7. Ruth

Matanya sipit, kulitnya seputih susu seperti orang Korea, tetapi hidungnya bangir seperti punya campuran darah Arab. Kalau kuperhatikan sekilas, Suster Nindi seperti perpaduan antara Song Hye Kyo dan Nabila Syakieb. Kalau kata Kakek, Suster Nindi mirip Asmirandah, bintang sinetron yang sempat populer beberapa tahun lalu. Bukan hanya kakek, pasien kamar sebelah yang sering bertandang ke kamarnya untuk mengobrol selalu memanggil Suster Nindi suster Asmirandah. Ada-ada aja.

Tidak hanya cantik, Suster Nindi memiliki aura yang menyejukkan seperti peri. Beberapa kali aku menyaksikannya menenangkan pasien yang tak mampu ditangani suster lain. Dia perawat yang piawai, bukan hanya karena pesona wajahnya, melainkan juga ketelatenannya dalam membujuk dan merayu pasien. Suster Nindi pandai memberi keterangan yang mudah dimengerti, sehingga baik pasien maupun pihak keluarga merasa lebih tenang dan percaya penyakit mereka ditangani oleh orang yang benar-benar paham.

Sifnya hampir selalu malam sampai pagi sehingga aku tak pernah punya kesempatan banyak untuk mengobrol. Dia biasa datang mengambil sampel darah, atau mengganti infus. Sesekali menengok tiap lewat tengah malam untuk mengecek detak jantung, kemudian menuliskannya di sebuah paper board. Aku tahu karena aku selalu terjaga, tapi pura-pura tidur.

Untuk ukuran perempuan asia, tinggi perempuan itu melebihi rata-rata. Kakinya jenjang, ramping, sempurna. Rambutnya memang selalu disimpan dalam hair net, tapi aku yakin akan indah jika digerai.

Jangan salah sangka, aku tidak punya maksud khusus memperhatikannya. Kupikir wajar kalau pria senang melihat perempuan menarik, terutama di tempat yang tidak terlalu bisa diharapkan. Kanan kiriku pasien lansia yang mengharuskanku mengulang perkenalan hampir tiap kali bertemu karena mereka selalu lupa, aku sedang bersitegang dengan Ruth dan tak ada tempat untuk bermanja, suster yang lain juga biasa-biasa saja, hiburanku hanya wajah cantik suster Nindya—nama di name tag-nya—yang membuatku tidak malas mandi sore di rumah sakit.

Kutegaskan. Ini tak ada artinya.

Saat suster itu menelepon pun, aku tidak punya pikiran aneh-aneh. Kuakui aku memang agak tersipu, tapi itu terjadi karena Kefan menghunjamku dengan tatapan menyelidik seolah aku menyembunyikan sesuatu, padahal tidak.

Kepalaku justru sibuk memikirkan kalimat apa yang akan kuucapkan saat bertemu Ruth. Wajah seperti apa yang harus kubuat saat kami berhadapan. Apa yang akan dikatakannya, apa yang akan kami katakan satu sama lain? Apakah kami akan bertengkar, atau malah semuanya jadi lebih mudah diselesaikan setelah kami sama-sama saling memberi jarak.

Gara-gara melamun memikirkan Ruth, hampir saja moncong mobil kami menyundul bagian belakang sepeda motor yang berhenti mendadak karena traffic light beralih merah. Sebenarnya sama sekali tidak mendadak, aku aja yang nggak konsentrasi.

Sebaiknya kucari-cari bahan pembicaraan daripada mencelakakan kami bertiga.

"Jadi, siapa saja yang akan pentas nanti? Apa Rick juga akan tampil?"

Karl menoleh, dia pikir aku bicara kepadanya. Kefan tersenyum geli.

"Bukan kamu, Sayang." Kusentil puncak hidungnya. Karl kembali melihat ke depan.

"Iya, Aurick juga," jawab Kefan pendek.

Entah perasaanku saja, atau memang anak ini agak lebih pendiam dari biasanya, ya?

Pada dasarnya, Kefan memang tidak terlalu banyak bicara, terutama pada orang yang tak terlalu dia kenal. Namun, wajarnya dia cukup terbuka denganku. Kalau kami hanya berdua dan aku memancingnya, dia tidak segan bercerita panjang lebar. Kutunggu beberapa saat, dia malah ikut-ikutan diam.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak ada apa-apa," jawabnya. "Aku sedang memikirkan perasaan Kak Kenan kemarin saat Kakek tidak ada dan Kakak sendirian."

