2. Getting Back Together

Jordan selalu mengajak kami ke pantai setiap ada anggota keluarga yang meninggal.

Usai pemakaman jika kami bisa menghadirinya, atau senja hari jika rumah duka tak memungkinkan untuk dikunjungi. Dia memang pria yang antik, laut menghubungkan semua tempat di dunia ini, katanya. Saat aku beranjak dewasa, aku paham bagaimana sepoi angin dan hamparan air sejauh mata memandang memberi ketenangan jiwa saat batin begitu pedih mengatasi kehilangan. Setiap ada kawan berpulang dan membuat sebagian benakku terasa kosong, pantai begitu setia melipur lara.

Senja ini kami hanya berdua. Aku dan Kal-el.

Dia berdiri dengan wajah tenangnya di sisiku. Kami nyaris tidak saling bicara sejak pemakaman berlangsung, tapi bersikeras mengantar ketika aku bilang ingin ke pantai. Sepanjang perjalanan pun, tak ada yang kami tukar.

"He rest in peace," kata Kal saat aku kembali ke rumah sakit siang kemarin.

Aku sudah bisa menduga saat melihat Moza menangis di dadanya, tapi tak kuasa juga menahan sengatan menyakitkan saat Kal-el memberi kabar.

Kakek memilih berpulang saat aku tidak di sisinya. Dari lima puluh dua hariku menungguinya tanpa beranjak sedikit pun, dia justru memilih satu saat di mana aku tak ada di sana. Bahkan paginya aku masih menyuapi bubur, dia bertanya apakah Karl sudah sembuh dari batuk. Kupikir dia sudah mulai pikun, sebab kali terakhir Karl batuk adalah dua bulan yang lalu. Anak kecil selalu gampang batuk, katanya. Entah memang dia pikun, atau apa, kenyataannya Kal-el juga memperingatkanku supaya tidak memberi Karl permen karena baru sembuh.

Orang yang mau meninggal selalu memberi tanda yang aneh-aneh. Mungkin itu salah satu pertanda. Yang jelas, pagi sebelum mengembuskan napas terakhir, kakek tampak jauh lebih segar daripada biasanya. Dengan tegar dia menyuruhku pergi menengok kantor barang sebentar. Aku menurut karena kulihat dia sudah mulai pulih.

"Dia pasti nggak ingin kamu melihatnya pergi," kata Moza saat bermalam di rumah membantu menyiapkan upacara pemakaman. "Dia nggak mau kamu lebih sedih dari ini. You've done your best for him, Ken. Kal bilang dia meninggal tanpa kesulitan. Dia benar-benar damai."

Aku tahu. Almarhum selalu mengatakan, hal terakhir yang dia dan nenek inginkan adalah memberitahuku mengenai keberadaan mereka. Dia bilang tak ada lagi yang diinginkannya di dunia ini saat aku menyambut dan menyilakannya masuk hingga menjadi bagian dari hidupku. Namun, kini akulah yang merasa belum cukup banyak membalas pemberiannya.

Orang-orang yang peduli kepadaku, yang bisa kujadikan tumpuan, bisa kujadikan tempat di mana aku tidak perlu khawatir terlihat lemah, satu per satu tiada. Beban itu jauh lebih terasa berat saat kehilangan kakek, dibanding mama, sebab kini aku tahu aku bukan bagian dari adik-adikku.

Aku kembali sebatang kara ....

Senja makin redup.

Pendar jingga matahari sore mulai tertutup gelap malam. Riak-riak air menghitam, sesekali berkilau ditempa lampu dan sisa sinar mentari keemasan. Aku menoleh pada Kal. Dia tengah memeriksa layar ponsel yang beberapa detik lalu berbunyi.

"Moza?" tanyaku. "Sebaiknya kita pulang."

Kal menggeleng, "Kenang."

"Apa katanya?"

"Dia sudah dapat tiket pesawat."

"Berapa jam dari Katmandu?"

"Delapan jam. Transit Singapura. Mungkin besok malam baru sampai."

