Teror Pertama

Tanah Jawa, 2022 

Gelap.

Sunyi.

Aku hanya bisa mendengar gemerisik daun yang menggema di antara jajaran pohon yang menjulang. Aku sadar tengah bermimpi , tapi aku tidak bisa menggerakkan anggota tubuhku sedikit pun. Kakiku seperti terpaku pada tanah, sementara hawa dingin mulai menjalar sampai paha.

"Manusia itu serakah."

Ada yang berbisik.

Namun, kepalaku terlalu berat hanya untuk menoleh ke belakang. Yang pasti, aku bisa merasakan deru nafas menabrak tengkuk leherku. Siapapun itu yang berdiri di belakang jelas bukan manusia. Meski belum pernah melihat makhluk semacam itu, tapi aku tahu dari hawa kehadirannya yang mengerikan.

"Kalian semua ... serakah!"

Makhluk itu berdengking memekakkan telinga. Suaranya memantul-mantul dari pohon ke pohon, membuat burung-burung terbang menjauh. Jangan tanya bagaimana kabar telingaku yang dekat dengannya, aku hanya bisa berdiri mematung dengan kaki gemetar. Pekikan makhluk itu berhasil membuatku nyaris kencing di celana.

Detik kemudian, aku mulai merasa kuku-kuku panjang dan tajam miliknya mulai meraba punggungku. Lalu menjalar ke bahu sampai leher.

Aku menelan ludah. Alarm di dalam kepala sudah berteriak nyaring sejak tadi, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain berdiri dan terisak sunyi.

Aku ... akan mati di tangan makhluk itu malam ini.

"... Wanda ... Wanda, bangun ...."

Lalu, tubuhku tersentak bangun. Di depan wajahku sudah ada Yasa yang menatap penuh rasa cemas.

"Kamu enggak apa-apa?"

Aku tergagap, kepalaku masih sibuk mencerna dan memilah-milah mana alam mimpi dan mana realita. Mimpi mengerikan itu terasa sangat nyata. Aku bahkan masih bisa merasakan kuku tajamnya yang merambat di leherku.

"Ah ... ya. Kita udah sampai?"

Dengan nafas yang masih memburu, aku melempar pandangan ke luar jendela mobil. Rupanya, mobil kami sudah terparkir di sebuah tempat pengisian bahan bakar.

Astaga, sudah berapa lama aku tertidur?

"Belum sampai ke penginapan. Kamu beneran enggak apa-apa? Keringetan gitu padahal AC mobil nyala."

Aku mengelap keringat dingin yang menggenangi pelipis dan ceruk leher. Bajuku bahkan sampai sedikit basah.

"Kalau kamu kecapekkan kita bisa istirahat dulu waktu sampai ke villa, baru jalan besok paginya," tawar Yasa yang langsung kutolak.

Aku tidak ingin membuyarkan rencana kami hanya karena mimpi burukku barusan. Setahun lebih rencana explore Indonesia untuk konten youtube terbengkalai karena terhalang jadwal kami berempat yang saling bertabrakan. Belum lagi aku sulit mendapat akses keluar dari Bapak perihal explore kali ini. Berhari-hari aku harus membujuk Bapak untuk mengizinkanku pergi. Pasalnya, Bapak bersikukuh kalau perjalananku kali ini katanya sangat berisiko.

Padahal, aku hanya akan mengunjungi tempat-tempat eksotis yang jarang terjamah wisatawan. Tapi, Bapak melarang seolah aku akan berangkat ke medan perang. Dia bahkan sempat mendiamkanku beberapa hari saat tahu aku akan tetap berangkat dengan atau tanpa izinnya.

Pekerjaanku sebagai travel vlogger menuntut untuk mengulas tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. Tidak jarang aku harus terbang ke luar negeri untuk membuat konten youtube yang menarik.

Hingga aku memiliki ide untuk menjelajahi tanah air dan pergi ke tempat-tempat eksotis yang jarang dikunjungi.

"Pokoknya, Bapak enggak setuju! Kamu boleh pergi ke manapun asal jangan ke arah timur!" tegas Bapak malam itu saat aku meminta izinnya.

Sungguh. Aku tidak mengerti mengapa Bapak masih menerapkan tradisi Jawa kunonya pada keluarga kami. Beruntung aku dididik dengan campur tangan Ibu.

"Tapi, kan, Wanda enggak pergi ke tempat yang berbahaya, Pak," bujukku sekali lagi, berharap Bapak bisa luluh saat kulempar tatapan memelas.

"Diundur saja harinya atau dipercepat, asal selasa kliwon wuku dukut kamu di rumah."

"Enggak bisa lah, Pak. Tanggalnya udah disepakatin, Ali juga udah booking travel. Masa mau dibatalin? Ya ... ya ... ya, izinin Wanda buat pergi."

Tapi, bujuk rayuku sama sekali tidak mempan pada lelaki tambun berjenggot tipis itu. Bapak tetap kekeh terhadap keinginannya yang mau aku berdiam diri di rumah hari selasa kliwon.

