6. Kim Paf

Ruth sangat dekat dengan adik-adik dan aku sangat bangga kepadanya.

Hanya Ruth yang bisa dimintai bantuan untuk memeriksa rumah dan adik-adik secara berkala ketika aku dan kakek sibuk-sibuknya mengurus perusahaan kecil kami, sementara Kal-el tidak bisa meninggalkan studi dan persiapan pernikahannya. Tak jarang jika Kal-el tak bisa pulang, dia menginap. Baru setelah Maya—putri angkat kakek yang beberapa tahun lebih muda dariku—bisa diserahi wewenang penuh pada cabang selain Jakarta, aku bisa benar-benar menetap dan berhenti merepotkan Ruth.

Kedekatannya dengan seluruh bagian keluarga membuat cintaku kepadanya tumbuh makin besar setiap hari. Aku sendiri tak mengerti apa yang membuat kami menunda pernikahan sampai selama ini. Seolah-olah aku dan Ruth sama-sama tahu kalau kami pasti akan berakhir bahagia, kami tak punya penghalang apa-apa, hingga akhirnya malah tak kunjung melangkah.

Aku dan Ruth sama-sama tidak mendapat desakan dari pihak mana pun untuk segera menikah, beda halnya dengan Kal-el dan Moza. Moza yang jauh lebih tua dibanding Kal, serta riwayat hubungan kami bertiga mau tak mau membuat kedua orang tuanya mencemaskan keseriusan Kal-el. Kal sendiri memang tak pernah mengungkap apakah benar ada tuntutan dari orang tua Moza, atau tidak, tapi aku bisa memperkirakan.

Bukannya lantas aku tidak punya alasan untuk segera meresmikan hubungan, tapi kenyataannya aku dan Ruth santai-santai saja. Bahkan, setelah kejadian besar beberapa minggu lalu yang bertepatan dengan jatuh sakitnya kakek, aku masih yakin hubungan kami pasti bisa diselamatkan.

Sebelum aku makin mengulur waktu dan secara tak sadar menambah kesalahan lain ....

Sewaktu aku selesai bersiap-siap pada jam makan malam, Kefan dan Karl tengah duduk menanti di ruang tengah. Mereka sama-sama bersandar di sofa panjang, yang satu di sisi paling kanan, yang lain di sisi paling kiri. Wajah mereka sama-sama serius memperhatikan layar televisi, terlebih Karl. Dengan menyelonjorkan kedua kaki yang hanya mencapai lebar sofa, dia kelihatan lucu sekali.

"Dia nggak mau dekat-dekat aku," lapor Kefan.

"Kamu nggak mau ngajak dia ngobrol, sih."

"I tried." Kefan menunjukkan dua buah permen. "He refused."

Aku tertawa kecil, "Dia nggak doyan permen karamel, maunya stroberi."

Tahu kami sedang kasak kusuk tentangnya, Karl mencuri-curi pandang, tapi buru-buru menoleh kembali ke arah televisi saat aku membalas lirikannya. Aku duduk di tengah. Melebarkan lenganku ke sandaran sofa. Tidak seperti biasanya, Karl diam. Segan. Normalnya, dia akan melompat di pangkuanku, atau memeluk, atau mencium ketiakku, atau mengoceh, atau apa saja, tapi bukan diam.

"Somebody is jealous," bisik Kefan.

Somebody is jealous, katanya. Aku menatap adik bungsuku, mengagumi betapa besar dia kini. Dahulu, Kenang dan Kanaya selalu menggunakan metode bicara bahasa inggris kalau tidak ingin Kefan tahu kami sedang membicarakannya. Sekarang dia menggunakan cara serupa pada Karl. Betapa buah tak jatuh jauh dari pohonnya.

"He has no reason to be jealous," ucapku, membelai puncak kepala Karl. "I love all of you all the same. Aku punya cinta lebih dari seribu persen untuk dibagi sama besarnya. Hei, Karl, kamu mau makan apa, Kapten Amerika?"

Baru setelah aku bicara kepadanya, dia berguling, mendarat di pelukanku. Kepalanya miring ke arah berlawanan dari Kefan.

"Kim paf," bisiknya.

"Well ...." Aku mengikik. "Maybe somebody IS jealous."

