✳️ 2 : Pemburu Sihir - 4 ✳️
Tanganku refleks mencengkeram erat pasak, mengarahkannya ke jantung makhluk itu sebelum terjatuh.
Bruk!
Aku jatuh sambil tetap mempertahankan posisi pasak menghadap dada makhluk tadi.
Terdengar bunyi geraman dan jeritan memekakan telinga.
Geligi tajam menghias pandangan selagi aku berjuang memastikan benda itu tidak menusukku.
Matanya besar, tampak dipenuhi warna hitam tanpa pupil seakan tidak bernyawa tapi dikendalikan oleh sesuatu yang jahat. Badannya kurus tanpa busana, lengkap dengan jemari panjang yang tadi nyaris mematahkan leher.
Krak!
Aku berhasil menusuk dadanya, meski tidak begitu dalam.
Keluar cairan merah gelap membanjiri tangan dan pakaianku. Disertai bau amis yang menyengat.
Aku menahan mual dan menarik kembali pasak itu meski makhluk tadi memberontak.
Krak!
Dengan cepat aku tusuk matanya agar tidak bisa melihatku.
Aku bergegas berdiri dan lari meninggalkan pasak itu menancap di salah satu bola matanya. Jika aku mengulur waktu, sudah pasti aku akan dimangsa olehnya.
Makhluk itu memiliki kulit yang tampak kasar berwarna kelabu atau barangkali pucat. Dengan badan sekurus itu, dapat berlari dan melompat dengan agresif. Aku pernah mendengar soal ini, mereka tidak akan pernah merasa kenyang dan selalu lapar. Mereka layaknya vampir yang dapat menjangkitkan diri pada makhluk lain, karena hanya itu cara mereka berkembang biak. Wendigo namanya.
Selagi aku mencoba berlari, terpikir olehku untuk teriak sesuai insttuksi Safir. Tapi, jika kulakukan sekarang sudah pasti akan menarik perhatian kawanannya. Safir memang berpesan untuk berseru jika ada apa-apa, tapi aku rasa lebih menguras tenaga jika harus mengeluarkan suara.
"Aaaa ...!"
Lengkingan makhluk itu terdengar semakin dekat. Telingaku terasa sakit saking tidak tahannya. Dadaku terasa sesak akibat kaget dan napas tidak teratur.
Aku berlari, terus berlari.
Makhluk itu menjerit, semakin dekat.
Aku berhenti sejenak untuk memungut sesuatu.
Duk!
Kena!
Sebuah batu berhasil aku lempar ke arahnya, berhasil membuatnya diam sejenak, mengulurkan waktu bagiku.
Aku lanjut lari sambil mencari benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Batu-batu tidak begitu banyak di sini atau justru terlewat akibat aku kurang teliti.
Saat itulah, bayangan tinggi tampak melayang di udara.
Makhluk itu berada di atasku, siap memangsa.
Aku ternganga, badannya membentang, kedua tangannya melebar, siap mendekapku dengan geligi tajamnya.
Dia akan memangsaku.
Wuuush!
Saat itulah semburat cahaya biru menyapu pandangan disertai hawa panas. Melahap habis badan kurus Wendigo itu.
Aku sempat memghindar dan hanya bisa menyaksikan itu semua dalam diam. Pasak masih di tangan, siap menyerang jika ada ancaman. Meski lawanku saat ini yang justru dalam bahaya.
Bruk!
Makhluk itu menggelinding dan mengamuk di tanah. Mencoba memadamkan api biru yang membakar tubuhnya. Namun, justru memperparah keadaan karena api masih saja membesar.
Aku berdiri dan mundur ketika api biru mulai perlahan meraihku. Membiarkan lawanku kali ini terbakar hidup-hidup secara perlahan.
Ia menjerit, menggaruk badannya yang terbakar dengan percuma. Semakin banyak gerakan, semakin tinggi pula api yang menyelimuti.
Aku menelan ludah, membayangkan kematian yang menjemputnya begitu lamban. Membuat kematiannya terasa begitu menyakitkan. Dibakar hidup-hidup sementara raga perlahan menjadi abu. Selagi menjerit, justru menambah rasa sakit di dada karena menghirup asap yang tidak kalah menyiksa.
Perlahan, jeritannya berkurang. Berganti dengan erangan, hingga perlahan semakin pelan. Pada akhirnya, hening.
Bruk!
Makhluk itu roboh di tanah, membiarkan api melahap dirinya.
Aku terpaku, mengatur napas selagi lawanku tumbang. Dadaku terasa hangat, begitu aku keluarkan kalungku, terancar sinar biru.
"Putri."
Aku menoleh ke belakang.
Seorang pemuda, tampak sebaya dengan Ezekiel tapi badannya lebih rendah, setara dengan Arsene atau rata-rata tinggi pria yang kujumpai. Rambutnya biru tua, agak gelap, senada dengan pakaian hangat yang dikenakan lengkap dengan celana dan sepatu yang tampak seperti pakaian kebanyakan remaja di zamanku. Matanya juga biru seperti Ezekiel dengan kulit pucat ciri khas rakyat di sini.
