✴️4 : Pertemuan - 8✴️

"Raja Rihan Suryanta adalah raja pertama dan terakhir Shan. Ia penduduk pertama negeri itu bersama ibu kalian, Anala Suryanta." Khidir bertutur pada keesokan hari.

Tirta duduk di antara kami, menyimak obrolan mereka. Ia sama sepertiku, tidak tahu apa yang terjadi selain ingin menolong teman yang bermasalah.

Nemesis dibaringkan di sebuah kamar tertutup dari sinar matahari dan entah kenapa tidak ada yang bersedia menjaganya. Aku pun berniat menjenguk, tapi diusir oleh hampir semua orang.

Kami duduk berkumpul di ruang tengah, hanya Count Wynter yang bersedia ikut. Aku heran kenapa yang lain lebih memilih berbohong demi menghindar. Namun, kuhargai keputusan mereka meski banyak pertanyaan melayang. Keluarga ini sungguh aneh bagiku.

Kulirik Count yang duduk di sisi kiri Idris. Keduanya tampak bagai purnama dan langit malam. Satu berambut putih, mata merah dan tampak menyimak dengan serius ucapan Tirta. Satunya berambut hitam dengan mata yang sama, terlihat jelas tidak terlalu mendengarkan. Namun, aku tahu ia bersedia membantu kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Lalu, kudengar Idris bicara padanya.

"Kakak, kamu ingat kisah keruntuhan Shan?" tanyanya. "Soal Hiwaga?"

"Aku tertipu dengan penampilan," kata Count Wynter. "Mengira Mariam dan Hiwaga orang yang sama."

"Ibuku bermata ungu," balas Mariam.

"Hanya itu perbedaan kalian?" Count mengangkat sebelah alisnya.

Idris memanggil. "Kakak ..."

"Jangan memanggilku begitu!" Count mengalihkan pandangan. "Panggil dengan gelar atau nama belakang."

Idris tampak tidak mengindahkan. "Kakak, ada yang kauingat?"

Count tampak menyerah dengan adiknya. "Tentang apa?"

"Hiwaga, selain fakta kalau dia yang meledakkan Shan."

Count melirik Mariam. "Dia memfitnahku. Dia bilang aku yang menghancurkan Shan."

"Aku hanya bilang kamu pemicunya," balas Mariam.

Suasana seketika canggung dan mencekam di saat yang sama. Aku memilih diam menunduk sambil memeluk jubah Arsene.

"Sudah." Tirta lebih terdengar lelah alih-alih marah. "Kalau tidak tahu, sebaiknya diam saja."

"Aku bahkan tidak tahu pekerjaan sampingan adik tiriku sendiri." Count menatap Idris. "Diam-diam menjadi bangsawan di Negeri Bawah dan jadi anak emas Raja Aibarab? Apa-apaan?"

"Kakak tidak bertanya," balas Idris.

Kulirik Gill yang duduk di sisi kanan. Ia sibuk mencelupkan kue kering ke teh hangat. Aku ikut menyantap bersamanya daripada harus menyaksikan perdebatan para sesepuh.

Michelle–Kyara bertanya, untuk mengalihkan topik. "Jika ayah kami adalah raja pertama Shan, apa yang terjadi setelah keruntuhan? Ia masih hidup?"

"Kuharap," jawab Tirta. "Aku sedang berada di luar istana saat ledakan terjadi. Aku tidak tahu siapa yang selamat."

"Bagaimana Kakek bisa selamat?" tanya Khidir. "Aku tahu kamu saksinya waktu itu."

Tirta menyentuh rambut hitamnya, seakan hendak membelainya. "Barangkali seseorang hendak menghapus ingatanku. Aku hanya tahu jika Shan runtuh karena sihir."

"Kakek tahu jika pelakunya Hiwaga?" tanya Khidir.

Tirta tampak kebingungan. "Aku hanya tahu jika dia penyihir wanita, salah satu penyebab runtuhnya Shan, dari mulut ke mulut. Sebenarnya, aku tidak ingin menyebarkan kabar burung seperti ini."

Hening sesaat. Kuperhatikan sekitar. Hanya Tirta dan Count yang tampak kebingungan, menatap polos seperti aku dan Michelle.

Kuperhatikan Tirta, Guardian tertua sejauh ini. Meski wajahnya terdapat luka di sekitar mata kanan, ia tampak lebih polos dibandingkan yang lain. Tatapan saja tampak bagai sosok yang bersedia mendengar keluh kesahmu kapan pun sambil menasihati.

Bukankah luka di wajahnya bisa jadi  bukti? Atau barangkali ia mendapatkannya jauh sebelum tragedi itu?

Tirta tampak sebingung aku dan kakakku. Memandang setiap orang dengan tatapan, "Ada apa?"

"Kakek pasti lupa." Khidir berucap pelan, aku tahu ia sangat kebingungan lagi takut. Bagaimana tidak? Sosok yang hidup ratusan tahun malah dengan mudah melupakan sesuatu.

Tirta membalas dengan nada polos. "Ah, aku juga pelupa. Banyak kejadian selama hidupku."

"Kakek justru yang paling mengenalnya," kata Idris.

