4. Brotherhood

Aku harusnya update dua kali seminggu tapi nggak tahan 😝

***

Kalau dihitung-hitung, setelah aku dan kakek memutuskan tinggal di Jakarta lima tahun lalu, kami berlima hanya hidup bersama selama kurang lebih satu tahun.

Satu tahun sesudahnya, Kanaya diterima di sebuah perguruan tinggi terbaik di Surabaya dan menjadi orang pertama yang meninggalkan rumah. Aku masih ingat betul malam terakhir sebelum kami mengantarnya ke Surabaya, dia menangis di pelukanku. Dalam satu tahun setelah lewat tujuh belas, Aya begitu banyak berubah. Dia bukan lagi remaja yang sedikit-sedikit merengek, meski bagiku tetap sama saja, apalagi kalau lagi berantem dengan Kenang tentang siapa yang berhak memilih potongan steak paling besar. Namun, harus kuakui, saat melihatnya mulai menggandeng seorang pemuda, pulang malam setiap malam minggu, Kanaya sudah menjelma menjadi seorang perempuan.

Dan seperti yang kuakui juga, mengurus adik perempuan yang beranjak dewasa jauh lebih memusingkan dibanding sepuluh orang adik laki-laki.

Kal-el bilang aku terlalu ketat kepadanya, terlalu sering berseberangan pendapat dengannya, terlalu banyak aturan, terlalu banyak ini dan itu, sehingga Kanaya makin hari makin jauh dariku. Aku sendiri merasa demikian, tapi melepas seorang gadis tidak semudah yang kupikirkan. Aku mencoba menoleransi kebebasannya, tetapi selalu gagal. Kucoba membuatnya berpikir bahwa aku melakukannya karena rasa sayang, tetapi dia terus menganggapnya sebuah ketidakadilan. Pasal utamanya, aku lebih longgar perihal jam malam dan pergaulan pada Kenang daripada Kanaya.

Saat dia memutuskan kuliah di luar kota, aku stres bukan main. Kenapa dia tidak kuliah di dekat sini saja, seperti Kenang? Kenapa dia memilih jauh dariku kalau dulu dia begitu bahagia saat aku memutuskan kembali ke rumah?

Namun, aku paham aku tidak bisa mengekang keputusan seseorang yang berkaitan dengan masa depannya. Dengan berat hati aku mendukung keputusan Kanaya. Sebagai akibatnya aku jadi kelewat protektif. Aku menelepon hampir setiap hari, memantau nilai-nilai dan prestasinya, dan akan menggunakan tuduhan pergaulan terlalu bebas jika dia menemui kendala dalam bidang akademis, atau apa pun.

Puncaknya adalah ketika Kanaya kehilangan pekerjaan karena keegoisanku menyeretnya pulang setelah menyaksikan sendiri dia berciuman dengan kekasihnya di dalam kamar hunian. I understand she deserves her private life, tapi mengingat saat remaja dia bahkan tidak ingin bergaul dengan pria membuatku kebingungan. Apa seorang gadis berubah secepat itu?

Tahun berikutnya setelah Kanaya adalah Kal-el dan Moza, serta bayi mereka yang baru lahir. Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk mencegah ini. Aku sudah menahan mereka berdua cukup lama dan menggunakan alasan menghemat uang saat mereka akan mengontrak setelah menikah. Hampir dua tahun tinggal bersama kami, Kal-el akhirnya mampu mencicil rumah sendiri dengan bantuan uang muka dari Jordan. Aku yang tadinya mendapat hiburan baru dengan hadirnya Karl yang mampu mengusir kegalauanku mengenai Aya harus menelan pil pahit ditinggalkan lagi.

Semuanya terasa semakin menyakitkan saat Jordan menyambut keinginan Kenang untuk bergabung dengan tim ekspedisinya. Acara televisi yang disiarkan teve kabel internasional itu terus memperpanjang episode sehingga Jordan membutuhkan orang-orang baru untuk regenerasi. Kenang bahkan pergi sebelum sempat wisuda. Untuk kasus ini, aku hanya bisa meratap dalam hati. Dulu aku pernah bilang, yang penting selesaikan sekolah dengan baik dulu, setelah itu terserah kamu mau bertualang ke mana saja. Sekarang dia sudah menyelesaikan studi, bukan hanya lulus SMA, melainkan sampai sarjana, jadi aku tidak punya alasan untuk mempersulit.

