✴️5 : Ilusi - 1✴️
Nemesis menggendongku menjauh.
Ia berlari menghindari beragam barang yang dilempar secara liar.
Aku tidak tahu pasti apa itu.
Bunyinya menggema memekakan telinga.
Aku sempat melihat beberapa sosok di balik bayangan hutan, dengan marah melempari kami dengan batu hingga panah. Aku yang tidak tahu menahu hanya diam, berusaha mencerna apa yang terjadi.
"Ada apa?" tanyaku. "Di mana yang lain?"
"Mereka tadi datang," ujar Nemesis. "Begitu sampai di sini, ia tahu."
Siapa?
Aku menunduk memandangi mereka dengan heran. Tatapan mereka penuh kebencian dan rasa jijik.
Aku tentu saja heran, selama ini tidak ada yang bermasalah dengan sihir seperti mereka. Jika benar para Guardian selama ini hendak menyusul kami ke desa ini, lalu di mana mereka? Kenapa dengan sosok-sosok ini?
Nemesis berhenti.
Brak! Sebuah kapak nyaris memotong kami. Benda itu tembus ke dalam hingga memecah sebuah dahan. Terbelah.
"Itu mereka!"
Aku menoleh. Mereka menunjuk kami. Sebagian telah membawa senjata hingga benda-benda yang biasa dipegang. Apa mau mereka?
Kulirik Nemesis. Ia balas dengan melempar sebuah batu yang menancap di lubang pohon.
Buk! Tepat di kepala. Lenyap jadi abu.
Tunggu, bukankah itu ...
"Ilusi." Entah kepada siapa Nemesis bicara.
Nemesis cari jalan lain, namun kami malah terjebak. Ada tiga jalan pilihan–kiri, kanan dan bawah–tertutup dengan beberapa makhluk yang marah.
Nemesis mendesis lantaran kesal.
"Itu dia! Zadoc!"
"Bunuh mereka!"
Aku mendengar jeritan gadis. Begitu menunduk, kulihat Azya berjuang melawan dengan menggigit tangan musuhnya. Lehernya berdarah akibat ditusuk benda kecil mirip jarum.
"Akh!" Lehernya dirantai. Dia diseret menjauh.
Orang yang menariknya tiba-tiba menggerang hingga pegangannya terlepas.
Hayya memukulnya menggunakan kekuatan menghilang. Tampak dari reaksi Azya, dia berhasil melepas kekangan di leher saudarinya.
Kudengar suara Hayya. "Lari!"
Azya berlari meski lehernya masih dilingkari benda yang tampak terbuat dari besi. Berkat tubuhnya yang kecil, dia berhasil melewati sela-sela manusia yang hendak menangkapnya.
Nemesis mendesis.
Aku menoleh.
Ia berjuang menghindari siraman air dari bawah. Aku heran mengapa Nemesis membenci air itu. Ketika sadar itu ternyata Air Suci, barulah aku paham.
Tanpa berpikir panjang, aku berdiri di depan Nemesis sebagai gantinya, meski tubuhku terlalu rendah.
"Apa yang kaulakukan?!" tanya Nemesis. Dia tampak cemas.
"Air bukan apa-apa, kok," balasku santai.
Splash! Ah, sekarang aku yang disiram. Tidak main, mereka siram aku dengan seember air. Sebenci itukah?
"Kita bisa kabur kalau saja mereka tidak pakai penangkal," ujar Nemesis. "Aku seharusnya bisa menjelma jadi kabut dan Tirta bisa beri mereka pelajaran!"
Ironis, mereka ingin kami pergi tapi juga memakai mantra untuk menangkal.
"Tapi, bukankah kaubilang mereka ..." Aku sengaja menggantung kalimat. Ia pasti paham maksudku.
"Mau repot melawan mereka semua?" balas Nemesis.
"Dari mana asal mereka?" Aku jelas heran. Kalau mereka ilusi, kenapa begitu kuat?
Aku berpikir sejenak. Jika Guardian-ku saja tidak mampu melawan mereka, bagaimana denganku?
Sepertinya aku lupa seseorang.
Terdengar raungan mengguncang tanah.
Nemesis refleks memegang tanganku agar tidak jatuh dari pohon.
Semua hening. Berpaling.
Azya lenyap ketika ditarik sesuatu. Aku yakin Hayya sedang mendekapnya hingga dia ikut raib.
Aku tidak melihat apapun. Kutolehkan ke sana sini. Hanya langit malam menyambut dengan wajah waspada.
Hening lama.
–Hingga jeritan memecah.
"Naga! Naga!"
Kerumunan tercerai-berai begitu kaki naga mendarat nyaris menginjak mereka hidup-hidup. Sisik ungunya terpantul di bawah sinar rembulan, belum lagi mata merah menyala yang membuatnya tampak menyeramkan. Ia berdiri di antara abu yang berserakan. Kini tersisa beberapa ilusi saja.
Idris.
Amukan sang naga berhasil memukul mundur kerumunan manusia. Mereka tampak tidak berdaya lagi.