Dari caranya menguasaiku, Karl jelas seperti Kefan kecil. Meski Karl jauh lebih berani dan ceriwis, dari kesukaannya pada makanan yang manis-manis, bahkan wajahnya—daripada mirip Kal-el atau Moza—lebih mengingatkanku pada Kefan.

Kami memutuskan untuk lebih dulu menyelesaikan kartun rutin Karl yang akan tuntas dalam sepuluh menit saat ponselku berdering. Sebuah video call dari Kenang lewat aplikasi WhatsApp. Yang membuatku sempat terkejut, Karl menyebut nama Kenang begitu melihat wajah pemuda itu tampil di layar. Aneh karena seharusnya Kenang sudah lebih lama tak berjumpa dengannya dibanding Kefan. Dan itu bikin Kefan agak tersinggung, dia cemberut.

"Haaai jagoaaan!" seru Kenang begitu melihat wajah Karl. "Mana Om Kenan-nya?"

Aku memosisikan kamera supaya kami bertiga terlihat olehnya.

"Oh Kefan sudah datang." Dia melambai pada si bungsu. "Gimana sekolah? Lancar?"

Kefan mengangguk manis tanpa menjawab.

"Dia bakal di sini sepanjang liburan dan bakal ada pertunjukan di Jakarta," sambarku antusias. "Kamu sudah sampai Singapura?"

"Aku baru sampai," jawab Kenang pendek. "Kakak bisa jemput aku, atau aku naik taksi saja?"

"Kami akan makan malam di luar dulu, lalu langsung ke bandara. Kira-kira pukul berapa kamu sampai?"

"Aku take off satu setengah jam-an lagi. Mungkin sampai sana pukul sepuluh. Kanaya gimana? Sudah sampai?"

"Belum," gumamku menjawab, sambil menggeleng.

"Dia datang, kan?" tanyanya lagi.

Kefan menyahut, "Datang. Tapi mungkin agak lambat. Dia lewat jalur darat."

"Ngapain cewek itu aneh-aneh lewat jalur darat segala?" gerutu Kenang sambil terus memperbaiki letak ear phone. "Dia nggak nyetir sendiri, kan? Papa nggak ada ngasih dia duit beli mobil kan, kak?"

"Mana kutahu," jawabku ketus. "Dia belum mau ngomong sama aku sampai sekarang. Pesan Kal-el sama Moza aja nggak dibales."

"Masa? Suruh dia balik Jakarta aja. Kerjaannya di Bali juga nggak jelas, kok. Papa cerita dia masih ngasih Kanaya jatah bulanan. Gila, nggak?"

"Kakak nggak usah ngomporin kenapa, sih?" Kefan angkat bicara. "Kak Kanaya mungkin juga lagi usaha. Dia sering kok nelepon aku dan kelihatannya dia baik-baik aja di sana."

"Ini anak kecil ikut-ikutan aja orang gede lagi ngomong," tukas Kenang.

"You don't talk to your brother like that!" Aku menghardik, tapi Kenang malah menirukan ucapanku dengan gerakan bibir yang dibuat-buat.

"Kefan, lo dikasih jatah bulanan nggak sama Papah?" tanya Kenang, tak memedulikan imbauanku. Belum lagi dijawab, dia sudah mencerocos lagi, "Dikasih, kan? Cuma gue yang enggak. Orang tua ini benar-benar pilih kasih sama gue, kak!"

"Ya kan kamu udah ada kerjaan bagus, masa mau dibandingin sama Kefan yang masih sekolah?"

"Ya okelah kalau Kefan, kalau Kanaya?"

"Ya udah kalau kamu ada kesulitan dan Jordan nggak bisa bantu kan ada aku atau Kal. Nggak usah iri-irian kayak gitu, ah. Lagi pula kalau Kanaya emang masih harus dibantu, kenapa nggak? Kefan mungkin benar,"—walau aku sebenarnya lebih setuju dia kembali dan meneruskan studi di Jakarta, sayang banget nilai-nilainya yang selalu bagus, tapi aku nggak mau bersikap berat sebelah—"Kanaya sedang berusaha."

"Dia tuh cewek, nilai akademisnya bagus, tapi kecerdasan emosionalnya NOL. Makanya mending dia sekolah lagi di tempat yang bisa kita awasin. Kita punya seribu satu alasan buat keberatan dengan jalan hidupnya kalau nggak jelas gini."

