✴️4 : Pertemuan - 3✴️
Aku terima sebuah botol kecil mirip milik Mariam. Tertulis di sana ukiran aksara yang tidak kupahami. Kulirik Michelle, dia juga memegang benda yang sama.
"Kalian tangkap jiwa Khidir dan Idris!" titah Guardian itu. "Akan kupisahkan jiwa mereka!"
Aku dan Michelle mengiakan.
"Thomas, jaga mereka!" titahnya.
"Panggil aku 'Gill!'" Ia berdiri, masih ingat dengan kata khasnya.
"Siapa kamu?" tanya Michelle sebelum sosok itu beranjak dari duduknya.
"Tirta."
Ia melesat, memasuki medan pertempuran. Antara api merah dan hitam tercampur padu menciptakan halimun yang menyesakkan dada. Aku harus menahan napas berkali-kali agar tidak pusing sambil memegang erat botol ini. Menunggu.
"Pangeran!" Gill menahan bahuku. "Jangan mendekat!"
Aku mengiakan, walau tidak sepenuhnya patuh.
Kulihat sosok yang bernama Tirta itu menari di antara kobaran api dan rantai. Ia membidik Evergreen dan menusuknya dengan rangkaian benda tajam kecil. Menghasilkan ledakan kecil di sisik naga itu.
Raungan keras menggetarkan bumi.
Aku refleks berlutut.
Tirta turun lalu mengangkat sebelah tangan, membidik ke arah Evergreen.
Duar!
Hujan badai serta gemuruh petir membelah angkasa. Api yang mengelilingi kami perlahan terkikis, menyisakan Evergreen yang dikekang rantai emas.
Gemuruh petir membelah angkasa.
Gill dan Michelle menjerit tertahan. Ia refleks memeluk kami dengan erat, begitu juga denganku. Aku tidak takut, hanya kaget mendengarnya.
Ctaar!
Kilat putih membutakan pandangan sesaat. Badai menyapu separuh wilayah, aku mencengkeram Gill dan berhasil bertahan bersamanya. Begitu berlalu, aku kembali mengerjapkan mata.
Kulihat naga itu perlahan bangkit dan meraung lagi. Ia telah kehilangan tangan kanan dan ekor, tapi masih saja kuat melawan.
"Remi!" Michelle menunjuk ke samping kiriku.
Aku menoleh.
Tirta tampak berlutut, ia tampak kewalahan. Aku mendekat, berniat menolong.
Tidak kusangka, tubuhnya perlahan diselubungi bayangan hitam. Membesar. Bayangan itu perlahan terkikis dan menjelma jadi sisik hitam mengkilat diterpa kilat. Sosoknya kini menjelma menjadi makhluk mirip naga hitam tanpa sayap. Mata merah menyala, menatap tajam Evergreen.
Tirta meraung, berdiri menantang Evergreen yang terluka. Tidak kusangka, ia memiliki dua kekuatan, badai dan Pengalih-Rupa.
Gill, seakan tahu apa yang direncanakan, berseru. "Buka itu! Tangkap jiwa mereka!"
"Tapi, ini hanya ada dua jiwa," sahut Michelle. "Cara membedakannya?"
"Percayalah dengan kalung kalian," jawab Gill. "Ada dua Guardian terperangkap di sana."
Aku dan Michelle membuka botol dan menunggu. Kutatap pertarungan antara dua Pengalih-Rupa itu.
Tirta tampak lebih besar dibandingkan Evergreen, membuat pertarungan tampak tidak seimbang.
Ia berhasil menindih leher Evergreen hingga menghantam tanah. Dentuman keras kembali menggetarkan bumi. Tirta menahan naga itu agar tidak memberontak lebih lama.
Muncul sosok pucat berpakaian serba hitam, ia berjalan menggunakan tongkat guna menyangga kaki kirinya. Ia angkat tangannya, muncul kobaran api hitam menyelimuti mereka.
"Siapa dia?" tanyaku.
