✴️5 : Ilusi - 4✴️
"Memang keparat!" Terdengar suara wanita yang asing. "Meski sudah runtuh, tetap saja mengacau."
"Mereka hanya ilusi." Dibalas kalimat tadi oleh seorang pria.
"Maksudmu?"
"Bukannya Thomas sudah cerita?" sahut sang pria. "Ilusi adalah mereka yang tidak bisa bereinkarnasi, tapi tetap memiliki wujud baru di kehidupan setelahnya, meski dengan tubuh terlalu rapuh."
"Tapi, ada beberapa yang bangkit lagi," sahut si wanita. "Thomas pernah diserang oleh tiga ilusi yang sama."
"Kamu lupa kalau mereka masih bisa mengendalikan kekuatan?" sahut si pria. "Kekuatan bukan dari raga, melainkan jiwa. Bisa jadi lawan kita tadi menjelma jadi abu terlebih dahulu atau bisa membelah diri."
"Untung kita berhasil kabur," sahut si wanita. "Sekarang aku ingin tahu kabar Thomas di sana. Kudengar dia sudah bertemu dengan sosok yang dicari."
"Bukannya anak ini?" sahut si pria. "Aku tahu ciri-cirinya."
Wanita itu mengiakan. "Baguslah."
Hening beberapa saat.
"Sudah ada banyak korban," kata si pria, mungkin berniat mengalihkan topik. "Untung anak ini tidak separah vampir itu."
"Aku heran melihat vampir rela melindungi manusia," ujar si wanita. "Atau barangkali, mereka berebut mangsa."
"Si vampir itu tidak tampak ingin memangsa," ujar si pria. "Justru kulihat, ia yang berjuang melindunginya meski tengah terluka parah."
"Anak ini bakal jadi vampir, 'kan?" tanya si wanita.
"Selama darahnya tidak terisap semua," ujar si pria. "Nak, jangan menguping!"
Entah bagaimana, pria itu tahu jika aku sudah siuman.
Aku duduk menghadap mereka sambil mengamati rumah. Kendati cahaya remang yang menyulitkan penglihatan, setidaknya rumah itu cukup nyaman dihuni. Tidak banyak yang terlihat selain siluet pasangan itu, ada beberapa kue kering dan gelas tertata di depan.
"Jangan takut, kami menyelamatkan kalian. Melihat tingkah vampir nekat yang melindungimu membuat hati kami bergerak untuk menolong," kata si wanita.
Aku jelas kaget mendengarnya. Lalu, siapa yang menidurkanku tadi? Aku jadi cemas soal Nemesis. Kuharap dia baik-baik saja. Aku tidak ingin–
"Siapa namamu?" tanya si wanita. "Sebagai sesama manusia, aku bisa melindungimu."
Aku dengan ragu menjawab, "Remi. Remi Perrier."
"Aku Eliza Gillmore," ujar si wanita.
"Allan Gillmore," timpal si pria yang ternyata sang suami. "Aku harap kamu kenal vampir nekat ini."
Ia bergeser beberapa langkah. Terlihat Nemesis yang tidak sadarkan diri, diselimuti. Terdapat perban berdarah di sekitar leher dan bagian tubuh lain.
Aku bergidik sekaligus iba. Ia begitu lemah dan mengenaskan sampai membuatku gemetar. "Ne ... Nemy?"
Ia tidak menanggapi.
"Ia melindungimu, beruntung aku menyelamatkannya sebelum tewas di tangan vampir tadi," ujar Allan. "Aku yakin kalian saling mengenal."
Aku tidak bisa menutupinya. "Ia ... pelindungku."
Eliza mengangguk. "Sudah jelas sekarang."
Eliza lalu menghidangkan minuman hangat dan sejumlah kue kering. Aku entah kenapa tidak berselera. Perut dan lidah terasa aneh.
"Lukamu akan segera sembuh," ujar Eliza. "Sementara pelindungmu membutuhkan waktu lebih lama."
"Ia nyaris terbunuh," ulang Allan. "Untung aku ada ramuan pengusir vampir."
"Kamu ... Penyihir?" tanyaku hati-hati.
Allan menyahut. "Aku membeli dari temanku, ia penyihir sekaligus peneliti."
Aku kembali menatap Nemesis. Ia sempat melawan sebelum kalah, membuatku malu. Aku bahkan tidak sempat memberontak, justru membiarkan lawan mengincar darahku.
Di tubuh Nemesis, penuh dengan bekas cakar dan gigitan selain di leher, jelas banyak darahnya yang dihisap. Jika memang kukira begitu. Apa ia akan bertahan? Aku buang jauh-jauh segala jenis pikiran buruk.
"Bagaimana dengannya?" Aku menunjuk Nemesis.
"Kalau terlambat sedetik saja," ujar Allan. "Kamu akan kehilangannya."
Kalimat itu membuatku bergidik.
"Kamu tidak makan?" tanya Eliza. "Jangan sungkan. Kami tahu siapa kamu sesungguhnya."
"Tahu?" heranku.
"Kalung itu," sahut Eliza. "Kami punya putra yang selalu bicara soal kalung itu."
Keluarga Gillmore.
Gill.
Aku terdiam, menunduk menatap ancaran cahaya kalung yang buram.
"Remi," panggil Eliza. "Makan?"
Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku ... Kenyang."
Eliza menyahut. "Kalau kehabisan darah, kami tidak tanggungjawab."
Terpaksa aku gigit kue kering itu walau hanya sekali, lalu minum segelas teh hangat sebelum berhenti karena kekenyangan.
"Terima kasih, Eliza, Allan," ucapku tulus.
"Tidak masalah," sahut Eliza. "Kamu mau lagi?"
