9. Serious Decision
Kefan memang masih remaja, tetapi sejak kecil dia selalu menampilkan sisi dewasa dalam dirinya.
Saat Ruth menyusul ke area pastry, dia sudah memulas wajahnya dengan bedak dan gincu sehingga bekas air mata sudah tak ada lagi. Dia menyapa ramah seperti biasa, tapi tidak bisa menipu Kefan begitu saja. Pemuda itu melayangkan sekelebat tatapan kepadaku sebelum menyambut pelukan Ruth. Dari lamanya mereka berpelukan, aku bisa tahu Kefan mencium sesuatu yang belum beres di antara kami. Ruth mencoba melepaskan tubuhnya, tetapi Kefan menahannya sesaat lebih lama. Biasanya, Kefan tak pernah nyaman bersentuhan dengan orang lain, terlebih perempuan. Dengan Moza pun, dia masih sangat canggung. Ruth lebih dekat dengannya dibanding Moza, tapi menahan pelukan bukan gaya Kefan sama sekali.
"Aku kangen sama Kakak,"—bahkan sejauh bilang kangen, it's so not him—"besok kami ngumpul, kakak ke rumah, kan?"
Oke, Kefan ... kalau yang itu agak berlebihan.
"Akan kuusahakan, Sayang," jawab Ruth manis. "Gimana sekolahmu?"
Karl yang agak diabaikan mendekat dan memanjat ke gendonganku.
"Baik-baik aja, Kak."
"Dia ada pentas di Jakarta." Aku menyahut, tahu Kefan tidak akan memamerkan dirinya sendiri.
"Oh ya? Wow, hebat," puji Ruth tulus. Dia memang selalu tulus pada siapa pun. Dia jujur, tulus, perempuan terbaik yang pernah kutemui. "Apa aku bakal diundang?"
Oh ... jadi dia masih mau diundang? Benar juga ... kami hanya break karena aku berbuat salah, bukan berarti kami nggak akan berhubungan sama sekali, kan? Aku agak lega mendengarnya.
"Kalau Kakak mau," ucap Kefan tersipu. "Nanti aku kabari, yah?"
"Benar ya?" kata Ruth, melirikku. "Jangan sampai lupa meski terlalu sibuk."
Sementara aku menelan ludah, Kefan menahan tawa sambil mengangguk-angguk mengiakan. Untuk menepis rasa malu, aku menepi ke etalase pastry yang sudah ditunjuk-tunjuk Karl.
"Oh ... dia nggak mau bilang mau kue apa," kata Kefan teralihkan oleh rengekan Karl.
"Aduh, lupa ada Karl!" seru Ruth antusias, menjauhi Kefan dan mendekat padaku untuk memindahkan Karl ke gendongannya. "Kamu mau kue apa anak manis? Tante yang traktir."
Karl bersorak riang, dia menyisihkanku begitu saja dan asyik menunjuk semua kue yang dia mau. Aku mundur, menyaksikan keakraban yang bikin hatiku makin pedih. Kalau saja aku nggak bertindak bodoh, saat ini aku pasti sedang memeluk Ruth yang tengah menggendong Karl penuh sayang. Mencium tengkuknya, menghirup aroma sampo dari rambutnya yang diekor kuda—
"Karl kenapa, ya?" Pertanyaan Kefan mengejutkanku. "Dia benar-benar nggak mau dekat-dekat aku. Waktu Kakak masuk, dia malah ngegelendot sama Kak Tia yang di kasir."
"Oh ... Tia memang akrab sama Karl, lagian Moza kan rutin ke sini."
"Iya ... tapi dia bisa akrab sama siapa aja kecuali sama aku."
"Siapa? Tia?"
Kefan mendengus, "Karl!" katanya. "Aku salah apa? Dulu kami memang nggak terlalu akrab, tapi paling enggak dia mau kugendong ...."
"Mungkin butuh adaptasi aja," ucapku menenangkannya. "Nggak usah dipikirin. Nanti sehari dua hari juga udah akrab, mungkin dia ngerasa kesaing kali."