Hening lama.

Kami semua bingung, termasuk Count Wynter yang awalnya tampak tidak peduli.

"Kalau Raja Suryanta?" tanya Zahra yang duduk di samping Khidir. "Anda tidak mungkin lupa, karena kalian berteman jauh sebelum menjadi Guardian."

Tirta mengiakan. "Kalau Rihan, aku ingat dengan jelas."

Fakta kalau ia memanggil pria itu dengan nama depan sudah membuktikan seberapa dekat hubungan mereka.

Aku mengerutkan kening. "Lalu, siapa Hiwaga?"

Seluruh tatapan tertuju padaku.

"Itu ibuku." Mariam menjawab dengan nada datar. "Salah satu penyebab runtuhnya Shan."

"Kenapa?" tanyaku.

Mariam diam saja. Barangkali dia tidak tahu. Aku maklum, bisa jadi sang ibu sangat berhati-hati sampai putrinya sendiri tidak tahu.

Kupeluk diri ini dengan jubah Arsene demi mengulur waktu. Mereka diam terlalu lama sampai aku mengantuk.

"Apa yang terjadi dengan orang tua kami?" tanya saudariku.

Aku hendak menyahut, "Kak Michelle–"

"Kyara saja," balasnya.

Aku akan tetap memanggilnya dengan sebutan, "Kakak."

Kakakku kembali mengulang pertanyaan. Ya, aku juga penasaran dengan nasib orang tua kami di Shan, juga orang tua di bumi. Apakah mereka masih hidup? Atau justru tewas juga?

"Orang tua di Shan atau bumi?" tanya Mariam.

"Aku ingat aku punya ibu kandung berambut hijau," kata Kyara.

Mariam menghela napas. "Antek-antek Sakhor membunuhnya. Aku menyelamatkanmu."

"Kenapa tidak dengan Ibu?" tanya Kyara, dia jelas tidak terima.

"Separuh badannya tertelan, apa yang bisa kulakukan?" sahut Mariam.

Kyara menunduk. Dapat kulihat dari sudut matanya berkaca. Namun, aku lihat dia tampak mampu menahan duka. Tidak sepertiku yang sakit sedikit saja sudah rapuh.

"Kamu hanya ingat sampai situ?" tanya Mariam.

Kyara mengangguk. "Aku masih ... Sembilan tahun? Barangkali."

Mariam menelengkan kepala. "Ah, masih jauh."

"Kalau Remi?" tanya Tirta.

Aku menggeleng.

"Ingatannya barangkali disegel di tempat lain," kata Khidir. "Kalau begitu, kita perlu mencarinya."

Aku, entah kenapa, merasa tidak nyaman. Kucengkeram erat jubahnya.

"Remi?" Kudengar suara Tirta.

Aku menanggapi.

"Kamu tidak apa?" Gill mengelus rambut cokelatku.

Aku tidak sanggup menjawab. Segala emosi tercampur aduk hingga menciptakan perasaan aneh di kalbu.

Aku marah.

Sedih.

Takut.

Merasa bersalah.

Aku ...

Tidak tahu harus jawab apa.

Gill kemudian berbisik. "Ayo, tidur. Ini sudah larut."

Kami pun keluar.

***

Gill tidur di sisiku. Sebenarnya, kami tidak bisa tidur selama beberapa menit. Hanya helaan napas terdengar. Ia biarkan aku memakai jubah Arsene sebagai pengganti selimut.

"Pangeran?" Kudengar suara Gill di samping kananku. "Belum tidur?"

Aku menarik napas lalu menutup wajah dengan jubahnya.

Kurasakan belaian Gill. Aku berusaha menahan diri.

"Semua akan baik-baik saja," bisik Gill.

"Aku tidak mau kalian terluka." Aku berucap tulus hingga gemetar bibirku.

"Begitu juga dengan kami," kata Gill. "Ini bukan sekadar perintah Raja atau kewajiban. Kami sendiri yang memilih."

Aku diam saja, membiarkan Gill menidurkanku. Perlahan, aku terbuai dan kantuk mulai menguasai. 

Sebelum terlelap dan mengucapkan selamat malam, aku bertanya, "Gill, terima kasih telah bersedia menjadi Guardian-ku. Aku janji akan berbakti."

Kudengar ia tertawa kecil. "Aku justru meminta maaf karena lemah."

Kalimatnya sama persis dengan yang Arsene ucapkan.

"Maka, biar aku yang melindungimu," ujarku tulus. Ya, aku tidak rela mereka terluka.

Gill tertawa pelan lagi. Tapi, tidak menyahut.

Aku menghela napas, setengah kecewa. Merasa diremehkan.

"Pangeran, kamu boleh kok, ikut bertarung," kata Gill. "Tapi, nanti, deh. Kita tunggu saatnya."

***

Kuedit dulu sebelum hari-H.

Btw, gimana menurut kalian? Ya, ini bab diedit terus sejak revisi kedua. Kenapa? Nanti aku jelaskan setelah anu terjadi.

Kenapa? Aku ga bakal spoiler duluan, hehe.

Sampai ketemu di bab selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top