17. Sama Kakak Aja

Aurich teman Kefan sejak SMP.

Karena menyebut namanya dengan benar agak sulit, dia selalu memperkenalkan diri dengan nama Eric. Mereka bersahabat sejak ditempatkan di kelas yang sama dan secara mengejutkan, pertemanan mereka berlanjut hingga kini. Kubilang mengejutkan karena Kefan tidak mudah berteman dengan siapa pun. Bahkan, dia bertindak sejauh mengikuti Kefan mengenyam pendidikan di sekolah yang berkonsentrasi pada bakat dan rela membayar mahal karena tidak mendapat beasiswa.

Aku sih senang-senang saja Kefan punya teman, hanya saja Kenang tak pernah berhenti memandang bocah itu dengan sorot mata curiga. Dia selalu bertanya-tanya, untuk apa pemuda sepopuler Eric mau-maunya main dengan Kefan yang pendiam dan kurang bersenang-senang di luar. Awalnya dia curiga Kefan berada di bawah tekanan, tapi setelah aku membuktikan bahwa hal itu tak benar, dia mulai menduga-duga yang lebih gila. Mereka berdua pacaran, misalnya.

Kenang bisa segila itu, memang, tapi lama kelamaan kubiarkan saja. Aku lebih percaya pada Kefan. Dia suka anak perempuan dan pernah dekat dengan salah satu gadis meski tidak sampai jadian. Entah benar atau tidak, hidupku jauh lebih tenang seperti itu. Memikirkan kemungkinan Kefan berbeda preferensi dengan kebanyakan pria membuatku waswas dan hampir sinting.

Sore harinya saat kami berlima duduk-duduk di teras, Kefan berpamitan. Dia bilang akan keluar sebentar untuk menjemput Eric di bandara. Aku menawarkan diri untuk mengantar dan Kefan tak menolak.

"Si Eric itu?" suara Kenang tertahan.

Kanaya, tengah memangku Karl yang sudah mengantuk, menoleh, "Aurich?"

Aku mengangguk tanpa suara, mencoba tidak memancing komentar Kenang lebih jauh. Dia menyebalkan sekali kalau sudah cerewet soal pergaulan Kefan.

"Kakak nggak apa-apa dia dekat-dekat sama anak itu?" tanyanya, meski aku sudah membisu.

"Emang kenapa sama Eric?" sambar Kanaya berbisik, tak ingin Karl terusik.

"Nggak ada apa-apa," sergahku. "Kakakmu ini pikirannya kotor!"

"Emang." Kanaya mendengus. "Lo masih punya pikiran kalau Kefan gay? Dia pernah pacaran tahu sama cewek! Gue yang dicurhatin di Line."

"Nah!" Aku menunjuk Kanaya dengan perasaan puas tak terkira. Meski sebenarnya ada pertanyaan—kenapa Kefan curhat pada Kanaya, kapan kejadiannya, beneran pacaran atau tidak, dan lain-lain—tapi aku senang gadis itu berpihak padaku. "Coba kamu cerahkan pikirannya."

"Gampang banget percaya sama anak kecil, mungkin aja dia sendiri belum sadar dia gay," Kenang mengintimidasi. "Tapi kalau terus menerus ditempeeel sama Eric, bisa saja mereka malah—"

Aku menyambar muka Kenang dengan koran yang semula kubaca saat dia memperagakan orang berciuman dengan bibir dan punggung tangannya.

"Jangan denial," katanya tajam. "Kalau memang iya, gimana?"

Aku sudah akan beranjak, tapi Kenang terus menambah kekhawatiranku dengan melanjutkan bicara, "Apa nggak akan menyakiti Kefan kalau sampai kakak yang paling dicintainya sangat menentang jati diri sebenarnya—"

"Lo ngomong apa, sih, bego!" Kanaya membentak. "Jangan dengerin dia, Kak. Lo nggak punya bukti apa-apa. Apa sih yang bikin lo punya pikiran kayak gitu?"

