✴️4 : Pertemuan - 1✴️
"Aku Mariam," balas wanita itu dengan datar. Begitu melihat Michelle, tatapannya melunak, dia tampak tersenyum.
Michelle tampak heran.
"Kyara, kamu baik-baik saja?"
Entah kenapa, tatapan dan suaranya jelas menunjukkan kasih sayang lagi kecemasan layaknya seorang ibu. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Michelle?
Michelle jelas bingung. "Siapa?"
Mariam mengerutkan kening. "Kamu lupa siapa aku?"
Michelle diam saja, masih bingung.
Mariam mendengkus. "Zibaq memang brensek!"
"Siapa Zibaq?" tanya Gill.
Mariam memotong sebelum aku membuka mulut. "Ia penyihir, dahulu memakai raga Sakhor," jelasnya. "Ia juga yang menyatukan jiwa Khidir dan Idris ke tubuhnya hingga menjadi sosok baru."
"Kamu tahu dari mana?" tanyaku polos. "Kamu ada waktu Aibarab runtuh? Ada hubungannya, 'kan?"
Mariam mengiakan. "Kamu Pangeran?"
Aku mengangguk. Kutunjukkan kalungku yang bercahaya, karena ada Gill di samping. Mariam manggut-manggut, diliriknya Gill. Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan, tidak peduli iblis atau bukan, ia akan selalu begitu.
"Hampir empat tahun kami lalui." Mariam menatap Michelle dengan sorot kekecewaan. Sisanya hanya gerutuan.
"Aku bisa membebaskanmu," tawar Gill. "Kamu bisa bantu memulihkan ingatan mereka."
"Sebentar! Aku mau cerita dulu!" cegah Mariam sebelum Gill mengempaskan botol.
Dia lalu bertutur.
"Zibaq memang sudah lama menginginkan kekuatan. Ia dulunya menggunakan raga Sakhor dan menyamar menjadinya. Entah bagaimana, ia ledakkan Aibarab lalu menyatukan jiwa Khidir dan Idris.
"Awal dari semua ini, kurasa itu salah Arsya dan Ariya Wynter. Keduanya sedang bermain atau barangkali bertengkar hebat, tak ada bedanya. Mereka secara tidak sadar, membebaskan Sakhor yang waktu itu dipajang sebagai patung rumah. Ia berhasil kabur sebagai dirinya yang lama, Zibaq.
"Zibaq berencana akan menghancurkan Aibarab saat itu juga. Ia diam-diam membuat kami lengah hingga di titik terakhir sebelum negeri itu dihancurkan, barulah kami sadar dan mencoba melindungi kalian.
"Zibaq lawan Khidir dan Idris seharian penuh. Tidak perlu menunggu lagi, aku bawa kabur Kyara dan kamu." Dia menatapku.
"Namaku Remi, untuk saat ini," balasku. "Aku lupa segalanya."
Mariam melanjutkan. "Kamu dikirim ke Aibarab. Di situlah kamu, tinggal di Aibarab sebagai Pangeran selama beberapa hari."
Tak heran nama Aibarab dan Khidir tidak asing bagiku. Selama ini, kukira itu mungkin nama daerah yang pernah kukunjungi atau nama pasaran.
"Ibu?" tanyaku.
Mariam dengan santai menjawab. "Barangkali mati."
Aku memang tidak punya memori tentang mereka. Jelas tidak ada perasaan lain selain heran akan jawaban santainya. Ya, aku memang sedih mendengar fakta kematiannya, namun tidak ingat pengalaman yang kami lalui sebelum itu. Kuharap aku lekas ingat.
"Khidir bersama Idris melawan dan Zibaq berhasil menarik jiwa mereka. Ia akhirnya dapat dua kekuatan baru. Matanya yang tadi merah jambu jadi dua warna ; hijau dan merah, rambut jadi kehijauan serta kulit memucat."
Kini, aku paham mengapa Evergreen tidak tampak seperti pria biasa. Dari matanya, seakan ada dua jiwa lain di tubuh. Tidak kusangka ia sanggup hidup seperti itu.
"Sementara aku menarik kalian dari Aibarab," lanjut Mariam. "Kita berhasil melintas hingga ke Ezilis. Sebelumnya, Khidir memberi kabar jika ada Guardian lain di sana. Namun, Evergreen menyerang dan memasukanku ke dalam botol lalu menculik kalian."
"Aku tadi terkapar di tengah hutan," balasku.
"Sama halnya denganku," sahut Michelle. "Bagaimana cara kami mengembalikan ingatan?"
"Entahlah." Mariam mengangkat bahu. "Aku hanya tahu cara membebaskan Khidir dan Idris."
