✳️ Extra Part : How The King of Green Met The Dragon Prince ✳️
Part ini dibuat untuk merayakan 10K views "Hiwaga" di Wattpad. Terima kasih bagi kalian yang sudah membaca sampai tamat! ^^
Karena ini extra part, maka isinya tidak perlu dianggap serius. Namun, kuselipkan beberapa informasi tambahan sebagai bekal sebelum baca sequel.
Kuingatkan sekali lagi, sequel bakal terbit nanti Juli.
Have fun reading!
Judul (Sumbangan dari Uci) : How Two Hotties Met
***
Sudah lama aku ingin menulis kisah mereka pada kalian. Hampir setahun aku hidup bersama mereka bertiga. Kebanyakan pengalaman berisikan hal-hal sederhana seperti hidup di istana sebagai anak asuh seorang raja dan bangsawan, atau belajar menjadi Pemburu Sihir seperti Mariam. Dari segelintir pengalaman seru namun tidak begitu penting untuk ditulis, aku pada akhirnya mendapat izin dari Khidir untuk berkunjung ke Kikiro bersama Idris sekaligus mencatat masa lalu mereka.
Mariam sedang dalam perjalanan jauh mencari seseorang, yang kuduga sebagai adikku, oleh Khidir. Terpaksa, aku ke Kikiro ditemani Idris. Bulan ini gilirannya untuk menjagaku, wajar jika aku harus ikut ke Kikiro.
Kikiro tidak banyak berubah semenjak kepergianku. Ada banyak sekali yang ingin kubahas, tapi itu untuk kisah berikutnya. Kini, yang kutulis adalah masa lalu dua Guardian-ku.
"Masa laluku, ya?" tanya Idris yang menyamar sebagai Takeshi. "Bukannya sudah kuceritakan?"
"Bukan yang itu." Aku menggeleng. "Itu masa lalumu dengan Khidir."
Idris terkekeh. "Kalau kuceritakan, kamu pasti heran."
"Kenapa?"
"Khidir jauh berbeda saat remaja dibandingkan sekarang."
"Itu wajar."
"Maksudku, dia jauh berbeda dari sekarang. Dia akan tampak seperti orang asing bagimu." Idris menatap dunia luar melalui jendela. Ada gunung dari kejauhan di tanah Kikiro.
"Kalau begitu, ceritakan saja!" pintaku. "Aku tidak keberatan, kok."
Idris menghela napas, tampak pasrah. "Baik. Tapi, jangan beritahu Khidir kalau aku yang bercerita!"
"Tampaknya, tanpa diberitahu, dia bakal tahu juga," balasku. Bukannya jelas? Idris orang pertama yang tahu masa lalu Khidir.
Idris lalu bertutur.
Aku langsung mencatat.
Waktu itu, Idris masih berusia enam tahun dan mempelajari kekuatannya. Atas izin ayahnya, ia diizinkan berkeliling di Dunia Bawah, yaitu Bumi. Meski baru belajar, Idris tidak begitu peduli. Apalagi saat itu Count Wynter belum datang ke hidupnya.
"Niatku ke Bumi sebenarnya untuk mencari teman," kata Idris. "Di Shan, semua orang sibuk sendiri termasuk ayahku. Apalagi, sebelum kelahiranmu, negeri itu begitu kacau akibat peperangan antara Sihir Hitam dan Putih. Aku ke bawah juga sekaligus melepas penat."
"Di Shan dulu memang keras, ya?" tanyaku.
"Lebih tepatnya, membosankan," balas Idris. "Kurang lebih seperti kondisi kita saat ini."
Aku mengiakan.
Ia melanjutkan.
Idris dengan mudah bisa turun ke Bumi berkat kekuatan naganya.
"Ketika turun, aku melihat dunia yang jauh berbeda dibandingkan Shan," komentarnya. "Kulihat banyak tumbuhan asri dan sungai mengalir. Di Shan, kami hanya memakan sayuran berian penduduk Bumi."
Namun, di tengah jalan, ia malah ditabrak sosok yang tidak diketahui hingga jatuh.
"Saking paniknya waktu itu," ujarnya. "Aku bahkan lupa cara kembali menjadi naga. Kukira ini jadi akhir hidupku di usia enam tahun."
