✴️3 : Menuju Kebenaran - 12✴️
Dia bilang Khidir?
Nama itu ... Seperti tidak asing.
"Um, aku Remi," balasku canggung. Aku teringat. "Khidir, tadi kami–"
Khidir letakkan telunjuk di bibirnya. Aku seketika bungkam.
"Kalian aman," ujarnya. "Sahabatku mengambil alih tubuh Evergreen."
"Tunggu, apa?" Aku sungguh tidak percaya. "Bagaimana?"
"Rencana kami hampir berhasil," kata Khidir. "Sebentar lagi, benteng Evergreen–tidak, Zibaq–runtuh dan kita bisa kabur."
Aku terdiam.
Selama ini, mereka berjuang masuk ke rumah Evergreen. Aku belum pernah menengok ke luar, kuharap mereka berhasil.
Khidir lalu tersenyum. "Kamu tahu kenapa aku mengundangmu?"
"Karena Anda mengira aku kenal?" tebakku gamblang.
Si Khidir tertawa kecil. "Bisa jadi. Kamu tahu mengapa kalungmu bercahaya?"
"Karena Anda Guardian?"
Ia bertepuk tangan. "Pintar!"
Dari tingkahnya, aku heran siapa dan apa perannya di dunia ini. Jika benar ia Guardian, seharusnya membantu kami kabur dari sini.
Seakan membaca pikiranku, ia berkata, "Andai aku bisa. Aku sudah berusaha menolong. Tapi, hanya jiwa yang bisa kugerakkan. Ragaku telah disegelnya, kini tersisa aku di alam semu ini."
"Aku ... Bermimpi?" heranku. Kenapa terasa nyata?
"Tidak juga." Balasannya kian membingungkan. "Akhirnya aku bisa menemuimu. Evergreen di bawah kendali kami dan aku berhasil mengunjungi mimpimu."
Jadi, bisa saja efek ledakkan yang berhasil melumpuhkan Evergreen. Dengan begitu, Khidir dan sahabatnya bisa mengambil alih kesadaran.
"Kalau bisa, biar aku yang habisi Evergreen dengan tanganku," lanjutnya.
Aku tidak tahu harus berucap apa lagi. Ragaku lesa dan ingin segera istirahat.
Khidir elus rambut. Aroma badannya begitu harum, belum pernah kucium aroma seunik ini hingga tenang.
"Kamu siapa?" tanyaku.
"Aku Guardian-mu. Kita bertemu dan berteman selama beberapa hari."
Beberapa hari? Berarti, ingatanku baru saja hilang.
"Kita bertemu di Ezilis ketika aku berkunjung bersama putriku sebagai Raja Aibarab," lanjutnya. "Kalungmu bercahaya, maka aku mulai bicara dengan wali dan orang tuamu sebelum beberapa tahun kemudian, kita bisa bertatap muka langsung di Aibarab."
"Bagaimana kabar orangtuaku?" tanyaku. "Aku benar-benar lupa."
"Kamu ... Lupa?" Ia pun tampak heran.
Aku diam, tidak tahu harus bilang apa. Atau memang aku sendirian sejak dilahirkan?
Khidir tampak iba. "Aku melihatmu dibesarkan di sebuah panti. Perlu beberapa waktu untuk mendapat izin membawamu. Terlebih pada ibumu."
Begitu, ya?
"Kalau begitu," kataku. "Kamu ... Kamu orang Aibarab?"
Ia mengiakan.
"Memangnya Aibarab sudah ..." Aku menolak melanjutkan.
"Aibarab runtuh karena Zibaq." Ia jelas tidak mau melanjutkan. "Sebagian rakyatku tewas karenanya."
Aku diam saja. Sedikit prihatin meski tidak pernah merasa ke sana.
"Bagaimana dengan Anda?" tanyaku. Anda tidak melindungi negeri sendiri? Awalnya hendak kuucapkan, namun aku tahu itu tidak sopan.
Lagi-lagi, aku payah dalam menyembunyikan rasa hingga seseorang dengan mudah membaca isi hatiku.