"Bagaimana?" tanyaku.
"Kita butuh Botol Penampung Jiwa." Mariam jeda sejenak. "Kalian sudah mencari Guardian itu?"
Gill membalas, "Ya. Kami tidak sengaja berjumpa di rumah Wynter."
"Baguslah." Mariam menarik napas lega. "Untuk saat ini, kita cari ketiga anak Guardian. Mereka juga terjebak di sekitar sini."
"Kamu tidak mau bebas?" tanya Gill.
"Nanti dulu," ujar Mariam. "Aku tidak bisa menghilang atau apa pun. Biarlah aku tetap di sini menunggu kabar."
"Tidak masalah?" tanya Michelle. "Aku bisa menyimpanmu di kantong celana."
Mariam menolak.
"Kalau boleh bertanya, siapa nama asliku di Shan?" tanyaku.
"Nama Shan-mu adalah Farees, sementara kakakmu, Azeeza." Mariam menarik napas akibat terlalu cepat bicara.
Payahnya, aku bahkan tidak ingat apa pun tentang nama itu.
"Untuk saat ini, biarkan aku mendekam di sini sementara kalian memikirkan cara agar bisa kabur," kata Mariam.
"Di luar, keluarga Wynter sudah menunggu," kata Nemesis. "Guardian itu juga."
"Bagus!" Mariam menganggguk. "Sekarang, kita perlu mencari anak Khidir dan Idris."
***
Atas perintah Mariam, kami masuk semakin dalam. Dia tidak keberatan kalau dimasukkan ke dalam kantong celana Michelle sepanjang jalan, seketika itu juga dia seolah menjelma menjadi benda mati, diam saja.
"Itu tadi ... Benar-benar aneh," ujar Gill. "Evergreen seperti bipolar. Tapi, aku tahu itu karena ada dua jiwa lain di tubuhnya. Pria itu mengaku bernama Idris."
Aku mengiakan, tanda mendengar.
"Ia lalu memulihkanku dan Arsy sebelum membakar rumah Evergreen," lanjut Gill. "Jujur, aku antara takut sekaligus heran melihat ada dua Guardian di tubuh orang lain. Tak heran kenapa kalung kalian bercahaya meski tingkah makhluk itu di luar nalar."
Aku menunduk. Kalungku bercahaya karena ada Gill. Berarti, jika ada seseorang–bagaimanapun rupa dan sifatnya–jika ada berjiwa Guardian di raga, maka kalung kami tetap bercahaya. Bisa bahaya jika ada yang–
"Lihat!" tunjuk Michelle.
Kami melanjutkan langkah hingga tiba di sebuah ruangan penuh botol kaca. Aku terpana menyaksikan benda tertata rapi di sana, ada yang masih hidup hingga mati kering tertata rapi. Sebagian besar berwujud manusia kecil bersayap, ada pula direndam cairan keruh entah untuk apa. Makhluk yang telah kami selamatkan hanya sebagian kecil dari mereka.
"Peri," bisik Michelle. "Untuk apa ia menangkap peri?"
"Ada banyak benda sihir yang disimpan," ujar Mariam. "Tapi, bukan itu yang dicari."
Kami meneruskan langkah menuju sebuah ruang pojok kiri. Begitu dibuka, tampak lebih banyak botol kaca disambut dentingan kaca, suara ketukan dari penghuninya. Mereka menjerit minta dibebaskan.
"Abaikan!" titah Mariam. "Kita hanya perlu mencari tiga orang."
Aku mendekati salah satu dari mereka. Gadis kecil, rambut ungu panjang terurai dengan mata yang sama. Dia menatapku penuh harap. Entah bagaimana, aku bisa mendengar suaranya, sejelas suara orang lain.
"Kamu peri?" tanyaku.
Awalnya, dia menatapku bingung dalam diam. Lalu matanya beralih ke kalungku yang bersinar.
Dia berkata. "Aku Zahra Sajratun Neesa binti Safar al-Khidir."
Gill menatapnya tidak percaya. "Kamu? Bagaimana bisa? Bukannya kemarin berniat kabur?"
Aku jadi ingat kejadian waktu itu, kami gagal mengunjunginya akibat serangan Akram.
"Memang," sahutnya. "Aku ditangkap salah satu anak buahnya pada malam kemarin."
Gill lalu mengamati sejumlah botol kaca. Ia kembali membawa dua masing-masing berisi gadis yang tampak sebaya dengan Zahra.
Keduanya memancarkan aura berbeda ; tersenyum cerah dan muram. Tampak jelas keduanya sangat mensyukuri kedatangan kami. Meski satunya tampak takut entah kenapa.