Kenang menggerakkan bahu, "Bisa aja, kan? Gue selalu inget bagaimana Kefan ke Kak Kenan waktu kecil dulu. Gue nggak kayak gitu ke Kak Kenan, dan yakin Kak Kal juga enggak. Lagian ... Eric itu mencurigakan. Ngapain coba dia mau berteman akrab sama Kefan kalau dia—"

"Jadi maksudmu, kamu juga nggak akan mau berteman sama adikmu sendiri kalau jadi Eric? Sampai-sampai kamu selalu punya pikiran kayak gitu?"

"Ini cuma instingku aja." Kenang cemberut.

Aku sudah tak tahan lagi, biasanya aku tak pernah meninggalkan obrolan lebih dulu kalau tidak terpaksa, tapi Kenang sungguh menyebalkan setiap kali topik Eric diangkat. Dia tidak pernah memperlihatkan kecurigaannya di depan Kefan, tapi terus merongrongku supaya punya pikiran yang sama dengannya.

Kudengar samar-samar Kanaya memarahi Kenang karena ucapannya bikin aku murung.

Hal ini sudah pernah nyaris menghancurkan hubunganku dengan Kefan dua tahun lalu. Karena 'bisikan jahat' Kenang, aku menuduh Kefan yang bukan-bukan saat dia menginap di rumah Eric. Kami berdebat, Kefan marah dan tampak terluka karena aku meragukannya. Keesokan harinya aku baru tahu mereka tidak hanya berdua, melainkan bersama beberapa anak lain. Meminta maaf dan berbaikan dengan Kefan memang tidak sulit, dia terlalu menyayangiku. Namun, jika hal ini terjadi kedua kali, aku tidak yakin dia akan memaafkanku semudah dulu. Kini dia sudah dewasa, cara pikirnya pun dapat jadi telah berubah. Aku harus hati-hati.

"Kak ...."

Aku tidak tahu sejak kapan Kanaya mengikutiku, tapi saat aku ganti baju, dia sudah berdiri di depan pintu. Aku memang nggak menguncinya, dia kaget sendiri waktu nyelonong masuk, aku tengah telanjang dada.

"Ihhh!!!" jeritnya sambil menutup mata dengan sebelah tangan. "Kunci pintu dong kalau ganti baju!"

"Siapa yang nyuruh nggak ketuk pintu?" kataku sambil mengenakan kemeja dengan santai. "Kenapa?"

"Karl ikut?" tanyanya, aku mengangguk, "Bagus, deh. Aku nanti malam mau keluar."

"Ke mana?"

"Eng ... jalan ...."

Aku baru akan mendesaknya supaya memberi tahu ke mana tujuan dan dengan siapa dia pergi, tapi janjiku pada diri sendiri untuk tidak terlalu ikut campur menghentikanku.

"Jangan pulang malam-malam." Hanya itu pesanku.

"Eh?" Kanaya bengong, mungkin dia sudah menyiapkan alasan panjang lebar.

"Kenapa? Bukannya kalian nggak suka aku ikut campur? Aku nggak nanya macam-macam, malah kamu kaget. Maunya aku gimana? Nanya-nanya, ngendus-ngendus, supaya kalian bisa marah kalau aku kelewat batas?"

Dia merengut, "Kakak kenapa sih nggak bisa enak dikit ngomongnya? Aku cuma mau karaoke sama teman lama, janji nggak pulang larut malam, deh. Lagian aku juga masih capek."

"Hmm."

Baiklah, sepertinya aku nggak bisa benar-benar tak peduli sama sekali. Setelah kancing terakhir kurapikan dan Kanaya masih duduk di tempatnya semula, aku mendekat ke arahnya. Kuusap lembut puncak kepalanya, "Kamu adik perempuan kami satu-satunya, jaga dirimu baik-baik kalau tak ingin kami menjagamu."

Senyum Kanaya mengembang diagonal, kepalanya mengangguk. Adik perempuanku ini sudah menjelma menjadi perempuan cantik. Pipinya yang masih agak bulat beberapa tahun lalu kini menirus. Bentuk wajahnya yang oval sempurna membuatnya makin menawan. Makeup tipis menambah pesona manisnya. Aku mengelus pipinya dengan sayang, "I miss you," kataku.