"Aku melawan Zibaq–Sakhor di wujud barunya," ujar Khidir. "Ia lolos dari segel."
"Segel?"
Ia melanjutkan, "Tubuhku disegel sementara jiwaku menyatu di tubuhnya."
Aku diam saja.
"Kita akan bebas," kata Khidir. "Guardian itu sudah mengatur rencana dengan Wynter."
Tunggu, jadi selama ini ...
"Kamu pernah berjumpa dengannya?" tanya Khidir, merujuk pada Wynter.
Aku lalu menceritakan kejadian kami selama di rumah Wynter waktu itu, terutama bagian di mana kami selamat berkat seorang Guardian.
"Guardian itu pernah mendidikku," komentar Khidir. "Ah, ia sebentar lagi merobohkan benteng Evergreen."
"Benarkah?" tanyaku. "Aku ingin lihat!"
"Nanti." Khidir lalu menciptakan taman bunga nan indah dalam sekejap. "Kamu tidak keberatan jika aku pergi memeriksa?"
"Apa aku akan sendiri?" tanyaku.
"Tidak," jawabnya. "Sahabatku menggantikan."
Sekeliling kami diselubungi halimun hitam.
Aku mundur beberapa langkah, menyaksikan Khidir perlahan lenyap ditelannya.
***
Cahaya putih menyambut.
Mataku terbuka.
Aku berdiri di antara lahan luas dipenuhi tumbuhan seperti tadi. Bedanya, ini hanya terdiri dari sayur mayur dan pepohonan kecil.
Aku mendongak. Langit tampak bersahabat, tapi sunyi. Tanpa sadar, kulihat sosok pria sedang menata tumbuhan.
"Halo?" sapaku canggung.
Ia mirip Arsene. Namun, rambutnya kelabu sementara pria ini putih. Mata merah dan perawakan jauh lebih tinggi dibandingkan Arsene maupun Gill. Tampaknya, ia dan Khidir sejejer.
Ia tersenyum. "Selamat malam, Pangeran."
Aku memiringkan kepala, heran. Kulirik kembali kalungku, bercahaya. Terasa hangat di dada.
"Kamu siapa?" tanyaku. "Kenapa muncul di mimpiku?"
"Aku Idris."
"Aku ... Remi."
Ia kembali memotong beberapa daun kecil. "Aku rindu Kikiro."
Kikiro? Aku penasaran dengan wujud tempat itu. Sepertinya menyenangkan.
"Kamu ingat Kikiro?" tanya Idris.
Aku menggeleng. "Tidak."
Ia masih sibuk memotong. "Pangeran, kamu jelas pernah ke sana."
"Aku hilang ingatan," balasku. "Memangnya, sejak kapan kita bertemu?"
"Hari-hari lalu," balas Idris sambil mengumpulkan dedaunan yang dipotong. "Kamu tampak bosan di istana terus."
Aku teringat. "Lalu, apa aku bisa mengembalikan ingatanku?"
Idris menoleh. Ia lalu duduk bersila hingga kami berdua sejajar. "Kuharap. Ingatanmu bisa pulih cepat atau lambat. Kamu diserang waktu itu?"
Aku mengangkat bahu. "Hal terakhir yang kulihat adalah gadis berambut hitam–bisa jadi itu Michelle, mungkin. Tau-tau sudah ada di hutan Ezilis."
Idris mengiakan sambil kembali fokus dengan pekerjaannya.
"Lalu, siapa yang menghilangkan ingatanku?" gumamku. Aku tahu ia tidak akan bisa menjawab, posisi kami sangat jauh waktu itu.
Idris menatap sekeliling. "Kamu tidak keberatan kalau kita mengobrol terus sampai pagi?"
Tanpa berpikir panjang, aku mengiakan. Lagipula, tidak ada salahnya mengobrol dengan Guardian baru.
Idris tersenyum. Ia kemudian bicara dan terus bercerita. Mulai dari tentang dirinya hingga Kikiro. Kadang, ia selipkan rangkaian ilmu seperti makhluk yang paling sering meneror suatu wilayah hingga sekarang. Kadang diceritakan juga kisahnya sekilas bersama temannya, si Khidir dan Mariam.