Akan tetapi, sesuatu menangkapnya tepat ketika ia tinggal satu kilometer menuju tanah.
Srek!
Pinggangnya diikat sebuah sulur raksasa. Idris waktu itu tidak tahu jika penduduk Bumi juga ada yang bisa menggunakan sihir.
Dia terkesiap dan menunduk.
Perlahan, Idris diturunkan. Negeri tempat dia berada ternyata berpasir dan sangat panas dibandingkan Shan yang sejuk. Idris langsung merasa kulitnya terbakar begitu merasakan pasir di wajah dan tubuhnya.
"Sangat aneh waktu itu, ketika kali pertama aku diselamatkan oleh penduduk Bumi," komentar Idris. "Begitu mendongak, aku melihat seorang bocah sedikit lebih tua dariku, berkacak pinggang di depan dengan wajah meremehkan."
Bocah itu berpakaian sederhana layaknya anak pedesaan, ditambah lagi dengan tatapan remeh seperti itu. Padahal, Idris sedang mengenakan pakaian kerajaan. Tersinggung, dia bangkit dan menegur.
"Yang sopan, tolong!" tegurnya.
Bocah itu mendengkus. "Memangnya kau siapa? Aku yang menyelamatkan nyawamu. Oi, kamu berutang nyawa denganku!"
Idris kaget melihat reaksi itu. Biasanya, orang-orang takut melawannya dan lebih memilih diam menunduk.
"Beraninya!" Idris menggeram.
Bocah itu menautkan alis. "Dasar tidak tahu balas budi! Aku bisa saja membiarkanmu remuk di tanah Aibarab saat ini juga!"
Idris jelas tidak terima. "Beraninya kamu bicara seperti itu di depan Pangeran dari Shan!"
"Hai, Butiran Debu! Aku juga penguasa di sini!" Bocah itu membusungkan dada. "Aku Safar al-Khidir bin Rajab el-Khalil!"
Mendengarnya, Idris terpaku.
"Aku sungguh terkejut waktu mendengar nama itu, aku hafal beberapa nama bangsawan Dunia Bawah," komentar Idris. "Begitu tahu, kami saling tatap selama beberapa saat dengan canggung."
"Duhai, berhenti menatapku!" Khidir waktu itu berusia dua belas tahun, entah kenapa malah terlihat seperti anak muda.
Idris berdiri sambil merapikan pakaian. "Soal tadi, terima kasih."
"Sama-sama." Khidir lalu menatap Idris dari ujung kepala hingga kaki. "Kamu Guardian?"
"Tahu dari mana?" Idris mengangkat sebelah alis.
"Hanya menebak." Khidir mengangkat bahu. "Aku juga. Aku heran kenapa mereka memilih kaum bangsawan sebagai Guardian. Bangsawan menjaga bangsawan. Anehnya lagi, majikan kita bahkan belum lahir."
Kata Idris, ibuku bahkan belum hamil atau disentuh ayahku waktu itu.
Para Guardian sebenarnya terdiri dari beberapa orang yang bertugas menjaga anak raja sepertiku. Mereka hanya orang-orang yang disukai raja atau ratu, dikumpulkan untuk menjaga anak-anak mereka untuk dijadikan penerus yang baik. Tentu saja, sebelum mengasuh, mereka harus diseleksi lagi. Untuk kasusku, kata Idris aku memiliki 13 orang sebagai Guardian.
"Sebenarnya, ada tujuh belas orang, tiga belas yang selamat," koreksi Idris.
"Tunggu, ada ujian, ya?"
"Tentu saja."
Mereka tidak serta merta muncul begitu saja. Sama halnya dengan perjodohan, tidak semua calon menginginkannya.
"Tak lama, Khidir lalu mengajakku berkeliling Aibarab untuk pertama kalinya." Idris melanjutkan setelah jeda sejenak. "Dia tidak tampak seperti keluarga bangsawan, malah bisa dibilang sama seperti rakyat jelata. Barangkali untuk menyamar."
Khidir mengajak Idris duduk dekat gerbang istana. Tentu saja para penjaga mengenalinya dan bersedia membukakan gerbang sewaktu-waktu.
Khidir lalu melempar sepotong roti ke arah Idris. "Makan!"