Aku melepas Kenang ke tempat tujuan pertamanya dengan pesan panjang lebar pada Jordan agar menjaganya baik-baik. Tidak sampai sebulan kemudian, mereka berdua sudah menangani liputan di tempat yang saling berjauhan satu sama lain.

Dasar orang tua tidak tahu diri, apa dia tidak pernah mengkhawatirkan darah dagingnya barang sedikit?

Paling tidak, aku masih memiliki Kefan.

Sampai saat tahun ajaran baru di mana dia seharusnya masih dalam pengawasanku seperti kakak-kakaknya yang lain, dia justru mendapat beasiswa di sebuah sekolah menengah atas yang memiliki konsentrasi pada minat dan bakat. Kefan mendapat kehormatan sebagai siswa angkatan pertama atas prestasinya di bidang musik. Aku tentu saja bangga, tapi sekaligus syok karena tempatnya cukup jauh dan dia harus tinggal di asrama.

Praktis, aku tinggal berdua dengan kakek di rumah. Itu pun belum cukup. Kakek mulai sering sakit sementara hubunganku dengan Ruth makin renggang. Bagaimana tidak, aku sangat sibuk mengurus pekerjaan sendiri, belum lagi memantau kehidupan Kenang, Kanaya, dan Kefan yang berjauh-jauhan. Ruth sendiri hampir tidak punya waktu luang karena bisnis bakery-nya makin berkembang.

Aku merindukannya.

"Selamat pagi!!!"

Karl berguling seperti ninja. Mendarat di atas punggung, duduk seperti koboi tepat di pinggangku.

Aku masih setengah sadar saat melamun setelah bangun tidur. Posisiku tengkurap di sisi Karl, kepalanya yang menghadap dinding membuatku tidak tahu ternyata dia juga sudah bangun.

"Ampun ... ampun ...," pelasku sungguhan. Badanku masih sakit semua karena kelelahan, tidak sanggup menahan beban tubuhnya yang menjungkit-jungkit di atas pinggang seolah aku ini kuda tunggangan.

Pintu diketuk tiga kali dan wajah Moza muncul menyelamatkanku.

"Kaaarl ... Om kamu masih capek, lho ... jangan digituin," katanya sembari buru-buru mendekat ke kasur.

Kal-el menyusul.

"Astaga ... kalian tidur pukul berapa semalam, pukul segini baru bangun?" omelnya.

"Pukul delapan!" seru Karl asal.

"Pukul sembilan," dustaku.

"Bohong! Gue masih dengar kalian kasak-kusuk sampai pukul sebelas malam!"

"Sudah, sudah!" Moza melerai. "Angkat itu anakmu!"

"Karl, turun! Ayo mandi sama papa."

"Nggak mauuu!" pekik Karl tepat di kupingku, leherku dicekiknya dengan rangkulan maut karena dia enggan digendong papanya. "Mandi sama Om Keeenyaaan!!!"

"Tapi papa libur, naaak ...." Kal-el memohon, meski seharusnya dia tahu Karl nggak akan mau mandi dengannya kalau ada aku.

"Papa kelja!" suruh Karl sembari turun dari punggungku sehingga aku bisa berbalik memeluknya.

"Iya. Papah kerja! Cari uang!" tambahku menggoda Kal-el. "I'll take care of him. Don't worry."

"Nggak usah lama-lama ya, Ken," pesan Moza lembut, menggeret suaminya yang masih menggerutu keluar kamar.

Jadi begitulah gambarannya. Kal-el masih sering cemburu karena bahkan anaknya sangat dekat denganku. Tentu saja ini hanya gurauan, semua keponakan lebih senang main dan bermanja-manja dengan paman mereka karena kami tidak banyak menuntut dan melarang. Lagi pula, aku tidak selalu ada di dekatnya, kami paling-paling hanya bertemu tiap akhir pekan. Salah sendiri kalau Kal-el terlalu banyak bekerja sehingga waktunya tidak cukup banyak untuk Karl.

Sesudah mandi, kami berdua turun ke ruang makan. Karl ribut minta sereal, tapi kubilang tak ada sereal kalau ada Om Kenan di rumahnya.

"Mau masak?" tanya Moza, meski asisten rumah tangganya sudah menyiapkan menu sarapan di meja makan. "Karl mau sarapan apa?"

Karl masih cemberut.