"Ah ya, di mana saudarimu?" tanya Idris.
"Aku tadi berlari bersamanya," jawabku. "Kuharap Michelle baik-baik saja."
"Oh, Kyara."
Aku mengerutkan kening. "Nama aslinya siapa? Aku jadi bingung."
Ia tersenyum. "Kyara. Michelle itu nama berian Killearn, bukan? Aku tidak mau memanggil Guardian itu dengan nama depannya."
Benar juga, aku kadang merasa bersalah harus memanggil Guardian itu Nemesis–Musuh Bebuyutan. Namun, ia yang punya nama tidak juga protes.
"Jadi, nama asli kakakku Kyara?" tebakku. "Lalu, nama asliku ..."
"Darren."
"Darren?"
"Darren Smith."
Aku kembali mengucapkan nama itu. Aneh, aku punya dua nama.
"Kamu beruntung bisa ditemukan Guardian lain di Ezilis Utara," kata Idris. "Kami kira mereka hanya di Ezilis Selatan."
"Ia juga memberiku nama baru," sahutku.
"Remi, bukan?"
Aku mengiakan.
"Perlu diketahui, keduanya nama terkenal di Ezilis, Darren dan Remi."
"Benarkah?"
"Seingatku." Idris tampak mengingat-ingat. "Beda daerah, beda nama."
"Jadi, namamu ..."
"Idris itu nama lain. Nama asliku tidak usah diketahui."
Aku jadi teringat. "Bagaimana kalian bisa masuk ke mimpi seseorang?"
"Khidir meniru cara Zibaq," jawabnya. "Perlu banyak pengulangan mantra dan konsentrasi."
"Untuk apa?"
"Tentu saja agar kalian bisa membebaskan kami." Idris menarik napas. "Hidup setubuh dengan orang lain sungguh aneh."
"Tidak ada rahasia, ya?" Aku memiringkan kepala.
"Jangan begitu, sakit lehermu!" Idris membenarkan posisi kepalaku. "Bukan. Kamu pasti tidak nyaman kalau lengket terus dengan seseorang, bukan?"
"Iya."
"Dan kami butuh bantuan Guardian lain."
"Bagaimana?"
"Lepaskan kami darinya, masukkan jiwa kami ke tubuh kami." Idris jeda sejenak. "Kalau urusan itu, kakakku akan menolong."
"Kakak?" Aku baru tahu kalau ia punya kakak.
"Ya, Wynter."
Aku belum pernah melihat sosok Wynter sebelumnya. Dari marga dan anak-anaknya, aku menebak ia sosok berambut hitam dengan kulit pucat. Itu hanya tebakan, kuharap ia bukan sosok yang ditakuti.
Aku lalu teringat kejadian beberapa hari lalu. Tanpa ragu, aku tuturkan pertemuan kami dengan Akram, si Kembar dan Nisma. Yang paling parah menurutku adalah Nisma. Gadis itu harus ditegur!
"Dia nyaris membunuh Nemesis, bikin Gill jantungan, nyaris merobek tubuhku dan Michel–Kyara!" laporku hiperbola.
Idris tampak mendengarkan dengan serius. Namun, sesuai dugaan, ia tidak dapat berbuat banyak tanpa tubuh yang bisa dikendalikan penuh.
"Perlu kaupahami, keluarga kakakku memang senang bermain." Hanya itu komentarnya.
Bermain? Serius? Aku tidak menganggapnya seru. Menurutku, segala hal yang berurusan dengan nyawa tidaklah seru.
Idris lalu berdiri dan menatap tumbuhan di sekeliling. "Kamu mau membantuku berkebun?"
Aku jelas tidak tega menolak.
Ia serahkan gunting rumput padaku, jelas apa kehendaknya. Aku berjongkok lalu memotong. Tidak memahami seni memotong, atau pun alasan mengapa rumput harus dipotong.