"Count," jawab Gill. "Ayahnya Akram."
Evergreen meraung, dibalas Tirta. Keduanya terlibat "adu mulut" selama sosok pucat itu berusaha membakar sang naga.
Klang! Klang! Klang!
Rantai emas perlahan mengekangnya, Arsya terlihat bersemangat.
Ketika rantai itu cukup, Tirta perlahan kembali ke wujud semula lalu menjauh secepat mungkin. Cukup bagi Arsya untuk mengekang sang naga sambil menunggu kobaran api hitam menganguskannya.
Evergreen meronta dengan sia-sia. Rantai lain malah bertambah.
"Lihat!" tunjuk Michelle.
Tidak disangka, sulur dan dahan turut mengekang naga itu, ia lantas meronta. Cahaya ungu menyelubungi, perlahan kembali ke wujud manusianya. Sosok berkulit pucat dengan rambut hitam. Ya, John Evergreen.
"A-Apa-apaan?!" serunya. "Lepaskan ... Aku–"
Suaranya lantas berubah drastis, seakan kesurupan.
"Kamu telah menyakiti rekan kami!" seru suara yang keluar dari mulutnya. Aku kenal itu, Khidir.
"Kini giliran kami membalas!" Suara Idris menyahut.
Evergreen mencoba merubah wujud menjadi naga, namun gagal. Sulur-sulur sudah mengekangnya lebih kencang hingga ia tampak bagai kepompong.
Tirta menghunus pedangnya. Tunggu, bukankah itu pedang yang digunakan Evergreen saat membunuh pelayannya? Pedang bersimbol singa?
Tirta tebas pedang itu, memenggal leher Evergreen. Meski harus ditahan dengan sebelah tangan yang melindungi lehernya.
Ia menggerang.
Gill menutup mataku.
Terdengar jeritan. Tiga jeritan berbeda. Tanganku diulurkan, membiarkan satu jiwa masuk, meski tidak yakin itu siapa.
Jeritan tadi berhenti, aku dapat merasakan sesuatu masuk ke botol. Gill menutupnya untukku, akhirnya aku bisa melihat.
Berambut putih, mata merah dan berpakaian serba ungu. Ia duduk di sana, terpana menyaksikan jasad Evergreen di bawah kaki Tirta. Aku mengenalnya.
"Otōsan!"
Seruan dua gadis menggema di telinga. Aku menoleh.
Hayya dan Azya berlari, di belakang mereka, berdiri seorang wanita anggun. Rambutnya biru muda dengan gaun berwarna sama. Barangkali, dia yang menjaga mereka.
Sosok di dalam botol itu perlahan duduk, tersenyum tipis menyambut mereka.
Kedua gadis tadi merampas botol yang kugenggam lalu berbasa-basi dengan sosok tadi. Siapa tadi namanya? Idris, kah?
"Otōsan!" seru Azya, matanya berkaca. "Aku kangen!"
Idris tersenyum. "Aku juga kangen."
Ketiganya tertawa pelan.
Badai hujan berangsur-angsur lenyap. Diganti dengan kehangatan mereka. Aku malah ikut tersenyum menyaksikan. Biarlah mereka berbincang riang, meski menggunakan bahasa yang tidak kupahami.
Kulihat Gill mendekat sambil memegang botol berisi sosok yang kutemui beberapa malam lalu.
"Terima kasih, Remi." Khidir tersenyum.
Aku mengangguk.
"Di mana Zahra?" Khidir menatap Gill.
Gill diam saja. Ia jelas tidak tahu.
"Di sini."
Gadis serba ungu itu tampak biasa saja, tidak ada perubahan pada wajahnya seolah kedatangan Khidir bukanlah hal yang patut dirayakan. Dia mendekat lalu memegang botol.
"Selamat datang kembali," ucap Zahra formal.
Khidir tetap tersenyum. "Zahra tidak kangen, ya?"
Zahra tetap memasang wajah datar. "Kangen."