Aku lantas menolk. "Mungkin untuk pelindungku."
Eliza tiba-tiba mengelus rambutku yang acak-acakan. "Kalau lapar, bilang saja. Aku bersedia memasak dan membelikan apa pun."
Aku ingin menolak. "Jangan repot–"
"Sudah kewajibanku melayani tamu," potong Eliza.
"Apalagi untuk korban malang seperti kalian," timpal Allan.
Lagi-lagi, aku berbisik. "Terima kasih, Eliza, Allan." Sebelum terlelap lagi.
***
Aku dibangunkan oleh suara bisikan yang dikenali, lengkap dengan balasan dari pasangan itu.
"Kami harap Thomas baik-baik saja," bisik Eliza. "Kami tahu ia pasti sangat ketakutan."
Nemesis mengiakan. "Putra kalian adalah pemuda yang pemberani."
Aku duduk lalu menatap sekeliling.
Nemesis menoleh. Tidak ada reaksi selain tatapan dingin.
Aku menelan ludah, jelas tidak enak melihatnya. Ia marah.
"Remi pasti mencarimu," ujar Eliza sambil menatapku. "Beruntung kalian selamat."
Tatapannya melunak. "Remi, duduk sini." Ia menepuk lantai di sisinya.
Aku bergeser ke sisinya.
"Mari, pulang."
Allan mengelak. "Kalian tidak keberatan menginap barang sebentar? Kalian tampak kelelahan."
"Kami terbiasa," balas Nemesis. "Ayo!"
Aku berdiri.
"Kami pamit, terima kasih." Nemesis berkata tanpa senyum lalu berpaling.
"Tunggu! Kita belum berkenalan!" cegah Eliza.
Nemesis berpaling dengan tatapan tidak sabar. "Killearn."
Eliza mengangguk. "Kamu bisa tinggal lebih lama."
"Ia tidak akan menyerang setelahnya," ujar Nemesis. "Sekali lagi, terima kasih."
Belum sempat berucap, pintu ditutupnya dengan pelan.
***
Kami diam sepanjang jalan, tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata maupun sekadar bersuara. Sebentar lagi matahari terbenam. Rupanya, kami menghabiskan waktu seharian di rumah itu. Berkat hutan rimba ini, kulit Nemesis sepenuhnya terlindung. Ia tampak biasa saja meski cahaya mentari sesekali mencolek kulitnya.
"Remi." Nemesis memanggil.
"Ya?"
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Nemesis tanpa menatapnya. Nadanya pun terkesan kaku, seakan enggan bicara.
"Iya." Aku menelan ludah. "Kamu?"
"Ya."
Hening sejenak.
"Bagaimana dengan lukamu?" Nemesis kembali bertanya.
"Mendingan," jawabku. "Luka kecil."
"Bagus," ujar Nemesis. "Setidaknya fisikmu tidak lemah."
Aku tidak membalas.
"Siapa yang menyuruh keluar?" tanyanya.
Aku tentu saja malu jika harus jujur. Tapi, berbohong bukanlah jawaban tepat. "Aku ... Cemas."
Nemesis menyahut. "Benarkah?"
Aku mengiakan.
"Kamu kesepian?" tanya Nemesis.
Lebih tepatnya cemas dan takut.
Kami pun melanjutkan langkah.
***
Kami pulang dalam kecanggungan. Untungnya keadaan kubah bunga tadi masih utuh seperti sedia kala. Jubah Arsene tergeletak di sana, aku lupa mengenakannya dan beruntung tidak hilang.
Nemesis masuk, membiarkanku hanya menatap dalam keheningan. Ia membaringkan badan lalu tidur.
Aku lalu duduk di sisinya. "Nemy?"
Ia menyahut tanpa membuka mata.
"Apa hubunganmu dengan ilusi tadi?" tanyaku. "Ia tampak sangat membenci kalian."
"Itu urusan di Shan," jawabnya. "Ia ingin mengambil alih kerajaan."
Aku diam saja.
"Ia salah satu penduduk kerajaan yang dipenuhi Sihir Hitam, seberang Shan," tutur Nemesis. "Aku dan Mister Perrier dulu sering mengawasi mereka. Sejak awal, niat mereka sudah busuk, ingin membunuh kalian."
"Bagaimana dia bisa bereinkarnasi?" heranku.
"Bukan reinkarnasi," jelas Nemesis. "Jiwanya hanya numpang sebentar di raga yang terlalu rapuh. Makanya kami sebut ilusi."
"Lalu, apa dia ingat semua kejadian di Shan?" tanyaku. "Ada apa?"
Nemesis lalu menceritakan bagaimana negeri di atas awan, Shan, bisa hancur akibat sihir dari wanita penyihir bernama Hiwaga. Begitu runtuh, semua Guardian bereinkarnasi dan dengan bekal ingatan yang berangsur-angsur pulih, mencari majikan mereka. Aku dan Kyara salah satunya. Tidak kusangka, Guardian adalah pekerjaan umum di sebuah kerajaan.
"Jadi, ada berapa Guardian di kerajaan kami dulu?" tanyaku. "Maksudku, kukira hanya ada kerajaan keluargaku."
"Entahlah," balas Nemesis. Suaranya melemah dan hampir tidak terdengar. Ia jelas kembali mengantuk. "Mungkin ..."
Aku mengalah. "Selamat beristirahat, Nemesis."
Ia tidak menyahut. Tenggelam dalam mimpi.
Wah, ada tokoh baru, nih! Sudah jelas mereka siapa, 'kan? Meski tidak banyak hint atau cerita tentang pasangan Gillmore, setidaknya cukup berperan ke depannya.
Gimana menurut kalian? Beberapa bab lagi sudah tamat, lho! Stay tune!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top