Idris kebingungan, namun di sisi lain tidak tega menolak ajakannya. Terpaksa, dia makan roti itu.
Khidir duduk di sampingnya dengan sangat santai hingga tidak menunjukkan aura kebangsawanan darinya. Padahal, dia berdarah biru.
Dia angkat kaki dan menjadikannya sebagai sandaran dagu dan tangan. "Jadi, alasanmu ke sini buat apa? Namamu juga, beritahu aku!"
"Aku ... Iseng saja." Idris tidak mau menyampaikan kebenaran bahwa ia hanya mencari teman. "Aku Adam el-Khalifa, dari Shan."
Khidir hanya membalas. "Oh, itu."
"Ada apa?"
"Berarti aku tidak bisa mengunjungimu setiap hari." Khidir tampak kecewa. "Aku tahu kamu niat ke sini untuk cari teman, 'kan? Yah, aku juga."
"Benarkah?" Mata Idris berbinar.
Khidir, entah kenapa, menghindari kontak mata. "Ih, jangan tatap!"
"Sejak saat itu, kami berdua saling jenguk dan berbagi pesan." Idris mengakhiri kisahnya. "Kami sering bertarung bersama. Aku juga yang berdiri di sisinya dalam hampir setiap perjalanan. Ia juga yang menyembunyikan identitasku dari Count Wynter."
Aku tertegun sejenak. "Lalu, apa kisah yang paling kamu ingat saat bersamanya?"
Idris kembali bertutur. "Ketika aku berada di sisinya. Di saat yang sama, Shan hancur."
Hujan darah membasahi bumi. Mereka termenung menyaksikan mayat rekan mereka hancur menghantam bumi. Tak tanggung, reruntuhan bangunan juga berjatuhan.
Bertepatan itulah mereka tengah memerangi suku yang salah satu darinya merupakan inang Sakhor.
Khidir melindungi Idris dengan daun raksasa. Saat itu pula, suku yang diperangi telah gugur.
"Khidir?" panggil Idris. Ia melihat Khidir terpaku memandang banjir darah.
Khidir melirik, tanda merespons.
Idris diam saja, lidahnya seketika kelu. Ia menunduk, membiarkan darah membasahi sepatunya.
"Kami hanya diam saling tatap, tanpa bisa berbuat banyak," komentar Idris. "Begitu hujan berakhir, kami pun pulang tanpa banyak bicara. Tenggelam dalam pikiran sendiri."
"Kalian tidak saling sapa dalam waktu lama?" tanyaku.
"Hanya sehari itu."
Aku diam saja.
"Keesokan harinya, kami mengobrol seakan tidak terjadi apa-apa."
Aku kembali bertanya. "Jadi, salah satu anggota suku itu menjadi inang Sakhor atas perjanjian?"
"Aku tidak begitu yakin, tapi Sakhor berhasil meluluhkan hatinya menjadi inang karena dendam," jawab Idris. "Padahal, mereka juga telah membunuh ayahnya Khidir."
"Kalau kupikir-pikir, sepertinya kematian orangtuanya yang mengubah Khidir," ujarku. "Lalu, kenapa ia memilih untuk membiarkan Sakhor hidup? Maksudku, ia bisa dengan mudah mengeksekusi Sakhor."
"Aku sendiri juga tidak paham," balas Idris. "Kami memang saling kenal selama hampir seabad. Tapi, aku tetap tidak sepenuhnya memahami isi hatinya.
"Dia barangkali tidak tega membunuh, lantaran raja terdahulu, Rajab el-Khalil, menghancurkan desa inang Sakhor dan membunuh warga di sana. Inang Sakhor kemudian berniat membalas dendam. Tapi, Khidir tidak ingin membalas kematian ayahnya."
Aku menunduk, tidak tahu harus komentar apa lagi.
"Lalu, bagaimana dengan kisahmu setelah keruntuhan Shan?" tanyaku.
Idris tersenyum. "Kamu tidak perlu tahu. Itu kosong."
Aku jelas kecewa.
***
Sorenya, kami tiba di desa Embi, Kikiro. Idris kembali menyamar menjadi Takeshi lalu mengangkut sejumlah hasil dagangan dari Aibarab. Aku turut membawa sejumlah uang dalam kotak kecil dan meletakkannya di kuil.