Aku tersenyum menyapa. "Aku Remi, ini Michelle dan ini Guardian kami, Gill dan Nemy."
"Aku Oruko Hayya!" Gadis dengan rambut dan mata turquoise melambai antusias seolah tidak terjadi apa-apa, seakan ini hanya percakapan biasa. "Ini saudariku, Oruko Azya!"
Oruko Azya tampak berbeda. Rambutnya biru muda dengan sepasang "telinga" serigala dengan mata kuning. Begitu tatapan kami bertemu, dia menunduk ketakutan.
"Hayya, seharusnya kita pakai nama Aibarab saja," tegur Azya. "Kamu ceroboh!"
"Memangnya kenapa?" sahut Hayya. "Toh, tidak ada gunanya sekarang. Mereka teman kita, teman Otōsan!"
Aku awalnya tidak paham arti kata itu, mengira itu nama orang. Ketika bertanya, aku tidak menyangka bahwa artinya "Ayah."
"Kalian ... Kok tidak asing?" Michelle mengerutkan kening.
Hayya tergelak. "Ya, iyalah! Kamu 'kan, Oruko Lian, saudari kami!"
Tunggu, dia diberi nama Michelle Killearn, kata Akram namanya Kyara, lalu jadi Oruko Lian. Siapa nama aslinya?!
"SNama Kakak siapa, sih?" tanyaku heran pada Michelle.
Dia tampak sama bingungnya. "Aku ... Lian?"
Hayya mengerutkan kening. "Lho? Kamu lupa dengan Otōsan? Oruko Takeshi!"
Michelle menggeleng pelan.
Hayya terdiam. Sinar di wajahnya memudar menjadi kekecawaan. Dia duduk sambil memandang kaki. Kehilangan semangat seketika. Aku jadi iba.
"Pecahkan botol ini!" titah Zahra. "Kami hanya diperkecil, seperti Mariam."
"Tapi, jangan hancurkan aku dulu!" sergah Mariam. "Aku tidak bisa menghilang seperti mereka."
Gill memecah kedua botol itu. Asap biru mengepul memenuhi kaki. Begitu terkikis, muncul keduanya dengan ukuran yang berbeda. Ternyata, Hayya jauh lebih tinggi dariku, sementara Azya nyaris sejajar.
"Arigatou!" Hayya membungkuk hormat pada Gill. Dari dialeknya, jelas belum pernah kudengar. Apalagi ketika dia menyebut nama-nama itu. Tapi, aku paham kalau dia berterima kasih.
Kulirik Zahra, gadis itu menatap sekeliling. Diam, tanpa ekspresi apapun. Aku mengira dia berniat membebaskan yang lain atau berpikir.
"Kak Zahra," panggilku.
"Usianya delapan puluh empat tahun," balas Mariam, seakan memberikut isyarat untuk menghormati.
Waduh, sungguh berbeda dari penampilannya yang imut! Aku kian heran dengan semua ini.
Aku membuka mulut. "Anu ... Nenek Zahra ..."
"Zahra saja," sanggah Zahra.
Aku menarik napas. "Zahra, untuk apa kamu ke sini? Dan ada apa dengan dua gadis ini?"
Hayya merangkulkan tangan ke bahu Azya. "Kami ke sini untuk menyelamatkan Otōsan!"
Aku melirik Zahra.
Dia mengiakan. "Aku mencari Abi."
Dalam satu ruangan, ada tiga negara. Tidak kusangka, aku mempelajari dua kata baru hari ini.
Aku paham siapa yang mereka cari. Tidak lain adalah dua Guardian yang kujumpai di mimpi.
"Aku dan adikku berhasil kabur," kata Hayya. "Kami berlindung bersama sebentar di Kikiro."
"Lalu, nasib Kikiro?" tanya Michelle. "Sepertinya aku pernah dengar."
"Tentu saja!" seru Hayya frustrasi. "Nasib Kikiro? Oh, beberapa hari sebelum kami memulai perjalanan dari Kikiro ke Ezilis, keadaan begitu kacau!"
"Aku kebetulan ke Kikiro untuk menjemput mereka," balas Zahra. "Akhirnya, nekat ke sini."
Tak terbayang bagaimana perjuangan mereka dari negeri jauh ke sini hanya demi mencari sang ayah. Apalagi fakta kalau mereka terjebak dalam satu tubuh bersama sosok yang tak dikenal.
"Mereka akan tiba." Nemesis menengadah. "Aku dapat merasakannya."
DUAR!
***
Maaf, kemarin lupa update wkwkwk
Jadi, gimana menurut kalian? Ada yang kangen sama Emak Mariam?
Sampai jumpa minggu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top