"I miss you too," katanya, matanya berkaca-kaca. "Maaf kalau selama ini aku kasar sama Kakak. Nggak ada yang sayang sama aku seperti Kakak ... nggak ada gunanya aku milih pria lain hanya karena kakak nggak setuju ...."

Alisku bertaut, kunaikkan dagunya dengan ibu jariku, "Ada yang kurang ajar sama kamu?"

"Enggak," kilahnya. "Aku cuman habis putus."

"Is it painful?" tanyaku.

Dia menaikkan bola matanya, berpikir.

"Pasti nggak dalam-dalam banget kalau masih pake mikir gitu." Aku berseloroh. Kanaya meringis. "Tell me everything you want to tell me. Don't hesitate, Kanaya. Kalau kamu nggak ingin aku ikut campur, bagilah denganku apa yang mau kamu bagi. Ngerti? Aku mungkin nggak pernah mengerti seperti apa rasanya jadi perempuan, tapi aku kenal beberapa perempuan dalam hidupku, dan aku tahu tidak mudah untuk tetap menjadi perempuan baik. Kamu selalu bisa bersandar padaku. Kamu paham?"

Dia menangis. Kaca-kaca yang melapisi bening bola matanya luruh menjadi butir-butir kristal yang meleleh di pipi. Aku menyambut berdirinya dengan pelukan hangat, kubiarkan tangis kecilnya tumpah seperti saat dia masih kecil dulu.

"Mungkin lukanya nggak dalam," bisiknya. "Tapi kehilangan selalu menyakitkan, Kak. Aku capek. Aku ingin di sini saja, dekat-dekat Kakak, sebab hanya Kakak yang selalu ada saat aku butuh seseorang."

Mendengarnya mengucapkan kalimat seperti itu begitu menenteramkan jiwaku sehingga ketika pelukan kami terurai, aku menghadiahinya sebuah kecupan di kening. Sesuatu yang sudah lamaaa sekali tak kulakukan kepadanya sejak dia tumbuh dewasa.

"Jangan mabuk-mabukan," pesanku.

Sambil menghapus air mata, dia menggodaku, "Paling cuma sedikit." Sambil meringis memperlihatkan gigi kecil putihnya.

Aku mencubit pipinya gemas, lantas menyuruhnya pergi.

Sepertinya tidak perlu kujelaskan lagi betapa Kanaya adalah tanggung jawab terbesar kami. Secuek apa pun Kal-el, seserampangan apa pun Kenang, kami selalu mengkhawatirkannya. Rasanya kalau bisa, aku ingin mengikutinya ke mana saja, mengancam siapa pun yang sedang dekat dengannya supaya tidak menyakitinya, tapi aku sadar hal itu tak bisa kulakukan. Maka ketika dengan sendirinya dia datang, kupikir tak ada yang lebih membuat seorang kakak laki-laki bahagia.

Aku mengganti baju Karl dalam keadaan tidur dengan suka cita, meski ribetnya bukan main. Anak ini persis bapaknya kalau urusan tidur, susah bangun. Kalau sudah bangun, susah diatur. Tapi aku sangat menyayangi mereka berdua, rasanya tak pernah puas aku mengurusnya. Dalam hati aku berharap Kal-el dan Moza lebih lama sibuk dengan bayi baru mereka, supaya aku bisa memonopoli Karl lebih lama lagi.

"Kakak sudah siap?" Kefan mengetuk dan langsung membuka pintu. "Pergi sekarang, yuk?"

"Ayok," sambutku ceria. "Gendong Karl, ya? Aku panasin mobil dulu."

Kefan melangkah masuk, mengambil alih Karl dari gendonganku sambil nanya, "Kenapa sih kok bahagia banget kayaknya?"

"Masa?"

"Kirain barusan malah berantem sama Kak Aya. Soalnya aku lihat dia keluar kamar, biasanya kalau beduaan kan berantem."

Aku menyengir, "Enggak, kok. Sebaliknya."

Kefan terkejut, "Gencatan senjata?"

"Yup!"

"Aaah ...," celetuknya. "Pantas. Paling suka kalau Kak Kenan sama Kak Aya akur"

"Kenapa?"

"Serasi soalnya!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top