"Lian-chan!" Hayya memelukku erat. "Akhirnya balik lagi!"
Aku tersenyum.
Hayya berlari begitu melihat Idris. "Otōsan!" Dia menerjangnya.
"Eh?!" Idris tersentak. Ia nyaris menjatuhkan sekotak sayur. Untung berhasil menahan serangan pelukan dari Hayya dan menyelamatkan sayur tadi.
Hayya tertawa. "Otōsan!"
Idris tersenyum sambil membalas pelukan putrinya. Dia perlahan menurunkan Hayya. "Hayya, bantu aku menyusun barang!"
Hayya langsung mengangkut beberapa kotak. Aku pun juga begitu. Begitu selesai, aku langsung ke kamar Hayya untuk melepas lelah.
***
Nyatanya, kami terlalu asyik mengobrol bersama hingga malam. Aku malah tidak mau tidur entah kenapa.
"Lian-chan, aku mau menjenguk Otōsan," ujar Hayya. "Kamu mau ikut?"
Aku mengangguk. Sudah lama tidak melihat kebun Idris atau Takeshi. Begitu tiba, suasana kebun tidak banyak berubah. Yang janggal hanyalah Idris yang sedang menyiram tanaman di malam hari.
"Otōsan! Kok malam-malam menyiram?" tegur Hayya heran, sama halnya denganku.
Idris berpaling sambil tersenyum. "Hayya, kenapa belum tidur juga?"
Hayya membalas senyumnya. "Izinkan aku bantu!"
Tanpa menunggu respons, gadis itu menghilang lalu muncul di samping kanan Idris. Dia dengan antusias menyirami tanaman menggunakan gayung dan air. Sesekali kudengar dia tertawa riang selagi menyiram.
Aku hanya diam menyaksikan, memilih terus menonton.
Terdengar suara orang bertepuk tangan.
Aku mendongak.
"Kyaaa ...!"
"Kyara!"
Khidir tiba-tiba muncul di depanku, ia turun dari sebatang pohon di atasku. Baru kusadari, ia sedari tadi mengawasi kami.
Idris mengerutkan kening. "Kamu?"
"Ada apa?" Raja turun dan membenarkan pohon itu kembali jadi semula. "Ah, tukang kebunku tampak rajin hari ini."
Tukang kebun? Siapa-
"Kerajaanmu tidak diurus?" balas Idris. "Urus sana! Jangan terlalu lama menelantarkan rakyat."
"Ini malam," balas Khidir. "Aku akan kembali dalam waktu dekat."
Tidak kusangka Khidir malah ikut ke Kikiro tanpa disadari. Ia dengan santainya duduk dan bertepuk tangan untuk Idris sekali lagi.
"Bagus, tukang kebunku sedang rajin malam ini!" ulangnya.
Idris mengabaikannya sambil terus menyiram. Hayya yang kebingungan terpaksa meneruskan pekerjaan.
Khidir terus mengawasi mereka dari kejauhan, terus tersenyum entah apa yang dipikirkan.
"Khidir?" panggilku.
Ia menatapku. "Ya?"
"Tolong ceritakan pertemanan Anda dengan Idris." Aku menatap mata hijaunya, dia tampak kebingungan sesaat.
Khidir memegang bahu lalu tertegun sejenak. "Dari mana aku harus memulai?"
"Sejak kamu menjadi raja." Aku tersenyum, sudah menebak sebagian kisah persahabatan mereka. Kuharap, teoriku benar.
"Ah, tentu."
Ia lalu bertutur.
"Setelah keruntuhan Shan, aku naik tahta dan mengangkat Idris sebagai nadim-ku. Ia sendiri yang minta gelar itu, walau awalnya aku ingin mengangkatnya sebagai pengawal pribadiku."
Alasan Idris memilih gelar itu tidak lain agar tidak terlalu sibuk, melindungi Aibarab maupun Kikiro dari Sihir Hitam. Biasanya, Khidir yang memberi surat perintah sebelum terjadi serangan, entah dari mana ia mendapat kabar itu.
Mengurus Aibarab sekaligus Kikiro bukan masalah besar baginya, dia cukup bertingkah layaknya seorang pedagang yang mengirim barang dari Kikiro ke sana dan sebaliknya.