"Jordan?"

Kalel menggeleng lagi, menyimpan ponsel ke saku kemeja di balik jasnya, "Gue nggak bisa hubungin dia. Kata Kenang mungkin dia di Afrika, atau salah satu belahan Eropa entah di mana. Mereka terpisah sejak dari Tibet."

Alisku mengerut, menyatu di tengah, "Aku nggak tahu."

"You've been busy," desah Kal-el hampir nggak kedengaran.

Yah ... I've been busy. Meski Kal-el mengucapkannya dengan nada sinis seperti biasa, aku tidak bisa tersinggung karena memang benar adanya. Aku seperti meninggalkan hidup dan dunia di luar rumah sakit sejak kakek anval. Terlewat kabar tentang Jordan belum apa-apa dibanding hal lain yang kuabaikan. Semua hal menjadi tak seberapa penting karena aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Namun, lagi-lagi aku lupa, tidak semua hal bisa kumintakan maklum pada semua orang.

Aku menghapus air mata yang hampir mengering ditiup angin laut saat Kal-el menjauh dari tepi pantai. Kukenakan kembali blazer hitam yang semula kusampirkan di bahu dan berjalan di belakangnya.

Kal berolahraga akhir-akhir ini sejak membuka praktik di ruko dekat rumahnya. Punggungnya sering sakit karena terlalu banyak duduk sehingga dia menghabiskan setengah sampai satu jam sebelum tidur membakar kalori. Sebelumnya, dia tampak kurus dan letih, kini dia jauh lebih bugar. Berat badannya juga naik dibanding waktu masih bujang dulu. Bahunya tampak kokoh dari belakang, dia masih sering membuatku bangga baik dengan penampilan maupun prestasinya.

Mungkin aku juga harus berolah raga untuk mengembalikan berat badanku.

"Ken ...?"

Aku berhenti mendadak karena Kal-el tahu-tahu balik badan.

"Lo mau nginep di rumah gue?" tanyanya. "Gue nggak mungkin ninggalin lo sendirian di rumah."

"Kenapa?"

"Takut lo ngelangut terus kemasukan setan."

Aku tertawa kecil, tapi Kal-el diam. Dia nggak sedang bercanda.

"Boleh?" balas tanyaku akhirnya.

Bermalam di rumah Kal-el berarti tidur bersama Karl di kamarnya yang harum minyak kayu putih dan cologne bayi. Memeluk bocah itu sampai pagi dan memberinya kecupan selamat pagi di pipi—ya. Di pipi—Kal melarangku memberinya ciuman di bibir. Tentu saja aku memprotes dan bertanya kenapa, aku selalu mencium adik-adikku di bibirnya sebelum mereka dewasa. Dia bilang karena anaknya bukan adik-adikku.

Aku tak punya pilihan selain menghormati larangannya. Kalau tidak, Kal-el tidak akan membiarkan anaknya bersamaku tanpa pengawasan.

"Tapi lo harus mandi dulu," katanya.

"Tentu saja!"

"Kalau nggak mandi, lo nggak boleh tidur di kamar Karl!"

"Ya ... ya ...."

Siapa juga yang berniat tidak mandi? Badanku gerah bukan main. Seharian mengurus pemakaman di bawah terik sinar mentari dalam setelan hitam membuat tubuhku banjir keringat. Aku nggak mungkin menyentuh Karl dalam keadaan seperti ini.

Kami masuk mobil dan mengenakan sabuk pengaman masing-masing. Kal-el menelepon Moza, menanyakan apa yang harus dibelinya untuk makan malam sambil menyalakan mesin.

"Kita mampir ke Serambi dulu. Moza pengin makan rujak."—Serambi restoran prasmanan langganan Moza sejak hamil anak kedua—"Umumnya kalau bulan depan sudah HPL, perempuan hamil sudah nggak pengin makan aneh-aneh."

"Cuma rujak aja," pendekku. "Sembilan bulan dia bawa-bawa anakmu di perutnya, masih bisa ngeluh kamu kalau cuma itu yang dia mau?"

