Keraguan
Aku menenggak air dalam botol sampai tandas, berusaha mengusir segala firasat buruk yang menggelayut. Aku terduduk di sebuah batu yang menyeruak dari tanah merah, tepat di depan semak belukar yang sebelumnya adalah jurang. Mau berapa kali pun aku meyakinkan diri sendiri, otakku jelas tidak bisa dibohongi. Saat datang tadi, aku yakin sekali kawasan di depanku adalah sebuah jurang yang tidak terlalu curam.
Aku masih ingat betul saat mobil kami menyusuri jalan yang meliuk membelah perbukitan. Di sisi kanan terdapat tanah merah menjulang ditutup rimbun semak-semak. Sementara di sisi kirinya terdapat jurang yang dibatasi pembatas jalan.
Lalu, bagaimana mungkin jurang itu kini berubah menjadi rimbunan semak belukar?
"Ngelamunin apa, sih?" Gaby menyenggol pundakku.
"Gue bingung, waktu kita dateng gue yakin banget sebelah kiri itu jurang. Tapi, kenapa sekarang jadi semak belukar?"
"Jurang? Ngaco lo, Wan!"
"Gue serius, Gab. Gue yakin sebelah kiri kita itu pembatas jalan yang berbatasan langsung sama jurang."
Gaby terdiam mendengar ucapanku yang sungguh-sungguh. Perempuan itu meraba dahiku, mengira aku masih demam atau semacamnya. "Nggak panas, tapi lo kayak orang ngelindur. Wan, sikap lo dari tadi aneh banget dan itu bikin gue cemas. Lo enggak mau cerita?"
Haruskah kuceritakan semua padanya? Tentang nenek tua itu dan kepala monyetnya?
"Ada apa, Wan? Coba cerita ke gue, kalo lo diam a
ja gue makin cemas," sambung Gaby lagi ketika melihat raut wajahku yang tampak bimbang.
"Gue ... entahlah, Gab. Perasaan gue enggak enak aja dari tadi."
"Karena? Lo merasa bersalah karena pergi tanpa izin bokap?"
Yah, itu juga salah satu alasanku, tetapi bukan itu intinya. Aku mencoba merangkai kata-kata di kepala. Bagaimana aku harus memberitahu Gaby tentang mimpi dan nenek tua itu.
Aku menarik napas.
"Bukan itu, tapi gue ngerasa enggak seharusnya kita pergi ke tempat ini."
"Maksudnya?"
"Tadi, waktu di pom gue dihampiri sama nenek-nenek. Dan dia jelas bukan manusia, Gab. Dia nawarin gue tubuh monyet yang udah dipotong-potong yang ada di keranjangnya. Terus bukan cuma itu, sebelumnya gue juga dapet mimpi aneh banget. Intinya kita enggak seharusnya pergi ke air terjun itu."
Aku menceritakan semuanya dengan satu tarikan napas. Gaby memandangiku seolah kepalaku terbelah jadi dua.
"Wan ... lo yakin demam lo udah hilang?" Gaby meraba dahiku sekali lagi.
Aku berdecak menepis tangannya. "Gue serius. Lo enggak percaya?"
"Wan, gue bukan enggak percaya sama lo, tapi ... gimana ya." Gaby menggaruk kepalanya.
"Lo pasti juga enggak percaya waktu gue bilang yang di depan kita itu harusnya jurang, bukan semak-semak."
Gaby menoleh ke belakang. Raut wajahnya terlihat skeptis dengan ucapanku barusan. Jelas saja, sejak dulu Gaby bukan tipikal orang yang mempercayai hal-hal mistis semacam itu.
"Semua hal janggal memiliki penjelasan ilmiah," katanya tiap mendengar tentang kisah-kisah mistis di luar nalar.
"Sayang, kenapa? Kamu masih sakit?"
Aku mendongak ke arah Ali yang menghampiriku dengan sorot wajah khawatir. Keringat berjatuhan dari pelipisnya.
"Wanda kayaknya masih demam deh, Al," ucap Gaby pada Ali, dia sama sekali tak mempercayai ucapanku barusan.
