5. Si Bungsu

Tingginya sudah hampir sama denganku.

Rambutnya hitam berkilau, dibiarkan tidak terlalu panjang, tapi juga tidak terlalu pendek. Untuk urusan penampilan, sekolahnya tidak terlalu ketat—asal tidak gondrong, tidak berwarna mencolok—sehingga dia tidak risau dengan gayanya yang suka menutup sebagian muka dengan surai. Aku sendiri sering bertanya-tanya untuk apa dia melakukannya, padahal wajahnya sempurna. Meski masih ada sisa kepolosan anak-anak, tapi gurat dewasa perlahan mulai muncul. Bentuk rahang, hidung, tulang pipi, dan keningnya semakin berkarakter.

My precious youngest brother.

Kefan—semula menunduk memainkan ponsel—langsung berdiri begitu melihatku turun dari mobil Kal-el, lalu mendekat. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang bersih tanpa cela. Hal yang paling kusukai dari Kefan adalah bagaimana ia masih selalu tampak bahagia jika kami bertemu. Tak peduli kami hanya berpisah dalam tempo singkat, dia senantiasa memberi kesan pertemuan kami sangat dinantikannya.

Kurasa dia bertambah tinggi, atau hanya perasaanku saja? Dia selalu tampak lebih dewasa pada tiap perjumpaan, membuatku menyesal harus melewatkan tahap demi tahap pertumbuhannya.

"Sudah lama nunggu?" tanyaku.

"Belum lama," jawabnya.

Pipinya bersemburat merah jambu seiring memupusnya jarak di antara kami. Tidak banyak yang berubah dari Kefan kecuali tinggi badannya, dia masih menatapku dengan binar-binar yang sama, merindukanku dengan tulus seperti saat dia masih anak-anak.

Kami berpelukan dan aku baru menyadari kemeja flanel yang dia kenakan tak pernah kulihat sebelumnya. Kami masih sering berbelanja bersama, aku masih membayar sebagian besar isi lemarinya, jadi aku tahu kemeja itu tidak dibelinya bersamaku. Di mana dia mendapatkan kemeja itu? Ah ... aku masih saja suka nggak rela kalau tak terlibat langsung dalam hal yang bersangkutan dengannya, "Gimana nilai-nilai semester ini?" tanyaku lagi untuk mengalihkan penasaran.

"Lumayan."

"Do you miss me?"

Kefan tersipu, sudah terlalu gengsi untuk menjawab lantang bahwa dia merindukanku seperti dulu. Namun, dengan mimik wajah begitu, aku tidak perlu jawaban darinya.

"Kak, aku turut berduka soal kakek. Maaf aku nggak bisa datang langsung kemarin, masih ada yang harus kuurus sebelum minta izin pulang duluan."

"Oh ... nggak apa-apa." Aku menepuk punggungnya. "Jadi ini boleh langsung liburan?"

Kefan membenarkan dengan anggukan kepala.

"Kamu akan tinggal selama liburan semester, kan?" Aku memastikan sekali lagi, merujuk pada barang bawaannya yang lumayan banyak. Kuangkat yang paling ringan dan sebuah tas gitar.

Kefan lagi-lagi mengangguk sopan, bersama itu dia membalik badan dan kembali tersenyum lebar. Aku hampir lupa tadi datang bersama Kal-el dan Karl. Bocah itu berada di lengan kanan papanya, menyembunyikan kepala di leher sang ayah, tapi mata bulatnya mengintip malu-malu.

"Hai Kef," sapa Kal-el dengan mata memicing karena sinar matahari.

"Hai, Kak. Hai Karl," balas sapa Kefan, tapi Karl malah semakin membenamkan wajahnya.

"Lho ... kok gitu? Ini Om Kefan. Tadi malam nanya-nanya, kok sekarang malu?" Aku mencubit pelan pipinya, tapi Karl tidak merespons dengan cemberut seperti biasa kalau pipinya disentuh. "Masa udah lupa sama Om Kefan?"

