✴️4 : Pertemuan - 12✴️

Berkat pantulan cahaya keemasan dari tumpukan harta tadi, aku bisa melihat dengan jelas siapa yang menyerangku.

Sebuah sisik hijau membelit. Begitu besar dan kuat, bisa meremukku dalam sekali genggam. Aku berjuang meloloskan diri meski tercekik.

"Calvacanti!" tegur Count.

Belitan itu melonggar. Gill langsung menyambut tubuhku.

Gill menatap tajam sosok yang membelitku. "Beraninya!"

Kulitnya sawo matang, dari pinggang sampai kaki berupa ekor ular berwarna hijau mengkilat. Ia hanya memakai sejumlah gelang dan kalung emas. Sosok itu tidak menyahut, malah menatap Count Wynter. Mata keemasan menatap sang majikan dengan penuh pengabdian.

"Maaf, kukira ia mata-mata yang hendak mencelakaimu," ujarnya.

Count mengiakan. "Tidak masalah."

"Dia hanya anak-anak!" potong Gill.

Sosok itu menatapnya sinis. "Tuyul juga anak-anak, mereka sering mencoba mencuri harta tuanku!"

"Calvacanti!" panggil Count. "Terima kasih sudah menjaga hartaku hingga jumlahnya tidak berkurang."

"Ada apa tadi di luar, Tuan?" tanyanya.

"Zibaq mengacak rumah kita," jawab sang majikan. "Beruntung ia tidak menjarah harta."

"Ah, tak heran." Calvacanti menunjuk ke belakangnya. "Ada beberapa makhluk yang mencoba mencuri."

Ia bergeser, memamerkan sejumlah makhluk mirip manusia yang terkapar. Bisa jadi yang menyerang kami tadi termasuk dari mereka.

"Kerja bagus!" puji Count. "Sekarang, kita coba mencari jalan keluar."

"Aku bisa mengangkut hartamu," kata Calvacanti. "Kita cukup gunakan tas berian pedagang dari Aibarab itu."

"Aku nyaris melupakannya," ujar Count. "Kalau begitu, masukkan semua hartaku!"

"Daulat!"

Tanpa ditanya lagi, tumpukan harta masuk ke dalam tas yang terbuat dari kain sederhana. Anehnya, tidak ada perubahan meski sudah banyak harta masuk sekaligus. Mulai dari perak, emas hingga ratna mutu manikam tampak terbang memasuki tempat baru mereka.

Lama-kelamaan, suasana ruang menjadi semakin gelap dan perlahan tidak terlihat apapun lagi.

"Cari cahaya!" titah Count.

Calvacanti memamerkan sebuah berlian putih berkilau bagai lampu. Aku dapat melihat wajah sosok itu lagi. Begitu menoleh, aku terkejut melihat Gill.

Wajahnya penuh dengan cakar dan luka dalam, beberapa darah mengering. Beruntung hanya sebatas itu. Anehnya, aku tidak terluka sama sekali, hanya tampak tergores kecuali dua lubang kecil di leher. Artinya kami jatuh tidak terlalu dalam.

"Ke mana lagi, Tuan?" tanya Calvacanti.

"Kamu tahu jalan keluar?" Count memakai tas tersebut lalu kembali menatap sekitar. Benda itu tampak hanya sekecil tas anak kecil. Tapi, isinya jelas tidak terduga. Count tampak biasa saja saat mengangkat benda itu. Aku jadi ingin memilikinya.

"Tidak," jawab Calvacanti. "Tapi, aku bisa membawakan tasnya untukmu."

"Tidak perlu." Count berpaling. "Akan kucari jalan keluar. Kuharap mereka tidak minta tebusan."

Kami justru mengikutinya. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi selain mengekor. Gill berjalan di sampingku sementara Calvacanti berada di belakang, seolah sengaja memperlambat langkah.

"Kamu tidak merasakan apa pun sebelumnya?" tanyaku pada Calvacanti.

"Tidak," jawabnya. "Tapi, aku menyadari ada yang aneh. Biasanya makhluk yang mencoba mencuri harta Tuan adalah penyihir, jin atau familiar. Kali ini, kaum penghisap darah."

"Ada berapa banyak vampir di sini?" gumamku.

"Monster di Ezilis kebanyakan menghisap darah," ujar Gill. "Tapi, aneh juga. Mereka biasanya tidak tertarik dengan harta."

"Untuk apa mereka menjarah rumah Count?" tanya Calvacanti. "Kalau bukan harta yang dicari."

Kami meneruskan langkah tanpa menjawab pertanyaannya. Aku yakin mereka ingin mengisap darah keluarga Wynter. Tapi, menurutku mereka seharusnya berpikir dua atau bahkan berkali-kali sebelum menyerang keluarga itu. Kenapa tidak memburu yang lebih lemah?

Lalu, kudengar suara Gill. "Terima kasih, Count, telah bersedia membantu kami."

"Ah, kalau bukan karena makhluk itu, sudah pasti kubuang kalian di sini." Balasan tajam Count membungkam mulut Gill. Aku juga sedih mendengarnya. Jelas ia tidak tulus. Sepertinya aku tahu makhluk yang dimaksud.