"Serius?" Ali meraba keningku begitu mendengar ucapan Gaby. "Panasnya udah turun, sih. Badan kamu masih enggak enak?"
"Sedikit." Aku memalingkan wajah. Sepertinya apapun yang kukatakan mereka tidak akan mempercayaiku.
"Woi, mobilnya udah nyala, nih!" seru Daniel.
"Wan, lo cuma kecapekkan aja kali. Karena rasa bersalah lo yang tetap berangkat tanpa izin," tambah Gaby yang membuatku bertanya-tanya dalam hati.
Apakah benar begitu? Karena rasa bersalahku yang menggumpal di benak jadi membuatku berhalusinasi melihat hantu seorang nenek?
Aku tidak yakin itu halusinasi.
"Udah, mending sekarang kita naik ke mobil, nanti keburu malam sampai pintu masuknya," kata Ali.
Ali membantuku berdiri, sementara kepalaku sibuk bertanya-tanya mengenai ucapan Gaby barusan. Apa itu semua halusinasi?
Aku merogoh ponsel dari dalam saku jaket. Terlihat berpuluh-puluh panggilan tidak terjawab dari Bapak. Aku menelan ludah, rasa bersalah itu kian menggumpal dan menghimpit dadaku.
Ketika pergi, aku hanya meninggalkan sepucuk surat untuknya, berkata bahwa aku akan tetap naik ke lereng gunung. Lalu, aku mengubah ponselku ke mode diam dan pergi tanpa izin darinya.
"Wan, ayo masuk." Yasa menghampiriku yang berdiri diam di samping mobil.
"Yas, kamu sadar enggak kalau sebenarnya di daerah situ tadinya jurang?"
Yasa mengikuti arah telunjukku yang mengacung ke semak belukar.
"Jurang? Gimana maksudnya? Aku enggak lihat ada jurang dari tadi."
Aku mengangguk-angguk. Mungkin Gaby benar, aku hanya kelelahan karena rasa bersalahku yang menumpuk semakin tinggi.
Sepanjang perjalanan aku membuang wajahku ke luar jendela, mengamati jajaran pohon yang dilewati. Firasat tak enakku tak kunjung reda. Padahal sudah berkali-kali kutekankan ke diri sendiri kalau aku hanya berhalusinasi saja.
Tapi sepertinya firasatku menular pada Yasa yang mulai bergerak gelisah dari kursi belakang.
"Dan, lo yakin jalannya bener?" tanya Yasa gusar.
"Bener, kan, tinggal lurus ngikutin jalan ini doang." Daniel mengecek maps yang ada di ponsel Ali. "Eh, bentar, maps lo kok ngaco begini, sih?"
Mendengar ucapan Daniel sontak membuatku dan Gaby menegakkan punggung. Sementara Ali menepikan mobilnya.
"Yang bener lo, Dan?" Ali merebut ponselnya dari tangan Daniel.
"Guys, kayaknya kita kembali ke titik waktu mobil mogok deh," ucap Yasa.
Aku menoleh ke arah sekitar, dan benar saja. Di ujung sana ada rumah tua tempat kami mengisi perut beberapa waktu lalu.
Ali dan Daniel turun dari mobil untuk memastikan, dan memang benar kami kembali ke tempat warteg itu lagi. Daniel memaki, sementara Ali mengacak-acak rambutnya.
Gaby melompat turun, disusul oleh Yasa. Mereka berempat tampak bingung karena mengalami kejadian di luar nalar yang sudah kualami sejak tadi.
Aku menyusul turun kemudian, mendengar Daniel dan Ali yang berdebat tentang sesuatu. Aku tidak berminat menimbrung karena kepalaku terasa pening.
Rentetan kejadian hari ini seharusnnya cukup untuk memukulku mundur. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk meyakinkan mereka semua.
Tiba-tiba pandanganku jatuh pada sesosok nenek tua dengan tubuh bungkuk dan membawa keranjang kayu. Nenek itu berjalan perlahan lalu masuk ke dalam semak belukar.
Aku menahan napas. Karena nenek itu yang menawariku sekeranjang potongan tubuh monyet waktu itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top