"Hei, hei." Kal-el mengguncang tubuh Karl beberapa kali. "Jelek, ah. Salim dulu. Itu Om Kefan. Om Kefan sudah tambah tinggi sih, ya? Cepet banget anak-anak sekarang nambah tingginya!"

Kefan tidak menghindar saat rambutnya diacak Kal-el, hanya bibirnya mengulum senyum malu.

Jadi memang dia bertambah tinggi sesuai dugaanku. Rasanya saat dia pulang beberapa bulan lalu dalam rangka long weekend masih lebih kecil, meski agak aneh juga kalau Karl sampai nggak mengenalinya. Rupanya kehidupan asrama memang membuat Kefan lebih cepat dewasa. Mungkin keterpaksaan mengurus dan memikirkan semuanya sendiri juga berpengaruh pada pertumbuhannya. Dulu aku begitu memanjakan si bungsu, bahkan sempat khawatir apakah dia bisa mengatasi segala permasalahan sendiri di tempat asing dengan orang-orang yang sepenuhnya baru, mengingat dia tidak begitu mudah bersosialisasi dengan kawan sebaya.

Kalau persoalan mengurus diri sendiri, dia juga pernah setengahnya mengurus diri sendiri saat aku meninggalkan adik-adik ke Jepang sepuluh tahun lalu. Aku lebih mencemaskan pergaulannya. Namun, dari waktu ke waktu aku mulai tenang karena Kefan selalu tampak senang tiap kali kami berkomunikasi, tak pernah memperlihatkan adanya kendala yang berarti.

Sesudah dibujuk-bujuk, akhirnya Karl mau menyambut uluran tangan Kefan dan mencium punggung tangan Om kecilnya. Saat tiba waktu makan siang, bocah itu sudah mulai berani duduk sendiri dan menatap langsung pada Kefan, meski selalu mengalihkan bola mata tiap Kefan menyadari perhatiannya.

"Sebenarnya aku dan beberapa siswa lain ada pertunjukan di school exhibition beberapa minggu lagi," beri tahu Kefan.

"Oh ya?" Aku memindahkan Karl ke pangkuanku. "Apa kami boleh menonton?"

Kefan tidak langsung menjawab, malah memandangi Karl yang langsung meringkuk di dadaku, "Dia dekat sama kakak."

"Karl? Tentu saja, dia sepertimu waktu masih kecil," ucapku senang. "Dia cuma lupa sedikit, sebentar lagi juga bisa akrab sama kamu."

"Kamu nggak cemburu kan?" timpal Kal-el asal. "Masa masih mau dipangku Kenan?"

Wajah Kefan langsung merah dibuatnya, sementara aku tergelak menganggap candaan Kal-el sangat konyol.

"Oh iya ... tahun depan sekolahku akan buka juga di Jakarta, jadi aku akan minta bantuan kakak untuk mengurus kepindahan. Kalau nggak terlalu merepotkan syarat-syaratnya."

Mendengar itu, aku tidak bisa menahan luapan kegembiraanku, "Berarti tahun depan kamu pindah Jakarta? Kalau pindah Jakarta tidak harus tinggal di asrama, kan?"

"Tetap harus di asrama, kak," tukas Kefan lesu.

"Yah tapi itu lebih baik, paling enggak setiap Sabtu Minggu kamu bisa tidur di rumah. Kalau nggak ada kakek ... aku sendirian di sini ..." desahku sama lesunya.

Alis Kefan mengerut, "Kapan jadinya Kakak nikah sama Kak Ruth?"

Kontan, aku melirik Kal-el yang juga melirikku. Namun, Kal buru-buru mengalihkan tatapannya ke arah lain sambil menghela napas panjang.

"Ada apa?" Kefan penasaran.

"Nanti Kakak kasih tahu kalau kamu sudah istirahat," janjiku, malu kalau harus menjelaskan di depan Kal-el. "Kamu pasti capek, kan? Mau tidur di kamar lama atau mau di kamarku aja?"

"Di kamar gue juga bisa," sahut Kal-el. "Kalau bertiga sama Karl nanti sempit, kalian nggak bisa tidur."

"Kasurku besar sekali," bantahku.

"Karl tidur di sini?" sela Kefan.