Kal-el tersenyum miring, "Rujak sih belum seberapa. Larut malam, baru tidur satu jam, gue dibangunin suruh nganter ke KFC. Gue bilang delivery aja nggak mau, maunya ke sana. Sampai sana perkedelnya habis, dia nggak jadi makan apa-apa."

Aku tergelak membayangkan Kal-el—si angkuh yang tidak pernah mau disuruh-suruh—tunduk pada perempuan hamil.

"Masih mau dengar yang lain?" tanyanya, aku yakin setengah bercanda.

"Nggak usah!"

"I thought I was gonna laugh at you soon." Dia menggumam. "Lo nggak mau coba bicara sama Ruth?"

"Dia nggak datang ke pemakaman, apa menurutmu dia masih punya maaf buatku?"

"Lo ngasih tahu dia, nggak?"

Aku hanya bisa mendesah. Aku hampir tidak punya waktu untuk memikirkan itu. Bahkan memberi tahu adik-adik pun diurus oleh Kal-el dan Moza. Aku bisa saja memberi tahu Ruth, mencuri waktu di sela kesibukan mengurus pemakaman dan urusan kantor yang tertunda, tapi aku tidak sampai hati setelah apa yang kuperbuat kepadanya.

Paling tidak, kami harus bicara banyak. Panjang lebar. Empat mat—

"Gue nggak percaya lo nggak ngasih tahu dia."

"Pikirku—"

"Harusnya lo bisa menggunakan kesempatan ini buat mencairkan suasana. Dia mungkin kesal, masih bagus lo nggak diputusin. Kalian belum putus, kan?"—tanpa menunggu jawabanku—"Kalau gue sih udah gue putusin. Paling enggak dengan begini dia tahu alasan lo waktu itu bisa dimengerti, meskipun kalau dia nggak bisa terima juga wajar."

"I will talk to her soon."

"Lo sebenernya pengin punya keluarga nggak sih, Ken?"

"Tentu saja aku mau!"

"It's been more than five years dan lo udah nggak muda lagi. Gue sama Moza kadang ngomongin kalian berdua, apa sih yang kalian tunggu sebenernya?"—sepertinya Kal tahu aku nggak berniat menjawab—"Ruth juga nggak muda lagi, dia seumuran ama gue, kan?" ... bla ... bla ... bla ....

Aku tidak ingin membicarakannya, terutama saat ini. Kudiamkan Kal-el berceloteh mengkritik tanpa jeda mengenai hubungan percintaanku. It's not that simple, kalau saja aku mau menjelaskan. Kami sama-sama tak tahu bagaimana mulai melangkah ke jenjang yang lebih serius, selain sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.

Pada saat kami siap, aku malah menghancurkannya.

Ahhh sudahlah, aku masih dalam masa berkabung. Lebih baik aku memberi diriku waktu beberapa hari untuk mengosongkan pikiran. Aku mencintai Ruth, aku tahu cinta kadang tak bisa terlalu lama menunggu, tapi mau bagaimana lagi? The carrots ... are cooked.

"Kalau dia sudah tidur, jangan lo bangunin, ya?" pesan Kal-el, belum lagi kami turun dari mobil. Sambil berjalan melintasi halaman rumah, dia masih mewanti-wanti, "Akhir-akhir ini tidurnya malam banget, aku nggak mau dia sak—"

Ucapan Kal-el terhenti. Pintu depan rumah terbuka perlahan sebelum kami sampai. Moza dengan perut buncitnya tampak menyambut, senyumnya mengembang tipis. "Hai Ken ...," sapanya.

Aku melambaikan tangan, "Hai, Moz—"

"OOOM KENYAAAN!!!" seru suara lucu seorang anak yang menghambur melewati mamanya.

"Dia nggak mau tidur nungguin Om-nya." Moza menyengir pada Kal-el, sementara malaikat mungil bernama Karl mengalungkan lengan kecilnya kuat-kuat, membenamkan pipi gembulnya di leherku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top