"Ada apa?" Kepala Ali tiba-tiba menyembul dari balik punggung Yasa.

"Wanda kayaknya enggak enak badan."

"Hah? Kamu sakit, Sayang?" Ali buru-buru merangsek masuk ke dalam mobil dan meraba dahiku.

"Enggak, aku cuma capek aja kayaknya."

"Yas, kabarin Daniel kita tunda dulu perjalanannya sampai besok," ucap Ali pada Yasa yang membuatku menggeleng cepat.

"Aku enggak apa kok, Al. Cuma mimpi buruk aja tadi," sanggahku.

"Kamu serius? Tapi, muka kamu pucet banget, loh." Ali menyibak helai rambutku yang berjatuhan di kening. "Enggak mau istirahat dulu?"

Aku menggeleng lagi dan terkekeh kecil. Lucu rasanya melihat wajah lelaki yang memiliki darah campuran Timur Tengah itu nampak khawatir. Ali memang selalu berlebihan jika sesuatu terjadi padaku. Seperti Bapak. Mereka terlihat mirip satu sama lain dari segi sifat. Sama-sama protektif dan terkadang menyebalkan.

"Aku mau ke kamar mandi aja."

"Mau aku anter?"

Sontak aku mendelik. Bisa-bisanya di saat seperti ini lelaki itu masih modus. 

"Bukan gitu, aku takut kamu kenapa-napa aja, Sayang," tukas Ali saat menangkap maksud delikan mataku. "Atau dianter Gaby aja, ya? Asal kamu enggak sendirian ke kamar mandinya."

"Kamu kira aku nenek-nenek jompo yang kudu ditemenin ke sana-sini?"

Ali mengaduh saat aku mencubit kecil pinggangnya. "Aduh! Aduh! Ya habisnya aku takut kamu tiba-tiba pingsan kayak kemarin."

"Ali bener. Daripada kamu pingsan tiba-tiba di kamar mandi. Aku lebih setuju kalau perjalanan kita tunda semalam," sambar Yasa.

Aku mengibas tangan tidak peduli dan melompat turun dari mobil. Tidak ada gunanya berdebat dengan mereka berdua. Menghadapi Ali dan Yasa sama seperti menghadapi kloningan Bapak. Aku yakin kalau mereka bertiga duduk di satu meja obrolan akan mengalir tanpa satu patah kata pun yang terucap.

Ajaib memang. Tapi, semirip itulah mereka.

Kakiku melangkah cepat ke arah toilet, perutku tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Padahal detik sebelumnya aku masih merasa baik-baik saja. Aku menahan mulutku dengan kedua tangan, rasa mual itu semakin bergejolak di dalam sana. Aku bahkan sampai tidak sengaja menabrak Gaby yang baru saja keluar dari pintu toilet.

"Muka lo kenapa, Wan? Kok pucet banget?"

Aku hanya menggeleng singkat dan cepat-cepat masuk ke dalam bilik lalu memuntahan semua isi perutku. Mengabaikan seruan panik milik Gaby di balik pintu.

***

"Jadi, gimana? Kita tetep naik malam ini apa enggak?"

"Kayaknya kita tunda dulu semalam, deh. Gue enggak mau naik kalau kondisi cewek gue masih drop."

"Coba lo telepon Daniel, bisa enggak kalau ditunda sehari."

"Nah, gue setuju sama Yasa. Coba lo hubungin Daniel dulu, Gab."

Dari dalam mobil sayup-sayup aku bisa mendengar percakapan ketiga temanku. Ada rasa bersalah yang menyeruak sebab akulah perjalanan ini terancam tertunda atau bahkan batal.

Ini semua gara-gara mimpi buruk itu.

Tak dapat dipungkiri ada rasa aneh dan menggelitik setelah mimpi buruk itu. Seakan ada yang menahanku untuk pergi dan menyuruhku pulang saja. Aku tidak tahu perasaan macam apa ini, tapi jelas aku tidak bisa membatalkan rencana kami begitu saja.

Saat kepalaku masih sibuk bertanya-tanya, ketukan di jendela mobil tiba-tiba mengejutkanku.

"Mau nawarin cemilan, Mbak." 

Tatapanku terjatuh pada seorang nenek tua setengah bungkuk yang membawa keranjang merah. Mulanya aku hendak menolak, tapi melihat penampilan nenek tua itu aku tidak sampai hati untuk berkata 'tidak'.

"Boleh, Nek, ada apa aja?"

Nenek tua itu kemudian menyibak jarik bercorak batik yang menutupi keranjang. "Macem-macem, Mbak. Ada usus, kepala, sama ekor. Mau yang mana?"

Detik itu, saat aku melihat potongan segar tubuh monyet di dalam keranjang, aku menyadari perkataan Bapak tentang makhluk ghaib yang terkadang sengaja menampakkan diri, itu benar adanya. Dengan bibir kelu, aku menutup jendela mobil dan berharap nenek tua itu enyah dari sana.

Tapi, aku justru mendengar lengkingan tawanya yang mengejek.

"Kamu tidak akan bisa pulang!"

__________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top