"Anda melakukannya demi Idris?" tanyaku.

Count tidak menjawab. Meneruskan langkah dalam diam.

Secercah cahaya kemerahan perlahan muncul. Mendekat. Terdengar langkah kaki.

"Remi!"

"Kakak!" Aku berlari menuju sumber cahaya.

Rambut hijau Kyara perlahan tampak dari akar kepalanya, membuat dia seakan punya dua warna rambut sekaligus. Di samping, ada wanita berambut putih memegang obor. Ah, siapa namanya tadi?

"Mariam," sapa Count datar.

Ah, ya. Mariam.

"Kukira Idris yang datang," lanjut Count Wynter.

"Idris sibuk," jawab Mariam. "Kita perlu membunuh beberapa lagi agar bisa lolos."

"Tahu dari mana?" tanyaku.

Mariam menatapku dengan mata birunya. "Killearn memberitahu."

"Di mana Nemy?" tanya Gill.

"Kukira ia bersamamu," balas Mariam. "Terakhir kulihat, ia terjatuh juga ke pintu tadi."

"Seberapa luas rumah ini?" tanya Gill. "Kenapa tidak hancurkan sekarang?"

"Itu bunuh diri," balas Count. "Kalau mau selamat, mau tidak mau berhadapan dulu dengan jin itu. Siapa Zibaq? Apa urusannya?"

"Aku tidak tahu pasti," jawab Mariam. "Selama Tiga Pria Tua melawan Zibaq, kita harus siap dengan segalanya."

Siapa Tiga Pria Tua? Jangan-jangan Tirta, Khidir dan Idris.

"Lalu, apa?" tanya Gill. "Ruangan ini tampak kosong."

"Bisa jadi hanya ilusi." Mariam menarik napas. "Berapa umurmu? Kamu tidak tampak berpengalaman."

Kurasakan genggaman Gill mengeras. Aku tahu ia malu mendengar pertanyaan dari Mariam.

"Dua puluh satu," jawab Gill lirih. "Aku memang masih kecil. Tapi, aku tidak akan menyerah!"

Apa umur segitu masih tergolong kecil? Aku yakin Gill tidak sepayah yang ia bayangkan.

"Baguslah," balas Mariam dengan nada datar. "Kamu jaga Remi dan Kyara. Aku, Count dan budaknya-"

"Penjaga harta," koreksi Count.

"Penjaga hartanya," lanjut Mariam. "Akan mencari Zibaq dan membunuhnya. Barangkali kalian bisa mencari teman vampir Gillmore."

"Tapi, tidak ada sumber cahaya," ujar Gill. "Kalung Pangeran dan Putri terlalu redup."

Count langsung menyerahkan berlian bercahaya tadi. "Tidak usah dikembalikan."

"Serius?!" Kami–bahkan Mariam–jelas kaget mendengarnya. Hanya Calvacanti yang tampak biasa saja. Barangkali, hanya ia yang telah melihat sisi dermawan sang majikan.

"Ya, ya, ya." Count berpaling. "Calvacanti! Jaga punggungku!"

Calvacanti langsung menyusul sang majikan.

Mariam menatap Kyara. "Kyara, jaga diri!"

Kyara mengangguk mantap. "Terima kasih. Um ... Siapa namamu tadi?"

"Mariam!" Dia terdengar frustrasi. "Sudahlah. Selamat tinggal!"

Mariam langsung meninggalkan kami. Menyusul Count tanpa pamit lagi. Aku mengerti perasaannya, namun aneh juga kalau dia sendiri tidak memahami kondisi Kyara. Aku akan memaafkannya jika lupa.

"Kakak," panggilku.

"Ah, itu tadi hanya candaan." Kyara tersenyum. "Aku ingat waktu dia mencubitku di Aibarab karena kejadian serupa. Itu terjadi setahun yang lalu."

"Cepat sekali ingat!" pujiku. "Aduh, di mana mereka menyimpan ingatanku?"

"Yang pasti, kita kalahkan Zibaq dulu," jawab Gill. "Kalian yang putuskan!"

"Kata Mariam, ia barangkali ada di sekitar sini." Kyara menatap sekeliling dengan bantuan berlian itu. "Aku juga ingat saat pertama kali bertemu Nemesis."

"Apa yang terjadi sebelumnya?" tanyaku.

"Kita kabur bersama Mariam menggunakan kereta," jelas Kyara. "Lalu diserang salah satu ilusi Zibaq. Beruntung kita semua selamat tapi terpencar."

Aku mengiakan. Sepertinya tidak banyak perbedaan dibandingkan kisah Mariam.

Gill menepuk bahuku. "Lihat!"

Aku dan Kyara menatap arah pandangnya.

Sebuah rumah menjulang di tengah ruang bawah tanah.

Halo! Gimana minggu kalian? Kuharap baik-baik saja!

Gimana menurut kalian soal bab ini? Kalian mungkin ingat sedikit tentang karakter Calvacanti dari "Hiwaga." Ada yang ingat? 😂

Oh ya, anu, ga jadi, deh.

Intinya, sampai jumpa di bab berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top