Ahhh ... Kefan. Dia memang selalu bisa menyentuh perasaanku. Tidak ada yang lebih sentimental daripada Kefan di antara kami berlima. Dia selalu mengungkap sesuatu yang tidak kami sangka dalam diamnya. Empatinya terhadap orang lain begitu besar, dia sensitif, sampai kadang aku suka lupa kalau dia anak laki-laki.

"Aku nggak sendirian." Kutekan bahunya dan kubelai sekilas pipi pipihnya yang halus. "Kal-el dan Moza banyak membantuku."

"Tapi aku menyesal aku tidak pernah ada di samping kakak saat kakek jatuh sakit. Aku bahkan nggak berpikir untuk pulang barang sehari saat minggu tenang. Aku pikir hanya sakit biasa. Kakak selalu ada saat kami butuh, tapi aku malah nggak ada saat kakak butuh dukungan—"

"Hei ... hei ...." Aku meraih jemari Kefan, mencegahnya melanjutkan kalimat yang akan membuat genangan air di pelupuk matanya jatuh membasahi pipi. "Aku nggak pernah punya pikiran kayak itu, terutama ke kamu, Kef. Kamu selalu datang lebih awal daripada yang lain, selalu mencemaskan kondisiku saat yang lain sibuk sendiri. Itu sudah lebih dari cukup buatku. Aku malah akan marah kalau kamu meninggalkan urusan sekolah karena mengkhawatirkanku."

Setitik air matanya jatuh juga.

"Please ... don't cry." Aku memohon. "You don't know how hard it is to answer Karl's question if he found out you were crying."

Kefan tersenyum kecil. Menggunakan lengan dari tangan yang kugenggam untuk menghapus air mata sebab tangannya yang lain harus memegangi tubuh Karl.

"Setua apa pun kamu nantinya, selama aku masih kuat, akulah yang akan mengkhawatirkanmu. Kamu adikku, please ... let me be your older brother a while longer ...."

Kami bertatapan.

"Cuma kamu harapanku satu-satunya. Kal-el, Kenang, Kanaya ... semua orang bersikeras tumbuh dewasa tanpaku. Aku kesepian, tapi bukan berarti kamu harus selalu menemani. Kal-el bakal ngebunuh aku kalau kamu sampai ngelakuin itu. Lagian aku nggak perlu. Cukup libatin aja aku dalam sebagian hidup kalian, itu sudah bikin aku bahagia."

"What should I do, Kak? Aku kadang nggak tahu bagaimana caranya melibatkan seseorang dalam hidupku."

Oh ... Tuhan ... kenapa aku merasa ada sesuatu yang rumit di kepala Kefan? Dia memang berbeda dari kebanyakan kaum pria yang berpikir sederhana. Secuek apa pun Kal-el dan Kenang, aku tahu mereka sebenarnya menyayangiku. Mereka hanya tak memperlihatkannya, tapi akan menunjukkannya jika diperlukan. Kefan tidak sama, dia mencintaiku dan ingin aku merasakannya. Dia selalu khawatir jika aku tak mengerti, padahal aku cukup paham. Hanya dengan melihat binar matanya saat menatapku, aku selalu tahu tempatku istimewa di hatinya.

"You don't have to do anything. What you did until now is more than enough." Aku mengacak rambutnya. "Tau nggak? Orang yang suatu saat menerima hatimu pasti akan langsung tahu tanpa kamu harus mengatakannya. Kamu tulus. Jujur. Apa yang hatimu katakan terlukis jelas di wajahmu. Gini aja ... kalau suatu hari nanti aku ngerasa ada yang kurang dari kamu akan Kakak beri tahu. Hm?"

Kefan menjatuhkan bahu, tersenyum, "Oke."

"Nah ... gitu, dong!"

Kami berdua sama-sama tertawa, menarik perhatian Karl yang tak mengerti apa-apa. Bocah kecil itu melihatku. Matanya seakan bicara, meminta penjelasan, tapi aku cuma bisa mengelus rambutnya. Anak ini juga akan membuatku merasa istimewa suatu hari nanti, aku bisa merasakannya.

