✴️4 : Pertemuan - 6✴️

Aku alihkan pandangan ke kasur.

Khidir tengah duduk di sana, mengerutkan kening. "Kenapa tidur di lantai?"

Ia terdengar bingung, barangkali juga cemas. Namun, entah kenapa aku juga merasa bersalah. Harusnya aku menyuruh Zahra tidur di kasur lain.

Aku jadi tidak nyaman, langsung menunduk.

Khidir lalu duduk di lantai hingga posisi mereka sejajar. Ia elus rambut ungu Zahra yang masih diam tanpa ekspresi.

"Tidak dingin?" tanya Khidir.

Hening lama.

Aku berniat menjauh, memberi mereka privasi.

Terdengar isak tangis tertahan.

Aku pun berpaling.

Mata Zahra berkaca, bibirnya bergetar. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia memeluknya erat. Dapat kudengar isak tangisnya.

Khidir awalnya tampak kaget. Ia kemudian mengelus rambutnya, hanya diam.

Diri ini diam menyaksikan kedua ayah dan anak bertemu lagi setelah sekian lama. Lega rasanya bisa melihat mereka bersatu tanpa harus merasa kehilangan. Sementara aku belum berjumpa dengan orangtua kandung sendiri.

"Syukurlah engkau selamat, Abi."

Entah terkena apa, Khidir tiba-tiba membeku seakan tersihir, tampak berjuang mengendalikan diri. "Zahra, tolong ulangi lagi!"

Zahra jelas tampak heran. "Syukur–"

"Bukan, satunya lagi."

"Abi?"

Khidir mengalihkan wajah, ia tutup senyumannya dengan sebelah tangan, tersipu. Ia seolah meninggalkan kesan janggal bagiku. Apa pria ini tidak pernah dipanggil begitu oleh anaknya sendiri?

Ia terus menggumamkan kata tadi, jelas membuatku kian heran. Bingung dengan hubungan Khidir dengan Zahra. Ayah dan anak? Atau orang asing yang kebetulan saling bantu?

"Sudah makan?" Ia mengalihkan topik.

Zahra menunduk. "Tidak berselera."

Khidir menghela napas, tampak kecewa. "Duh, Zahra."

Zahra diam saja.

"Ayo, kita makan!"

***

Aku memilih berjalan seorang diri menyusuri dapur menuju halaman belakang rumah Wynter. Jujur saja, meski dari luar tampak kelam bagai kuburan, di dalam bagai surga. Tempat ini sesungguhnya nyaman dihuni. Aku bingung dengan selera Count.

Alasanku menuju taman tidak lain dan bukan hanya sekadar merenung. Seharian ini, ada banyak orang yang kutemui tanpa tahu siapa mereka sebenarnya. Terutama kedua saudari yang belum kukenal atau ingat. Apalagi para Guardian yang tidak diketahui asal usulnya.

"Remi!"

"Eh?!"

Oruko Hayya tiba-tiba memegang bahuku dan nyaris menjatuhkanku.

Dia tersenyum. "Sedang apa?"

Aku tidak mampu menjawab, malu lebih tepatnya. Kesepian memang, tapi bukan hanya itu alasanku ke sini.

"Anu ... Hayya," panggilku. "Siapa ayahmu? Bagaimana rupanya?"

Hayya menuntunku duduk di bangku ruangan. Lalu bertutur dengan antusias, tak peduli jika suaranya menggema.

"Oruko Takeshi, ia membesarkan kami selama ini," tutur Hayya. "Meski tidak terikat darah, kami seakan ditakdirkan untuk jadi keluarga. Ia menyayangi, merawat, sekaligus menganggap kami sebagai putrinya."

Aku mengiakan, tanda mendengar.

"Ia juga bekerja di Aibarab sebagai seorang kesatria," lanjut Hayya. "Namanya jadi Idris Asafa, sekaligus teman minum Raja Khidir."

"Jadi, siapa nama aslinya?" tanyaku.

"Otōsan mengaku namanya sekarang adalah Oruko Takeshi."

"Mengapa ia mengubah nama?"

Aku jelas heran, kenapa ia tidak gunakan nama asli? Jadi, aku harus memanggilnya siapa?

Hayya mengangkat bahu. "Kami tetap menerimanya sebagai penduduk Kikiro. Ialah yang menjaga negeri itu dari Sihir Hitam yang sudah bertahun-tahun menghantui, terutama dari kitsune dan siluman.

"Nah, sebagian besar orang menganggapnya sebagai sosok yang mengerikan, mesin pembunuh istilahnya. Tapi, yang kulihat hanya sosok pria yang senang memasak dan berkebun."

Melihatnya tersenyum membuatku sedikit lega.

"Eh, apa itu?" tunjuknya.

Aku mengikuti arah pandang.

Terlihat sesuatu bergerak di balik semak-semak. Entah kenapa, firasatku buruk.

"Azya!" tegur Hayya. "Ayo, keluar!"

Tidak ada tanggapan.

"Mungkin itu bukan dia," bisikku.

"Remi? Hayya-chan?"