"Kesaing gimana?"
"Biasanya kan dia yang jadi pusat perhatian, sekarang ada kamu."
"Masa anak kecil udah bisa mikir gitu?"
Aku tertawa sambil merangkul bahu Kefan, "Nah itu tahu anak kecil masa udah bisa mikir gitu, kok masih dipikirin aja? Gini aja, aku akan sering-sering ngasih kalian kesempatan berduaan, gimana? Tapi kamunya juga jangan diem aja, dong. Karl tuh sama kayak kamu, dia nggak bisa sama orang yang menurutnya asing. Tapi ... dia bisa cepet akrab kalau dibaikin."
Meski lesu, Kefan mengangguk juga akhirnya. Kueratkan pelukanku di bahunya sebelum menyambut Ruth dan Karl yang selesai membungkus dua kotak kue.
"Aku bungkusin cream puff dan brownies," katanya kepadaku. "Baru matang, jadi kalau besok yang lain baru datang, masih enak. Ada yang lain nggak?"
Aku menerima bungkusan dari tangan Ruth, "Nggak, ini cukup. Makasih, Sayang ...."
Ruth melengos, tapi menyamarkannya dengan beralih bicara pada Kefan, "Kef yang isi custard, kan? Kakak masukin varian rasa baru, dicoba, yah?"
"Makasih, Kak," ucap Kefan, mengambil alih bungkusan saat aku memindahkan Karl ke lenganku.
"Karl udah dapat rasa stroberinya?" tanyaku pada si kecil.
"Dua!" katanya ceria.
"Satunya buat Om Kenan, ya? Ya kan, Tante?" Aku menggoda, Karl langsung cemberut.
"Buat Karl semua, kok ..." bela Ruth sambil mengecup pipi Karl lembut.
"Om-nya enggak?" bisikku.
"Apaan sih kamu, mau yang stroberi juga?" delik Ruth risih.
"Kecupannya, kok ...."
Ruth memutar bola mata, pipinya bersemu merah, tapi bibirnya tetap menghardik, "Stop it, Kenan!"
Aku yakin Ruth bersikap baik hanya di depan anak-anak. Dengan sangat jelas, dia memperlihatkan mimik muka jenuh jika Kefan dan Karl tidak memperhatikan. Sewaktu Kefan masuk mobil duluan bersama Karl, aku berharap paling tidak kami bisa bertukar kalimat perpisahan yang hangat, syukur-syukur sedikit pelukan.
Namun, Ruth hanya mendecapkan lidah saat aku berpamitan. Dia bahkan berpesan, "Tolong bikin alasan apa saja ke yang lain kalau mereka mengundangku."
Aku mengerutkan alis, mencoba meraih jemarinya, tapi Ruth menepis dengan sungguh-sungguh. Kupikir dia serius saat bilang akan mengusahakan datang jika kami berkumpul, ternyata tidak. Jurang pemisah di antara kami terasa makin jauh.
"Apa kamu nggak bisa meluangkan waktu sekadar untuk makan malam?" Aku tetap berusaha.
Ruth mendesis, "Kenapa kamu nggak bisa menghargai keinginanku seperti aku menghargai semua keputusanmu?"
Di ujung kalimatnya, dia masih bisa melambaikan tangan dan tersenyum manis pada Karl yang mengetuk-ngetuk jendela di kursi kemudi.
"Tadi kamu bilang mau ngusahain ...," keluhku.
"Kenan ... ini bukan soal aku ada waktu atau enggak, sibuk atau enggak, ngusahain atau enggak. Kamu tahu aku selalu akan ada waktu buat kamu dan keluargamu mau sesibuk apa pun aku," katanya. "Tapi kali ini urusannya lain. Ini karena hubungan kita. Aku ingin berpikir."
Aku tidak membantah.
