sementara Delisa cukup membaca masa depan ketika kunci jawaban yang akan dibocorkan pada akhir ulangan. Ini terus terulang hingga pada akhirnya kami mendapat teguran dari Umi. Terpaksa, sebagai anak yang patuh, kami turuti saja.
Barangkali, dengan bakat ini kami seharusnya membantu sesama. Namun, aku tidak ingin keluargaku sampai diseret dengan urusan kerajaan yang kini tersisa kenangan. Ini akan jauh lebih rumit, aku yakini itu.
Pada akhirnya, Abi tetap peduli dengan adik tirinya dan sesekali memberi kami perintah untuk membantu. Meski jelas sebagian besar dari kami tidak ikhlas.
Arsya memilih menghindar dengan lebih jarang di rumah, begitu juga Ariya namun tingkahnya dinilai tidak menyenangkan bagi teman-temannya Paman Idris, Akram juga sama tapi dia berhasil tidak menarik perhatian mereka. Sementara Elya kurang beruntung, dia malah disuruh mengikuti jejak salah satu teman Paman Idris karena mereka kebetulan memiliki bakat yang sama. Kini tinggal menunggu nasib Nisma dan kami berdua nanti. Entah apa yang akan menunggu, Delisa pun tidak berkomentar.
Hingga suatu ketika, apa yang kutakutkan telah menimpa. Aku dan Delisa disuruh membaca masa lalu dan masa depan mereka. Namun, aku mana bisa membaca masa lalu seseorang yang bahkan tidak mengingatnya. Sehingga kini tanggungjawab itu jatuh ke Delisa yang dapat membaca masa depan semua orang kecuali yang telah mati. Ramalannya kali ini terdengar lebih sepele karena hanya bilang mereka akan diserang oleh jin itu tapi tidak memberitahu lagi setelahnya.
Ketika seisi rumah diporak-poranda, aku dan Delisa ditarik oleh sesuatu dengan keras hingga kami menabrak sebuah ruang tersembunyi yang aku sendiri tidak tahu di mana. Tidak ada suara atau kejelasan dari semua ini, tapi aku tahu betul kami telah ditawan.
Harusnya kami tidak menolong mereka. Ujungnya kena batunya juga.
Ketika hendak menjerit menyeru kedua orang tua kami, aku sadar bahwa Delisa tidak mengucapkan ramalan lagi setelahnya. Waktu demi waktu berlalu, kami diberi makan tapi tidak jelas pemberinya. Demi bertahan, aku santap bersama saudariku. Selama itu juga kami tidak tahu berapa hari bahkan bulan yang berlalu. Semua dihabiskan dalam keheningan atau obrolan kecil kami berdua.
"Apa yang terjadi?" tanyaku. "Kamu dapat membaca sesuatu?"
Delisa menatap sekitar kami yang hanya terdiri dari piring bekas makan kami. Sisanya berupa kabut dan kegelapan. "Yang kutahu, kita akan dibebaskan oleh seseorang."
"Jangan bilang bagian dari kelompok Shan itu," ujarku.
"Ya, memang itu yang kumaksud." Jawaban Delisa membuatku kian mempertanyakan tujuan penangkapan kami.
Selama ditahan, kami tidak diperlakukan sama sekali kecuali diberi makan tadi. Namun, hanya sekali. Ya, sekali setelah beberapa waktu kami dikurung. Ada suara yang menyeru pada kami.
"Katakan kepadaku, apa kalian bisa melihat masa depanku?"
Aku melirik Delisa, aku jelas ragu. Selain tidak ingin asal menyebut masa depan seseorang, aku yakin nyawa Delisa terancam jika dia memberitahu nasib buruk meski hanya itu yang terbaca. Namun, jika dia diam pun bisa jadi ancaman bagi kami.
Pada akhirnya, Delisa berdiri dan membalas ucapan suara itu. "Tunjukkan dirimu. Aku tidak bisa membaca masa depanmu jika tidak menyentuhmu. Ketika aku membaca nasibmu, ada satu aturan yang tidak boleh kaulanggar. Jangan marah kepadaku karena nasibmu tergantung dengan sikapmu saat ini. Apa pun nasib buruk yang akan menimpamu, itu salahmu."