Aku berpaling dan melihat Michelle–ralat, Kyara–berjalan menghampiri. Dia tampak bingung sekaligus ngeri begitu menatap semak yang bergerak perlahan.

"Lian-chan!" balas Hayya. "Kamu sudah jenguk Otōsan?"

Kyara menggeleng. "Ayo, masuk!"

"Tapi, mana Azya?" tanya Hayya. "Aku belum melihatnya."

"Hayya ..."

Terdengar suara Azya lirih dari balik semak-semak. Aku reflek memicingkan mata. Kusahuti panggilannya, tapi tidak dibalas.

"Azya?" Hayya memanggil lagi. "Azya!"

Tanpa berpikir panjang, gadis itu langsung menghampiri semak-semak.

Aku menyusul, meski hati menolak.

Kyara menarik tanganku. "Jangan!"

Aku menahan tangannya. "Ada apa, Kak?"

Kyara berseru. "Hayya! Ke sini!"

DUAR!

Hayya refleks menghilang. Aku tahu gadis itu sempat menghindar sebelum kabut hitam menyelubungi. Yang membuatku terkejut tidak hanya serangan mendadak itu, melainkan juga kekuatannya. Tidak asing.

"Minggir!"

Kyara mendorongku sebelum bayangan tadi meremuk sebuah kamar di belakangku.

Aku terpana. Aku kenal sihir ini.

"Ayo!"

Hayya menarik tangan kami lalu menghilang bersama.

Dalam keadaan menghilang, aku dapat dengan jelas melihat sekitar yang mana membuat ragu apakah aku benar-benar raib atau tidak.

Dur!

Kami terpisah.

Genggaman Hayya terlepas.

Kami terlihat.

Aku jatuh menimpa lantai berlapis marmer. Dingin dan sakit. Sambil mengatur napas, berdiri menatap lawan kami.

Sosok itu terselubungi kabut hitam. Tangannya mencengkeram leher Kyara. Gadis itu tampak tak berdaya.

"Kakak!" Aku berlari mendekat.

Buk!

Bayangan itu mengempas tubuh. Kali pertama kurasakan kekuatannya. Panas bagai bara api.

"La ... ri." Kudengar suara Kyara berucap lirih. Tubuhnya terseret semakin dalam ke sebuah portal hitam.

"Kakak!" Aku berhasil menembus kabut hitam dan sesuatu yang keras, sedikit tergores pada pipi. "Kak–"

Brak!

Aku ditamparnya hingga menimpa dinding.

"Remi!"

Saat itulah, kulihat Kyara berhasil menarik sang lawan. Menabrakkannya ke dinding sebelum berlari menghampiriku.

"Kamu tidak apa-apa?"

Aku mengangguk.

Kami berlari menuju taman. Aku mencengkeram erat tangan kakakku. Lariku memang lebih lambat, tapi Kyara terus menarikku.

Hayya menyambut kami, dia berdiri di tengah kebun tadi. Akibat malam yang gelap, aku tidak tahu pasti kami di bagian kebun yang mana.

Dia berseru, "Keluarga Wynter akan datang!"

Pegangan kami terlepas. Aku memilih berlari menyusul Hayya tanpa berpegangan. Menghindari setiap kabut hitam dan serangan mendadak.

Saat itulah, keluar kabut hitam menutupi separuh taman. Aku takut mendekat, kalau-kalau itu akan membunuhku.

Wussh!

Api hitam menghalangi bayangan. Asap berbau amis membakar udara hingga menyakiti hidung dan tenggorokan. Aku terbatuk sambil berjuang menutup separuh wajah dengan baju.

Hayya tiba-tiba menggenggam tanganku. "Ayo!"

Kami berlari selagi menghindar.

Kabut hitam itu menyelubungi, semakin pekat. Ketika menyatu ke tanah, tercium bau busuk dan amis. Aku nyaris muntah setiap kali mencium aroma jahanam itu.

Syaat! Brak!

Pohon tumbang. Hayya menarikku lalu meloncat. Kami mendarat sebelum sesuatu menusuk, benda tajam tadi menancap di pohon. Kami berlari lagi.

Aku terus mencuri napas, dada sesak akibat terlalu banyak lari.

Kabut menutup jalan. Kami terpojok.

Aku genggam erat tangan Hayya. Dia menatap liar sekitar. Begitu pandangannya jatuh ke suatu titik, dia tersenyum.

Aku ikuti arah pandangnya.

Sekitar kami bagai neraka hitam. Campuran api hitam dengan kabut terpadu menjadi satu kehancuran.

Bayangan melesat.

Hayya berseru. "Otōsan!"

Dum!

Seekor naga mendarat tepat di depan. Sisik ungunya berkilau diterpa sinar rembulan. Rambut putih berkibar selagi mata merah menatap tajam lawannya.

***

Note : Akhirnya bisa update juga. Bagian ini mengalami banyak perubahan karena anu.

By the way, bagaimana menurut kalian soal bab ini? Kalian kenal kekuatan lawan mereka?

Sampai jumpa di bab berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top