"No cereal," tegas papanya. "Bilang tuh Mah ke day care-nya. Percuma kita nggak pernah beli sereal kalau di sana dikasih makanan kayak gitu. Flakes itu jahat banget buat gigi anak-anak, bikin karies. Kemarin kata Johan gigi bawah Karl lemah."

"Aku udah kirim SMS," balas Moza tanpa beralih dari ponselnya. "Lihat. Kenang kayaknya udah jalan, dia habis upload video di Instagram."

Aku langsung mendekati Moza dan ikut menyaksikan video yang diunggah Kenang di akun IG-nya. From Katmandu to Jakarta tulisnya di caption video itu. Moza menekan link yang menyambungkannya ke channel Youtube Kenang.

"Wow ... subscribernya nambah terus," gumamku.

"He em," deham Moza. "Dia udah kayak selebgram aja sekarang. Dia nulis blog juga."

"Ngapain sih kayak begitu, tuh?" Kal-el mendecapkan lidah.

Aku dan Moza sepakat mengabaikannya. Kami asyik melihat tingkah Kenang dan kawannya yang berceloteh tentang harga tiket pesawat, fasilitas maskapai, sampai cuaca Katmandu saat itu.

"Ini si Reva bukan, sih?" tanya Moza.

Aku memperhatikan lebih saksama seorang gadis seusia Kenang yang juga tampil sepanjang unggahan video. Terus terang, aku kurang suka dengan penampilannya. Dia sama sekali tidak jelek, tapi dari penampakannya seperti gadis urakan. Rambutnya pendek seperti anak laki-laki, bibirnya berhias pierching sebesar jempol kaki, hanya satu yang bikin dia kelihatan seperti anak perempuan, yakni tas pinggang berbentuk kura-kura yang membelit perut rampingnya. "Iya, itu Reva. Apa dia ikut ke sini?"

"Kayaknya enggak," sahut Kal-el.

"Bagus, deh. Kalau dia ke sini suruh dia sembunyiin tas pinggang kura-kura itu, nanti Karl bisa rewel," gurauku. Moza tertawa. "Juga pierchingnya, Kenang nggak ada hubungan apa-apa sama dia, kan?"

Sebelum videonya berakhir, aku sudah bosan dan tidak melanjutkan menonton, kembali ke meja makan untuk menuang susu di gelas Karl saat wajah Kanaya berkelebat di benakku, "Ada kabar dari Kanaya?"

Kal-el hanya menurunkan koran pagi yang menutup sebagian wajahnya, Moza yang angkat bicara setelah Kal-el tak kunjung mengucapkan sepatah kata, "Teleponnya nggak bisa dihubungi. Tapi aku sudah ninggalin chat di Kakao Talk-nya. Kal-el juga sudah WhatsApp."

"Nggak ada jawaban juga dari kemarin?"

Mereka berdua mendengus. Aku jadi makin senewen.

"Ngapain sih sebenernya anak itu di Bali? Kamu nggak ada niatan bujuk dia supaya balik Jakarta aja, Kal? Atau nerusin S2 gitu, daripada kerja nggak jelas?"

"Kenapa nggak lo aja yang ngomong? Semua ini kan gara-gara lo. Coba dulu lo dengerin gue, Kanaya nggak akan sengamuk ini. Ngomong sama dia sekarang ini nggak akan ada gunanya, kita cuma bisa nunggu sampai dia bosan. Kecuali lo bisa suruh Jordan berhentiin transferannya ke Aya, baru kali dia balik."

"Gue ngomong ke Jordan kalau gitu."

"Nggak usah nggak usah!" kibas Kal-el. "Itu cuma perumpamaan. Nggak akan juga Jordan dengerin kita. Kanaya paling bentar juga balik common sense-nya. Dia nggak akan sebodoh itu nyia-nyiain hidup cuma karena kesel, biarin ajalah. Dia masih muda, cewek, nggak usah terlalu lo bawelin. Gue capek denger kalian berdua berantem terus!"

"Yang ada malah keadaan makin runyam, Ken ...," imbuh Moza hati-hati.

Aku hanya bisa mengalah kalau sudah begini, paling-paling nanti aku coba bicara dengan Kanaya kalau dia pulang. Meski aku nggak bisa jamin kami akan menemui kata sepakat, atau malah benaran tambah runyam kayak kata Moza. Yang jelas, senyumku kembali mengembang beberapa menit kemudian. Kefan sudah sampai Jakarta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top