Lampu bertukar hijau, aku mengambil kembali tanganku untuk menguasai kemudi.

"By the way ... apa yang kakak akan bilang ke Kak Ruth nanti? Apa aku dan Karl perlu memberi kalian waktu berdua?"

"Ya," anggukku setelah mengembuskan napas berat. "Tolong, ya?"

"Kak Ruth pasti mengerti, tinggal bagaimana kakak saja meyakinkannya. Kalian sudah pacaran bertahun-tahun, hal apa yang tidak bisa dimaafkan, kan?"

Senyumku terkulum.

"Saat itu kakek sedang sakit, kakak tidak punya pilihan lain. Iya, kan?"

Masalahnya, aku tidak seyakin Kefan kali ini. Ruth memang bukan perempuan yang sulit diajak bicara, dia perempuan yang sangat praktis. Jika menurutnya kesalahan seseorang bisa dimaafkan, dia tidak butuh waktu lama untuk memaafkan. Namun, dia juga mudah membuat kesimpulan saat tindakan seseorang tidak bisa lagi ditoleransinya.

Aku tahu ini justru dari lamanya kami berhubungan. Aku selalu tahu celahnya, kapan Ruth butuh waktu lama, kapan dia harus dibujuk saat itu juga. Ini adalah kesalahan terbesar pertamaku sepanjang sejarah percintaan kami.

Sebagian hatiku mengatakan kali ini tidak akan mudah memenangkan kembali hati Ruth.

Toko Ruth tidak lagi berlokasi di dalam gang seperti sebelumnya. Rumah orang tuanya itu masih dia tinggali, tapi tidak lagi digunakan untuk mendisplay kue. Bisnisnya bertumbuh, meski tidak terlalu pesat. Selain berkemauan kuat, Ruth sangat telaten dan penyabar. Dia membangun bisnis perlahan, tetapi pasti. Hitungan keuangannya tidak pernah memeleset, tidak naik secara signifikan, tetapi jarang mencatatkan kerugian.

Sampai tahun kemarin, Ruth hanya membuka satu cabang kedua tak jauh dari toko utamanya. Aku sudah hafal jam kerjanya setiap hari. Pagi sampai siang dia akan memantau distribusi produk di cabang. Setelah makan siang sampai menjelang tutup cabang, dia akan menunggui toko utama. Pada jam-jam begini, dia pasti sedang ada di ruangannya. Merekap pesanan, atau menghitung keuntungan hari sebelumnya. Kalau senggang—meski sangat jarang—kami makan malam berdua. Bila sama-sama sibuk, kami akan bertukar pesan saling mengingatkan jam makan.

Saat aku mengetuk pintu kantor dan masuk tanpa dipersilakan, dia tengah menghadapi layar monitor dengan dagu bertopang. Sampai aku berdiri tepat di depannya, dia sama sekali tidak menyadari seseorang mendekatinya.

"Kenan?" Dia terkejut, cepat-cepat melepas ear phone yang menyumpal kupingnya.

"Sorry ... kamu kaget, yah? Sudah makan malam, belum?" tanyaku, mencoba tidak canggung. Habis aku bingung, haruskah aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Ruth malah menyahut ponsel. "Aku memang nggak ngasih tahu duluan," imbuhku sebelum dia memeriksa telepon genggamnya.

"Aku sudah makan," katanya. "Kenapa kamu nggak ngasih tahu dulu?"

"Karena aku berencana memberi tahu secara pantas lain waktu supaya kita bisa bicara serius tentang kita," ungkapku jujur.

"Oh ... jadi kamu ke sini bukan untuk itu?"

"Aku datang sama Kefan dan Karl."

Mata Ruth yang menatap dingin seketika meredup, "Kefan sudah libur?"

"Dia libur lebih awal."

"Oh ya? Karl tidur di rumah? Memangnya kamu besok nggak kerja?"

"Aku ngambil cuti seminggu."

"Untuk apa?"

"Untuk berkabung—"

Sepotong kalimatku membuat suasana yang mulai mencair kembali membeku. Rahang Ruth mengeras, bibirnya mengatup paksa. Saat aku hendak melanjutkan ucapanku untuk memberi penjelasan mengapa tak memberi tahunya, dia lebih dulu berdiri, menggagapi sekitarnya dan melemparku dengan kotak kacamata sebelum aku sempat menghindar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top