"Kendati demikian, aku kadang menyuruhnya tinggal di Aibarab lebih lama," komentar Khidir. "Kamu tahu sendiri alasannya."
"Untuk menemanimu?"
Khidir malah mengubah topik. "Kadangkala, dia sendiri yang menghilang sebelum aku mengirim pesan. Beberapa bilang, dia lenyap untuk menghindari tanggungjawab. Lalu kembali lusanya tanpa memberi alasan."
Delapan tahun kemudian, Mariam datang. Khidir dan Idris kebetulan berada di ruang singgasana, sedang membahas sesuatu yang hanya mereka yang boleh tahu. Aku tidak diberitahu dan kuhargai rahasia mereka.
"Izinkan aku bergabung," ucap Mariam yang waktu itu berusia delapan belas tahun. "Aku akan memburu Sihir Hitam untuk kalian."
"Aku sejujurnya bingung waktu ia menyampaikannya," komentar Khidir. "Kami tidak pernah memberitahu rakyat kami perihal Pemburu Sihir, dan Mariam tiba-tiba datang dan menawarkan diri."
Khidir waktu itu berusia tiga puluh satu tahun sementara Idris dua puluh lima.
"Kulihat Idris terlalu lama memandang Mariam, aku lalu menegurnya dengan halus," tambah Khidir.
Gara-gara ditegur Khidir, suasana ruangan mendadak canggung. Bahkan Mariam sendiri sampai mundur selangkah, mengira dirinyalah sumber masalah.
Merasa tidak nyaman, Khidir mencoba tersenyum. "Jadi, kamu ingin memburu Sihir Hitam untuk kami?"
Mariam mengangguk. "Aku putri Hiwaga."
Khidir dan Idris saling tatap, keduanya tidak menyangka akan kedatangan gadis seperti itu. Kendati, Mariam sangat mirip dengan ibunya.
"Dan aku ingin membasmi Sihir Hitam untuknya," lanjut Mariam.
Hening lama. Tidak ada yang berani bicara.
Khidir yang awalnya ragu, akhirnya mengizinkan Mariam ikut.
"Aku tahu gadis itu tampak tulus," kata Khidir. "Kendati dia tidak punya kekuatan selain fisiknya."
"Kalian menerimanya tanpa ragu?" tanyaku.
"Dia sudah membuktikan dengan membantu kami dan tidak sekali pun protes bila diberi tugas. Terbesit dalam benakku untuk mengangkat derajatnya, tapi begitu disampaikan, dia menolak."
Selama puluhan tahun bekerjasama, Mariam diberi gaji dari Khidir sama halnya dengan Idris.
Dari sudut pandang Khidir, wanita itu tidak pernah sekali pun mencoba mendekat atau bicara lebih jauh bersama mereka. Hal itu justru memacu Idris untuk menghampiri terlebih dahulu. Sejak saat itu, aku paham kenapa Khidir menjodohkan mereka.
"Aku senang jika mereka hidup bersama." Khidir tersenyum. "Aku tidak keberatan menerima Mariam sebagai Guardian baru, meski kalung itu tentu tidak akan memilihnya."
"Kalungku ini ... Hanya untuk Guardian di Shan saja?" tanyaku.
Khidir mengiakan. "Dan itu tidak akan bersinar jika bukan kamu yang memakainya."
Ragu, aku menyerahkan kalungku yang bercahaya padanya.
Khidir memakainya, tidak ada sinar sama sekali. Ketika dikembalikan lalu kupakai, benda itu kembali bersinar. Keraguanku kian terkikis, namun ingatanku belum juga pulih.
Kami kembali memandang kebun. Sebagian besar sudah disiram. Kulihat Hayya yang paling antusias melakukannya.
Terbesit dalam benakku, meski tahu ini pertanyaan yang cukup berbahaya, aku tetap penasaran.
Aku berbisik. "Khidir, apa kelemahanmu?"
Khidir dengan tenang menjawab, "Ah, tentu saja api."
Aku tahu api hanya salah satunya. Namun, aku tidak mau bertanya lebih jauh.
Raja Khidir berdiri lalu turun menghampiri Idris. Aku langsung menyusul lantaran penasaran.