Aku sadar telah menatapnya terlalu lama. "Terima kasih."
Dia tampak memeriksaku, matanya menatap dari atas hingga ke bawah. Tapi tidak terlihat reaksi apa-apa. Mungkin dia memastikan tidak ada luka atau barangkali sesuatu menancap di sana.
"Siapa ..." Aku hendak menanyakan namanya. Tapi, terganggu dengan jeritan lain.
Kami menoleh.
Rupanya, bau kebakaran kecil darinya berhasil mengundang sejumlah kawanan makhluk serupa.
"Hisss ..."
Mereka menatap kami dengan tajam, memamerkan geligi tidak beraturan dihiasi liur dengan beragam kosa kata yang tidak kupahami selain geraman tanda amarah.
Jumlah mereka hanya bisa dihitung dengan jari, tapi bakal sangat merepotkan kalau dilawan jika ...
Kobaran api biru menghias pandangan.
Aku melirik ke samping.
Dia berdiri di sisiku. Tanpa sepatah kata, menarik tanganku dan berlari.
Aku mengikuti tanpa membantah.
Saat itu pula jeritan mereka semakin kencang. Tapi terganti dengan erangan ketika api biru tampak meninggi disertai asap menghias udara.
Aku berlari bersama pelindung baruku. Mencoba mengabaikan lawan kami yang berusaha menerobos cincin api tadi.
Kami meninggalkan tempat itu.
Membiarkan api menyelesaikan tugasnya.
***
Kami berlari hingga tiba di sebuah perumahan yang sama sepinya. Hampir tidak ada penghuni lain di sana selain kami berdua. Barangkali karena siang adalah waktu yang sibuk sehingga sukar melihat seseorang berdiam diri di rumah saat ini.
Pelindungku memelankan langkah hingga benar-benar berhenti, tanda tempat ini cukup aman sudah. Aku lepaskan genggaman, mengatur napas sambil memastikan keadaan.
Tempat ini tampak jauh dari kota, tapi masih terlihat beberapa rumah dari kejauhan. Sepertinya ini bagian terdalam perumahan yang padat sehingga terkesan tersembunyi.
Seperti kebanyakan perumahan, rerumahan di sini tampak berdempetan tapi lagi-lagi sunyi. Halaman depan dipenuhi pagar berduri dan sebagian dipasangi benda tajam demi menghalangi makhluk seperti tadi menyerang.
Pelindungku meneruskan langkah. Aku kembali mengikuti dan menyamai langkah hingga kami berjalan berdampingan.
"Ini masih di Adrus, 'kan?" Aku memastikan.
Ia mengiakan. Tidak terlihat dari wajahnya kalau ia terganggu dengan pertanyaanku, tapi aku merasa tidak nyaman jika mengajaknya bicara. Tapi, malu bertanya sesat di jalan.
"Kamu mengenalku," kataku sebagai bentuk pujian, ditambah senyuman. "Kalau boleh tahu, siapa namamu? Bisa lebih mudah nanti kalau ada apa-apa."
Pemuda itu menatapku, tidak ada ekspresi tapi aku yakin dia tidak risi padaku. "Darren."
Tunggu, Darren?
"Wah, kebetulan nama baru Pangeran ternyata Darren juga," ujarku. "Sekarang kita memanggilnya Remi."
Dia diam saja, tapi aku tahu dia menyimak.
"Aku Kyara," bisikku, sedikit berjinjit padanya. "Di sini, namaku jadi Thalia."
"Tha-lia." Dia tampak mencoba menyebut namaku.
"Betul!" Aku tersenyum. "Oh ya, soal makhluk tadi, boleh tahu apa ..."
Darren menutup mulutnya dengan jemari, isyarat menyuruh diam.
Aku langsung bungkam. Ada apa ini?
Aku kembali menatap sekeliling. Tidak ada yang mencolok selain sinar dari kalung.
Tapi, bagaimanapun aku harus waspada. Mungkin saja dengan bersuara dapat mengundang yang lain.
Kami pun meneruskan langkah dalam diam.
Maaf ya telat update semingguan ini, bukan karena sibuk melainkan murni lupa wkwkwk
Kebiasaan kalau mau publish cerita kudu update, ini kebiasaanku di tahun 2018 lalu. Tapi, sekarang sudah lewat sehingga harus ganti peraturan supaya cerita yang disajikan enak dibaca.
Nah, gimana menurut kalian soal bab ini? Yap, ada Guardian baru yang hadir. Tebak dia siapa sebenarnya hehe
Bagi yang penasaran, memang sebagian Guardian hidup satu wilayah.
Contohnya :
Idris, Khidir, dan Mariam. Mereka hidup satu wilayah dan sekarang terkesan seperti satu paket yang tidak bisa terpisah.
Arsene dan Gill, keduanya hidup satu kota sejak kecil dan berteman dekat. Sementara Nemesis baru dikenal setelah cukup lama.
Lantas, bagaimana dengan Ezekiel dan Darren? Apa hubungan keduanya?
Yap, tunggu saja di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top