"Aku ingin berpikir jernih mengenai kita berdua. Banyak hal yang ingin kutanyakan pada diriku sendiri. Dan aku nggak ingin waktu berpikirku dipengaruhi oleh adik-adikmu yang sangat kusayangi. Kalau aku melihat mereka, berada di antara mereka, sudah pasti aku akan memaafkanmu, tapi aku nggak bisa menjamin apakah maaf itu karena aku menerima kesalahanmu, atau karena aku nggak ingin kehilangan kalian semua."
Dengan kalimat itu, aku seperti melihat diriku sendiri hancur berkeping-keping. Di mana lagi aku akan mendapatkan perempuan yang mencintaiku, sekaligus mencintai orang-orang yang kusayangi seperti Ruth? Ulu hatiku terasa sakit luar biasa, tapi bukan karena aku membenci Ruth atau kalimat yang diucapkannya. Kalimatnya tidak pernah menyakitiku, yang menyakitkan bagiku justru adalah kebaikan hatinya. Kebaikan yang bikin bulu kudukku meremang hanya dengan memikirkan akan kehilangannya.
"Sampaikan salamku pada Kenang dan Kanaya," pesannya, sebelum aku menyusul masuk mobil. Aku hanya bisa mengangguk menyanggupi. Sesudah duduk dan memasang sabuk pengaman, Ruth mengulurkan tangan untuk membelai pipi Karl sekali lagi. "Bye-bye Karl!"
"Bay bay, Anceh!" balas Karl.
"Bye, Kefan."
"Bye, Kak ...."
Di depan jendela yang masih terbuka, mata indahnya memandangiku sekilas sebelum mengucap kalimat penutup, "Kabari kalau Moza melahirkan. Jaga kesehatanmu. I am gonna miss you."
I am gonna miss you ....
Seharusnya kalimat itu bisa menghiburku, tapi nyatanya tidak. Jantungku malah makin sakit, seperti ada yang meremasnya perlahan. Dengan senyum kupaksakan, tanpa melihatnya untuk kali terakhir sampai entah kapan, aku menaikkan jendela.
Dan Ruth ... dia berpaling begitu saja, berbalik kembali menuju tokonya. Selama lima tahun lebih kami bersama, sepertinya Ruth tidak pernah masuk duluan tanpa menanti mobilku menghilang ditelan lalu lalang kendaraan sebelum ini. Mungkin pernah saat kami bertengkar, tapi aku lupa kapan.
Pada saat seseorang akan berlalu, kenapa justru kenangan indah dengannya yang selalu muncul?
Kefan mengelus punggung tanganku, memecah lamunan yang melangut menatap punggung Ruth menjauh.
"Wanna talk about it?" tanyanya.
"Not now," tukasku pendek, berusaha keras menetralkan perasaan.
"Kakak yakin?"
Aku tidak ingin gemuruh dalam dadaku membuat cemas Kefan, pun Karl. Dengan tampang yakin yang kubuat-buat, aku tersenyum diagonal. "Ya, aku yakin."
"Okay ...."
"Siap?"
"Siap."
"Sabuk pengaman, Kapten?" seruku pada Karl setelah menghirup napas panjang.
Kefan memeluk erat perut Karl, "Ay ay Kapten!" balasnya tak kalah ceria.
Karl sempat kaget didekap tiba-tiba, tapi tampaknya tidak ingin ketinggalan kesenangan sehingga dia menyahut tak kalah lantang, "Ay ay, Kapcen!"
Aku masih harus menyetir, tidak ada waktu untuk bimbang karena di sisiku ada orang-orang yang sama berharganya dengan Ruth. Jika aku menuruti hawa nafsu, bukan tidak mungkin aku mencelakai mereka. Kalau sampai itu terjadi, aku takkan memedulikan hal lain di dunia ini selain mereka, sedangkan aku tak ingin tidak memedulikan Ruth lagi.
Aku ingin menjadikannya prioritas utamaku.
Namun ... bagaimana caranya supaya Ruth tahu itu?
Mencoba menepis kebimbangan, aku pun melajukan mobil meninggalkan area parkir toko kue Ruth menuju bandara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top