"Aku jadi ingat dengan Guardian lain," ujar Khidir. "Pemimpin kami yang di lautan itu."
"Siapa?"
"Dia dapat merubah wujud menjadi Levyan, salah satu makhluk terbesar di bumi," jawab Khidir. "Namun, kudengar ia telah lama pensiun jadi Raja dan kuhargai keputusannya."
"Kenapa?" tanyaku.
"Sama halnya denganku, menjadi raja sekaligus Guardian di saat yang sama cukup merepotkan," jelas Raja. "Namun, kudengar ia masih mengurus kerajaannya dari kejauhan, tanpa berperan langsung."
Aku tertegun. Ternyata ada dua raja dan seorang pangeran yang jadi Guardian-ku
"Kakek sudah memerintah lebih dari seratus tahun," lanjut Khidir. "Barangkali bosan."
"Apa kalian pernah bertatap muka?" tanyaku.
"Terakhir sebelum Shan runtuh," jawab Khidir. "Aku lega mendengarnya selamat, tapi kami tidak bisa bertemu langsung setelahnya."
Dari nadanya, aku tahu Khidir merindukannya.
Sepertinya, hubungan mereka tidak sekadar sahabat seperti Idris. Aku jadi penasaran dengan sosok itu.
Begitu dekat dengan Idris, Khidir serta merta menyapanya.
"Tukang Kebun." Dia tertawa kecil.
Idris tampak berpura-pura tidak mendengar.
Aku agak heran mendengar Khidir menyapa Idris begitu. Padahal, sebelumnya hubungan mereka tampak lebih kaku. Barangkali, situasi saat itu memang agak serius sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengobrol santai.
Aku belum pernah memberi julukan kepada teman sebelumnya, karena aku ingat ketika Ibu mengomeli temanku yang memberi gelar "Bodoh" untuk temannya. Meski niatnya sebagai panggilan kasih sayang, tetap saja Ibu tidak setuju. Sejak saat itu, aku berpikir memberi julukan itu dosa.
"Nah, Kyara."
Aku mendongak, menatap Khidir.
"Mumpung Guardian itu sedang sibuk mencari," katanya. "Aku akan mencoba membuat eksperimen dari tanah Kikiro."
"Kamu serius?" Idris mengangkat sebelah alis. "Makan apa kau tadi?"
Khidir tertawa kecil. "Ini hanya coba-coba. Tanah Kikiro bukan media yang tepat untuk menampung jiwa. Aku hanya ingin membuktikan teoriku tentang jin dan inangnya."
"Bilang saja gabut,," balas Idris.
Ketika kutanya, barulah aku paham artinya, gabut-tidak ada kerjaan.
Khidir berjongkok lalu mulai mengacak-acak tanah kebun Idris. Ia tampak melakukannya dengan serius, aku jadi mengira dia benar-benar akan menciptakan tubuh baru.
Kulirik Idris, pria itu sudah menjauh seakan tidak mau melihatnya, begitu pula dengan Hayya.
"Khidir, aku ikut mereka, ya."
Khidir mengiakan.
Aku berjalan menjauh, membiarkan dia mengurus dunianya sendiri. Niatku juga hendak menyusuri kebun Idris, karena waktu itu tidak sampai separuh yang kulihat.
"Lian-chan!" Hayya melambai begitu melihatku.
Aku mendekat. Kulihat dia sedang duduk di sebuah pondok sementara Idris sibuk mengamati sebuah rumput. Kalau kuteliti, ia rupanya sedang mencoba memotongnya dengan cermat.
"Malam-malam begini malah potong rumput," komentar Hayya. "Otōsan terlalu lama tidak berkebun, sih."
Aku diam saja, takut berkomentar.
"Ah ya, kamu sekarang bernama Oruko Lian, 'kan?" tanya Hayya.
Aku mengiakan. Kuharap Hayya juga tahu jika itu bukan nama asliku.
"Semua anak yang tinggal di sini, marganya jadi 'Oruko,'" kata Hayya.
"Ada berapa anak di sini?" heranku. Dahulu, yang kuingat hanya Hayya dan Azya.
"Hanya kita bertiga, kok," jawab Hayya. "Aku, kamu, dan Azya."
Aku diam saja, kehabisan kata.