"Ah iya ... Moza perutnya sudah besar sekali, dia agak kesulitan kalau harus menjaga Karl. Mumpung Kenan ambil cuti dari kantor seminggu ini, dia bilang mau jagain Karl. Kamarmu sudah lama nggak ditempati, daripada harus bersih-bersih, mending di kamarku aja."

"Kamarmu juga udah jarang dipakai."

"Masih mending, gue kan masih sering tidur sini."

Aku hanya bisa mengalah, bantah-bantahan sama Kal-el nggak akan ada habisnya. Lagian sepulangnya dia nanti, kalau Kefan mau tidur bertiga di kamarku juga bisa. Kasurku besar, kami bahkan pernah tidur berempat dulu. Kal-el tidak tahu insiden atap rumah bocor waktu itu karena sibuk menjaga jarak denganku.

"Apa Kak Kenang akan pulang?" Kefan bertanya saat kami memindahkan barangnya ke bekas kamar Kal-el.

"Dia sedang dalam perjalanan." Aku menjawab. "Yang belum ketahuan datang enggaknya Kanaya."

"Kak Kanaya mungkin nanti malam baru sampai. Kayaknya dia lewat jalur darat karena pergi sama teman-temannya."

"Eh?"

"Apa Kak Aya nggak bilang sama Kakak?"

Apa maksud Kanaya mengabaikan pesan Kal-el? Aku memang nggak secara langsung menghubunginya, atau siapa pun karena sibuk, tapi apa pantas dia tidak acuh pada kakaknya sendiri?

"Dari mana dia tahu Kakek nggak ada?" Aku malah membalas dengan tanya.

"Dari Kak Kal katanya. Aku ngasih tahu Kak Aya dan Kak Kenang karena kupikir Kak Ken dan Kak Kal pasti sibuk, ternyata mereka berdua sudah tahu dari Kak Kal, kok. Kenapa, sih?"

Berarti dia sengaja nggak membalas pesan Moza maupun Kal-el. Masa dia masih marah sama kami? Memang sih kemarahan terbesarnya ditujukan pkeadaku, tapi memang waktu itu Kal-el ikut mendesaknya. Nggak kusangka Kanaya masih seperti anak-anak yang menyasarkan amarah ke segala penjuru. Terlebih ke Moza yang bukan saudara kandungnya.

"Kak Aya masih marah, ya?" terka Kefan.

"Mungkin," keluhku.

"Kak Aya kan memang gitu kalau marah susah ilangnya," katanya. " Nanti juga kalau sudah bertemu marahnya ilang. Cewek memang gampang marah, tapi gampang lupa. Kakak nggak usah khawatir, kakak banyak pikiran, ya?"

Tadinya aku sudah nyaris melamun, sedih mikirin kelakuan Kanaya, tapi kalimat terakhir Kefan membuatku menyadari sesuatu, "Apa aku kelihatan tua?"

Kefan menarik kedua sudut bibirnya, "Kakak masih ganteng."

Benar, kan? Aku masih seganteng dulu.

"Tapi memang kurus," tambah Kefan. "Kakak sehat, kan?"

"Sehaaat!" Aku meyakinkan Kefan dengan memperlihatkan otot lenganku yang, sayangnya ... memang tidak ada sama sekali. Entah berapa banyak turun berat badanku. "Aku harus makan banyak. Gimana kalau kita makan di luar nanti malam? Sambil nunggu waktunya jemput Kenang di bandara?"

"Aku pengin makan cream puff," ucap Kefan, mengagetkanku.

"Oh ... eng ... nggak mau makan steak, atau apa gitu?"

"Nggak, aku kangen sama cream puff-nya Kak Ruth."

Sama. Aku juga kangen, tapi ....

"Kakak nggak ada apa-apa kan sama Kak Ruth? Katanya tadi mau cerita?"

Aku menggigit bibir bawahku cemas, nggak tahu harus mulai cerita dari mana. Apa yang akan Kefan katakan kalau dia tahu kakaknya sudah bertindak bodoh?

"Kakak nggak putus kan sama Kak Ruth?"

"Enggak sih, Kef ... tapi ...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top