"Aku mengerti." Suara itu memang dikeluarkan oleh seorang wanita. Baru kali ini dugaanku salah. Kukira jin itu, ternyata orang lain.
Hingga, dia menampakkan diri. Mulai terlihat satu cahaya kecil berupa lampu minyak yang dipegangnya. Wajah seorang wanita berambut jingga dengan tubuh ramping dibalut gaun dengan warna yang sama. Dia seperti kami–anak orang kaya rupanya.
Dia menatapku. "Kamu yang baca masa lalu?"
Aku mengiakan.
Dia menyerahkan tangannya. "Katakan, apa yang kamu lihat. Setelahnya, baru saudarimu yang akan menafsir masa depanku."
Merasa tidak ada pilihan lain, aku pegang tangannya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Pikiranku dipenuhi oleh gambaran masa lalu wanita itu. Ternyata, dia jin itu. Sosok yang menganggu kawanan Paman Idris. Kali ini, dia mengambil wujud seorang penyihir.
"Apa yang kamu lihat?" tanyanya.
Maka aku jawab kalau dia adalah jin yang selama ini berurusan dengan anggota kerajaan Shan.
"Betul." Dia menatap Delisa. "Sekarang, giliranmu."
Sama sepertiku, Delisa memegang jari wanita tadi. Menunggunya memahami gambaran masa depan butuh waktu lebih lama dariku. Karena sebagai saudari, aku dapat membaca bahwa Delisa tampak ragu untuk mengucapkan masa depan wanita tadi.
"Apa yang kamu lihat?" tanyanya.
Beberapa saat hening, Delisa pun memberitahu. "Ingatlah jika ini murni kesalahanmu."
"Aku tahu," balas wanita itu sinis. "Sekarang, beri tahu!"
Delisa pun menafsir. "Kamu akan dikalahkan ... oleh seorang pria Arosia."
"Bagaimana kelanjutannya?" tanya wanita itu.
Delisa melanjutkan. "Namun, kamu tidak mati. Kamu akan dikejar makhluk lain."
"Makhluk apa?" tanyanya lagi.
"Seekor ... ikan?"
Terdengar konyol memang, tapi aku takut berkomentar.
Wanita itu berpaling. "Kalian akan kupulangkan. Seseorang akan menjemput kalian setelah ini. Sebentar lagi akan kupindah ke bagian rubanah tempat tahanan lain berada."
Di situlah dia raib.
Aku menatap saudariku. "Apa yang kamu lihat?"
Delisa berbisik padaku. "Monster laut. Sepertinya dia akan ditumbalkan."
"Menyeramkan," komentarku.
"Nasib, nasib." Delisa menggeleng pelan seakan prihatin.
Begitu lama kami berdiam, perlahan kabut mulai menipis dan cahaya semakin memenuhi ruangan. Hingga berganti jadi pemandangan menyerupai rubanah.
Sesuai ucapan, wanita itu memindahkan kami ke ruang lain.
Aku mendengar suara langkah kaki. "Delisa, apa itu?" bisikku. Mengira dia dapat menafsir masa depan langsung.
"Aku tidak tahu." Sepertinya dia sama sepertiku yang harus menyentuh baru bisa menafsir.
Beberapa saat dalam keheningan, kami dengar langkah kaki itu semakin dekat.
Terdengar suara yang membuat kami tertegun. Sekian lama menunggu, apa yang kami harap telah tiba.
"Ini tempat terakhir, kuharap mereka ada di sini."
Arsya.
Hai hai! Gimana nih satu bab isinya pakai sudut pandang anak Wynter? Yah, kuharap kalian dapat menangkap vibe anak kecil dari dalam dirinya.
Untuk bab ini sedikit anu karena terjadi sebelum waktu ketika Kyara mencari Ezekiel. Lantas, bagaimana nasib sebelumnya? Nanti akan ada bab penjelasan bagaimana si Kembar bisa ditemukan. Tunggu, ya.
Sampai jumpa di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top