Percuma saja, ia–sengaja atau tidak–menghancurkan pepohonan dengan sekali ayun menggunakan ekor. Tiada pohon yang tidak hancur, bahkan kami.
Brak! Pohon tempat kami berpijak mulai oleng.
Nemesis menggendongku lagi. Ia melompat ke pohon seberang. Untung tidak terjangkau.
Ia menurunkanku.
Kami menyaksikan Idris menghabisi kerumunan dalam diam.
Nemesis menunjuk ke sebelah kiri. "Kalau bisa, aku akan melompat dan membawa kita lari dari sini!"
Terdengar jeritan dua gadis.
Mata merah Idris menatap tajam ke segala arah, mencari.
Di ujung sana, seseorang sedang mengikat leher Hayya dan Azya dengan sesuatu. Entah bagaimana, benda itu seolah mampu menangkal kekuatan menghilang Hayya. Mereka berjuang memberontak, sementara si penangkap menarik leher dengan kasar.
Idris meraung. Saat itulah ia menerjang mereka.
Hayya dan Azya diseret. Mereka juga berjuang membebaskan diri.
Nemesis melompat. Aku tidak sempat melihat ke mana.
Ia berhasil melompati pohon demi pohon tanpa gangguan. Aku justru bingung, kenapa ia tidak gunakan kekuatannya?
Mataku terarah pada lehernya, barulah aku paham. Ada sesuatu yang menancap di sana, membuatnya tidak berdaya.
Terdengar raungan.
Nemesis malah meneruskan lari. Aku hendak mencegah, tapi lidahku kelu.
Kulihat sesuatu menancap di leher Idris. Ia meraung lagi dan menerjang tanpa arah yang jelas. Perlahan, tubuhnya menyusut sebelum kembali ke wujud manusianya.
Nemesis menarikku sebelum si penyerang menyadari. Kulihat ia siap dengan senjata anehnya.
"Itu bukan ilusi," ujar Nemesis sambil meneruskan lari bersamaku.
"Tangkap!"
Dari kejauhan, seseorang siap menangkap Idris menggunakan benda mirip jaring. Jelas ia akan membawanya lari entah untuk diapakan.
Sebelum menyentuh tanah, Idris sempat menghindari perangkap dan kebasan pisau. Tanpa kekuatannya, ia hanya bisa menghindar.
Nemesis membawaku lari sebelum aku melihat lanjutannya. Semakin lama, semakin jauh kulihat Guardian-ku berjuang melawan seorang diri.
"Bantu dia!" seruku pada Nemesis.
Ia menghentikan larinya untuk menoleh. Aku ikut melihat arah pandangnya.
Kerumunan memenuhi hutan. Sosok yang dicari tidak ditemukan.
Kini, tempat itu dipenuhi kobaran api entah siapa yang menyalakan. Membakar sebagian besar wilayah hingga terlihat bagai neraka dan penghuninya.
"Di mana yang lain?" tanyaku.
Nemesis tidak menjawab.
Jika benar mereka hendak datang menolong, bisa jadi sudah diburu dan dilumpuhkan dengan benda aneh tadi. Tanpa sihir, mereka hanya bisa berlari dan mengandalkan kekuatan fisik seadanya.
Brak! Nemesis melemparku jauh.
Aku mengempas ke tanah, tepat di depan jaring yang nyaris menangkap kami.
"Itu mereka!"
Aku refleks bangkit, berjuang meraih Nemesis.
Kami lanjutkan lari.
Aku tidak sempat melihat siapa atau apa yang tengah mengincar. Pastinya, benda yang dilempar masih berupa benda sekitaran hutan seperti batu atau tanah. Untung Nemesis berlari jauh lebih cepat dibandingkan mereka. Aku lagi-lagi menjadi sapu tangan yang berkibar di udara ketika ia mencengkeram tanganku.
Ia panjat pohon. Aku berjuang menyamai langkah, meski sedang berpegangan.
Serangkaian batu nyaris menembus kaki. Benda itu menancap rapi di pohon.
"Itu mereka! Mereka!"
Nemesis melemparku. Peganganku terlepas.
Aku melayang tepat di atasnya sedetik sebelum mendarat di punggungnya. Ia menggendongku seperti Arsene dulu. Melompati dahan demi dahan dari amukan warga.
Aku menunduk.
Mereka menghadang kami dengan tatapan tajam. Masing-masing siap melempar, entah dengan pisau atau benda ringan lainnya.
Tunggu, bukannya mereka tadi diinjak Idris hingga tak tersisa?
Kami berhasil lolos berkat kecepatan Nemesis, namun ia tidak mampu menjelma menjadi kabut lalu pergi tanpa jejak.
Brak! Nemesis terhenti. Sesuatu menancap di kakinya.
Kami jatuh.
Hai! Hai! Jumpa lagi di bab terbaru "Arcane"! Moga suka, ya!
Gimana menurutmu? Adakah teori baru mengenai kisah sebelum runtuhnya Shan? Cerita di komen, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top