Idris sibuk mengamati tumbuhan di sana, beberapa daun dicabut, ada pula dahan. Sesekali kulirik ia yang sibuk dengan dunianya. Semakin lama diamati, malah membingungkan. Apa yang dia lakukan? Kenapa harus potong sana sini?
"Idris." Aku memanggil.
Ia menyahut.
"Kamu yakin ini benar-benar alam mimpi?" tanyaku. "Ini terlalu nyata bagiku."
"Aku yang mengundangmu ke mimpiku," koreksi Idris.
Aku menggaruk kepala. Kendati jemariku kotor dengan rumput dan tanah. "Kenapa tidak ke mimpiku saja?"
"Kami tidak bisa lepas dari Zibaq," jawab Idris. "Terpaksa, ini satu-satunya cara untuk berkomunikasi. Lagipula, numpung Khidir bisa mencuri sedikit kekuatan Zibaq."
"Siapa Zibaq?"
"Iziz az-Zibaq, salah satu jin musuh Khidir, nama raga sebelumnya, Sakhor," tutur Idris. "Ketika raga Sakhor tidak berguna baginya, ia kabur begitu saja. Berikutnya, ia ledakkan Aibarab. Jiwaku dan Khidir menyatu dengannya."
"Aku ada di sana?" tanyaku.
"Kamu kabur bersama Kyara dengan bantuan Mariam," jawab Idris. "Tidak kusangka, Zibaq berhasil menghilangkan ingatanmu."
"Kamu bisa mengundang Khidir ke sini juga?" tanyaku. "Kita bisa berdiskusi dengannya, bagaimana cara membebaskan kalian dengan cara paling aman."
"Sayangnya, ia sibuk." Idris meletakkan tumpukan daun rusak ke tanah.
Sibuk juga, ya.
"Kenapa tidak undang semua orang sekaligus?"
Idris tersenyum. "Aku kemarin nyaris membangunkan Zibaq hanya karena mengundang Gillmore dan Killearn di saat yang sama. Astaga, pemuda itu benar-benar ketakutan, belum lagi Killearn yang tidak pernah memelankan suara."
Jadi, jika berisik bisa membangunkan jiwa lain. Tak heran mereka harus memasukanku ke mimpi mereka.
Idris kembali tenggelam dalam dunianya, mengelus daun yang menghias dahan.
Aku teringat dengan keluarga Wynter dan ... Siapa itu? Zahra! Jangan-jangan dia yang ikut membantu Guardian itu menghancurkan benteng Evergreen.
"Idris, kamu kenal Zahra?" tanyaku.
"Oh, putri Khidir?" balasnya. "Kudengar dia dan dua putriku datang ke Ezilis." Ia menghela napas. "Sudah dilarang, masih saja mencoba."
Aku mengerti perasaannya. Tapi, di sisi lain, aku akan berbuat sama jika orangtuaku ditangkap seseorang. Jadi penasaran dengan ketiga gadis itu, barangkali mereka lebih tua dariku.
"Kamu punya berapa anak?" tanyaku.
"Dua," jawabnya. "Kamu dan Kyara juga, tergantung kalian mau menerimanya atau tidak."
Aku tidak bisa membalas. Kami terus bertatapan selama beberapa saat, sama-sama bingung. Beberapa menit berlalu tanpa ada yang berkutik. Jujur, aku merasa tidak nyaman akibat malu.
"Remi?" tegur Idris. "Kenapa bengong?"
Meski diucapkan dengan lembut, aku malah semakin canggung.
Aku meringis malu.
A–
***
–Aku mengerjapkan mata. Sekelilingku hening. Terlihat setitik cahaya dari kejauhan.
Bukan, bukan setitik cahaya.
Aku berpaling. Tidak ada siapa pun bersamaku. Kualihkan pandangan ke jendela di samping kiri.
Rumah Evergreen terbakar.
Note : Saat menulisnya, tidak disangka bakal sepanjang ini sampai bingung mau potongnya kapan.
Bagaimana menurut kalian soal bab ini? Sepertinya tidak begitu banyak kejadian selain anu ya.
Jangan lupa komen dan kasih bintang, ya! XOXO
Sampai jumpa di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top