Aku melirik Michelle. Gadis itu terduduk di tanah, memegang kepalanya. Tampak kesakitan, terdengar rintihan kecil.
"Michelle?"
"Aku ... Ingat segalanya."
Aku menyentuh bahunya. "Kakak?"
"Aku ... Kyara." Dia mendongak, menatapku. "Itu nama lahirku. Aku hanya ingat itu, juga ibu kandungku. Apa yang terjadi padanya?"
"Aku .... belum."
Aku benar-benar kesal! Kenapa memoriku tidak kunjung kembali sementara Michelle bisa?
"Di mana Nemesis?!" tanya Michelle setengah teriak.
Aku baru ingat. "Di mana Papa?"
Sungguh, ucapan yang naif. Jubahnya ada padaku, sementara raganya belum ditemukan.
Muncul suara dari belakang. "Sedang beristirahat."
Aku berpaling. "Tirta?"
Jujur saja, ia adalah pria tertinggi yang pernah kulihat seumur hidup. Kalau dibandingkan Khidir dan Idris lewat mimpi, mereka hanya tampak beberapa senti lebih rendah. Apalagi aku, bagai bayi di matanya.
Zahra bicara pada Khidir. "Adakah cara mengembalikan Aibarab? Aku harap tidak semua orang tewas."
Khidir tertegun sejenak. Ia lalu menatap Tirta. "Mana Zibaq?"
Kami menatap sekeliling. Tiada apapun di sekitar. Bahkan, keluarga pucat itu tampak heran, berdiri memandang kami tanpa komentar.
"Kuharap ia tidak berulah," ujar Tirta. "Aku dapat melihat jin. Ia tidak ada di sini."
"Kabur?" tebakku.
Tirta mengiakan. "Ah, siapa namamu?"
Aku jadi teringat Arsene. "Remi Perrier."
Ia tersenyum. "Kamu gunakan nama beriannya?"
"Nama lahirmu?"
Kulirik Khidir, agak lupa. "Darren?"
Aku memang suka nama beriannya. Aku juga merindukan orangtua kandung yang samar di ingatanku, meski sedikit lupa marga. Semua nama berian mereka terkesan bagiku.
Tirta menengadah. "Wah, sudah hampir dini hari. Kalian harus tidur."
"Di mana tidur?" tanya pria pucat yang memegang tongkat. "Rumah ini tidak layak huni lagi, kami sudah menopang satu pria dari kalian."
"Di rumahmu," sahut Tirta, Khidir dan Idris bersamaan. Ketiganya tergelak menyadari kebetulan itu.
Pria itu terdiam.
Note : Kemarin itu aneh bat dah. Kan aku sedang melayani temen yang berkunjung ke rumah setelah beberapa minggu tak menampakkan diri di dunia nyata maupun grup kelas apalagi Google Classroom. Nah, setelahnya, aku tunjukkin anu pada dia, yang membuatku malah kian sibuk. Ya, kadang kebenaran harus ditegakkan biar ga belok kek–
Sudah, ganti topik aja.
Bagaimana menurut kalian? Btw, Tirta ini salah satu tokoh lama, lho. Tidak banyak berubah tentang dirinya, apalagi kekuatan. Sama halnya dengan Idris, yang berubah hanyalah sifatnya.
Mungkin nanti di buku pertama saat revisi atau diterbitkan (Aamiin) nanti, akan sedikit kujelaskan masa lalu Ketiga Pria Tua ini, soalnya mereka yang masih hidup saat Shan runtuh (Mariam lagi di bawah btw, nyantai keknya). Ada yang kangen sama karakter di buku pertama? 😂
Tenang, setelah badai kecil ini, kita akan rehat sebentar. Karena itu sifat dasarku, suka hal-hal berbau fluff yang UwU. Kalian sudah menebaknya? Atau minta adegan fluff lain? Mumpung aja, ya wkwkwk
Sampai jumpa di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top