✳️3 : Naga dari Kikiro - 11✳️

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku mengenakan gaun hijau muda, rambutku disanggul dengan jepit turquoise berbentuk bunga melati. Aku dan kedua saudariku sengaja didandan mirip atas perintah Idris.

Hayya mengenakan gaun biru muda sementara Azya berwarna putih dengan bando. Azya tidak mampu mengendalikan telinganya yang terus bergerak saking antusiasnya.

Aku jadi ingat pesan Idris sebelum kami bersiap-siap.

"Kamu cukup tersenyum dan menyambut tamu," ujar Idris. "Dan ingat, jika orang bertanya siapa kamu, jawablah ..."

"Kaira binti Idris," balasku. "Binti itu artinya 'putri dari,' 'kan?"

Idris mengangguk. "Bagus. Kamu hanya perlu duduk dan menyapa. Jangan mengobrol terlalu lama."

"Iya, Tuan."

Idris tersenyum. "Untuk di sini, kamu perlu memanggilku dengan penyamaran."

"Baik, Ayah."

"Alasanku mengganti warna rambut kalian menjadi hitam, agar tampak seperti saudari kandung, kalian lahir dari satu ibu yang sudah tiada," ujar Idris. "Meski kenyataan jika kita tidak sedarah, bukan lagi rahasia."

Aku mengangguk.

"Jika mereka bertanya apa yang terjadi antara kita, bagaimana kita bertemu, jawab saja kamu tidak tahu apa-apa karena saat itu kamu masih kecil atau tutup mulut."

Aku hanya mengangguk sambil menghapal setiap kebohongan itu. Meski salah, ini demi melindungi diri dari negeri Aibarab yang dipenuhi tipu muslihat, begitulah kata Idris.

Lukisan wanita yang terpajang di kuil itu, entah dia nyata atau sekadar ilustrasi demi menutupi identitas asli Idris.

"Lihat ayah kita!" bisik Hayya dengan terkikik. "Dia tampak seperti batu!"

Segera setelah utusan itu memanggil, Idris mengganti pakaiannya lalu menyuruh kami ikut menyertai.

Kini, Idris mengenakan pakaian serba ungu tua. Rambut putihnya diikat rapi dengan pita hitam. Sepatu disemir berkilau. Pedang bersimbol singa, diikat di pinggang. Dia tampak tampan malam itu.

Utusan tadi hanya berdiri dalam diam, menunggu tanpa ekspresi apalagi menunjukkan tanda lesa, dengan sabar menunggu.

"Anda telat tiga jam," ujar utusan itu pada akhirnya.

Idris hanya menyahut. "Aku bisa jelaskan."

Apa keduanya tidak memberi kabar sebelumnya? Atau sang raja tidak suka jika temannya telat bermain?

Aku menoleh ke arah saudariku, keduanya tampak siap. Mereka hanya diam memandang ayah mereka, menunggu.

"Tuan?" Utusan itu juga menyadari kejanggalan.

Tatapan Idris terpaku pada bayangan seorang pria yang berdiri di antara kegelapan, di balik bayangan pilar. Seolah menunggu perintah.

Utusan tadi menoleh, pedang yang Idris genggam kini siap ditebas.

DUR!

Idris memelukku sedetik sebelum kayu di langit-langit roboh. Benda itu menindih tubuhnya sementara Hayya dan Azya menjerit, tidak kalah paniknya.

"Putri!" Idris berusaha bangkit mengangkat beban di atasnya. Memberiku ruang untuk kabur.

Aku berdiri dan menyaksikan rumah seketika berantakan bagai kapal pecah. Terlihat beberapa benda berserakan memenuhi ruangan.

Idris akhirnya bisa membebaskan diri. Pandangannya tertuju ke segala arah, mencari seseorang. Aku ikuti arah pandangnya. Ada sosok yang sedang kalang kabut mencoba menjauh.

"Itu dia!" titah Idris.

Suasana semakin gaduh ketika suatu cahaya menghantam ke segala arah. Menciptakan kerusakan parah dalam rumah kami. Aku dan Hayya menghindar sementara Azya sudah kabur entah ke mana.

Idris berpaling menatap kami. "Mana Azya?"

Hayya menarik tanganku. "Kami carikan!"

Kami berdua menerobos lautan manusia yang panik di luar rumah. Sejumlah perabotan rubuh begitu dilewati. Api melahap sebagian ruangan, menciptakan ilusi neraka bagi kami yang malang.

"Tolong! Tolong!"

Suara itu terus menggema saat kami berusaha mencari Azya. Diiringi bunyi gedoran serta kaca pecah. Beberapa orang berhasil keluar dari rumah mereka dan berteriak sebiasanya.

"Kebakaran! Serangan! Penyihir!"

Tiga kata sederhana, namun mampu membuatku terdiam menyaksikan api semakin dekat.

Di tengah kekacauan di kota, kami masih bisa mendengar seruan Idris di antara ribuan suara.

"Kaira! Haydee! Asha!"

Dapat kudengar seruan Idris. Kami belum juga menemukan Azya. Tak lama, kami dengar suara benda rubuh, lagi-lagi sebatang kayu nyaris menindih kami, jika saja Hayya tidak menarikku tepat waktu.

Rumah-rumah mulai rubuh, sementara rakyat berlarian tidak tentu arah bahkan saling menabrak demi menyelamatkan diri. Suasana semakin kacau ketika banyak yang terinjak dan berjuang bertahan meski badannya remuk.