"Well ... omonganmu nggak kayak hidupmu yang bebas," keluhku. "Aku nonton hampir semua videomu, ini bisa jadi standar ganda kalau orang lain dengar."

"Ah ... Kakak nih ... udahlah. Aku mau nyari makan malam dulu aja kalau gitu. Nanti kutelepon lagi ya kalau udah nyampe, mana tadi si Kapten Jakarta? Aku mau ngomong sama dia."

Sampai beberapa menit kemudian, ponselku ada dalam kekuasaan Karl. Kenang bertanya, dia mau dibelikan cokelat rasa apa di bandara dan Karl bertingkah sangat lucu di depan Om tengahnya. Gara-gara itu, Kefan menekuk wajah. Aku membelai pipinya yang menggembung, "I miss you," hiburku.

Senyumnya muncul kembali, meski kecil, "I miss you too, Kak," balasnya. "Kelihatannya aku nggak disukai."

"Yah ... mungkin dulu kalian kurang akrab aja."

Kalau diingat-ingat, Kenang dan Kanaya memang lebih cepat dekat dengan anak-anak. Kalau pulang saat liburan, tidak butuh waktu lama bagi Kanaya untuk kembali memenangkan hati Karl yang sempat lupa tiap kali kembali ditinggal tantenya. Mungkin karena terbiasa menjaga Kefan, jadi mereka punya pengalaman, sementara Kefan tidak pernah punya adik. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana sebagai orang yang lebih tua. Kami selalu memanjakannya, tapi dia tak pernah punya kesempatan memanjakan siapa pun karena bungsu.

"Nanti juga akrab sendiri, dirayu aja pakai eskrim atau permen stroberi,"—lalu aku ingat ancaman Kal-el—"tapi jangan sampai Kal tahu."

Sudah selesai bersenda gurau dengan Kenang, kami bertiga keluar rumah dan masuk mobil. Kefan sempat bertanya apa aku sudah memberi tahu Ruth bahwa kami akan datang, tapi kupikir sebaiknya tidak. Kuanggap saja ini kunjungan kejutan biasa, aku akan mengajaknya bertemu lagi hanya berdua setelahnya. Dengan dua orang bocah ini, kami toh tidak akan bisa bicara serius.

Saat mesin mobil siap, tak kuduga ponselku berdering lagi. Satu panggilan dari nomor tak dikenal. Suara perempuan terdengar membalas sapaku.

"Bapak Lucius Kenan, betul?"

"Saya Suster Nindi. Nindya Andriyani," sebutnya, mencoba membuatku mengingat. "Saya suster yang merawat Pak Adjie ...?"

"Oh ... Suster Nindi!"—Suster Nindi yang masih muda dan cantik—"Ada apa, ya, sus? Apa masih ada hal yang belum saya selesaikan?"

"Sebenarnya bukan sesuatu yang penting," jawab Suster Nindi dengan suara lembut dan menenangkan, "tapi masih ada beberapa barang Pak Adjie yang tertinggal di nakas saat kamar almarhum dibersihkan. Kalau diperlukan, kami akan mengirim orang suruhan untuk mengantar ke alamat Bapak."

"Oh jangan repot-repot, besok atau lusa saya ambil saja ke rumah sakit. Apa Suster Nindi bisa menyimpankannya dulu?"

"Oh tentu saja. Baiklah kalau begitu, saya akan simpan baik-baik sampai bapak bisa kemari. Mungkin sebelumnya bisa hubungi ekstensi 444 dengan Suster Kamelia atau saya sendiri, biar saya siapkan dan Bapak tidak perlu menunggu."

"Terima kasih, Sus, selamat malam." Aku menyimpan kembali ponsel ke dalam saku kemeja. Sebelum melaju, kusempatkan memeriksa Karl yang duduk kaku di atas pangkuan Kefan. Kefan sendiri memegang pinggang Karl erat-erat. Mereka berdua saling diam, tawaku tak tertahankan.

"Siapa itu?" Kefan tidak membahas cekikikanku.

"Suster Nindi."

"Siapa?"

"Suster Nindi," ulangku lagi. Aku juga tidak punya penjelasan lebih lanjut tentangnya. Yang kutahu, dia suster yang cakap dan ramah. Kakek sangat menyukainya. "Ya Suster Nindi. Nanti kalau ada informasi lebih lanjut, kuberi tahu."

Kefan melirik curiga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top