Jadi, nama lengkap anak-anak Takeshi adalah : Oruko Hayya dan Oruko Azya. Kenapa aku tidak menyebut diriku? Aku tidak tinggal di Kikiro dalam waktu lama seperti mereka.
"Eh, apaan, tuh?" Hayya menunjuk belakangku.
Begitu menoleh, kulihat kobaran api besar menjalar dari kebun.
DUAR!
Astaga-
"Otōsan!" seru Hayya. "Kebakaran!"
Idris lantas berlari, disusul kami. Bagaimana bisa kebun terbakar di malam hari? Terbayang di wajahku, sosok yang tadi berdiri di sana beberapa menit lalu.
Khidir!
Begitu tiba di lokasi, kulihat Khidir berdiri di antara api dengan wajah tampak kebingungan.
"Safar al-Khidir!"
Aku tahu amarah Idris tidak bisa dibendung lagi. Fakta jika ia memanggil Khidir dengan nama lengkap layaknya orangtua yang geram.
Khidir lantas menjauh dari api. Bukannya api itu kelemahannya? Janga bilang ...
"Ganti rugi!" seru Idris. Wajahnya tampak memerah.
"Pasti!" Khidir malah tersenyum seperti biasa.
Khidir yang membakar kebun? Bagaimana bisa?
"Sini kau!" Idris tanpa gentar melompati kobaran api, mengejar Khidir.
Keduanya malah terlibat kucing-kucingan di tengah malam. Khidir bahkan tertawa riang hingga menggema ke seantero desa diselingi seruan Idris yang geram.
Gara-gara keributan itu, warga desa Embi berkumpul dan membantu memadamkan api. Aku melihat Idris dan Khidir masih sibuk kejar-kejaran seolah api bukanlah masalah utama saat ini.
"Lian-chan!"
Aku langsung membantunya memadamkan api menggunakan tanah. Ya, karena Hayya yang memegang air. Tanah juga efektif membunuh api.
Api akhirnya padam.
Warga desa Embi yang kebingungan hanya berdiri di tanah yang gosong dan basah, tidak tahu harus berpikir apa. Begitu pula denganku.
"Sini kau!"
Kulihat Idris menarik kerah baju Khidir. Pria itu tetap tersenyum meski nyawanya tampak terancam, tak peduli jika tengah ditonton satu desa. Tinggi keduanya sejajar, tapi Idris berhasil membuatnya tampak sedikit lebih tinggi. Khidir seperti handuk yang digantung.
Khidir hanya tertawa.
"Ganti rugi." Idris menatap tajam sahabatnya itu.
"Ya, tentu saja." Khidir tetap saja ceria, meski harga dirinya tampak dikoyak di negeri orang. "Asal kautahu, aku sangat senang akhirnya bisa menghabiskan waktu bersamamu."
Idris sadar jika mereka tengah ditonton satu desa dalam keadaan seperti itu. Perlahan, ia turunkan Khidir.
Dia memegang bahu Khidir. "Kenapa ... Ada api?"
"Kecelakaan." Khidir menatap ke arah lain. "Oh, pagi sebentar lagi tiba."
Kami menoleh ke cakrawala. Sinar kekuningan perlahan muncul. Aku menghabiskan malam tanpa rasa kantuk. Heran sekaligus takut tercampur aduk. Takut jika itu berpengaruh bagi kesehatanku, heran mengapa aku tidak merasakan apa pun.
"Ada lagi yang ingin kusampaikan sebelum kembali ke negeriku," kata Khidir.
"Apa?" tanya Idris.
"Ketika aku tidak sengaja membakar kebunmu, aku sebenarnya berniat menghangatkan diri. Aku menyadari jika minyak bertemu api akan menciptakan ledakan api."
Saat itulah, pukulan kecil melayang padanya.
Gimana? Extra part ini juga memasukan detail penting untuk seri berikutnya. So, tidak ada ruginya kalian membaca part ini, meski tidak ada konflik berarti.
Aku juga ingin berterima kasih pada Estrogen_chan atas membantuku menulis ini. Dia yang memberi ide dan gambaran ending part ini. Gimana menurut kalian soal part ini?
Sampai berjumpa di sequel! ^^
Bonus meme (author lagi gabut / baru selesai nulis 30 chap sequel) :
Dah, gitu aja :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top