Aku terus berlari mengikuti arah Hayya. Mencari adik kami sekaligus Idris.

Perlahan, suasana semakin hening ketika warga perlahan menjauh dari lokasi. Tapi, tentu saja rumah yang hancur masih menghias pemandangan, membuat suasana tampak mencekam.

"Abi! Abi!" seru Hayya, bahkan di situasi begini dia masih berusaha mengubah bahasanya.

Tidak ada balasan.

"Di mana dia?" gumamku.

Hayya lagi-lagi menarik tanganku dan kami berlari menuju sumber suara.

"Abi! Abi!" ulang Hayya.

Kami tiba di ruang tengah tempat kejadian. Api telah padam pada sebagian rumah, tapi masih saja menjalar ke segala arah.

Idris tidak ditemukan.

"Ada orang?!" Terdengar seruan dari luar.

Aku langsung menyahut. "Tolong! Tolong!"

Ketika menoleh, muncul sekelompok orang berseragam aneh masuk sambil mengeluarkan air dari tangan.

Kami diseret salah satu dari mereka. Aku akhirnya bisa menghirup udara setelah paru-paruku penuh dengan asap.

"Ada yang lain?" tanyanya.

"Abi!" Aku menunjuk ke dalam rumah yang kini tertelan sang jago merah.

"Asha juga," timpal Hayya.

Orang itu menyeret kami semakin dekat ke kerumunan yang menyaksikan rumah kami perlahan runtuh akibat api.

"Ayah ..." Tanpa sadar, kalimat itu keluar dari mulutku, entah untuk menyamar maupun tidak.

Rumah pun sebagian terlalap api dan luluh lantak. Aku dan Hayya berpelukan saling menguatkan sambil berharap Azya dan Idris ditemukan.

***

"Ah, di sini kalian!" komentar Safir setibanya di sebuah tempat para penyihir air tadi berkumpul.

Kami duduk berdampingan, tidak bicara sejak tadi melainkan hanya mendengarkan sayup-sayup obrolan para penyihir.

"Mana ayahmu?" Safir menatapku.

"Aku ... Tidak tahu." Aku menggeleng.

Safir mengedarkan pandangan. "Kita akan mencarinya, juga Asha. Yang penting, kita perbaiki rumahnya dulu."

"Kebetulan, Asha pernah memintamu membuat rumah baru," ujar Hayya. "Tapi, tidak mungkin rumah bisa selesai dalam sehari."

"Ya, sudah." Safir tampak pasrah. "Tidur saja di rumahku!"

Aku mengalah. Malam sudah larut dan kantuk mulai menyerang. Namun, mataku masih menolak untuk dipejamkan. Apalagi membayangkan nasib Idris dan Azya.

Ingatan tentang sakitnya Takeshi, terjadi sudah lama. Namun, bayangan itu masih menghantuiku. Bagaimana jika ia tewas dilahap api?

Tidak, aku yakin api bagai lalat penganggu baginya.

Siapa lawannya? Apa saja kejahatannya sampai seorang raja dan bangsawan memburunya? Idris pernah bercerita sebelumnya, tapi apa hanya sekadar itu?

"Kaira ..."

Aku menoleh ke jendela. Suara serak dan pelan terdengar. Anehnya, tidak ada siapapun di jendela rumah Safir.

"Kaira ..."

Aku teringat dengan Sada Kyoki. Dengan gemetar, aku dekati jendela dan menutupnya rapat.

"Tolong ..."

Aku terdiam. Terbayang wajah sang Pengalih-Rupa dalam wujud rubah putih. Seringainya masih membuatku bergidik. Dadaku sesak mengingat ia pernah menginjak tubuhku. Bayangan Takeshi yang kesakitan akibat gigitan beracun membuatku membeku antara kasur dan jendela kamar ini.

"Kaira ..."

Entah apa yang merasukiku. Kaki ini bergerak membuka kenop pintu dan melangkah keluar. Aku tidak bisa berhenti, tubuhku seakan menolak perintah. Bahkan mulut seketika kelu.

Pintu rumah terbuka. Aku melangkah menuju tempat tak terduga, rumah kami yang hangus. Kaki terus melangkah, tanpa rasa sakit akibat bertelanjang kaki di atas pasir dan batu.

"Kaira ..."

Akhirnya, kakiku terhenti. Aku terduduk di atas pasir dan abu. Jeda sejenak untuk bernapas juga memulihkan tenaga. Rupanya, aku telah melangkah terlalu jauh dari rumah Safir, apalagi dengan piama seperti ini.

Rumah kami tidak sepenuhnya terbakar. Hanya ruang tengah dan bagian luarnya hangus. Semoga tidak banyak kerusakan. Aku jadi teringat dengan dua sosok yang menghilang.

"Asha?" panggilku. "Ayah?"

Yang terdengar hanyalah jeritan. "Tolong ...!"

Tanah yang kupijak bergetar.

Aku terguncang hingga terduduk di tanah yang dipenuhi pasir dan abu.

"Tolong ...! Siluman ...!"

Aku menoleh dan melihat sosok ular raksasa. Jauh lebih besar dibandingkan kadal yang memangsa Ibu. Sisik hitamnya mengkilat diterpa sinar rembulan, tubuhnya nyaris sebesar rumah Idris.

Aku melihat sosok berambut putih di belakang.

Ular itu membuka mulutnya.

Aku tidak sempat berkutik.

Aku ditelan hidup-hidup.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Hai! Hai! Yuk, lanjut ke bab berikutnya! Ada double update, lho!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top